Selasa, 12 Juli 2011

Untuk Negriku 6

Beragam himbauan yang bertemakan "Selamatkan Alam" atau "Selamatkan Lingkungan" atau "Selamatkan Keanekaragaman Hayati" sering terlihat di berbagai sudut kehidupan, mulai dari media cetak, elektronik, poster, spanduk, brosur, atau leaflet, baik yang diinisiasi oleh instansi pemerintah ataupun non-pemerintah. Rasa-rasanya setiap masyarakat pernah membacanya, entah detail ataupun hanya sekilas saja. Sebuah slogan atau pesan yang menghimbau terhadap penyelamatan alam dan lingkungan dengan gaya bahasa yang menarik dan tata gambar yang indah ataupun mengharukan nampaknya menjadi tren di kala manusia cenderung tidak peduli lagi dengan alam sekitar.

Lazimnya pemasang himbauan tersebut selalu merasa khawatir andai pesan yang ingin disampaikan tidak sampai ke khalayak umum. Entah mengena atau tidak, entah mahal atau murah, yang terpenting bagi mereka adalah sudah mengajak masyarakat umum untuk berbuat baik terhadap alam serta secara ikhlas mengajarkan pentingnya alam untuk kehidupan manusia saat ini dan masa yang akan datang. Nampaknya kondisi seperti ini hanya dipunyai oleh manusia-manusia yang benar-benar ikhlas menyerahakan jiwa raganya untuk kelestarian alam dan lingkungan sehingga himbauan yang ditorehkan mereka pun terlihat lebih serius dan bahasanya hidup. 

Namun, bagaimanakah pesan atau slogan himbauan pentingnya pelestarian alam yang dipasang oleh instansi pemerintah, apakah terdapat keseriusan dari pihak pemerintah untuk benar-benar mengharapkan "mengenanya" pesan yang disampaikan???. Menurut pribadi penulis, rasa-rasanya pesan himbauan yang disampaikan oleh instansi pemerintah tidak mempunyai unsur keseriusan atau mungkin bisa disebut sebagai guyonan belaka, hanya sebatas kalimat dengan bahasa yang tidak hidup atau sama sekali tidak akan pernah hidup. Apabila kalimat himbauan tersebut dituliskan pada sebuah media, nampaknya hal itu hanyalah sebuah proyek yang bisa diambil keuntungan ekonominya ataupun bisa dikorupsi sedikit. Selain itu,rasa-rasanya tidak pernah ada upaya lebih lanjut dari instansi pemerintah untuk mengajarkan masyarakat umum bagaimana bersikap baik terhadap alam. Miris sekali ketika pemerintah yang seharusnya mengayomi bangsa dan negri ini, mengayomi bukan saja masyarakatnya tetapi juga alam yang telah memberi bentuk wajah negri ini. Bagaimana nasib keanekaragaman hayati negriku jika tidak ada keseriusan di pihak pemerintah untuk menggarap kelestarian alam dan keanekaragaman hayati.

Tak hanya itu saja, pesan pelestarian pun nampaknya hanya menjadi formalitas perusahaan-perusahaan pengeksploitasi alam. Mereka dengan mudahnya menyisihkan sedikit "uang" mereka pada program yang sering kita dengar sebagai CSR yang bertemakan lingkungan. Tetapi apakah kita pernah berpikir berapa keuntungan yang mereka dapatkan setelah "menganiaya" alam negri ini, lalu dengan mudahnya mereka berbicara tentang "pentingnya" pelestarian alam dan keanekaragaman hayati. Rasa-rasanya mereka menganggap uang akan menyelesaikan masalah pelestarian alam, dengan menyuap si pembuat kebijakan, bahkan dengan menyuap masyarakat melalui CSR maka formalitas pelestarian alam pun sudah terpenuhi.

Senin, 11 Juli 2011

harapan sang waktu

harapan malam akan siang, dan
siang pun mengharap malam
bukanlah absurd,
melainkan repetisi waktu
setiap saat, tidak kenal musim
baginya hanyalah impian kenyataan sebongkah asa
kala impian tiba,
masa gelap terang, dan terang gelap
melebur menjadi satu warna
dalam sebuah simbol gerhana
maka, malam mendekap siang,
dan siang pun membelai malam
sebuah masa istimewa dari sang pencipta
harapan impian siang untuk malam
dan malam untuk siang
adalah kenyataan harapan hati atasmu

bogor, 30 juni 2011

hijau biru

hijau biru,
bukan langit bukan pula bumi

hijau biru,
memadu kaki langit puncak nan megah halimun salak
takjubnya akal lantaran romantisme hijau biru
begitu selaras dengan mata angin
pun mesra mendekap kasih dua kepak garuda
di dahan pohon yang dedaunnya melebur dalam ragam rupawan

hijau biru,
wujud indahnya harmonisasi warna kehidupan 
begitu lekatnya,
halimun pun tak pernah mengusik
bahkan mendung pun enggan bersinggung

hijau biru, 
dua warna yang akan memeluk asa
dua jiwa makhluk muka bumi
yang corak rupanya tak akan pernah memudar
karena lestari adalah takdir dari sang khalik


bintaro, 12 juli 2011

Untuk Negriku 5

Terulang lagi sebuah kisah memilukan, belum begitu lama berselang sudah terdengar mirisnya kabar "amarah" warga terhadap sang loreng pewaris terakhir hutan sumatera. Berita yang tak sengaja terdengar hari ini dari Redaksi Sore Trans 7 mengabarkan bahwa seekor harimau sumatera betina terjerat oleh perangkap warga di salah satu kabupaten di Sumatera Barat. Diberitakan bahwa jerat tersebut senagaja dipasang lantaran warga sekitar merasa kesal dengan ulang sang loreng yang sering memangsa hewan ternak warga. Kekesalan itupun akhirnya berujung pada penjeratan si harimau yang tidak berdosa. Sampai berita tersebut tersiar, terlihat bahwa harimau betina yang ada di dalam perangkap warga masih hidup. Namun, dari gambar terlihat nampaknya sang harimau mengalami kepayahan. Ironisnya, setelah penjeratan tersebut dan harimau masih hidup, warga tidak serta-merta menyerahkan ke pihak BKSDA, alasannya mereka menginginkan si harimau untuk ritual "tolak bala" terlebih dahulu. Tidak begitu jelas, ritual tolak bala yang bagaimanakah yang akan dilakukan oleh warga. 


Sebuah tragedi terhadap keanekaragaman hayati negri ini. Warga atau masyarakat setempat sekitar habitat si loreng yang seharusnya menjadi salah satu unsur pendukung kegiatan pelestarian harimau sumatera justru menjadikan harimau sebagai organisme hama yang patut dihabisi. Harimau bukanlah kucing rumahan yang dengan mudahnya beranak pinak, harimau adalah satwa liar dimana kelangsungan hidupnya membutuhkan habitat yang layak. Habitat pun nampaknya tidak terlepas dari "campur tangan" masyarakat sekitar habitat, sehingga kelayakan sebuah habitat tersebut dapat dinilai dari habitat itu sendiri (misalnya hutan) beserta kearifan dan kebijaksanaan masyarakat sekitar habitat. Namun apa yang terjadi sekarang ini, habitat harimau dan juga satwa liar lainnya mengalami penurunan kelayakan bahkan sampai ke titik terendah, selain itu disertai dengan menurunnya kearifan masyarakat sekitar habitat terhadap tingkah laku alam.


Rasa-rasanya semua hal tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dengan kepentingan ekonomi modern. Asalakan bisa diuangkan, maka alam pun digadai. Bagaimana keanekaragaman hayati negri ini bisa langgeng jika kepentingan ekonomi yang merusak dinomorsatukan oleh semua pihak. Bahkan oleh yang disebut sebagai "pemerintah".

Nampaknya kita harus berpikir jernih, ibaratnya harimau adalah anak kecil yang belum tahu-menahu urusan manusia dewasa dan masyarakat diibaratkan sebagai manusia dewasa sekaligus orang tua dari si anak tersebut. Maka, ketika si anak tersebut melakukan kegiatan yang dianggap merugikan orang tuanya, misalkan saja corat-coret tembok di sebuah rumah baru yang baru dibeli orang tuanya secara kredit, apakah si orang tua tersebut akan serta-merta menjebloskan si anak ke dalam penjara ataukah akan menghakimi sendiri. Sudah pasti jawabannya tentu tidak demikian. Selain itu, anak adalah aset dari orang tuanya, begitu juga dengan harimau sumatera sebagai aset dari masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia.


Kamis, 07 Juli 2011

Renungan Hubungan Manusia - Hewan - Alam

Hubungan antara manusia dengan hewan atau satwa telah berlangsung sejak manusia dan hewan menjejakkan tapak-tapak mereka di planet biru ini. Entah berjuta tahun lalu ataupun beratus juta tahun lalu belum bisa dipastikan. Namun, yang jelas manusia mempunyai ketergantungan terhadap hewan dan juga dengan habitatnya atau yang lebih luasnya disebut sebagai alam. Begitu butuhnya manusia akan hewan maka terciptalah hewan-hewan domestikasi, mulai dari karnivora sampai omnivora. Domestikasi, Itulah sebuah keberhasilan manusia dalam penguasaan kehidupan hewan dan habitatnya. Selama berabad-abad mungkin apa yang disebut dengan penguasaan itu berjalan secara bijak. 

Namun, apa yang terjadi sekarang adalah kesewenang-wenangan atas apa yang disebut sebagai "penguasaan yang bijak". Kondisi yang terjadi dalam beberapa tahun ini menunjukkan terjadinya pengingkaran dalam kaitan hubungan manusia dan hewan, dan lebih jauh lagi terjadi pengingkaran hubungan manusia dengan alam raya. Siapa pelakunya?, tentu bukan hewan ataupun alam raya. Manusialah yang sehausnya bertanggungjawab terhadap kondisi ini.


Manusia modern nampaknya sudah tidak mewarisi apa yang dinamakan kebajikan, kearifan dan kebijaksanaan manusia kuno. Manusia modern sudah tidak bisa menyelaraskan apa yang seharusnya terjadi dalam hubungan manusia-hewan dan manusia-alam raya. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pergeseran kebutuhan ke arah materialistik, jika dahulu kebutuhan hanya sebatas untuk pemenuhan hidup sehari-hari (sandang, papan, dan pangan), tetapi saat ini kebutuhan tersebut melesat lebih jauh ke depan. Materi dalam hal ini bisa deisebut dengan kekayaan dan diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas ekonomi. Kondisi tersebut tampaknya telah menggeser kewajaran hubungan manusia-hewan-alam, yang lambat laun akan menciptakan krisis biodiversitas. 


Apa yang terjadi akhir-akhir ini membuktikan betapa kuatnya bayang-bayang materi terhadap kehidupan manusia-manusia modern, sehingga sering sekali mereka memperlakukan "unsur-unsur biodiversitas" sebagai jajahannya. Kesewenang-wenangan, keserakahan, dan ketidakpedulian adalah efek yang ditimbulkan dari apa yang disebut sebagai materi. Lihat saja perlakuan manusia terhadap hewan dimana masih segar dalam ingatan bagaimana manusia memperlakukan ternak potong di rumah pemotongan hewan. Selain itu, bagaimana eksploitasi terhadap satwa-satwa liar yang dapat dilihat di pasar-pasar gelap dan berbagai penyelundupan, ataupun pemaksaan satwa yang seharusnya liar menjadi satwa rumahan, atau manusia modern menyebutnya sebagai satwa eksotik. Hukum yang dibuat sesempurna mungkin nampaknya bukanlah salah satu pemutus mata rantai "penyebab krisis biodiversitas" yang efektif, hukum harus dikombinasikan dengan penyadaran yang nampaknya terlalu sulit dan aneh diaplikasikan.

 

Untuk Negriku 4

Pekan ini, sebuah berita miris datang dari kawasan Riau. Seekor harimau sumatra berjenis kelamin jantan dengan umur sekitar 1,5 tahun mati mengenaskan oleh sebuah jerat babi hutan yang ditanam oleh warga sekitar daerah Pangkalan Kuras. Sebuah kabar dari suatu harian mengatakan bahwa jerat yang ujungnya terbuat dari besi tidak lazim digunakan untuk menjerat babi hutan yang biasanya hanya menggunakan benang nilon saja. 

kematian harimau oleh jerat atau aktivitas manusia mungkin sudah terlalu sering terdengar di telinga, berbagai media telah mewartakannya baik dengan lamanya durasi penayangan atau singkatnya penayangan. Jerat seperti yang digunakan oleh warga Pangkalan Kuras kemungkinan ditujukan langsung untuk menjerat sang harimau, entah alasan dendam atau alasan lainnya. Namun, ketika tim dari pihak yang berwenang mengetahuinya, serta merta warga sekitar tersebut mengubah alasan pemakaian jerat, jerat ditujukan untuk babi hutan, Nampaknya ini sudah menjadi sebuah kebiasaan ketika kejahatan yang dilakukan diketahui oleh pihak berwenang. 
Kematian harimau yang sering oleh manusia di kawasan konservasi ataupun kawasan hutan industri membuktikan bahwa masyarakat sekitar masih mempunyai dendam dengan si loreng dan konflik antara mereka dengan harimau adalah masalah utama warga. Mungkin banyak alasan yang mendasari sebuah dendam tersebut, seringkali hanya masalah klasik yakni urusan perut, masyarakat sekitar dengan teganya membunuh satwa yang terancam kepunahannya itu.

Untuk kejadian pekan ini, apakah harimau tersebut sengaja dibunuh oleh warga lantaran sering memasuki lahan konsesi hutan tanaman industri PR Arara Abadi anak Sinar Mas Group, sehingga dianggap membahayakan keselamatan kerja karyawan dan warga sekitar, belum ada yang tahu. Mengapa kasus ini bisa terjadi ditengah maraknya kepedulian masyarakat dunia akan kelestarian harimau sumatra. Sungguh disayangkan, ketika masyarakat sekitar kawasan yang seharusnya mempunyai kewajiban menjaga kelestarian satwa ini justru dengan alasan kepentingan ekonomi yang absurd dengan kejamnya membantai sang loreng warisan terakhir hutan tropis sumatera. Apakah kampanye kelestarian harimau atau satwa-satwa liar lain tidak sampai ke telinga mereka atau bagaimanakah peran sebuah perusahaan besar sekelas Sinar Mas terhadap kelestarian biodiversitas di sekitar lahan yang mereka gunakan. Sangat disayangkan ketika semua pihak yang berpengaruh menutup mata terhadap kejadian ini. Sekali lagi sungguh disayangkan ketika alasan ekonomi menggusur kepentingan konservasi biodiversitas negri ini.

Sabtu, 02 Juli 2011

Untuk Negriku 3

Empat anak gadis ABG yang duduk di bangku pojok sebuah angkot 08 Bintaro-Ciputat dengan pakaian a la ABG masa kini terlihat sedang terlibat obrolan yang sengit, entah apa yang menadi biang obrolan mereka. Nampaknya sesuatu hal remeh-temeh yang orang gila pun tidak akan pernah berpikir melakukannya. Sebuah kebiasaan anak-anak muda negri ini, kebiasaan pamer harta benda kekayaan keluarga, ayah, ibu, kakek, nenek, bahkan nenek moyang.
Saat itu tak begitu jelas apa yang mereka pamer-pamerkan di dalam sebuah angkot yang sudah mulai penuh sesak, penuh sesak oleh peluh-peluh bau asam dan pemandangan baju-baju kusam. Namun, pernyataan terakhir yang mereka perbincangkan adalah sebuah pernyataan yang bisa dibilang absurd dan menyakitkan hati pendengar yang peduli nasib negri ini.

Eh kalian udah tau belum, kakakku yang pertama baru dibeliin papa, vila di bogor.

Tiga orang temannya yang terlihat tidak sabar, entah tidak sabar keluar dari angkot yang aroma asamnya mulai merebak atau tidak sabar mendengar celotehan temannya segera berakhir dengan ending yang mereka harapkan tidak membuat iri.

Eh, vilanya baguusss banget, halamannya luas, kanan kirinya hijau banget, dan yang pasti sejuk banget. Nanti kuajak deh kalian ke sana.
Kondisi dalam angkot masih sunyi senyap, nampaknya semua penumpang antusias mendengar cerita si gadis ABG yang tanpa titik koma itu.

Eh, tapi aku nggak suka suasananya yang sepi dan terlalu banyak pohon-pohon tinggi yang rimbun, jadi kesannya angker. Semoga saja nantinya pohonnya semakin sedikit kayak di jakarta dan di sana makin banyak vila, dan juga makin banyak mallnya, jadi kan rame, mau apa aja mudah, ya nggak frend.

Tiga temannya terlihat menganggukkan kepala dengan nada terpaksa.

Masih sunyi kondisi dalam angkot, hampir semua penumpang tiba-tiba tertunduk tanpa ada komando, kecuali empat penumpang ABG yang menguasai bangku pojok angkot butut. Sopir pun tiba-tiba memperlambat laju angkotnya.
Entah apa yang ada dipikiran para penumpang yang sebagian besar kaum marginal. Mungkin di dalam keterpinggiran, akal mereka masih jalan untuk berpikir peduli pada nasib negri daripada empat anak ABG penguasa bangku pojok. Mereka sang kaum marginal nampaknya resah dengan kelakuan empat ABG yang dengan seenak perutnya berharap akan menggersangkan negri ini, negri yang sudah semakin gersang. Rasa-rasanya dalam ketertundukan itu, mereka mengutuki empat gadis ABG penguasa bangku pojok.