Selasa, 28 Februari 2012

Satwaku pun Menangis

Menemukan sebuah coretan yang ditulis pada hari senin, 24 Desember
2007 (terposting di dickyvet.blogspot.com)


satwaku pun menangis


api yang menjilat-jilat
asap yang membubung hitam pekat
buih laut yang perak dan lengket
panas yang menyengat
hutan yang berwarna kuning
dan layu
bukit yang memucat

elang terbang tak tentu arah
buaya-buaya kepanasan
orang utan tak lagi berumah
jalak bali tak tampak menghiasi sang dewata
gelatik sudah menjadi hiburan
macan kumbang mulai beralih makan ternak
komodo pun makan manusia
harimau sumatra menangis meratapi nasib
badak jawa pergi entah kemana
gajah-gajah tak lagi ramah
owa jawa mulai terasing

semua satwa di rimba raya pun ikut menangis
tersiksa oleh nasib
yang dibuat sang manusia pintar nan

Kamis, 16 Februari 2012

Corat Coret Monolog Manusia dan Negeri

Negeri tanpa rupa
Sekali lenyap kala tertiup angin
Nyaris tak bersisa

Ah, semoga bukan negeriku ini
Namun, rupanya memang negeri ini sedang hilang rupa
Ah, hanya perasaan pesimis
Semoga saja bukan

Tapi memang seperti itulah, ujar hati kecil
Hilang rupa?, bukankah negeri ini masih punya nama
Hanya nama, akal sejenak berpikir
Nama hanya embel-embel, tanpa wujud nyata
Entahlah, mungkin tidak usah terlalu dipikir
Negeri ini rasanya masih berwujud negara

Ah, seketika akal berputar kembali
Negeri hilang rupa kala penghuninya menjelma caplak
Menyedot darah tanpa henti
Mewariskan ribuan generasi serupa
Ah, seburuk itukah negeriku ini
Entahlah, rupanya memang demikian

Tengok kabar, tiba-tiba merasa memang negeriku sedang tertindih
Oleh mereka yang menjelma caplak
Bumi dipermalukan tak henti-henti
Isinya dikuras habis hampir tak bersisa
Makhluk hutan dibantai
Tanpa meninggalkan jejak
Hanya untuk alasan percepatan ekonomi
Betapa tercela, entahlah, siapa yang salah

Rupanya benar-benar tengah tertindih
Negeriku yang makmur dan bersahaja
Oleh mereka yang menjelma
Menjadi tikus besar maupun kecil
Ah, entahlah, mungkin mereka titisan siluman
Yang bermisi memporak-porandakan kehidupan ini

Lantas apatah tujuannya setelah porak-poranda?

Mungkin untuk kejayaan kerajaan mereka masing-masing

Oh, betapa mengerikan dan keji jikalau demikian adanya

Entahlah, tetapi memang membuat miris

Rasa-rasanya hilangnya rupa negeri ini tengah berjalan mulus tanpa hambatan
Tatkala kebijaksanaan dikebiri
Oleh mereka yang sedang mabuk materi dan jabatan

Lantas apa yang terjadi dengan negeri ini?

Kadang terjelma menjadi manusia-manusia kanibal
Dengan nikmatnya melahap manusia-manusia lain
Tanpa takut dosa
Karena mereka memang telah mabuk duniawi

Oh, betapa mengerikan

Hilang rupa tampaknya akan benar-benar beralih menjadi negeri tanpa
rupa sama sekali
Lantaran mereka yang tengah meninggalkan darma
Dan budi pekerti

Lihatlah, betapa banyak yang tengah mengungguli Tuhan
Mencipta surga dan neraka sendiri

Oh, lantas apakah dampaknya?

Sebentar lagi negeri ini akan tanpa rupa
Polos layaknya kertas yang belum digambari


Bintaro, 17 Februari 2012

Rabu, 15 Februari 2012

Sajak Manusia

Duh Gusti,
Inikah yang namanya realita jaman
Kala manusia menjelma menjadi lain
Lupa darma
Hilang budi

Duh Gusti,
Bukan keluh yang ingin kami haturkan
Tetapi bertumpuk doa dan asa insani
Untuk bumi dan negeriku yang bersahaja

Duh Gusti,
Kadang kami tertawa lepas
Tatkala menonton tingkah mereka yang tengah berparodi
Sungguh jenaka
Layaknya gerombolan tikus yang berebut keju manis
Rupanya itulah salah satu jelmaan manusia jaman sekarang
Tikus selokan yang dekil
Yang dicerca jaman

Kadang kami menangis
Melihat kebijaksanaan telah hilang ditelan uang
Hidup saling makan memakan demi kejayaan pribadi
Rupanya mereka menjelma menjadi kanibal
Siap memangsa makhluk makhluk kecil
Tak berdaya
Hukum rimba ujar mereka berdalih
Ah, dimana kebijaksanaan berada
Kami rindu itu ya Gusti
Dengan itu, berjalan pun kami tidak takut tersesat
Kelaparan tidak akan mencibir
Kemiskinan pun akan sirna
Dan, kemakmuran yang akhirnya akan menghampiri
Oh, kami ingin segera menatap kebijaksanaan

Duh Gusti,
Kadang kami mengelus dada
Tatkala asma Mu yang Maha Agung dipelintir
Asma Mu dicatut hanya untuk penghakiman sesaat
Mereka mengucap asma Mu hanya untuk menempeleng orang lain
Membunuh serta mengobarkan kebencian
Duh Gusti, mereka rupanya telah menjadi tuhan tuhan kecil
Melangkahi langkah Mu serta menetapkan orang lain kotor dan sesat
Duh Gusti, betapa miris hati kami
Ibadah kami hanya untuk Mu, bukan untuk mereka

Duh Gusti,
Inikah pergolakan jaman
Di jaman akhir
Kami hanya berharap kedamaian tercipta di nusantara
Dan semesta raya ini
Sampai maut menjemput seluruh makhluk yang telah Engkau ciptakan
Semoga manusia tetap merasa manusia, bukan menjelma yang lain
Melakukan darmanya
mempunyai budi
Santun serta bijaksana dalam bertindak
Alangkah indahnya ketika manusia saling berjabat tangan oh Gusti
Semoga semesta raya ini pun berdoa dan berharap demikian


Bintaro, 16 Februari 2012

Senin, 13 Februari 2012

Corat Coret Siang Bolong

Semilir angin laut di siang terik tidak menghalangi niatan seorang
pemuda lusuh mendekati sesosok kakek tua berjubah putih dengan
beberapa sobekan di sana-sini. Tepat di atas batu kali dan di bawah
pohon beringin yang rindang, sesosok kakek tua terlihat tengah
bersandar pada batang pohon beringin yang kokoh itu. Semilir angin
tampaknya membuat kedua matanya terpejam.

"Nuwun séwu mbah", ucap lirih pemuda lusuh sambil berjalan jongkok
mendekati kakek tua itu.

"Héh, ono opo?", tiba-tiba kedua mata sayu sesosok kakek tua itu
terbuka, masih sambil bersandar di batang pohon beringin.

"Nuwun sewu, nyuwun ngapuntên mbah, kulo sampun ganggu mbah."

"Ora opo-opo, arêp opo kowé lé?"

"Niki mbah kulo pengen ngêrtos punapa sakniki sampun mlêbêt jaman goro-goro?"

"Sik, sik, tak takoni dhisik, opo kowé wis ngêrti opo iku jaman goro-goro?"

"Déréng ngêrtos mbah, lha pripun mbah?"

"Jaman goro-goro iku nék asah, asih, lan asuh wis ilang, gantiné asa,
asi, lan asu."

"Pripun niku mbah?"

"Wis dhêlokono jaman saiki, asa iku pêmêrintah wis ora pêduli karo
rakyaté, asi iku akéh sing podho ngunggulke nafsuné, lan asu iku akéh
sing duwé kêlakuan koyo kéwan."

Seiring dengan angin yang agak ribut, tiba-tiba sesosok kakek tua itu
menghilang.

"Mbah, mbah, mbah!", panggil pemuda lusuh itu.

Minggu, 12 Februari 2012

Dari Kami Untuk Tuan-Tuan Sekalian

Tuan, kenalkah anda siapa kami
Ah, tampaknya tuan-tuan tidak mengenal siapa kami
Biarlah

Siapa kami, rupanya hanya akan menambah beban akal tuan-tuan sekalian
Kami tidak mau merengek kepada tuan
Kami hanya ingin mengingatkan tuan-tuan sekalian
Coretan-coretan absurd telah tuan goreskan
Dalam polosnya hati kami

Kami telah menua
Dan, tubuh kami terluka
Lantaran goresan yang tuan torehkan
Tetapi tampaknya tuan-tuan tidak mau tahu
Luka demi luka telah melemahkan kami
Entahlah esok kami musnah

Kami selalu bertanya-tanya
Apakah kami hanya menjadi tumbal kemajuan negeri ini
Ataukah kemajuan dompet tuan-tuan sekalian
Ah, entahlah
Kami sudah bosan mendengar celoteh tuan-tuan di dalam istana batu pualam

Tuan, kami telah menua,
Ringkih,
Dan sakit-sakitan
Bukankah tuan-tuan diajar untuk menghormat kepada yang tua
Ah, entahlah
Rupanya tuan tengah lupa
Mungkin juga tengah tidak sadar
Kami berharap tuan mengenal kami
Lebih dekat
Bahkan menyentuh kami
Sehingga kami bisa menaruh asa di pundak tuan-tuan sekalian
Sebuah asa untuk nusantara lestari
Itu saja tuan


Bintaro, 12 februari 2012

Jumat, 10 Februari 2012

Gersang

Coklat, hitam dan abu-abu
Jelas terbayang
Menghampar bak samudera

Oh, dimanakah hijau
Hijau yang memberi kedamaian
Hijau yang memayungi kehidupan
Hijau yang merangkul harapan

Benar-benar tak terlihat setitik pun hijau
Entahlah, mimpi atau nyata
Namun, sesak masih enggan hengkang
Rindu yang terus menyerang kalbu
Dan, iri pada hari lalu
Dimana nusantara masih berselimutkan sutra hijau

Ah, entahlah esok
Apatah lebih gersang atau hijau kembali
Hanya asa yang tersisa


Bintaro, 11 Februari 2012

Senin, 06 Februari 2012

Corat Coret Siang

"Mbah, tiyang urip puniku sêjatiné napa nggih mbah?", sebuah lontaran pertanyaan seorang pemuda kepada sesosok kakek tua yang tengah bertapa di bawah pohon beringin tua.

"Wong urip kuwi sêjatine kudu ono manfaaté kanggo liyané, iso wujud manungso, kéwan, lan donya saisiné, mudêng opo ora lé?"

"Ngotên nggih mbah, lha pripun nêk mbotên sugih, tur mbotên gadhah artha?, mbotên sagêd bantu liyané mbah"

"Jaréné wis mudêng lé?", balas kakek itu sambil memicingkan sebelah matanya.

"Émmm, taksih bingung mbah", dengan gugupnya pemuda tersebut menimpali.

"Kowé iki wis diciptakké sing gawé urip, bêrarti sing gawé urip wis pêrcaya karo awakmu."

"Lha têrus pripun mbah?"

"yo wis lakoni omonganku mau."

"Nggih mbah, tapi?"

"Wis ora usah tapi-tapian, madhép ngarép, maju kono", sergah kakek pertapa itu dengan nada agak meninggi.

"Nggih mbah."

"Koyoné kok iséh bingung, wis wis, saiki kowé dhuwé pikiran opo ora?"

"Kagungan mbah."

"Lha kuwi kunciné, pikiranmu manfaatké kanggo uripmu, ojo urip mung mikir waé."

"Nggih mbah."

Tiba-tiba sesosok tua dengan jubah putih itu menghilang. Entah. Pemuda itu pun kaget, raut muka kebingungan pun serta-merta terpancar.

"Mbah!"........... "mbah, mbah, mbah!"

Tetap tidak ada sahutan dari sesosok kakek tua yang beberapa menit lalu berada di bawah pohon beringin. Sunyi, hanya semilir angin laut yang terasa.

Rabu, 01 Februari 2012

Kicau yang Tiada

Tidakkah terdengar parau
Kadang mengerang
Kicau burung di atas beringin sana
Entah lantaran kuatnya angin berhembus
Atau derasnya hujan semalam
Entah, tidak ada yang peduli

Satu persatu bulu tercerabut
Dari pangkalnya,
Benar benar perjalanan menuju gundul
Rupanya bukan karena kutu dan tungau,
Melainkan badai dan hujan
Tunak menghujat hipokrisi pejabat
Yang kehilangan kebijaksanaan

Kicau yang kemarin pernah menggema, kini hampir hampir tiada
Hanya riuh bunyi gesekan ranting ranting kering
Sesekali terdengar keluh kesah burung yang kepayahan
Tampaknya mereka mengutuki manusia

Esok, entahlah, kicau itu akan tiada
Berganti gaduh suara suara pemuja materi


Bintaro, 2 Februari 2012