Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 September 2021

Tetangga saya #2 : Warga Asli dan Bukan Asli

Komplek perumahan yang saya tinggali ini dahulunya adalah bekas sawah dan rawa. Kondisi saat ini tentunya berbeda 180 derajat dari 20 atau 30 tahun yang lalu. Dahulu, mungkin di tempat saya berdiri ini hanyalah sawah dan mungkin juga rawa dengan sangat jarang manusia. Saat ini, tempat saya berdiri adalah paving dengan pemandangan kanan kiri berupa rumah berhiaskan lalu-lalang manusia dan kendaraan bermotor. Menurut cerita pengembang, perumahan ini berdiri karena aktivitas perkantoran di sekitar yang melaju dengan sangat cepatnya sehingga berbanding lurus dengan peningkatan populasi manusia di tempat ini. 


Pak Gembul, salah seorang yang pernah bekerja di pengembang kawasan perumahan ini menuturkan bahwa 100 persen warga yang membeli perumahan ini adalah bukan warga lokal. Dan senada dengan penuturan pak Gembul; menurut pak Kenthung yang merupakan ketua RW, saat ini warga yang mendiami perumahan ini bisa dipastikan 100 persen bukanlah warga lokal yang dahulunya menggarap sawah sebelum dijadikan perumahan.


Yang menjadi lucu akhir-akhir ini dan terkait dengan pemilihan ketua RW, warga menjadi terkotak-kotak, lantaran ada sejumlah warga yang membentuk kelompok-kelompok, tentu tujuannya untuk mendukung calon ketua RW. Lucunya, ada salah satu kelompok yang terkesan meniadakan kelompok lainnya dan bahkan seakan-akan meniadakan eksistensi semua warga sebagai warga yang tinggal di perumahan ini. Kelompok tersebut menamakan dirinya sebagai kelompok Pemurnian.


Kelompok Pemurnian ini diinisiasi oleh pak Gombyor, yang juga sebagai ketua salah satu perkumpulan warga. Perkumpulan itu mereka sebut dengan perkumpulan Putih. Menurut sebagian besar warga, perkumpulan Putih bersifat eksklusif. Perkumpulan Putih ini sering sekali menyebarkan kabar-kabar yang membuat warga perumahan menjadi gaduh. Lebih sering lagi anggota kelompok Putih selalu masif menyebarkan kabar yang belum tentu kebenarannya melalui whatsapp dan facebook. 


Pak Kenthung yang menjabat sebagai ketua RW sebenarnya berulang kali menegur pak Gombyor, tapi ya ibarat masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Malahan setiap kali habis ditegur, kabar-kabar yang belum tentu kebenarannya tiba-tiba masif beredar yang menyudutkan pak Kenthung.


Momen pemilihan ketua RW tampaknya benar-benar akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pak Gombyor beserta kelompok Pemurnian untuk meraih simpati warga lainnya. Mereka akan menyerang calon selain pak Cemet, yang merupakan calon yang mereka usung. Isu yang dilontarkan kelompok Pemurnian saat ini dan terkesan absurd adalah larangan bagi anggota kelompok dan simaptiasannya memilih calon ketua RW yang bukan warga perumahan asli, padahal semua yang tinggal di perumahan ini adalah pendatang.


Berkumpul, berorasi, membentangkan spanduk yang bertuliskan "Saya warga Asli Perumahan" terkesan aneh bin ajaib sekaligus lucu. Kesan yang tertangkap justru adalah stigma warga yang tidak ikut kelompok mereka dan tidak memilih pak Cemet adalah bukan warga asli perumahan ini. Jika stigma ini terus berlanjut dan bahkan berkembang dan beririsan dengan kondisi lainnya tentunya akan sangat berbahaya bagi kerukunan dan keguyuban warga perumahan yang semuanya adalah pendatang.


Begitulah lucunya tetangga saya.


- Cerita adalah fiksi belaka -


Selasa, 21 September 2021

Tetangga Saya #1 : Ritual Setiap September




Tetangga saya semuanya lucu-lucu. Ada yang lebih lucu lagi yaitu salah satu tetangga yang rumahnya paling besar dan megah di komplek perumahan saya. Rumahnya sangatlah besar dengan peghuni yang jumlahnya sangat banyak dan semuanya masih berkerabat dekat; halamannya sangatlah luas dan ditumbuhi banyak tanaman buah yang rindang, serta kolam-kolam besar berisi ikan-ikan yang mungkin tidak dimiliki oleh rumah tangga lainnya di komplek perumahan ini. Bisa dibilang tetangga saya tersebut sangatlah kaya raya, ya bisa dibilang juga banyak sumberdaya alamnya.


Namun, dalam kehidupan rumah tangganya, bisa dibilang antar kerabatnya tidaklah terlalu akur. Kata tetangga-tetangga yang lain sih banyak intrik di dalam rumah besar itu. Bahkan lucunya, antar anggota keluarga yang tinggal di rumah besar itu malah membuat geng atau kelompok-kelompok. Kata Lik Karjo, seorang tukang kebun rumah itu, geng-gengan dalam rumah besar itu malah saling berkompetisi, bisa dikatakan satu sama lain saling meniadakan. Katanya lagi, akhir-akhir ini masing-masing geng sangat kentara ambisinya untuk menguasai rumah beserta lahannya itu.


Pak Gering masih tercatat sebagai kepala keluarga rumah besar itu. Badannya tinggi, tidak terlalu kurus, rambutnya selalu klimis, dan umurnya sekitar 60-an. Pak Gering sangatlah murah senyum dan ramah kepada setiap orang yang tinggal di kompleks perumahan saya, dan juga tidak pernah rasis atau membeda-bedakan. Namun, sebagian kerabatnya yang tinggal di rumah itu sangat membenci pak Gering, termasuk salah satu anak kandungnya. 


Mas Cempluk, salah satu anak kandung pak Gering yang membenci bapaknya, dan dia ikut mendirikan salah satu geng pembenci pak Gering. Pernah suatu waktu, sekitar tiga tahun lalu, mas Cempluk menyebarkan suatu kabar bahwa pak Gering akan menjual seluruh aset ke tetangga sebelah kiri rumahnya. Padahal jika dilihat-lihat, hal itu tidaklah mungkin, karena tetangga sebelah kirinya bukanlah termasuk keluarga yang punya banyak uang.


Mas Cempluk memang tidak suka kepada keluarga pak Lurit, tetangga sebelah kiri rumahnya dan masih berkerabat jauh. Mas Cempluk bersama gengnya sering sekali mencurigai seluruh keluarga pak Lurit; katanya sih keluarga pak Lurit membawa sial bagi rumahnya. Setiap ada kesialan selalu dikaitkan dengan pak Lurit; misalnya ketika anak mas Cempluk jatuh dari pohon jambu, selalu saja dikaitkan keberadaan rumah pak Lurit di sebelah kiri rumahnya; misalnya lagi, mas Gombloh, sepupu mas Cempluk yang masih satu geng, menyalahkan keberadaan rumah pak Lurit lantaran dia berdarah terkena arit saat membersihkan rumput di halamannya, padahal kecerobohannya sendiri.


Intinya mereka suka sekali mengkambing-hitamkan keluarga pak Lurit, padahal seluruh keluarga pak Lurit selalu baik kepada keluarga mas Cempluk. Sering sekali, pak Lurit menggagalkan pencurian di rumah pak Gering yang memang tidak memiliki pagar. Seluruh tetangga bahkan pak Gering dan kerabat yang pro kepada pak Gering selalu mengapresiasi langkah pak Lurit, tetapi tidak bagi mas Cempluk beserta gengnya. Malah seringkali, keluarga pak Lurit dikambing-hitamkan untuk membuat keonaran di dalam keluarga pak Gering. 


Mas Cempluk beserta gengnya menetapkan setiap bulan September adalah puncak kesialan bagi rumahnya, meskipun ini hanya asumsi mereka belaka. Mas Cempluk beserta gengnya akan membuat ritual aneh setiap bulan September, biasanya di tanggal 15 September, dimana mereka akan berkumpul di halaman depan rumahnya, lalu membakar foto pak Lurit yang mereka cetak sendiri dan berorasi menyuruh keluarga pak Lurit untuk tidak tinggal di sebelah kiri rumahnya, melainkan disuruh pindah ke sebelah kanan rumahnya.


Ya itulah salah satu tetangga saya yang lucu.


- Fiksi Belaka -




Dapat didengarkan di Youtube Tetangga Saya Podcast

Jumat, 04 Juli 2014

Bencana Di Dusun Gamping

Hanya tersisa tiga pohon jati, satu pohon randu, dan satu pohon beringin  yang hidup di dusun Gamping. Kelima pohon yang sudah berumur tua tersebut tumbuh saling berdekatan satu sama lain membentuk kanopi yang begitu rimbun, sehingga ketika siang hari, tempat tersebut sangatlah teduh. Banyak warga yang melepas lelah di bawah kelima pohon tersebut ketika siang menjelang. Warga dusun sangat menghormati keberadaan kelima pohon tersebut, bahkan mbah Kuncung, sesepuh dusun pernah berpesan bahwa setiap warga harus mempertahankan kehidupan kelima pohon tersebut. Tidak ada yang tahu pasti maksud dari pesan mbah Kuncung, tetapi banyak warga yang menebak bahwa kehidupan kelima pohon tersebut berpengaruh terhadap kehidupan sumber air dusun Gamping. Memang di bawah kelima pohon tua tersebut terdapat satu sumur yang mungkin umurnya setua kelima pohon yang menaunginya. Ada yang bilang, sumur tua tersebut dibangun oleh salah satu wali songo, dan ada juga yang berpendapat bahwa sumur tua tersebut sudah ada sejak jaman Majapahit. Menurut penuturan warga, air di sumur tua tersebut tidak pernah berkurang sedikitpun meski setiap hari dipergunakan oleh hampir semua warga dusun. “Sumur bertuah”, begitu warga dusun menyebutnya, bahkan air dari sumur tersebut dipercaya menyembuhkan segala macam penyakit.

Namun, hari ini terjadi keadaan yang tidak biasanya, suatu keanehan bagi warga dusun Gamping, air sumur tiba-tiba mengering, sama sekali tidak ada setetes air pun di dasar sumur.  Tidak ada yang tahu penyebabnya. Beberapa warga menduga bahwa mengeringnya air sumur disebabkan oleh menghilangnya mbah Kuncung sejak kemarin malam. Lik Suket, anak sulung mbah Kuncung berujar bahwa bapaknya belum pulang ke rumah semenjak maghrib kemarin, setelah sebelumnya berpamitan untuk sholat maghrib berjamaah di dusun Jambu, yang terletak sekitar sepuluh kilometer dari dusun Gamping. Sejak tengah malam, keluarga mbah Kuncung sudah berpencar untuk mencari keberadaannya, tetapi sampai pagi ini belum membuahkan hasil. Sebenarnya warga tidak begitu gempar mendengar mbah Kuncung menghilang, namun mereka menjadi gempar manakala air sumur mengering yang kemudian mereka kaitkan dengan menghilangnya mbah Kuncung. Sebelumnya, mbah Kuncung sering beberapa kali menghilang, tetapi tidak disertai oleh mengeringnya sumur. Dari kejadian menghilangnya mbah Kuncung sebelumnya, banyak warga beranggapan bahwa mbah Kuncung sering bertapa di gua Codot yang letaknya di ujung dusun Gamping. “Bertapa untuk keselamatan dusun”, begitulah warga dusun Gamping menyebutnya.

Tidak banyak warga dusun yang mengenal pribadi mbah Kuncung. Mbah Kuncung merupakan tipe orang pendiam, hanya berbicara jika perlu. Namun, warga dusun menyebut bahwa mbah Kuncung adalah salah satu orang yang membawa kebaikan bagi dusun Gamping. Warga yang mempunyai masalah, baik masalah keluarga maupun masalah ekonomi biasanya meminta bantuan mbah Kuncung. Nasehat-nasehat mbah Kuncung biasanya selalu dinanti-nantikan oleh hampir semua warga ketika acara sedekah bumi berlangsung. Meskipun umurnya yang sudah mencapai delapan puluh tahun, fisik mbah Kuncung masih terlihat kuat dan bugar. Setiap hari sehabis subuh dan ashar, mbah Kuncung selalu mengunjungi sumur tua dan selalu menyapu lantai sekitar sumur dari daun-daun kering yang berserakan.

Banyak warga bertanya-tanya mengenai keanehan yang terjadi hari ini. Beberapa warga beranggapan bahwa mengeringnya sumur dan menghilangnya mbah Kuncung diakibatkan oleh murkanya mbah Kuncung terhadap perilaku beberapa warga dusun Gamping yang tidak menuruti apa yang telah dipesankannya. Beberapa warga dusun dengan begitu mudahnya menjual tanahnya kepada orang-orang asing.

“Jika kalian terus menyerahkan tanah kalian kepada mereka, maka kekeringan akan melanda dusun Gamping!”, ucap mas Konyik, salah satu warga dusun menirukan ucapan mbah Kuncung beberapa waktu lalu.

Bencana besar benar-benar melanda dusun Gamping hari ini. Hampir seluruh warga dusun ribut dan kebingungan mencari air. Beberapa warga sudah berbondong-bondong membawa jerigen air dan ember-ember air menuju dusun Jambu. Dusun Jambu adalah dusun terdekat dari dusun Gamping, dan di sana terdapat beberapa sumber air. Beberapa warga terlihat mengantri di salah satu sumur dusun Jambu. Bahkan salah satu warga, mbah Rejo pingsan lantaran saking lamanya mengantri air.

Menurut mas Konyik, mengeringnya sumur dusun Gamping akan menyebabkan mengeringnya pula sumur-sumur lain di dusun sekitar dusun Gamping, tidak terkecuali dusun Jambu. Diantara warga yang mengantri air, mas Konyik terus menerus mengingatkan warga dusun Gamping untuk tidak berlebihan mengambil air di dusun Jambu, karena dusun Jambu adalah harapan satu-satunya sumber air bagi warga dusun Gamping dan dusun Jambu. Sebagian warga menganggap apa yang dikatakan mas Konyik ada benarnya, sedangkan sebagian yang lain menganggap bahwa mas Konyik hanyalah pembual.

Dusun Gamping hari ini benar-benar terlihat gersang, terik begitu menyengat kulit dan sama sekali tidak ada air. Beberapa warga berdiam di rumahnya, dan beberapa warga lainnya berdiam di bawah rindangnya kanopi yang disusun oleh lima pohon tua. Hanya lagu campursari yang mengalun beriringan dengan suara-suara ledakan dinamit di kejauhan serta bercampur teriknya mentari siang, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari warga yang berteduh tersebut. Beberapa dari mereka bertelanjang dada karena kegerahan dan diam menundukkan kepala, beberapa lainnya lagi bersandar di batang pohon sambil menatap langit. Mungkin penyesalan telah menghinggapi hati mereka.

Waktu pun bergulir dengan cepat, tidak terasa siang yang begitu terik berganti menjadi sore yang teduh. Mentari yang mulai jatuh ke ufuk barat melepaskan cahayanya yang begitu hangat, membentuk kilauan-kilauan kekuningan di tanah kapur dan  bukit kapur di sekeliling dusun Gamping. Waktu beranjak, tetapi sumur tetap kering dan mbah Kuncung tidak kunjung muncul. Raut-raut wajah kekhawatiran mulai terlihat di setiap warga dusun. Mungkin mereka sudah merasa khawatir lantaran kehidupan mereka di dusun Gamping akan berhenti mulai hari ini.

“Ini adalah salah kita semua, kenapa kita begitu mudahnya menjual tanah kita kepada orang-orang asing itu, lihatlah apa yang pernah dikatakan mbah Kuncung akhirnya terjadi.”, ujar mas Konyik diantara warga dusun yang masih berdiam di bawah rindangnya lima pohon tua.

“Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang, sudah tidak mungkin kita mengambil tanah-tanah kita lagi, mereka sudah memulai usahanya.”, jawab pak Brengos, salah satu warga dusun yang masih berdiam di bawah pohon tua tersebut.

“Ya, ini salah kami, betapa bodohnya kami, begitu mudahnya kami menggadaikan kehidupan dusun Gamping dengan beberapa harta yang tidak begitu bernilai.”, ujar pak Sukun, salah satu warga dusun yang tengah melihat-lihat ke arah dalam sumur.

Tidak begitu lama, adzan maghrib pun berkumandang, beberapa warga masih terdiam di bawah rindangnya pohon-pohon tua, beberapa lagi bergegas menuju rumah masing-masing. Tampaknya warga dusun masih belum percaya terhadap apa yang menimpa dusun ini. Air adalah sumber dari kehidupan, ketika air menghilang sama sekali, maka kehidupan pun akan lenyap, mungkin itulah yang mengendap di dalam pikiran setiap warga dusun saat ini. Dari kejauhan terlihat beberapa teriakan warga dusun yang mengajak untuk bertobat.

Selepas maghrib, beberapa warga menuju rumah mbah Kuncung yang letaknya tidak begitu jauh dari sumur tua dan lima pohon tua. Mereka merasa penasaran dengan apa yang tengah terjadi pada mbah Kuncung, lantaran sudah satu hari ini mbah Kuncung tidak tampak batang hidungnya. Beberapa warga menganggap bahwa mbah Kuncung sengaja disembunyikan oleh keluarganya, dan yang lain beranggapan bahwa mbah Kuncung disembunyikan makhluk gaib. Rumah mbah Kuncung hanyalah rumah joglo kuno yang beralaskan tanah dengan halaman luas tanpa ditumbuhi pohon apapun. Saat ini rumah tersebut ditinggali Lik Suket beserta istri dan ketiga anaknya. Sebenarnya hampir semua warga merasa tidak begitu suka dengan Lik Suket karena sikap Lik Suket terhadap mbah Kuncung yang tidak mencerminkan sikap seorang anak kepada orang tuanya dan sering sekali Lik Suket bersikap semena-mena terhadap warga dusun. Selama ini hampir semua warga enggan berhubungan dengan Lik Suket dan keluarganya, bahkan sekedar menyapa pun mereka enggan. Jika bukan karena figur mbah Kuncung yang dituakan di dusun Gamping, mungkin Lik Suket beserta keluarganya sudah diusir dari dusun.

Dengan membawa obor, beberapa warga mengerumuni rumah mbah Kuncung, beberapa mengucapkan salam. Namun tidak terdengar jawaban dari dalam rumah, hanya sayup-sayup terdengar suara rintihan kesakitan. Suara rintihan kesakitan itu semakin lama semakin jelas terdengar. Beberapa warga dengan dipimpin mas Konyik memberanikan diri untuk masuk ke rumah joglo kuno itu. Pintu berbahan kayu jati yang tidak terkunci memudahkan mereka untuk masuk ke dalam rumah mbah Kuncung. Keadaannya sepi, tidak ada seorang pun keluarga mbah Kuncung di dalam rumah, hanya suara rintihan yang mereka dengar. Mas Konyik dan pak Brengos langsung mencari dan menuju sumber suara tersebut. Suara rintihan tersebut berasal dari sebuah kamar tidak jauh dari ruang dapur.

“Brakkk!”, suara pintu didobrak.

Betapa kagetnya mas Konyik dan pak Brengos mendapati mbah Kuncung terkapar dan merintih kesakitan di lantai kamar. Dengan dibantu warga, mbah Kuncung dibawa menuju rumah mantri di dusun Jambu. Di sekitar tempat mbah Kuncung, didapati sepucuk surat dengan kop surat sebuah perusahaan penambangan batu gamping.  Surat tersebut merupakan surat persetujuan mengenai pembelian tanah, dan di bagian bawah surat belum berisikan tanda tangan mbah Kuncung selaku pemilik tanah.

Sejak sekitar enam bulan lalu, banyak perusahaan penambangan dan pengolahan batu gamping melirik potensi batu gamping di dusun Gamping. Mereka mengiming-imingi warga dusun dengan uang yang banyak supaya warga menjual tanahnya dan menandatangani surat persetujuan penambangan. “Ganti untung”, perusahaan tersebut menyebutnya.  Banyak warga yang tertarik dengan penawaran perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga beberapa warga sudah melepas tanahnya. Sejak satu bulan lalu, kegiatan penambangan di dusun Gamping sudah dilakukan, dan hari ini terjadi peningkatan kegiatan penambangan batu gamping.  Mbah Kuncung merupakan orang yang menolak penambangan batu gamping tersebut, mbah Kuncung selalu memperingatkan warga dusun akan bahayanya penambangan batu gamping. Namun, beberapa warga dusun tidak menghiraukan peringatan mbah Kuncung, karena banyak dari mereka yang terjerat kemiskinan.

“Kita akan semakin miskin ketika kita menjual tanah ini kepada penambang batu gamping.”, begitulah kira-kira kalimat yang pernah terlontar dari mulut mbah Kuncung.


Akhirnya,  kemiskinan dan lenyapnya kehidupan benar-benar akan mengancam dusun Gamping. Warga pun hanya berharap semoga bencana ini hanyalah bencana sesaat. Mereka masih berharap bahwa esok sumur tua di bawah lima pohon tua akan berisi air kembali.

Senin, 30 Juni 2014

Jangan Rusak Rumah Kami

"Mbah, katanya gunung ini sebentar lagi akan hilang ya?", tanya seorang muda kepada sesosok tua.

"Mungkin nak.", jawab sesosok tua sambil mengetuk-ngetuk pelan salah satu alat berat yang berdiri kokoh di sampingnya dengan tangannya yang sudah terlihat keriput.

"Lantas, bagaimanakah tempat bermain kami?", tanya seorang muda itu lagi.

"Entahlah.", sambil berjalan berlalu meninggalkan seorang muda itu.

Matahari belum menampakkan sinarnya, tetapi suhu udara sudah terasa gerah. Suara burung yang sejatinya mengisi celah pagi, hari ini tidak terdengar lagi. Suasana masih begitu gelap lantaran tebing-tebing tinggi menaungi tempat mereka berdiri.

"Mbah, mbah, mbah, jangan pergi dulu mbah, saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rumahku ini!", teriak seorang muda itu sambil berjalan bergegas menghampiri sesosok tua yang tengah berjalan pelan meninggalkannya.

"Ada apa nak?", ujar sesosok tua sambil menghentikan langkah kecilnya dan berbalik menghadap ke arah seorang muda.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan gunung ini?", tanyanya lagi.

"Kita harus melupakan gunung ini nak, kita harus melupakan sapi-sapi kita, kita harus melupakan sumber air di sana yang menjadi tempat bermainmu kemarin.", tegas sesosok tua tersebut sambil menunjuk ke arah timur.

“Kenapa mbah?"

"Kita harus taat pemerintah nak.", ujar sesosok tua sambil berjalan pelan meninggalkan seorang muda tersebut.

Meskipun matahari masih malu untuk menampakkan sinarnya, sekelompok orang yang berjumlah sekitar sepuluh orang berjalan bergegas melalui sesosok tua dan seorang muda tersebut, tanpa sapa dan berlalu begitu saja menuju beberapa alat berat yang berdiri kokoh.

Seorang muda itu hanya bisa menatap heran ke arah sekelompok orang tersebut. Matanya terlihat bertanya-tanya mengenai kejadian yang belum pernah dia temui sebelumnya. Seketika itu, sesosok tua berhenti berjalan dan berbalik arah menghampiri seorang muda.

"Kenapa nak?", tanya sesosok tua sambil menepuk pundak seorang muda tersebut.

"Siapa mereka mbah?"

"Dan apa yang mereka lakukan di sini?", tanyanya.

"Mbah juga tidak tahu pasti nak, yang pasti kita disuruh pemerintah untuk meninggalkan gunung ini."

"Kenapa mbah?, bukankah ini rumah kita, rumah sapi-sapi kita, rumah kambing-kambing kita?"

"Hanya itu yang mbah tahu.", ujar sesosok tua sambil menundukkan kepala.

"Siapa mereka mbah kok berani melarang kita di sini!"

Tidak berselang lama, dari arah yang berlawanan tiba dua buah truk besar, satu berisi kelompok polisi dan satu berisi kelompok tentara. Kedua truk besar tersebut berlalu begitu saja melewati seorang muda dan sesosok tua tersebut. Tanpa sapa dan tanpa permisi. Segera setelah kedua truk mendekati sekelompok orang yang sudah datang terlebih dahulu, alat-alat berat pun segera dinyalakan.

Kedua anak manusia yang sejak subuh berada di tempat tersebut hanya bisa menatap keriuhan suasana pagi yang masih abu-abu.

"Ayo nak kita bergegas pergi dari sini.", ujar sesosok tua sambil menggandeng tangan seorang muda itu.

"Tidak mbah, saya tetap di sini sampai saya mengetahui apa yang mereka lakukan terhadap rumah kita ini.", jawabnya sambil berusaha melepaskan tangan sesosok tua dari tangannya.

"Jangan nak, mari kita pergi dari sini sebelum mereka menangkap dan memasukkanmu ke penjara.", ujar sesosok tua sambil berrusaha meraih tangan sorang muda itu.

Tidak lama, seorang muda itu berlari menuju kerumunan orang-orang yang tengah mulai berkegiatan di sekitar alat-alat berat pertambangan. Sesosok tua masih berdiri di tempatnya berdiri, dia tidak bisa menahan seorang muda itu.

Segera setelah itu, muncul sejumlah mobil-mobil mewah, beberapa berpelat hitam dan beberapa berpelat merah. Melewati sesosok tua itu, dan lagi-lagi tanpa sapa dan tanpa permisi menuju kerumunan orang-orang yang tengah memulai berkegiatan. Dan mobil-mobil mewah tersebut berhenti tidak jauh dari kerumunan orang yang tengah mulai berkegiatan.

Sesosok muda itu tiba-tiba berhenti sekitar lima meter dari kerumunan orang serta menatap heran ke arah kerumunan dan mobil-mobil mewah yang baru saja tiba. Beberapa orang berbaju batik terlihat turun dari mobil dan berjalan mendekati kerumunan tersebut. Beberapa orang dari kerumunan itu pun memasang bendera merah putih tidak jauh dari tempat parker mobil-mobil mewah.

"Hey, anak muda, siapa kamu dan mau apa kamu di sini?", teriak salah satu polisi yang tengah berjaga diantara kerumunan tersebut.

"Apa yang kalian akan lakukan terhadap rumahku ini?, Tanya seorang muda tersebut.

"Rumahmu?, ini bukan rumahmu, ini milik negara.", jawab si polisi.

"Ini rumahku, ini rumah kami, ini rumah sapi-sapi kami, ini rumah kambing-kambing kami, ini rumah singkong-singkong kami.", teriak seorang muda itu sambil berjalan menuju kerumunan.

"Woi kamu, kalau mendekat semeter saja, kami tangkap kamu.", teriak si polisi sambil bersiap memegang senjatanya.

"Saya tidak takut, ini rumahku, kalian mau apa!"

Matahari mulai menampakkan diri, sinarnya dengan lembut jatuh diantara tebing-tebing bukit kapur yang menjulang tinggi dan memberi warna sejumlah dataran bukit kapur yang putih susu. Beberapa polisi keudian menghampiri seorang muda tersebut.

"Mundur, dan pulanglah ke rumah ibu mu sana nak!", ujar salah seorang polisi yang tengah berjalan mendekati seorang muda tersebut.

"Tidak, ini rumahku, ini rumah ibuku, ini rumah bapakku, ini rumah mbah ku, ini rumah buyutku, ini rumah moyangku, kalian yang harus pergi!"

Tidak beberapa lama, sejumlah polisi sudah berkerumun mengelilingi seorang muda tersebut. Namun, dia berhasil lolos diantara celah-celah antar polisi yang mengerumuninya. Dia berlari menuju tiang bendera merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya karena ditimpa cahaya mentari pagi.

Dia berhenti berlari dan terdiam sekitar tiga meter dari tiang bendera merah putih. Terlihat matanya memerah seketika dan tetes-tetes air mata mulai keluar dari ujung kelopak matanya, membasahi kedua pipinya.

Dia mulai lemas setelah membaca sebuah papan yang baru saja ditancapkan yang bertuliskan "Mohon Doa Restu, Akan Dilakukan Penambangan Batu Kapur Dan Pembangunan Pabrik Semen". Dia terdiam dan mulai menunduk sambil menangis sejadi-jadinya.

"Brakkk!", sebuah kayu menghantam tubuh kurusnya.

Seorang muda itu terkapar, dan dalam kondisi setengah sadarnya dia menatap bendera merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya. Beberapa orang mengerumuninya, beberapa berpakaian coklat, beberapa berpakaian batik, dan beberapa berpakaian hijau loreng. Matanya masih terlihat menatap ke arah bendera merah putih yang berkibar di ujung tiang.


"Bagi kami merah putih sudah robek.", ujarnya lirih sebelum matanya terpejam.

Senin, 15 Agustus 2011

Cerecet Terakhir Sang Betet

Aku terlahir sebagai seekor betet, tepatnya betet biasa atau yang oleh orang pintar sering dipanggil dengan Psittacula alexandrii. Tubuhku berukuran tidak besar dan tidak pula kecil, serta warna buluku hijau dengan pipi berwarna pink. Bila dilihat-lihat sekilas, diriku memang mirip dengan burung lovebird yang yang harganya mahalnya minta ampun nan dipelihara oleh orang-orang berkantung tebal. Sebenrnya kami memang sama-sama dari keluarga burung berparuh bengkok, tapi yang membedakan adalah sebuah nasib. Nasib si burung lovebird adalah di sangkar nan elite dan nasibku tidak begitu jelas di alam. 

Aku dan sesamaku tak tahu apakah kami ini dilindungi atau tidak. Sekilas yang pernah kami dengar dari obrolan orang-orang pintar, kami merupakan salah satu satwa endemik di pulau Jawa yang terpadat di negri ini, sebuah negri yang lupa akan kekayaan alamnya sendiri. Memang jika diakui, kami keluarga betet masih kalah jauh cantiknya dengan burung-burung paruh bengkok lainnya yang endemik di bagian timur sana. Nasib telah mengubah hidup kami sebagai seekor burung terancam keberadaannya di tanah warisan moyang kami. Kami di sini hanya hidup dalam dua kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok kami ini rasa-rasanya merupakan sisa-sisa kehidupan para betet yang pernah menghuni tanah ini. Dahulu kala memang ada kelompok-kelompok yang banyak saat hutan di tanah ini masih luas nan asri, tetapi sejak area pepohonan hijau tinggal secuil maka tinggal secuil pula jumlah kami serta tinggal secuil pula jiwa kami. Kami di sini hidup terasing di sebuah hutan kecil di tengah-tengah bangunan yang dipakai oleh calon-calon ilmuwan melengkapi ilmunya. Hutan sengon yang luasnya Cuma beberapa meter saja inilah kami melepaskan semua beban hidup saat malam tiba dan merawat keturunan yang mungkin terakhir. 

            Kami sebenarnya merasa bosan hanya hidup berputar-putar di sekitar hutan sengon yang dikelilingi oleh gedung-gedung gudang kepintaran dan pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin memusuhi kami. Sesekali kami bergantian keluar melintasi pagar gedung-gedung gudang kepintaran untuk melihat riuhnya kehidupan manusia yang semakin lupa akan hijau-birunya lingkungannya. Sebenarnya sih bisa dikatakan dari sejak gedung gudang ilmu itu berdiri sampai saat ini, kehidupan kami tidak pernah terusik. Tetapi hanya sekali dua kali terusik oleh pemburu liar dan oleh pikiran-pikiran nakal para ilmuwan. Jika memandang gunung di seberang sana, kami sering mengkhayal, mengandai-andai di sana masih banyak saudara-saudara kami yang hidup tanpa gurauan manusia. Namun, khayalan kami dengan serta merta terhenti setelah telinga kami yang tidak berdaun mendengar obrolan para manusia yang sering nongkrong di hutan ini untuk menanti atraksi kami. Menurut obrolan mereka, gunung seberang sudah gersang. Gersang gara-gara tapak-tapak hitam manusia.

            Jika kami pikir-pikir, benar juga apa kata mereka, pantaslah tempat hidupku sekarang ini menjadi panas bukan main saat siang, tidak seperti cerita-cerita kakek nenekku yang menurut mereka daerah hidup kami di sini dulunya sejuk. Jika gunung seberang sudah gersang, berarti sudah tidak menghijau lagi dan menandakan bahwa kehidupan makhluk-makhluk seperti kami di sana menjadi lebih menderita daeripada di sini. Biar bagimanapun kami masih merasa beruntung hidup di sini. Kami dan keluarga satwa lain yang hidup di hutan sengon ini selalu berharap supaya hutan tempat tinggal kami ini tidak lagi disulap menjadi gedung atau ladang yang lebih modern, karena kami tak tahu lagi harus tinggal dimana. 

            Di hutan ini kami hidup bersama burung-burung lain, satwa-satwa lain dan manusia-manusia yang sering nongkrong di sini seminggu sekali atau dua kali seminggu. Kami sering resah jika memikirkan masa depan, kami takut akan kepunahan generasi kami. Sejujurnya kami punya keinginan kuat keluar dari hutan sengon yang tinggal secuil ini, kami ingin mencari tempat yang layak dan mencari kawan-kawan sejenis. Namun, keinginan hanya tinggal keinginan absurd, karena nyali kami tidak sebesar burung elang ular bido yang berani terbang tinggi dan berani mengarungi luasnya daratan. Nyali selalu menciut manakala memikirkan nasib kami yang tinggal beberapa ekor ini.

            Mungkin ini adalah nasib yang harus kami jalani. Setiap hari selalu menanti-nanti kabar dari burung-burung lain yang bernyali besar, kabar tentang pengalamannya menemukan tempat-tempat yang cocok. Aku iri mendengar itu, jika kukerahkan kelompokku bertualang mencari tempat baru, maka kami takut akan sesuatu hal yang akan menimpa kami, jika ada bencana maka habislah kelompok kami, mungkin habis pula betet di tanah jawa ini. Biarlah rasa iri ini kami pendam saja. Kami selalu mencoba menikmati indahnya tempat ini dan kami selalu bersyukur masih punya kawan-kawan sejenis meskipun bisa dihitung dengan jari. Setiap pagi kami selalu saling menyapa dengan suara “cerecetan” khas kami, saling menghitung jumlah kelompok karena siapa tahu ada yang hilang satu. Siang hari kami mengarungi luasnya bangunan-bangunan berilmu yang masih terlihat hijau untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dan sore harinya kami bercerecet lagi mengumpulkan kelompok dan saling bercerita tentang pengalaman yang terjadi seharian ini. Selepas maghrib adalah saatnya kami bersiap-siap melepas lelah di lubang-lubang pohon sengon yang sengaja kami buat.

            Seminggu sekali kami menyombongkan aksi-aksi kami supaya disaksikan oleh beberapa orang sang “penikmat” burung yang sering “nongkrong” di hutan sengon ini. Kepala mereka selalu melihat ke atas, di lehernya dikalungkan sebuah benda dengan bentuk seperti dua buah tabung yang saling merekat, dan di tangannnya memegang buku serta alat tulis. Kehadiran mereka selalu kami nantikan. Dilihat dari gerak-geriknya, pastilah mereka bukan manusia-manusia jahat dan serakah. Mereka adalah tamu-tamu terhormat kami. Kami rela seharian tidak mencari makan hanya untuk ditonton mereka. Mereka adalah manusia yang menyatu dengan alam karena jika dilihat dari tampangnya bisa terlihat bahwa manusia-manusia itu adalah manusia yang sederhana, bijak, polos dan bersahaja. Lewat obrolan mereka tentang alam, sudah membuat hati kami gembira setengah mati dan kami selalu antusias mendengarkan cerita-cerita mereka. Dan sebagai imbalannya, kami tak segan-segan memamerkan keunikan tubuh kami pada mereka, nampaknya tak hanya kami saja yang memberi imbalan atas kehadiran “sang penikmat”, burung-burung yang lain juga saling berebutan memamerkan keelokan dan keunikannya masing-masing. Si wiwik lurik memamerkan suaranya yang memilukan dan kuanggap itu suara terjelek di sini. Si kutilang tanpa sungkan-sungkan memperagakan akrobatnya, dan kami anggap si kutilang adalah makhluk yang tidak punya rasa malu, seperti halnya burung gereja. Sekian kisah kami di hutan sengon yang tinggal secuil ini, dan semoga hutan sengon ini dengan keanekaragaman makhluknya tidak menjadi kenangan manusia-manusia pintar yang menimba ilmu di sini.

Rabu, 18 Mei 2011

kisah Kebun Sukun Belakang Balaidesa

Tidak banyak yang tahu kalau hutan pohon sukun belakang balaidesa, atau lebih tepatnya kebun sukun yang tidak terurus menyimpan sesuatu yang berharga bagi desa sukun, bahkan bagi warga desa sukun sendiri. Kebun sukun yang tidak terurus itu terletak persis di belakang balaidesa, agak ke kanan sedikit, di samping kirinya berdiri bangunan jaman belanda yang tidak terawat. Bangunan belanda dan kebun sukun itu berpemilik sama, seorang kakek yang hidup seorang diri. Sampai sang kakek pemilik rumah bangunan belanda dan kebun sukun seluas setengah lapangan sepakbola meninggal dua minggu yang lalu, tidak ada satu orang pun yang mengetahui asal-usul sang kakek. Dari beberapa cerita yang beredar, sang kakek masih mempunyai darah belanda, tapi cerita lainnya mengatakan kalau sang kakek hanyalah orang suruhan untuk menunggui rumah kuno dan kebun sukun itu.

Kebun sukun yang dulunya mempunyai luas hampir sepuluh kali dari luas saat ini menurut cerita-cerita orang tua dahulu pernah menyatu dengan hutan jati di seberang sungai jambu. Hutan jati di seberang sungai pun nampaknya sudah tergusur keberadaannya sekitar setahun yang lalu. Sebuah gudang sabun telah dibangun di atas hutan jati seberang sungai jambu. Sisa-sisanya pun sebenarnya masih bisa dilihat, beberapa gelondongan kayu jati di samping kiri tembok pagar gudang sabun. Hutan jati seberang sungai jambu sebenarnya tidak berpemilik, uanglah yang telah mengubah perangai orang-orang yang tinggal di samping kanan dan samping kiri hutan jati seberang sungai jambu. Mereka berlomba-lomba mengakui kepemilikan hutan jati seberang sungai jambu. Sungguh malang nasib hutan jati seberang sungai jambu.

Lebih malang nasib kebun sukun di belakang balaidesa, sejak sang kakek penghuni bangunan belanda di samping kiri kebun sukun tidak pernah keluar rumah karena stroke, orang-orang yang tinggal di samping kanan dan kiri kebun sukun berlomba-lomba meluaskan pekarangannya sampai sekarang nasib kebun sukun tinggal separo luas lapangan sepak bola. Kebun itu memang tak terawat, tak ada seorang pun yang berani menjamahnya. Sekitar tujuh bulan lalu, salah seorang warga desa yang menebangi pohon sukun tiba-tiba tak sadarkan diri dan tiba-tiba tubuhnya menggigil dan panas tidak karuan sebelum akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, warga desa mencoba menjauhi kebun sukun di belakang balaidesa beserta bangunan belanda kuno di samping kirinya.

Nampaknya tidak ada yang berani menyentuh sehelai daun pun di kebun sukun belakang balaidesa, bahkan sehelai daun kering pun. Tetapi nampaknya tidak untuk seekor lutung yang hidup di kebun sukun belakang balaidesa. Beberapa warga desa, terutama yang sudah menjadi kakek-kakek atau pun nenek-nenek sudah tahu semenjak kebun sukun belakang balaidesa menyatu dengan hutan jati seberang sungai jambu, kebun maupun hutan tersebut sudah menjadi tempat hidup puluhan keluarga lutung, mereka merasa lutung yang hidup di sana adalah harta bagi desa jambu tempat mereka tinggal. Hanya warga-warga tua yang tahu, sayangnya anak-anak mereka tidak pernah mengetahui harta terpendam tersebut. Mereka selain menghabisi kebun sukun belakang balaidesa dan hutan jati seberang sungai jambu juga menghabisi puluhan lutung-lutung yang telah terdesak di kebun sukun belakang balaidesa. Lutung bukanlah harta, mereka hanyalah makhluk jadi-jadian, begitulah ujar mereka.

Sejak tidak ada tangan-tangan yang berani mengacak-acak kebun sukun belakang balaidesa, dua ekor lutung nampaknya hidup bahagia. Seekor lutung betina dan seekor anaknya yang hidup dengan makan buah sukun sepertinya telah menjadi makhluk terakhir penghuni kebun sukun belakang balaidesa dan makhluk terakhir saksi kejayaan desa jambu. Setiap harinya mereka hanya mengahbiskan waktu di pohon sukun tua yang letaknya tepat di tengah-tengah kebun sukun belakang balaidesa. Meskipun tidak ada yang mengganggu lagi, mereka masih tidak percaya dengan warga desa yang telah merenggut kebahagiaan sang lutung betina.

Dua hari yang lalu, desa jambu kedatangan pasangan suami istri muda warga baru yang berasal dari ibukota kabupaten. Mereka menempati bangunan kuno jaman belanda yang ada di samping kiri kebun sukun. Seperti halnya kakek penghuni asal bangunan kuno tersebut, tidak ada yang tahu menahu perihal pasangan suami istri penghuni bangunan kuno tersebut. Tepatnya satu hari yang lalu, entah merasa terganggu atau rasa ingin mengganggu, sang suami dari pasangan suami istri muda penghuni terakhir itu pun masuk ke kebun sukun yang telah menjadi haknya dengan membawa sebuah senapan angin. Tak berapa lama, tak ada angin, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di semak-semak. Benda jatuh itu bukanlah buah sukun yang matang atau pun batang pohon sukun, melainkan seekor lutung betina. Sebual peluru timah menembus dada kiri dan sebelah kiri kepala lutung betina itu. Seketika itu, darah berceceran di antara daun-daun yang telah mengering.

Terlihat senyum kecil di wajah sang suami dari pasangan suami istri muda penghuni baru bangunan kuno jaman belanda di samping kiri kebun sukun. Mungkin rasa puas yang dirasakannya, seketika itu, sang suami pun meninggalkan kebun sukun belakang balaidesa. Tak berapa lama seekor anak lutung harapan terakhir saksi kejayaan keluarga lutung dan saksi kejayaan desa jambu turun dari salah satu pohon sukun tua tempat beberapa menit lalu digendong induknya. Pelukan sang anak lutung kepada induknya yang telah bersimbah darah nampaknya tidak akan pernah mengembalikan nyawa sang induk. Beberapa hari, sang anak tetap memeluk sang induk walaupun bau menyengat dang belatung sudah keluar dari tubuh tak bernyawa itu. Entah sampai kapan si anak lutung akan melepaskan pelukannya itu.

Rabu, 11 Mei 2011

Kisah Seekor kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung

Setiap orang yang pernah berkunjung ke pasar jati pasti mengenal tempat sampah di samping kiri pintu gerbang pasar. Warnanya yang krem kusam sangat padu dengan warna gerbang pasar jati. Tempat sampah itu cukup besar, mungkin seukuran bak truk, dengan panjang, lebar dan tinggi yang sama tentunya. Sudah dua tahun tempat sampah itu menghuni depan pasar jati, namun tidak ada seorang pun yang tahu alasan pemda setempat membangun tempat sampah di depan pasar, tepatnya di sebelah kiri pasar, bahkan pemilik toko "bagus" yang berlokasi tepat di sebelah kiri tempat sampah krem juga tidak tahu menahu. Mungkin tak lazim penempatan sebuah tempat sampah besar di depan pasar dekat tempat keluar masuknya masyarakat kota, tetapi tidak untuk para kucing jalanan.

Tempat sampah krem kusam yang terbuat dari besi dengan karat di hampir semua sisi menjadi tempat favorit bagi kucing-kucing jalanan terlantar dan yang sengaja ditelantarkan. Kira-kira hidup sembilan belas ekor kucing. Dengan rincian sembilan ekor jantan dan sepuluh ekor betina. Tidak hanya itu, sebenarnya di pasar jati hidup lebih dari sembilan belas ekor kucing, mereka lebih banyak tersebar di dalam pasar dan di belakang sebelah kanan pasar yang juga terdapat tempat sampah seperti di depan pasar sebelah kiri pintu gerbang pasar. Dari sembilan ekor kucing betina, nampaknya terdapat seekor kucing yang sebentar lagi memberikan generasi penerus penghuni pasar jati. Seekor kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung.

Nampaknya kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung pernah punya nasib malang di masa lalunya, begitu yang pernah dituturkan kakek nenek yang setiap malam tidur di teras toko "bagus". Kakek nenek yang tidak pernah diketahui namanya itu pernah berujar bahwa si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung baru menghuni depan pasar sejak sekitar lima bulan yang lalu. Kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung ketika itu datang dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Tidak jelas apakah itu luka bakar atau luka-luka biasa. Sekarang kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung menghuni di belakang kanan tempat sampah yang terlihat hampir menyatu dengan dinding tembok pasar jati. Apabila kakek nenek berteduh di teras toko "bagus", kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung itu sering menemaninya, tidur di antara kakek nenek yang tak pernah diketahui namanya itu. Tak hanya kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung yang menemani kakek nenek yang tak pernah diketahui namanya itu, sekitar dua kucing jantan berwarna kuning dan seekor kucing betina berwarna hitam juga ikut menghangatkan tidur si kakek nenek di kala malam.

Namun, sekarang si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung jarang menemani si kakek nenek yang tak pernah diketahui namanya apabila pasangan itu berteduh ketika malam. Pasangan itu pun berkata kalau sudah hampir dua minggu ini si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung tidak pernah kelihatan lama. Dia hanya terlihat sekilas dengan perut yang semakin menggembung, jika dipanggil pun tidak segera datang ke arah pemanggil. Menurut pasangan yang tak pernah diketahui namanya itu, dari sembilan belas kucing yang dikenalnya di sekitar tempat sampah krem kusam di samping kiri gerbang pasar jati, hanya si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung yang sedang mempunyai perilaku tidak biasanya.

Sepertinya si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung mempunyai ketakutan yang amat sangat kepada orang-orang di siang hari. Dia hampir-hampir tidak perbah menampakkan diri ketika matahari terbit sampai terbenam. Kalau tidak salah, si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung seringkali menerima perlakuan yang tidak wajar dari orang-orang di pasar jati, terutama pedagang-pedagang ikan yang ada di samping kanan pasar jati. Sekitar tiga atau dua bulan lalu, si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung hampir disembelih pedagang kios ikan sebelah depan dekat pintu masuk ke kawasan pedagang ikan gara-gara mencuri sebuah ikan kering, yang sebenarnya sudah tidak akan laku lagi dijual. Tidak hanya itu, si betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung sering sekali mendapat tendangan atau pukulan yang sepertinya tidak lazim bagi seekor makhluk yang beratnya tidak sampai empat kilogram, bahkan kejadian setiap saat ketika si betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung menampakkan diri.

Si betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung nampaknya hanya percaya kepada pasangan kakek nenek yang tidak pernah diketahui namanya yang hampir setiap malam berteduh di teras toko "bagus". Namun, dua hari ini, pasangan tersebut tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya, dua ekor kucing jantan berwarna kuning dan satu ekor kucing betina berwarna hitam dan seekor kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung sepertinya resah menunggu kedatangan pasangan yang tak pernah diketahui namanya. Mereka tidak bisa bertanya kepada orang-orang sekitar, karena mereka memang tidak bisa bicara, hanya mengeong yang mereka bisa.

Kabar pun berembus, beberapa orang pedagang buah di ujung kanan pasar jati dekat dengan kawasan pedagang ikan saling bercerita bahwa pasangan kakek nenek yang tidak pernah diketahui namanya yang hampir setiap malam berteduh di teras toko "bagus" telah tewas tertabrak bus malam di jalan raya yang tidak begitu jauh dari pasar jati. Namun, beberapa pedagang jajanan pasar di dalam pasar jati kembang yang letaknya tidak jauh dari gerbang pasar saling bercerita bahwa pasangan tersebut telah bertemu anaknya yang sudah sukses dan sekarang pasangan tersebut dibawa anaknya ke rumahnya yang mewah di ibukota. Entah cerita siapa yang benar, keempat ekor kucing tetap menunggu kehadiran pasangan kakek nenek yang tidak pernah diketahui namanya itu. Terlebih bagi si kucing kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung, dia ingin mengabarkan kegembiraan kepada kakek nenek yang tidak pernah diketahui namanya itu. Kegembiraan akan datangnya generasi baru penghuni tempat sampah krem samping kiri gerbang pasar jati.

Seminggu sudah berlalu, pasangan kakek nenek yang tidak pernah diketahui namanya pun tidak kunjung datang tiap malam. Empat ekor kucing nampaknya benar-benar mengalami keresahan. Apalagi si kucing kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung yang sebentar lagi mencetak generasi baru, mungkin beberapa jam lagi generasi baru itu akan muncul. Di belakang kanan tempat sampah krem kusam itu dengan alas beberapa tumpukan koran seminggu lalu, kertas-kertas bekas ujian anak-anak SD, dan beberapa kain kumal, si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung sedang mempertahankan hidupnya demi titipan Sang Pencipta. Tak lama berselang, empat ekor anak kucing pun muncul, namun dua ekor terlihat tidak lagi bergerak dan dua ekor lagi masih bergerak. Si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung yang sekarang menjadi induk menjilati keempat anak generasi baru dari sisa-sisa kelahiran. Nampaknya, perstiwa ini pun tak lazim, si induk kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung seperti tidak punya kekuatan lagi untuk membersihkan sisa-sisa kelahiran. Dia hanya berbaring dan kadang terlihat seperti meronta kesakitan.

Sungguh malang si kucing betina berwarna hitam putih dengan kedua daun telinga sobek dan bekas luka bakar di punggungnya dengan ekor menggulung tak berapa lama malaikat maut pun menjemputnya. Dia meninggalkan empat ekor keturunan dengan dua ekor mati dan dua ekor hidup. Dua ekor yang hidup masing-masing berwarna kuning putih dan hitam putih. Malangnya, dua ekor yang masih hidup itu pun ternyata dikaruniai kekurangan fisik, dua-duanya hanya mempunyai tiga kaki, satu ekor hanya mempunyai satu kaki depan dan satunya lagi hanya mempunyai satu kaki belakang. Tidak ada yang tahu kejadian di belakang kanan tempat sampah samping kiri gerbang pasar jati, paling tidak sampai bau menyengat mengganggu orang-orang yang lewat di sekitar tempat sampah krem kusam samping kiri gerbang pasar jati.

Sabtu, 07 Mei 2011

kisah kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor hampir putus dan berwarna putih kuning kusam dan sangkar kusam dengan makhluk misterius

Dari kejauhan pun sudah terlihat kalau itu sebuah sangkar kawat, bukan sekedar sangkar kawat tetapi sangkar kawat dengan seekor makhluk hidup di dalam. berwarna coklat dan hitam, berparuh, dan bercakar.

"Makhluk apa di dalam sangkar itu", pikir seekor kucing pincang dan buta sebelah mata ketika melintas di dekat sang makhluk dalam sangkar.

hanya lengkingan yang muncul dari sangkar kusam itu. si kucing pun hanya diam terduduk tak jauh, kira-kira setengah meter dari sangkar misteri. duduk mengawasi gerak-gerik makhluk penghuni sangkar kusam dan berbau apek.

"hus, hus, hus. pergi sana kucing sialan", usiran seorang bapak berpeci berkumis tebal dan bersarung kotak-kotak yang sudah lusuh kepada si kucing pincang dan buta sebelah mata.
bapak berpeci, berkumis, bersarung motif kotak-kotak lusuh, berpakaian kemeja lusuh motif garis duduk di antara pot berisi pohon palem di sebuah trotoar pinggir terminal setelah berdiri untuk mengusir kucing pincang dan buta sebelah mata. bapak itu duduk sambil memegangi sangkar kusam apek berisi makhluk misterius. si kucing pun bandel, tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya. si kucing pun hanya menggerak-gerakkan sedikit ekornya yang hampir putus, dan menolehkan sedikit kepalanya ke kanan.

"PRAKKK", bunyi sebuah sepatu pantofel hitam mengkilat menendang si kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor hampir putus dan berwarna putih kuning kusam. sebuah tendangan yang keras karena si kucing terlempar hampir dua meter, sebuah tendangan yang menandakan si penendang adalah orang yang benci kucing, paling tidak benci kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor hampir putus dan warna putih kuning kusam.

untung saja si kucing yang terlempar tidak terlindas truk, truk gandeng berisi besi melintas tepat tidak jauh dari kucing yang tertendang itu. sungguh malang, lama si kucing terdiam di tengah jalan hampir lima menit-an, tidak ada seorang pun yang menolong. bisa dipastikan orang-orang di sekitar terminal benci kucing, minimal benci pada kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor hampir putus dan berwarna putih kuning kusam. tak berapa lama sebuah sepeda tua dengan bapak tua berjenggot putih, berambut putih, berkemeja putih dan bercelana putih melintas, rodanya yang masih baru melindas ekor si kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor hampir putus dan berwarna putih kuning kusam. akhirnya selesai juga peran ekor si kucing, ekor berwarna putih kusam akhirnya benar-benar putus, tak berapa lama ekor itu pun gepeng karena dilindas lima buah bis, sepuluh sepeda motor, dan tiga truk gandeng yang memuat batu, dan dua truk gandeng bermuatan pasir.

seperti hilang suatu beban yang selama ini membebani, si kucing berjalan pincang dengan santainya mendekati sangkar kusam dengan makhluk misterius. duduk seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

lengkingan an lengkingan membuat si kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam mendekati si sangkar kusam dengan makhluk misterius.

bapak berpeci, berkumis, bersarung motif kotak-kotak lusuh, berpakaian kemeja lusuh motif garis yang duduk di antara pot berisi pohon palem di sebuah trotoar pinggir terminal sepertinya sudah tidak mau peduli dengan si kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam. Dia menyalakan rokok sisa yang dipungut di samping kiri pot palem. Matanya terpejam, seolah-olah menikmati irama jalan raya dengan truk dan bis di dalamnya.

"o ini kan burung perkasa itu, kok bisa dikurung, lebih baik aku bisa tidak kuat tapi tidak dikurung", pikir si kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam.

lengkingan demi lengkingan dengan mata sayu seperti memelas, membuat si kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam merasa iba.

"kalau dilepas dia akan memakan tubuhku yang compang camping ini, ah tapi biarlah", pikir kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam.

Tak berapa lama si kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam, menggeser penahan pintu sangkar, si burung berparuh tajam berwarna coklat an hitam tampak garang. kepalanya menjulur keluar sangkar, si bapak berpeci, berkumis, bersarung motif kotak-kotak lusuh, berpakaian kemeja lusuh motif garis sedang tak sadarkan diri. si burung perkasa akhirnya mengeluarkan tubuhnya hampir semuanya, matanya yang tajam menatap kucing pincang buta sebelah mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam. Si kucing menunggu ucapan terima kasih. Namun, si burung perkasa mematuk mata si kucing, akhirnya si kucing menjadi benar-benar buta dan si burung berhasil kabur.

Si kucing pincang buta kedua mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam hanya bisa berdoa dalam hati kepada yang maha kuasa. Si burung perkasa akhirnya terbang bebas tetapi hanya berselang beberapa detik sebuah bus malam melaju kencang ke arah timur dan "PRAKKKKK", bulu-bulu coklat berhamburan di jalan raya, si burung perkasa terlontar sekitar lima meter dan sekarang benar-benar gepeng seperti ekor si kucing, karena dilindas sembilan bus, lima truk pengangkut pasir, lima truk barang elektronik, sembilan truk gandeng bermuatan besi, dan lima belas sepeda motor.

Melihat  kejadian yang tidak wajar itu, si bapak berpeci, berkumis, bersarung motif kotak-kotak lusuh, berpakaian kemeja lusuh motif garis menjadi naik pitam. Ditendanglah si kucing pincang buta kedua mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam ke jalan raya yang sedang ramai-ramainya. dilindaslah si kucing pincang buta kedua mata dengan ekor putih yang baru saja putus dan berwarna putih kuning kusam oleh lima buah bus, tiga angkot, lima truk pasir, dan dua truk gandeng bermuatan besi. 

ditulis juga di dickywibowo87.multiply.com

UFO Cult

Malam sekitar pukul 21.00 seperti biasanya langit cerah agak berawan dan bulan nampak hampir bulat tetapi bukan purnama, sebuah rutinitas memandang langit malam nampaknya bukanlah aktivitas menyenangkan bagi hampir semua orang apalagi sebuah rutinitas. Namun, bagi seorang anak yang kira-kira berumur empat belas atau lima belas tahun yang menurut warga kampung Kawis bernama Didi, memandang langit adalah rutinitas yang wajib dikerjakannya tiap malam ketika langit tidak mendung, dan untungnya di kota ini langit selalu cerah. Diam, tidak bicara, tidak bergerak, hanya melipatkan kedua kaki dan mendekapnya dengan menengadahkan kepala, dan kedua matanya tertuju hanya pada kilau bintang-bintang malam dan cerahnya langit malam sudah dijalani Didi paling tidak sejak tujuh tahun lalu. Empat jam atau semalaman sering dihabiskan Didi menatap langit malam yang cerah.

Tidak ada yang tahu persis sejak kapan Didi bertingkah aneh. Beberapa warga kampung Kawis, sebuah kampung tempat Didi tinggal menceritakan kalau peristiwanya berawal sejak dia lahir. Berbeda dengan penuturan Kakek pemilik warung kopi di samping rumah Didi, beliau menuturkan kejadian aneh yang menimpa Didi terjadi sejak sekitar tujuh tahun lalu ketika semua keluarganya tewas dengan tragis, tidak ada yang tahu penyebab kematian keluarganya, sampai sekarang. Sejak saat itu, Didi tinggal seorang diri di rumah yang terkesan tua, sebuah bangunan jaman Belanda yang terlihat angker, pintu dan jendela depan bergaya khas Eropa yang terbuat dari kayu jati dibiarkan setengah terbuka. Suara decitannya ketika diterpa angin sering dianggap keluar masuknya arwah keluarganya di rumah tua Didi. Semenjak kejadian tragis dan aneh itu, warga kampung Kawis tidak ada yang berani melewati rumah tua Didi ketika waktu menunjukkan 18.00 atau tepatnya saat maghrib tiba, apalagi ketika tidak sengaja bertemu dengan sesosok bertubuh kurus, berwajah lonjong dengan tulang pipi menonjol, sorot mata tajam, dan rambut gondrong tak beraturan. Ketakutan yang menjadi-jadi nampaknya sangat berpengaruh pada kehidupan keluarga kakek pemilik warung kopi di sebelah kiri rumah tua Didi. Jarang sekali warga kampung Kawis yang berkunjung ke warungnya bahkan siang sekalipun, akibatnya istri dan anaknya pindah ke kampung sebelah karena tidak tahan dengan suasana mencekam dan cerita-cerita tidak sedap dari warga kampung lainnya. Sang kakek pemilik warung kopi di sebelah kiri rumah tua Didi mengatakan bahwa semenjak kejadian itu, warga kampung menganggap sang kakek lah bersekongkol dengan Didi untuk menghabisi keluarga Didi.

Malam semakin larut, seperti biasanya, Didi duduk tak bergerak dengan mata tertuju pada cerahnya langit malam yang gelap. Dua hari yang lalu, dia duduk di teras rumahnya, kemarin dia duduk di sebelah kanan rumahnya yang dulunya bekas lapangan bulu tangkis warga sekitar yang sekarang sudah tidak berbentuk karena ditumbuhi rumput-rumput liar dan pohon kersen, dan malam ini dia duduk di depan warung kopi milik kakek di sebelah kiri rumah tuanya. Seringkali warga kampung melihat interaksi antara Didi dengan kakek pemilik warung kopi sebelah kiri rumah tua Didi, tidak ada yang tahu apa tentang percakapan yang mereka berdua lakukan. Sejak saat itu sebagian besar warga kampung menyebut si kakek sama gilanya dengan Didi dan merekalah penyebab kematian tiga orang keluarga Didi.

Nampaknya kakek pemilik warung kopi sebelah kiri rumah tua Didi bukanlah gila, tetapi dia sepertinya menyimpan rahasia besar yang sampai saat ini belum terungkap. Tidak ada yang berani lagi menginjakkan kaki di warung kopi sebelah kiri rumah tua Didi, bahkan untuk menyapa sang kakek yang semakin renta, hanya biasanya satu atau dua orang pegawai pemda di siang hari yang mengunjunginya untuk melepas lelah di saat jam istirahat kantor. Sebuah ironi memang, kedua orang yang membutuhkan perhatian tetapi dicampakkan begitu saja oleh tetangga-tetangganya hanya karena sesuatu yang belum pasti kebenarannya.

Sebuah lolongan panjang nampaknya sudah menjadi alunan tengah malam yang rutin terjadi. Bukan lolongan anjing-anjing kampung melainkan lolongan seorang anak manusia. Lolongan yang rasa-rasanya seperti jeritan ketakutan dan kesakitan menandakan adanya kejadian aneh di sekitar rumah tua Didi. Tidak ada yang berani mengintip, apalagi melihat kejadian apa yang tiap malam menghinggapi Didi. Lolongan itu tak hanya satu atau dua kali, tetapi bisa berkali-kali bahkan bisa hampir satu jam. Biasanya lolongan panjangnya disertai oleh padamnya lampu di kampung Kawis. Tidak ada yang tahu sama sekali hubungan antara lolongan Didi dengan padamnya lampu. Kejadian ini pun sudah terjadi sejak tujuh tahun lalu, bahkan PLN pun menyangkal kalau ada pemadaman lampu tiap tengah malam di kampung Kawis.

Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk hidup, apalagi bagi seorang anak yang belum menginjak remaja. Beberapa warga kampung Kawis pernah merasa iba dengan kondisi Didi, tetapi seiring waktu, hampir semua warga kampung membencinya, bahkan pernah beberapa bulan lalu seorang pemuda ketua karang taruna bermaksud untuk menangkap Didi dan membuangnya di kota sebelah tetapi niatan itu pun gagal terlaksana sampai sekarang, karena Didi tidak pernah menampakkan batang hidungnya saat matahari besinar, bahkan sang kakek pemilik warung kopi sebelah kiri rumah Didi pun tidak mengetahui keberadaan Didi saat siang hari. Nampaknya Didi adalah misteri yang tersimpan di kampung Kawis, tak hanya Didi, tetapi dari raut muka kakek pemilik warung kopi sebelah kiri rumah tua Didi pun sepertinya menyimpan misteri.

Alim, seorang ketua karang taruna dan pak Alam, seorang kepala desa tampaknya mempunyai ide gila untuk menangkap Didi saat malam tiba. Mereka berdua bertempat tinggal tidak jauh dari rumah tua Didi, di samping lapangan bulu tangkis sebelah kanan rumah tua Didi. Rencananya mereka akan menangkap Didi malam ini sekitar tengah malam atau ketika Didi mulai mengeluarkan lolongan panjangnya. Anehnya mereka melarang warga desa untuk ikut rencana mereka.

"biarlah kami yang rumahnya dekat dengan rumah si gila itu yang akan menangkapnya, kalian tinggal lihat hasilnya besok pagi", tutur pak Alam dalam rapat desa di balaidesa siang sebelum malam penangkapan. Empat orang yang akan berangkat dalam tugas besar kampung Kawis malam ini, merekalah yang rumahnya tidak jauh dari rumah tua Didi.

Malam pun tiba, seperti biasanya tidak ada yang berani menampakkan diri di halaman rumah atau pun teras rumah. Semua pintu dan jendela rumah-rumah warga kampung Kawis nampaknya sudah dikunci rapat-rapat. Waktu belum menunjukkan pukul 00.00, sebuah lolongan seperti malam-malam sebelumnya mulai terdengar, dan seperti biasanya diikuti dengan padamnya listrik. Nampaknya warga kampung sedang menyimak lolongan-lolongan Didi karena mungkin mereka berharap lolongan-lolongan aneh itu akan tiada. Waktu sudah beranjak sekitar lima belas menit, tetapi lolongan-lolongan Didi semakin menjadi-jadi, bahkan terdengar sangat memilukan.

Dua puluh menit berjalan sejak lolongan pertama, dan kali ini lolongannya melengking tinggi, tajam, dan memilukan, lalu tiba-tiba diikuti jeritan memilukan yang tidak putus, dan akhirnya melemah dan hilang. Meskipun suara lolongan sudah hilang, namun listrik masih padam. Tak berapa lama terdengar sebuah jeritan yang lain dari suara lolongan dan jeritan biasanya. Jeritan ini lebih lemah dan seperti suara orang yang sudah berumur tua. suara itu semakin lama semakin jelas.

"Tidaaaaaakkkkk tidaaaaaaaaakkkkkkkkkk", suara jeritan yang terdengar berulang-ulang dan semakin lemah.

Nampaknya warga benar-benar penasaran. Beberapa warga kampung Kawis tanpa dikomando memberanikan diri keluar rumahnya dan mengajak warga yang lain untuk menuju asal suara jeritan aneh. Sepertinya keberanian warga kampun Kawis sedang mencapai puncaknya setelah tujuh tahun keberanian mereka ditutupi oleh ketakutan yang berlebihan. Tua, muda, laki-laki, perempuan, pemuda, dan anak kecil semuanya beranjak menuju asal suara aneh sambil membawa penerangan yang mereka punya. Beberapa meter sebelum sampai di samping sebelah kanan rumah tua Didi yang menjadi asal suara, warga kampung Kawis benar-benar terkejut, jeritan ketakutan dan tangis tiba-tiba pecah di malam yang hening. Sepertinya keberanian warga kampung yang baru saja terkembang tiba-tiba hilang. Beberapa diantara dari mereka bahkan berlarian ke arah sebaliknya, berlarian secepatnya ke rumahnya. Beberapa yang lain diantaranya hanya berdiri kaku dengan wajah yang seolah-olah tak percaya apa yang telah mereka lihat.

Sebuah benda besar berkilau, sangat berkilau dan sangat terang, menerangi rumah tua Didi dan rumah-rumah di sekitarnya. Benda yang nampaknya berbentuk bulat lonjong dengan kilaunya menerangi kejadian aneh di kampung Kawis telah terekam di dalam otak sebagian besar kampung kawis. Alim, pak Alam, Dido, dan pak Toto nampak sedang tengkurap atau lebih tepatnya seperti gerakan bersujud ke arah benda besar berkilau itu, meraka berempat mengenakan pakaian berkilap dan nampaknya berwarna keperakan. Tidak jauh dari kejadian itu, Didi sudah terlihat hangus terbakar, tubuhnya yang kurus dengan tulang pipi yang menonjol masih dikenali oleh warga kampung Kawis yang masih bediri kaku. Di sebelah kiri dari tubuh Didi yang sepertinya sudah tidak bernyawa, tampak tubuh seorang kakek pemilik warung kopi sebelah kiri rumah tua Didi yang terlihat menggerak-gerakkan mulutnya seperti gerakan menjerit-jerit tetapi suaranya tidak keluar.

"Kejadian aneh apa lagi yang terjadi di kampung ini", seorang warga kampung yang masih berdiri kaku sepertinya tak sengaja berucap pelan. Nampak sebuah peristiwa yang ganjil yang mungkin baru pertama kali dilihat oleh warga kampung Kawis. Tak berapa lama setelah kejadian itu terekam dalam pikiran warga kampung yang masih berdiri kaku, benda bulat berkilauan itu tiba-tiba terangkat perlahan dan meningglakan seberkas sinar terang berwarna kehijauan dan setelah itu melayang dan terbang dengan sangat cepatnya seolah-olah menghilang dari pandangan warga kampung Kawis yang masih berdiri kaku menyaksikan kejadian janggal di malam ini. Lama mereka berdiri setelah hilangnya benda aneh dan misterius dalam pandangan mereka, kira-kira sekitar dua puluh menit-an, setelah itu mereka tersadar dan sebagian besar diantaranya jatuh dan pingsan. Pagi harinya baru mereka menyadari kejadian aneh yang terjadi semalam adalah peristiwa aneh yang terjadi setiap malam ketika terdengar lolongan Didi dan padamnya listrik kampung Kawis, sejak tujuh tahun lalu. Kakek pemilik warung sebelah kiri rumah Didi menceritakan hanya itu saja, karena sang kakek tiba-tiba dipanggil malaikat maut. Nampaknya kampung Kawis masih diliputi misteri sampai saat ini.