Minggu, 14 Agustus 2011

Sekilas Kondisi Burung Liar di Indonesia

Kebaradaan satwa burung di Indonesia semakin hari semakin menurun populasinya. Hal ini disebabkan oleh perburuan liar sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Selain itu, penurunan kualitas habitat sebagai akibat dari aktivitas manusia, lemahnya pengamanan, pengawasan, penerapan sanksi hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi juga turut mengakibatkan penurunan populasi burung di alam. Walaupun telah berstatus dilindungi (termasuk oleh pemerintah daerah dimana habitat dan jenis burung berada), namun perburuan liar masih tetap berjalan hingga saat ini (Setio & Takandjandji 2006).

Pemanfaatan keanekaragaman jenis satwa liar secara tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis burung air termasuk salah satu yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Awal pemanfaatan dari jenis-jenis burung tersebut adalah hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan protein bagi masyarakat setempat. Namun, dalam perkembangannya ternyata jenis-jenis burung tersebut tidak saja dimanfaatkan untuk kebutuhan protein tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada masyarakat kota untuk menambah sumber pendapatan, sehingga pengeksploitasian jenis-jenis burung tersebut secara terus-menerus tanpa adanya pengendalian dikhawatirkan akan mengancam kepunahan (Iskandar & Karlina 2004). Selain itu, pemanfaatan burung terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah masyarakat penghobi burung kicauan dengan jumlah uang yang beredar
sebanyak Rp 7 triliun (Moehayat 2008).

Menurut MacKinnon (1990), perdagangan burung secara keseluruhan mempunyai nilai penting dalam perdagangan dan sampai skala tertentu akan menghabiskan populasi burung liar. Nilai penting burung dalam perekonomian di Pulau Jawa adalah sabagai hama pertanian (pipit, bondol dan manyar sebagai hama padi), jenis burung yang menguntungkan (elang), bahan makanan (mandar, ayam hutan, puyuh dan punai), serta perdagangan burung piaraan (perkutut, kucica hutan, beo, kutilang dan jalak) dan pada tahun 1980 terdapat lebih dari 340.000 burung secara ilegal diekspor dari Indonesia dimana jenis-jenis ekspor yang disukai adalah bondol, pipit benggala, gelatik, perkutut, beo, dan serindit. Menurut anonim (2002), perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangutan, penyu, beberapa jenis burung, harimau sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut maka harganya semakin mahal.

Perdagangan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan populasi suatu jenis burung, disamping akibat menghilangnya habitat dan degradasi habitat. Perusakan habitat dan eksploitasi spesies secara berlebihan menyebabkan Indonesia mempunyai daftar spesies fauna terancam punah terpanjang di dunia (Lambert 1993; Sumardja 1998 diacu dalam Widodo 2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar