Minggu, 22 Januari 2012

Kisah dari Bawah Pohon Waru

Mata lelaki tua berambut berombak itu masih saja menatap lautan lepas,
entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Setiap hari, bahkan setiap
waktu, lelaki tua dengan kulit terbakar matahari selalu saja berdiam
sambil bersila menghadap laut Jawa. Di bawah pohon waru yang teduh,
mulutnya terlihat komat-kamit seperti merapal kalimat, entah doa,
entah mantra, tidak ada yang tahu.

Sebagian besar warga dusun Têkek mengenalnya sebagai lelaki tua yang
ramah, lantaran selalu saja terlihat sebuah senyum manakala berpapasan
dengan warga dusun. Namun, sayangnya warga dusun tidak ada yang
mengetahui nama dan asal-usulnya. Warga hanya memanggilnya dengan nama
mbah Layar, karena jubah kumal yang dikenakannya selalu berkelebatan
layaknya sebuah layar jung yang diterpa angin laut. Jika diterka,
kemungkinan usia mbah Layar sudah berkepala enam atau tujuh, lantaran
gurata-guratan di wajahnya yang bisa dibilang tidak sedikit lagi.
Tetapi tidak ada yang tahu pasti, sebab sampai saat ini, belum ada
seorang warga yang pernah bercakap-cakap dengan mbah Layar.

"Mbah Layar itu baik orangnya, tetapi bahasanya itu lho yang tidak
kita mengerti", begitulah ujar pakdhe Êntung kala ditanya perihal
keberadaan mbah Layar di dusun Têkek.

Selain itu, beberapa warga dusun yang tinggal tidak jauh dari bibir
pantai berujar bahwa mbah Layar tak ubahnya sebagai seorang wali.
Menurut mereka, mbah Layar bisa mendatangkan dan menolak angin badai.
Pernah suatu ketika, angin ribut yang datang dari utara hampir
memporak-porandakan dusun Têkek, tetapi dengan "kekuatan" mbah Layar,
angin ribut itu pun akhirnya luluh. Entah kekuatan apa yang dimaksud.
Tak hanya itu, beberapa waktu lalu, ketika musim hujan tak kunjung
tiba, mbah Layar terlihat di luar kebiasaannya, waktu itu mbah Layar
menghilang pergi entah kemana, dan sekembalinya, hujan pun datang,
kekeringan pun tidak jadi menghantui dusun Têkek. Meskipun banyak
warga yang mempercayai kekuatan gaib mbah Layar, salah seorang tokoh
agama di dusun Têkek tetap menghimbau warga dusun agar tidak
berlebihan menyikapi fenomena tersebut.

"Aneh memang, tetapi kalau sudah kuasa gusti Allah, ya terjadi",
begitulah ujar Lik Randhu, salah seorang tokoh agama dusun Têkek, dan
merupakan santri almarhum mbah Watu yang juga dianggap sebagai wali
oleh warga dusun Têkek.

------------------

Seperti pagi sebelumnya, udara sejuk pagi cepat berganti menjadi
terik, lantaran bentang alam dusun Têkek yang berada di tepian laut
jawa. Namun, terik bukanlah halangan bagi warga dusun untuk berkarya
menggarap sumberdaya alam dusun Têkek. Sebagian besar warga dusun
berkarya sebagai nelayan, sedangkan sisanya berkarya sebagai pencari
buah mangrove dan sisa lainnya berkarya sebagai buruh di pasar yang
tidak begitu jauh dari dusun Têkek.

Bergantinya waktu menjadi siang, semakin sunyi suasana perkampungan
dusun Têkek, suasana riuh beralih ke bibir pantai, berpuluh-puluh
perahu dan jukung nelayan bersandar ke pantai setelah semalaman
mengarungi laut. Istri-istri dan anak-anak nelayan riang menyambut
sang kepala keluarga yang tiba dengan sejumlah rejeki di perahu dan
jukungnya. Beberapa tengkulak pun tak ketinggalan menunggu datangnya
rejeki yang sebentar lagi menghampiri kantungnya. Namun, akhir-akhir
ini, para tengkulak sudah tidak mendapat tempat di hati warga nelayan
dusun Têkek. Lantaran sebagian besar nelayan dusun Têkek sudah tidak
menjual hasil tangkapannya ke tengkulak. Entah apa sebabnya. Menurut
pakdhe Êntung, hasil tangkapan ikan menurun akhir-akhir ini lantaran
cuaca yang sedang tidak bersahabat, sehingga nelayan enggan menjual
hasil tangkapan yang bisa dibilang tidak terlalu banyak ke para
tengkulak, para nelayan pun beranggapan kalau para tengkulak justru
menyulitkan kehidupan mereka. Entah apa maksudnya pakdhe Êntung
tersebut.

Terik pun semakin menjadi-jadi. Namun, semilir angin laut meredam
terik siang. Beberapa anak yang belum genap sepuluh tahun riuh
memainkan bola dari buah kelapa tak jauh dari bibir pantai tempat
perahu-perahu nelayan tertambat. Beberapa anak yang lain tengah
terlihat bersiap memacu jukung kecilnya melaju ke arah pulau karang
yang tak begitu jauh jaraknya dari garis pantai. Tak hanya itu, di
sela-sela waktu rehatnya, kebanyakan nelayan dusun Têkek menghabiskan
waktunya dengan memperbaiki jaring dan juga membuat jaring baru.

Hembusan angin laut yang kadang-kadang kuat dan kadang-kadang lembut
menyapu rimbunnya pepohonan waru yang tumbuh berjajar bagaikan benteng
pemisah antara pantai dengan perkampungan dan berpuluh-puluh tegakan
pohon kelapa yang kokoh menjulang tinggi menantang langit. Beberapa
rumpun mangrove yang tumbuh di sisi kiri dusun Têkek pun terlihat
ramai kala hari beranjak sore, lantaran beberapa warga menghabiskan
waktunya dengan memancing di sela-sela akar mangrove. Gesekan-gesekan
dedaunan dan riak-riak ombak yang terpecah menghantam akar-akar
mangrove dan lambung-lambung perahu nelayan telah menciptakan alunan
khas yang merdu.

Hembus angin laut perlahan-lahan menyapa sesosok tua di bawah
rindangnya pohon waru. Jubah lusuh berwarna putih kusam pun
berkelebatan, diiringi ceracau yang memang sampai saat ini belum
dimengerti oleh warga dusun. Entah merapal mantra, entah berdoa,
ataukah mengutuki nasib, entah, tidak ada yang tahu. Sekilas sesosok
tua di bawah pohon waru seperti seorang pertapa dan juga seorang kyai
jaman dulu.

"Brakk", suara hantaman sebuah benda. Bola dari kelapa yang sejak tadi
dimainkan anak-anak dusun Têkek hilang kendali dan melesat menghantam
gubug sesosok tua itu. Atap dari papan terlihat bolong dan berserakan
akibat hantaman itu. Selang beberapa detik, lelaki tua itu menghampiri
sumber suara, dan tak lama kelapa itu sudah ada digenggamannya. Dengan
senyum ramah, tangannya menyerahkannya kepada segerombolan anak-anak
yang sejak tadi memainkan kelapa tersebut, sambil mengelus lembut
rambut salah satu anak, ceracau mulai dilontarkan diiringi dengan
senyuman ramah, dan tak berapa lama dia kembali ke gubugnya.

Meskipun mereka menganggapnya sebagai seorang yang aneh, anak-anak
tetap menganggapnya sebagai orang yang ramah, bahkan lebih ramah dari
lik Randhu, seorang tokoh agama setempat. Pernah suatu ketika, lelaki
tua itu memberikan sejumlah emas kepada keluarga-keluarga yang tengah
dirundung kemalangan. Tidak ada yang tahu dari mana sumber emasnya,
padahal setiap harinya dia hanya menghabiskan waktu di bawah pohon
waru tua, tak jauh dari gubugnya. Dari kejadian itulah, warga semakin
percaya bahwa lelaki tua itu adalah seorang wali.

Meskipun warga menganggapnya sebagai seorang yang mempunyai kelebihan,
warga masih segan menghampirinya atau sekedar bercakap dengannya,
sebagian besar warga beranggapan jika lebih baik membiarkannya dalam
aktivitasnya, warga pun menganggap lelaki tua itu sedang melaksanakan
lelaku tapa brata.

Setiap hari, bergiliran warga dusun mengirimkan makanan kepadanya.
Bahkan ketika ada acara hajatan, tak lupa warga mengundangnya. Pernah
suatu ketika lik Randhu mempersilakan untuk menginap di ruangan kamar
kosong samping surau dusun, tetapi dengan sopannya lelaki tua itu
menolaknya, dia lebih memilih tinggal di gubugnya, tentunya dengan
bahasa yang juga tidak terlalu dipahami oleh lik Randhu.

Lik Randhu sendiri juga menganggapnya sebagai orang yang dikaruniai
kelebihan ilmu oleh gusti Allah. Selalu saja dan sering lelaki itu
dipersilakan untuk menjadi imam di surau dusun. "Hafalannya bagus dan
bacaannya bagus", begitulah ujar lik Randhu, "tetapi ya itu, beliau
masih misterius", tambahnya lagi.

Misterius, begitulah status yang dilekatkan warga dusun Têkek kepada
lelaki tua itu, lantaran kadang-kadang dia ada di lingkungan dusun,
dan kadang menghilang dengan sendirinya. Pakdhe Êntung pernah berujar
bahwa bahasa sosok lelaki tua itu tak lain adalah bahasa sansekerta,
tetapi pakdhe Êntung belum bisa memastikannya, lantaran terdapat
perbedaan dari bahasa sansekerta yang pernah dipelajarinya. Namun,
warga dusun tidak mau ambil pusing, karena mereka menganggap lelaki
tua itu tetaplah sebagai seorang wali.

--------------------

Seperti sore sebelumnya, mbah Layar terlihat menaiki jukung kecilnya
menuju tengah laut Jawa. Tidak ada yang tahu persis tujuannya. Namun,
beberapa nelayan yang pernah berpapasan dengannya di tengah laut
merasa bahwa mbah Layar benar-benar mempunyai kelebihan, lantaran di
tengah laut itu, mbah Layar terlihat asyik bercengkerama dengan
puluhan lumba-lumba yang hidup di laut Jawa. Mas Piyik, salah seorang
nelayan menganggapnya mampu bercakap-cakap dengan binatang. Bahkan ada
yang menganggap bahwa bahasa aneh mbah Layar tak lain adalah bahasa
yang hanya dimengerti oleh hewan. Namun, entahlah, tidak ada yang tahu
kebenarannya.

Lumba-lumba merupakan hewan buruan para nelayan dusun Têkek, tetapi
semenjak mbah Layar hadir di dusun Têkek, kegiatan tersebut pun
berangsur-angsur menghilang. Entah, warga merasa menghormati mbah
Layar atau karena sebab lain, entahlah.

Mbah Layar memang hadir di tengah-tengah kehidupan warga dusun Têkek
sekitar dua puluh tahun lalu, tidak ada yang tahu darimana asalnya.
Pakdhe Randhu pernah berujar bahwa sebelum kedatangan mbah Layar,
hujan deras disertai angin ribut dan badai terjadi hampir satu minggu
penuh, bahkan kadang-kadang disertai tsunami kecil, kondisi saat itu
benar-benar membuat warga dusun mengalami musim "kelaparan", lantaran
mereka tidak bisa mencari rejeki di lautan. Setelah hampir tujuh hari,
cuaca pun berangsur-angsur membaik, dan anehnya, tiba-tiba tak jauh
dari garis pantai dan beberapa pohon waru yang membatasi pantai dengan
pemukiman berdiri sebuah gubug dari papan dan batang-batang kayu, yang
waktu itu dianggap warga sebagai gubugnya orang gila. Namun, ketika
dari dalam gubug itu keluar sesosok lelaki berjubah putih, maka warga
pun menganggapnya sebagai seorang wali.

Tidak ada yang tahu darimana datangnya mbah Layar. Beberapa warga
beranggapan bahwa, mbah Layar kemungkinan dari pulau seberang yang
terjebak badai waktu itu dan akhirnya terdampar di dusun Têkek. Beda
lagi dengan yang diujarkan pakdhe Randhu, pakdhe Randhu beranggapan
bahwa mbah Layar adalah titisan wali jaman dulu yang diutus untuk
memperbaiki kehidupan jaman sekarang. Entah dugaan mana yang benar,
tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti.

----------------

Biasanya mbah Layar hanya menghabiskan waktu bercengkerama dengan
sahabatnya di laut lepas sana sekitar habis ashar sampai sebelum
maghrib. Namun, hari ini, sampai habis sholat isya, belum terlihat
batang hidung mbah Layar, padahal mbah Layar tidak pernah melewatkan
sholat berjamaah di surau dusun Têkek. Beberapa warga pun
menganggapnya sebagai sebuah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu di
dusun Têkek, sebagian beranggapan bahwa bencana besar akan terjadi.
Namun, anggapan itu segera dibantah oleh lik Randhu. Lik Randhu
beranggapan bahwa mbah Layar kemungkinan punya kepentingan lain.

Tak berapa lama seusai sholat isya, warga pun berbondong-bondong
menuju gubug mbah Layar, dan sebagian menuju bibir pantai sambil
membawa obor. Setengah jam berlalu, tak juga terlihat batang hidung
mbah Layar. Warga yang mencoba masuk dan melihat sekeliling ruangan
dalam gubug mbah Layar menjumpai dua buah benda, sebuah kitab Al-Quran
dan sebuah gulungan kertas usang, yang mungkin usianya hampir sama
dengan umur kehadiran mbah Layar di dusun Têkek. Hanya dua benda itu,
tak ada lainnya, hanya ruangan kosong beralasakan dedaunan kering.

Sekitar pukul sembilan malam, terdengar teriakan warga yang sejak tadi
berkerumun di bibir pantai. Tak berapa lama, semua warga dusun
berdatangan ke arah suara tersebut. Sesosok mayat lelaki tua beserta
bangkai tiga ekor lumba-lumba terhanyut ke garis pantai. Dengan cahaya
obor yang semakin tak karuan lantaran angin darat sedang
kencang-kencangnya berhembus, sekilas terlihat senyum di wajah mayat
lelaki tua itu. Warga pun mengenalinya, mayat mbah Layar yang tengah
dikerumuni warga tersebut. Serta-merta mayat mbah Layar tersebut
dibawa ke tepi oleh warga dusun.

Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi malam ini. Beberapa warga
menduganya akibat dari badai yang mungkin sedang berkecamuk di tengah
lautan sana. Namun, dari bangkai tiga ekor lumba-lumba yang juga ikut
terhanyut ke garis pantai, mas Piyik berkesimpulan bahwa kematian mbah
Layar adalah tidak wajar, alias mbah Layar dibunuh oleh pemburu
lumba-lumba, lantaran terlihat dari fisik bangkai lumba-lumba yang
seperti tertusuk oleh benda tajam. Selain itu, mas piyik juga
mengungkapkan bahwa selama ini, banyak kapal nelayan dari daerah lain
yang berniat untuk berburu lumba-lumba, dan mereka pun tahu bahwa
puluhan lumba-lumba akan berkumpul di sekitar jukung mbah Layar
manakala mbah Layar menghampirinya. "Mungkin saat inilah dianggap
waktu yang tepat untuk memburu lumba-lumba itu", ujarnya lagi, "dan,
mbah Layar tampaknya dengan sekuat tenaga telah berupaya melindungi
kawan-kawannya itu, tetapi takdir berbicara lain", tambahnya lagi.

Rasa penasaran benar-benar menghantui warga dusun Têkek malam ini.
Serta-merta lik Randhu membuka gulungan kertas usang peninggalan mbah
Layar. Betapa kagetnya lik Randhu dan pakdhe Êntung yang melihat isi
gulungan kertas itu, lantaran kertas itu berisikan tulisan beraksara
sansekerta bercampur aksara Khmer disertai dengan huruf Arab. Dan
betapa kagetnya lik Randhu ketika dibacanya tulisan Arab yang mungkin
dipahaminya, isi surat itu merujuk pada almarhum mbah Watu, gurunya.

Serta-merta air mata menetes dari kedua mata lik Randhu. Dengan suara
lirih, lik Randhu berujar bahwa mbah Layar sebenarnya datang ke dusun
Têkek dengan tujuan untuk berguru kepada mbah Watu, beliau datang dari
utara, dari daerah yang dulunya dikenal dengan nama Champa.

Senin, 16 Januari 2012

Mempertanyakan Ulang KeIndonesiaan Kita

"Eh, dimana itu, bagus ya, luar negeri sepertinya ya"

Sebuah pertanyaan retoris terlontar dari seorang karyawan sebuah
tempat keramaian di dekat ibukota negara. Entah basa-basi menunggu jam
istirahat usai ataukah benar-benar terheran-heran melihat tayangan
televisi siang yang kebetulan saat itu menayangkan program acara anak,
dimana stasiun televisi tersebut menyajikan aktivitas anak-anak dari
daerah Indonesia bagian timur. Selain itu, tim kreatif tayangan
tersebut juga membalutnya dengan keindahan alam Indonesia bagian
timur, yang begitu menakjubkan.

"Ah, itu kan orang-orang pedalaman, lihat saja", salah seorang
karyawan menimpalinya dengan santainya sambil menghembuskan asap
rokoknya.

"Emang itu di Indonesia?"

"Tau deh, kayaknya sih iya, orang pedalaman pokoknya"

"Ada juga yang seperti itu ya"

Sebuah percakapan singkat siang itu sebenarnya terkesan biasa-biasa
saja. Namun, jika ditelisik lebih jauh, tampaknya dua orang karyawan
tersebut dapat jadi mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia
terutama yang tinggal dan menggantungkan hidupnya pada hiruk-pikuk
kota. Mereka berdua dapat jadi sebuah contoh betapa masyarakat
Indonesia belum dan sepertinya juga tidak yakin akan "Indonesia",
sebuah wilayah negara bangsa. Entahlah, sengaja ataukah
ketidaksengajaan, ataukah memang tidak tahu-menahu tentang Indonesia.
Rasa-rasanya mereka adalah sebuah sampel dimana masyarakat negeri ini
hanya mengenal negara Jakarta, negara Surabaya, negara Bandung, dan
lain sebagainya. Entahlah, berapa persen yang mengenal negeri yang
bernama Indonesia ini.

Apatah kondisi seperti ini dapat "menenggelamkan" NKRI dalam rawa-rawa bermetan.

Ketidaktahuan dan ketidaksadaran jika mereka hidup dalam sebuah ceruk
besar yang bernama Indonesia tampaknya telah menjangkiti sebagian
masyarakat muda negeri ini. Sikap tersebut akan menjadi sebuah
karakter masyarakat muda negeri ini dan akhirnya menimbulkan sebuah
rasa ketidakpedulian. Rupa-rupanya kondisi yang demikian itu
kemungkinan muncul akibat mereka terlalu "mengelu-elukan" kehidupan
kota, kehidupan yang serba ada, kehidupan yang menelikung kenyataan di
luar sana. Entahlah.

Umumnya juga, mereka akan merasa alam negeri ini hanya sebatas tempat
mereka hidup dan tinggal. Eksotisme alam dan budaya masyarakat
Indonesia lainnya biasanya dianggap bukan kepunyaan negeri ini.
Tampaknya hanya tersisa sebuah anggapan bahwa negeri ini haruslah
berisikan jalan raya dengan deretan mobil dan kendaraan lainnya yang
antre menyeberang di sebuah perempatan, dengan kanan kiri berhias
bangunan-bangunan bertingkat gaya baru, serta kesibukan karyawan
kantoran dan pekerja yang tidak lupa menenteng sebuah "Blackberry".

Entah, Indonesia yang bagaimanakah yang ada di dalam benak setiap
masyarakat. Sungguh miris jikalau dalam imaji warga negaranya,
Indonesia justru menjelma menjadi ceruk-ceruk kecil. Apatah hilangnya
kesadaran toleransi juga akan muncul akibat kondisi ini, entahlah.

Negeri ini kaya akan budaya, seni, tradisi, bentang alam,
keanekaragaman hayati, kearifan lokal, tradisi, dan keanekaragaman
kehidupan sosial. Itulah yang harus tertanam dalam imaji setiap anak
bangsa.

Namun, entahlah, tidak gampang rasanya. Betapa banyak anak-anak muda
yang di sekolahnya hanya diajarkan ilmu teori dalam text book, hanya
mengejar nilai bagus, dan mengejar masuk ke dalam sekolah dan
perguruan tinggi top nasional juga internasional, serta mengejar masuk
menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan top.

Entahlah, keIndonesiaan kita tampaknya perlu dipertanyakan ulang.

Sabtu, 07 Januari 2012

Rejeki yang Tercaci

Pagi tadi,
Telapak telapak kecil masih bercumbu mesra dengan serasah serasah basah
Riuh menghambur, rumput menghijau pun tak lupa disalami
Riang yang membuncah, tak ubahnya sebuah pesta pora
Senandung parau tak henti hentinya memuja jernih berbulir
Lantaran mereka hidup dalam bayangnya
Sebuah titipan ilahi

Siang ini,
Beribu pasang kaki indah kompak menggerutu, mengutuki masa
Jijik memandang tetesan rembesan bulir bulir jernih
Sebuah anggapan kemalangan rupanya
Tak lupa umpatan beradu, betapa menggelitik hati
Sayup angin pun tertawa
Sayangnya, celoteh mereka pun tak henti henti
Masih mencaci tetesan yang menjadi genangan

Lantas, siapa yang menggali kubangan?

Sore nanti,
Entahlah, tidak bisa ditebak begitu saja
Lantaran hipokrisi masih terwarisi

Bintaro, 8 jan 2012