Jumat, 20 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 5

Marhaban Ya Ramadhan, begitulah yang bisa terucap kala memasuki bulan
suci Ramadhan. Bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk
meningkatkan kesadaran secara vertikal dan horizontal, dan bulan
kontemplasi untuk sebuah hidup yang berkualitas. Namun, bagi
kebanyakan masyarakat, Ramadhan justru disikapi dengan cara hidup
konsumerisme dan hedonisme. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini,
masyarakat kebanyakan justru menghambur memenuhi pusat-pusat
perbelanjaan untuk berburu kebutuhan perut, tidak tanggung-tanggung
mungkin, jika di bulan selain Ramadhan, mereka hanya membelanjakan
uangnya sekian ribu, maka di bulan Ramadhan ini bisa berkali-kali
lipat. Seperti ajang balas dendam setelah seharian perut kosong.
Lantas bagaimana dengan kesederhanaan dan kesahajaan yang diajarkan
oleh sekolah yang bernama Ramadhan ini?

Rasa-rasanya inilah budaya modern umat manusia, budaya konsumerisme
dan hedonisme yang entah diajarkan oleh siapa. Entah mengakar sendiri
ataukah budaya ikut-ikutan. Entah, tetapi kondisi seperti ini
tampaknya tenda-tanda terjadinya benturan kebudayaan (shock culture)
di masyarakat Indonesia. Apatah konsumerisme ini sejalan dengan teori
Abraham Maslow, tentang hirarki kebutuhan, yakni kebutuhan aktualisasi
diri?, entahlah. Konsumerisme dan hedonisme di bulan Ramadhan hanya
akan menurunkan nilai ibadah dan nilai sosial yang diajarkan bulan
suci ini.

Konsumerisme merupakan upaya yang berlebih-lebihan, atau dengan kata
lain pemborosan. Lantas, mengapa pemborosan atau apapun namanya kerap
muncul setiap bulan Ramadhan?, mungkin lantaran amalan agama hanya
sebatas formalitas belaka, atau yang lebih parah, ibadah hanyalah
ikut-ikutan dan pencitraan belaka. Seperti yang ditulis oleh Ketua
Umum PBNU, Said Aqil Siradj dalam Opini Kompas tanggal 20 Juli 2012,
puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum
memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya
sekedar rutinitas dan tren unjuk beragama.

Puasa merupakan ibadah yang tidak perlu dipamer-pamerkan. Namun,
budaya saat ini, mengarahkan untuk memamerkan bahwa seseorang
berpuasa, salah satunya melalui konsumerisme dan hedonisme.
Konsumerisme mungkin bisa dikatakan bersumber dari individu
masing-masing manusia. Seharusnya setiap individu muslim berkomitmen
di dalam satu bulan ini, bahwa bulan ini adalah bulan "pemusatan
latihan" ibadah, pengendalian diri, kontemplasi, dan sosial. Alangkah
baiknya jika terjadi aliran materi ke arah umat yang membutuhkan,
sebuah tabungan akhirat. Wallahu A'lam Bishshowab.

Di bawah pohon beringin, 21/7/2012

Kamis, 19 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 4

Puasa Ramadhan sebentar lagi, beberapa bahkan telah menjalankannya.
Begitu banyak hal yang dapat dipetik dari puasa Ramadhan untuk
kehidupan manusia di dunia dan hasilnya nanti di alam akhirat.
Ramadhan mengajari bagaimana menjalani hubungan terhadap Allah SWT
yang lebih mendalam, serta hubungan terhadap sesama manusia dan
hubungan terhadap alam yang harmonis. Ramadhan merupakan masa training
dan pemusatan latihan, jika boleh dibilang. Masa training untuk
menjadi pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan ketiga hubungan
tersebut di atas, sehingga menjadi pribadi muslim yang luar biasa,
baik di dalam bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan. Menurut Gus
Solah, berpuasa Ramadhan akan menciptakan kesalehan-kesalehan,
diantaranya adalah kesalehan ritual, kesalehan sosial, kesalehan
profesional, dan kesalehan terhadap alam.

Jika saat ini, lingkungan hidup masih menjadi isu yang setiap hari
semakin menghangat, maka ada baiknya di bulan Ramadhan ini, setiap
individu muslim juga menerapkan kesalehan terhadap alam dan kesalehan
sosial, tentunya setelah kesalehan ritual dijalankan dengan
sebenar-benarnya. Mengutip surat Ar-Rum ayat 41: "Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)". Melihat ayat tersebut,
maka ada baiknya jika setiap setiap diri seorang muslim juga dibekali
kesalehan terhadap alam, dan harapannya bukan hanya di dalam bulan
Ramadhan, melainkan di luar bulan Ramadhan.

Peduli dan ikut berupaya dalam kelestarian alam dan ekosistemnya,
merupakan salah satu wujud syukur akan nikmat yang telah Allah SWT
berikan kepada umat manusia. Nikmat Alamah, merupakan salah satu
nikmat dari sekian nikmat yang diberikan Allah kepada umat manusia.

Jika nikmat alamah tidak disyukuri, maka kemungkinan bencana alam akan
mengintai kehidupan umat manusia. Seperti dalam Quran surat Ibrahim
ayat 7 : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Menurut M. Ali di dalam Kompas, 22
Februari 2002, krisis ekologi pada dasarnya merupakan krisis
spiritual. Juga menurut M. Ali, kerusakan alam juga merupakan dampak
individualisme dan egoisme, selain materialisme yang membuat manusia
kering dari kesadaran ekologis. Begitu juga adanya kepentingan sesaat
dan sempit menjadikan manusia tidak peduli dengan integritas dan
kesehatan ekosistem Bumi. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Al Gore
mengatakan bahwa krisis lingkungan yang melanda dunia merupakan
manifestasi nyata dari krisis spiritual. Menilik hal tersebut, sudah
sepantasnya bulan suci Ramadhan juga dijadikan tempat melatih diri
untuk membentuk kesalehan dan sikap syukur terhadap nikmat Allah,
sehingga bulan Ramadhan nantinya akan meluluskan "sarjana-sarjana"
Ramadhan yang berbakti kepada Allah SWT serta peduli dan mau bergerak
untuk kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat sosial. Wallahu'alam
bishowab.

Di bawah pohon beringin, 20/7/2012

Rabu, 18 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 3

Negara hijau-biru, sebuah nama yang sepertinya patut disematkan di
pundak negara Indonesia, di masa lalu. Mengapa hijau dan biru?,
lantaran peta dari foto satelit biasanya menggambarkan warna hijau dan
biru untuk gugusan kepulauan NKRI. Hijau menandakan vegetasi hutan dan
biru menandakan wilayah perairan. Namun, muncul keraguan saat ini,
lantaran foto satelit untuk wilayah Indonesia memperlihatkan alopesia
berwarna coklat, abu-abu, dan kekuningan diantara warna hijau. Bahkan
tampaknya di waktu sekarang ini, alopesia tersebut bertambah meluas
dan dikhawatirkan beberapa tahun ke depan, hijau dan biru akan
digantikan oleh warna coklat dan abu-abu. Lantas apa artinya?,
kegersangan akan melanda negeri ini.

Warna-warna tersebut hanyalah ibarat, fakta di lapangan, negara
Indonesia telah mengalami kehilangan vegetasi hutan tropis yang sangat
besar, baik kualitas dan kuantitasnya, menurut data, hutan kita hilang
sebesar 3 hektar permenitnya. Bahkan mungkin, hutan tropis yang
tersisa saat ini sebenarnya sudah tidak sanggup lagi menanggung beban
berat untuk menopang kehidupannya sendiri. Terlalu berat memang jika
alam raya Indonesia yang semakin ringkih diabaikan begitu saja.
Negara-bangsa Indonesia hidup di atas keanekaragaman hayatinya, jadi
salah besar jika sekarang ini manusia-manusia Indonesia mengabaikan
kelestarian hayatinya. Pengabaian secara terprogram, rasa-rasanya
telah dan tengah dijalankan oleh kalangan-kalangan tertentu supaya
keanekaragaman hayati tersebut menjadi terlupakan dan tergantikan oleh
keseragaman yang mungkin lebih menghasilkan "uang". Contoh mudahnya,
betapa mudahnya perusahaan-perusahaan asing yang tidak berwawasan
lingkungan beroperasi di suatu kawasan yang notabene mempunyai nilai
keanekaragaman hayati yang tinggi.

Pemerintah dan elite-elite pejabat di atas sana cenderung menutup
mata, mulut, dan hati akan masalah lingkungan hidup dan keanekaragaman
hayati yang tengah terjadi sampai detik ini, bahkan mungkin mereka
telah menutup hatinya akan kondisi ini. Degradasi dan kerusakan
keanekaragaman hayati pun semakin menjadi-jadi, tampaknya tidak
terlihat upaya serius mengatasi ini. Inilah ketidakadilan pemerintah
terhadap lingkungan hidup. Apabila upaya "penghilangan" vegetasi hutan
terjadi terus menerus di negeri ini dan planet bumi ini, maka
kemungkinan sekitar 5 – 10 % spesies yang ada di dunia akan punah
setiap sepuluh tahun sampai 30 tahun mendatang.

Jika di masa lalu kita berbangga bahwa negara Indonesia adalah negara
dengan keanekaragaman hayati terbaik, seperti dalam lirik lagunya Koes
Plus, dimana "tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Maka saat ini
tampaknya kita sering melihat kebalikannya, "tanaman jadi tongkat
kayu". Saat ini pemerintah lebih berbangga akan megaproyek ekonomi
yang berlandaskan pada ekonomi liberal kapitalis yang agaknya
memandang alam raya sebagai bahan baku belaka untuk diolah menjadi
uang. "Ketidak sabaran", mungkin itu yang bisa terucap dari mulut
ketika melihat tingkah polah para pembuat kebijakan di atas sana,
lantaran menginginkan terjadi percepatan aliran uang ke kas negara,
dan juga ke kas pribadinya masing-masing dalam waktu singkat atau
jangka pendek. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, bukankah
melestarikan keanekaragaman hayati atau pembangunan ekonomi yang
berwawasan lingkungan hidup-keanekaragaman hayati justru menghasilkan
keuntungan yang begitu besar dalam jangka waktu panjang?, entahlah.
Kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati merupakan
kekayaan suatu bangsa yang tidak ternilai harganya dan memberikan
kontribusi yang baik langsung maupun tidak langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Saat ini, adanya suara-suara untuk
menerapkan green economy diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati Indonesia,
sehingga negara ini tetap menjadi negara hijau-biru.

Selain itu, adanya komitmen bersama untuk menegakkan UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya diharapkan dapat mengurangi kerusakan kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekargaman hayati Indonesia. Kita
juga harus ingat bahwa lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati yang
dimiliki negara-bangsa ini bukanlah warisan nenek moyang untuk
generasi sekarang, melainkan titipan yang harus dan wajib kita
sampaikan ke generasi berikutnya. Sesungguhnya keanekaragaman hayati
merupakan unsur terpenting negara-bangsa ini dalam menapaki pergaulan
internasional di jaman globalisasi, karena keanekaragaman hayatilah,
Indonesia dikenal dunia internasional, dan keanekaragaman hayatilah
yang membuat Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi ratusan suku
yang kemudian menamakan diri sebagai bangsa Indonesia. Tanpa
keanekaragaman hayati, maka Indonesia akan limbung. Seperti yang
dikatakan oleh seorang naturalis Henry David Thoreau, bahwa "apa
gunanya rumah, jika anda tidak mempunyai sebuah planet untuk
meletakkannya". Serta jangan sampai kita baru menyadari pentingnya
kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati setelah bencana
memporak-porandakan negara kita dan bumi kita, seperti pepatah Indian
yang mengatakan bahwa "hanya bila pohon terakhir telah tumbang
ditebang, hanya bila tetes air sungai terakhir telah tercemar, hanya
bila ikan terakhir telah ditangkap, maka barulah kita sadar bahwa uang
di tangan tidak dapat dimakan". Wallahualam bishowab.

19/7/2012

Selasa, 17 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 2

"Galau" tampaknya bukan hanya tengah melanda anak-anak ABG dan remaja
negeri ini, tetapi penyakit "galau" rasa-rasanya telah menginfeksi
negara-bangsa Indonesia. Di masa Pax consortis, dimana republik ini
cukup berperanan di dalam ekonomi dunia, banyak warga negaranya justru
tengah dilanda kegelisahan akan masa depan nation-state Indonesia.
Kekhawatiran akan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan masih saja
menghantui setiap individu-individu bangsa Indonesia. Inilah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebuah negara-bangsa dengan wilayah yang
menjembatani dua benua dan dua samudera, serta dengan berbagai masalah
sosial-budaya-ekonomi-lingkungan yang belum kunjung terselesaikan.
Seperti yang dituliskan Paulinus Yan olla di dalam rubrik Opini Kompas
tertanggal 20 Februari 2012, jauhnya jarak antara klaim keberhasilan
pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya
kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan
publik. Tampaknya kondisi inilah yang membuat kehidupan bangsa semakin
tidak tentu arah, bimbang, bagaimana menyikapi antara "kehebatan" dan
"keberhasilan" atas kestabilan perekonomian di tingkat atas, dan
kesemrawutan perekonomian di tingkat bawah.

Lantas apa yang akan terjadi kemudian?, ketidakpercayaan publik
terhadap pemerintah, apalagi saat ini kondisi justru diperparah dengan
sikap mental materialis dan borjuis yang ditunjukkan oleh elite-elite
politik negeri ini, serta tentu saja korupsi. Inilah tampaknya efek
samping dari sebuah sistem demokrasi a la barat, siapa "berkesempatan"
maka dialah yang akan "kaya". Pancasila yang menjadi dasar negara
masih dan hanya dipahami secara parsial oleh mereka dan juga oleh
kita, rakyat Indonesia, lantaran belum ada panutan yang bisa dijadikan
contoh.

Lantas salahkah sistem yang kita anut tersebut?, karena kita beriklim
demokrasi, maka dipersilakan untuk berpendapat. Jika menilik
tahun-tahun awal negara ini berdiri, kontemplasi founding father
Soekarno mengenai sosiodemokrasi tampaknya dapat menjadikan bangsa ini
bebas dari dikte negara-negara barat. Tampaknya sosiodemokrasi menjadi
penengah antara persaingan sistem bernegara waktu itu yang ditawarkan
oleh negara barat dan yang ditawarkan oleh negara sosialis komunis.
Secara garis besar, gagasan Bung Karno dalam berdemokrasi yang benar
adalah demokrasi yang melahirkan kesejahteraan sosial. Ekonomi
Pancasila dengan pengakuan hak individu sebagai penggerak ekonomi yang
ditawarkan sistem sosiodemokrasi tampaknya berbeda dengan sistem
demokrasi a la barat saat ini, dimana manusia dianggap sebagai "mesin"
pencetak laba, serta sistem sosialis komunis yang mengkebiri hak
individu. "Memanusiakan manusia", tampaknya begitulah yang ingin
diwujudkan Bung Karno. Jika ditilik lebih mendalam, memang susah
penerapan apa yang dinamakan ekonomi pancasila, karena ekonomi dunia
lebih condong kepada dua kutub yang bersebelahan, antara liberal
kapitalis dan sosialis komunis.

Warga negara tampaknya menginginkan suatu kondisi negara-bangsa yang
mandiri dan berdikari. Tentu masih ada di dalam benak, pidato Bung
Karno yang berbunyi, "America……… go to hell with your aid", pidato
tersebut tampaknya merupakan sebuah kepiawaian seorang pemimpin untuk
berani tidak didikte asing (Amerika) waktu itu, sehingga dengan
harapan, bangsa yang baru merdeka kala itu tidak merengek-rengek
meminta bantuan finasial terus-menerus, dan harapannya bangsa ini bisa
mandiri dan berdikari di masa depan. Sikap seperti Bung Karno yang
berpikiran ke depan kala itu, juga sejalan dengan sikap presiden
Phillipines, Manuel Quezon, beliau mengatakan, "lebih baik pergi ke
neraka tanpa Amerika, daripada pergi ke surga bersama-sama dengan
dia".

Pidato Bung Karno tahun 1965 yang berbunyi, " jika rakyat dan para
pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangkan daya kreasinya, pastilah
kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pastilah kita tidak perlu
impor barang-barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat
mengekspor barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip
'berdiri di kaki sendiri' dalam ekonomi". Namun, yang terjadi saat ini
tampaknya kebalikan dari apa yang diucapkan Bung Karno empat puluh
tujuh tahun yang lalu. Selain berkonsep berdikari dan mandiri,
jauh-jauh hari Bung Karno sudah merenungkan bahwa negara ini
memerlukan suatu toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan,
menguasai sumberdaya strategis, mengakui potensi lokal, serta berperan
aktif dalam pembangunan untuk menuju Indonesia yang tangguh. Namun,
saat ini, konsep dan gagasan founding father kita rasa-rasanya
dianggap sebagai sesuatu yang sudah usang dan tidak sejalan dengan era
reformasi dan globalisasi. Yang terjadi saat ini adalah ketimpangan
dan ketidakseimbangan yang kemudian akan menyebabkan negara-bangsa
Indonesia menjadi goyah dan keropos. Wallahu'alam Bishowab.

Di Bawah Pohon beringin, 18/7/2012

Senin, 16 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 1

Ada yang bilang, negara ini kekurangan stok negarawan. Mungkin ada
benarnya, dan mungkin juga tidak begitu, hanya belum dipertemukan
saja. Lantas apakah begitu berwarna-warninya partai-partai politik dan
banyaknya sosok-sosok di gedung DPR-MPR belum cukup dikatakan sebagai
stok negarawan di Indonesia?, mungkin, tetapi sepertinya mereka bukan
tipikal negarawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud
negarawan adalah ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan) dan
pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara
dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan
kebijaksanaan dan kewibawaan, bisa dikatakan bahwa beliau merupakan
pahlawan besar dan agung. Lantas siapakah mereka yang ada di parlemen
dan pemerintahan?, entahlah.

Gampangnya, jika mereka yang ada di parlemen dan pemerintahan tidak
mempunyai ciri negarawan seperti yang ada dalam KBBI, maka bisa
dibilang mereka bukanlah negarawan. Lalu, siapa mereka?, media-media
massa sudah sangat rutin memberitakan mengenai sepak terjang mereka.
Dan penilaian pasti akan sangat relatif, karena iklim kita adalah
demokrasi. Namun, rasa-rasanya mayoritas dari kita pasti berpikir
mereka hanyalah para pencari kesenangan belaka. Entah benar, entah
salah, terserah yang menilai lantaran iklim kita adalah demokrasi.

Apatah yang dikatakan Willem Walraven ada benarnya jika menilik
kondisi negara bangsa yang semrawut ini. Menurut Walraven,
orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis, sama sekali bukan
idealis. Ia juga mengatakan, orang Indonesia bukan marxis, bukan
sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang borjuis. Apabila apa
yang dikatakan Walraven benar-benar bercokol di dalam diri kita,
bangsa Indonesia, maka habis sudah negara bangsa ini. Dan terkhusus
jika mereka-mereka yang ada di sana, parlemen dan pemerintahan, serta
yang akan "bertarung" ke arah sana, maka benar-benar habis sudah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rasa-rasanya kehidupan yang
materialis dan borjuis sudah ditunjukkan oleh mereka-mereka sang
pejabat dan elite politik kita. Bukan melayani rakyat sesuai dengan
idealisme wakil rakyat, tetapi merengek-rengek manja minta dilayani.

Lebih miris lagi jika apa yang ditulis Wischer Hulst benar adanya dan
tersembunyi dalam jiwa setiap bangsa Indonesia. Melalui buku
"Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici", Hulst mengatakan
bahwa Indonesia adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia
dilahirkan dengan naluri atau insting politik, dan mereka mati dengan
itu pula. Jika dicermati, rasa-rasanya memang begitulah bangsa
Indonesia. Bukti sudah sering kita baca dan tonton di media-media
massa. Politik sudah menjadi "bidang pekerjaan" baru di negeri ini,
ribuan orang berjibaku untuk dapat meraih pekerjaan itu. Asal dapat
mencicipi "politik", humanisme dan moralitas berani mereka langgar.
Begitu menjanjikankah politik itu?, buat mereka tampaknya begitu dan
sangat menjanjikan jabatan di bidang politik itu, materi dan
kekuasaan, itulah yang dijanjikan politik. Namun, bukankah politik
diibaratkan sebagai barang yang paling kotor dan lumpur-lumpur yang
kotor (Soe Hok Gie). Entahlah, karena kita berdemokrasi, silakan
beropini sendiri.

Bangsa ini haruslah bisa lepas dari pesimisme-pesimisme tersebut. Jika
terpaksa jatuh ke dalam kubangan lumpur kotor politik; ada baiknya
berlakulah taat asas, berwibawa, bijaksana, dan berpikir untuk
kemajuan seluruh golongan bangsa Indonesia. Ah, entahlah, tampaknya
pesimistis tersebut malah semakin membuncah manakala melihat bangsa
ini yang saling sikut kanan-sikut kiri demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Entah sampai kapan kondisi ini menghantui negara bangsa
ini. Habis sudah negara bangsa ini, Bung Karno-Hatta-Sjahrir dan
negarawan-negarawan lainnya mungkin akan menitikkan air mata melihat
kondisi NKRI saat ini.

Percaya atau tidak, karakter materialis dan borjuis seperti yang
dikatakan Walraven sudah mendarah daging di kehidupan setiap bangsa
Indonesia, contohnya mungkin kita sendiri. Tampaknya untuk waktu ke
depan, mungkin tidak akan pernah terdengar lagi "titik darah
penghabisan untuk tanah air", tetapi "titik darah penghabisan asal
saya bisa senang". Nasionalisme dan patriotisme pun hanya akan menjadi
hiasan-hiasan di buku-buku pelajaran anak sekolahan, yang mungkin
tidak akan pernah dipahami maknanya. Terlihat seperti sebuah slogan
absurd yang sampai kapanpun akan begitu-begitu saja, bahkan mungkin
akan hilang dengan sendirinya. Mengapa kita tidak berusaha menjadi
Gie, yang percaya bahwa untuk menjadi patriot-patriot yang baik harus
mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh.


Di bawah pohon beringin, 17/7/12

Selasa, 10 Juli 2012

Corat-Coret Siang Bolong

Semilir angin laut di siang terik tidak menghalangi niatan seorang pemuda lusuh mendekati sesosok kakek tua berjubah putih dengan beberapa sobekan di sana-sini. Tepat di atas batu kali dan di bawah pohon beringin yang rindang, sesosok kakek tua terlihat tengah bersandar pada batang pohon beringin yang kokoh itu. Semilir angin tampaknya membuat kedua matanya terpejam.

"Nuwun séwu mbah", ucap lirih pemuda lusuh sambil berjalan jongkok mendekati kakek tua itu.

"Héh, ono opo?", tiba-tiba kedua mata sayu sesosok kakek tua itu terbuka, masih sambil bersandar di batang pohon beringin.

"Nuwun sewu, nyuwun ngapuntên mbah, kulo sampun ganggu mbah."

"Ora opo-opo, arêp opo kowé lé?"

"Niki mbah kulo pengen ngêrtos punapa sakniki sampun mlêbêt jaman goro-goro?"

"Sik, sik, tak takoni dhisik, opo kowé wis ngêrti opo iku jaman goro-goro?"

"Déréng ngêrtos mbah, lha pripun mbah?"

"Jaman goro-goro iku nék asah, asih, lan asuh wis ilang, gantiné asa, asi, lan asu."

"Pripun niku mbah?"

"Wis dhêlokono jaman saiki, asa iku pêmêrintah wis ora pêduli karo rakyaté, asi iku akéh sing podho ngunggulke nafsuné, lan asu iku akéh sing duwé kêlakuan koyo kéwan."

Seiring dengan angin yang agak ribut, tiba-tiba sesosok kakek tua itu menghilang.

"Mbah, mbah, mbah!", panggil pemuda lusuh itu.