Rabu, 15 Agustus 2012

Caraku MencintaMu

Kedamaian hidup,
Begitulah yang diujarkan sang filsuf
Akan tujuan sebuah kata
Yang sering terpahami hanya sampai pangkal lidah
Begitulah tampaknya,
Itu bukanlah ceritera ceritera anak muda
Yang tengah mengadu nafsu
Melainkan sebuah rasa yang menggelegar terbenam di dalam jantung
Setiap detaknya menunjukkan kesetiaan yang tidak pernah terputus
Mengharap kedekatan denganMu

Rasa itu pun beranekaragam
Tidak begitu saja homogen
Sama rata oleh manusia manusia
Namun, terkadang mereka memaksa
Untuk menjadi satu

Ah, entahlah
Kata itu adalah cinta,
Yang sering dipahami sebagai sampul sebuah buku berwarna meriah
Namun, isinya masih putih kosong
Belum tergores pena

Entahlah,
Caraku mencintaMu ibarat buku bersampul polos yang tidak menarik sedikitpun,
Dengan isi berupa coretan coretan pena
Yang entah membuat orang lain merasa bingung

Di dalam buku itu, Aku hanya selalu menulis Maha Besar Engkau, Tuhanku


Refleksi akhir Ramadhan

Jumat, 20 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 5

Marhaban Ya Ramadhan, begitulah yang bisa terucap kala memasuki bulan
suci Ramadhan. Bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk
meningkatkan kesadaran secara vertikal dan horizontal, dan bulan
kontemplasi untuk sebuah hidup yang berkualitas. Namun, bagi
kebanyakan masyarakat, Ramadhan justru disikapi dengan cara hidup
konsumerisme dan hedonisme. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini,
masyarakat kebanyakan justru menghambur memenuhi pusat-pusat
perbelanjaan untuk berburu kebutuhan perut, tidak tanggung-tanggung
mungkin, jika di bulan selain Ramadhan, mereka hanya membelanjakan
uangnya sekian ribu, maka di bulan Ramadhan ini bisa berkali-kali
lipat. Seperti ajang balas dendam setelah seharian perut kosong.
Lantas bagaimana dengan kesederhanaan dan kesahajaan yang diajarkan
oleh sekolah yang bernama Ramadhan ini?

Rasa-rasanya inilah budaya modern umat manusia, budaya konsumerisme
dan hedonisme yang entah diajarkan oleh siapa. Entah mengakar sendiri
ataukah budaya ikut-ikutan. Entah, tetapi kondisi seperti ini
tampaknya tenda-tanda terjadinya benturan kebudayaan (shock culture)
di masyarakat Indonesia. Apatah konsumerisme ini sejalan dengan teori
Abraham Maslow, tentang hirarki kebutuhan, yakni kebutuhan aktualisasi
diri?, entahlah. Konsumerisme dan hedonisme di bulan Ramadhan hanya
akan menurunkan nilai ibadah dan nilai sosial yang diajarkan bulan
suci ini.

Konsumerisme merupakan upaya yang berlebih-lebihan, atau dengan kata
lain pemborosan. Lantas, mengapa pemborosan atau apapun namanya kerap
muncul setiap bulan Ramadhan?, mungkin lantaran amalan agama hanya
sebatas formalitas belaka, atau yang lebih parah, ibadah hanyalah
ikut-ikutan dan pencitraan belaka. Seperti yang ditulis oleh Ketua
Umum PBNU, Said Aqil Siradj dalam Opini Kompas tanggal 20 Juli 2012,
puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum
memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya
sekedar rutinitas dan tren unjuk beragama.

Puasa merupakan ibadah yang tidak perlu dipamer-pamerkan. Namun,
budaya saat ini, mengarahkan untuk memamerkan bahwa seseorang
berpuasa, salah satunya melalui konsumerisme dan hedonisme.
Konsumerisme mungkin bisa dikatakan bersumber dari individu
masing-masing manusia. Seharusnya setiap individu muslim berkomitmen
di dalam satu bulan ini, bahwa bulan ini adalah bulan "pemusatan
latihan" ibadah, pengendalian diri, kontemplasi, dan sosial. Alangkah
baiknya jika terjadi aliran materi ke arah umat yang membutuhkan,
sebuah tabungan akhirat. Wallahu A'lam Bishshowab.

Di bawah pohon beringin, 21/7/2012

Kamis, 19 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 4

Puasa Ramadhan sebentar lagi, beberapa bahkan telah menjalankannya.
Begitu banyak hal yang dapat dipetik dari puasa Ramadhan untuk
kehidupan manusia di dunia dan hasilnya nanti di alam akhirat.
Ramadhan mengajari bagaimana menjalani hubungan terhadap Allah SWT
yang lebih mendalam, serta hubungan terhadap sesama manusia dan
hubungan terhadap alam yang harmonis. Ramadhan merupakan masa training
dan pemusatan latihan, jika boleh dibilang. Masa training untuk
menjadi pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan ketiga hubungan
tersebut di atas, sehingga menjadi pribadi muslim yang luar biasa,
baik di dalam bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan. Menurut Gus
Solah, berpuasa Ramadhan akan menciptakan kesalehan-kesalehan,
diantaranya adalah kesalehan ritual, kesalehan sosial, kesalehan
profesional, dan kesalehan terhadap alam.

Jika saat ini, lingkungan hidup masih menjadi isu yang setiap hari
semakin menghangat, maka ada baiknya di bulan Ramadhan ini, setiap
individu muslim juga menerapkan kesalehan terhadap alam dan kesalehan
sosial, tentunya setelah kesalehan ritual dijalankan dengan
sebenar-benarnya. Mengutip surat Ar-Rum ayat 41: "Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)". Melihat ayat tersebut,
maka ada baiknya jika setiap setiap diri seorang muslim juga dibekali
kesalehan terhadap alam, dan harapannya bukan hanya di dalam bulan
Ramadhan, melainkan di luar bulan Ramadhan.

Peduli dan ikut berupaya dalam kelestarian alam dan ekosistemnya,
merupakan salah satu wujud syukur akan nikmat yang telah Allah SWT
berikan kepada umat manusia. Nikmat Alamah, merupakan salah satu
nikmat dari sekian nikmat yang diberikan Allah kepada umat manusia.

Jika nikmat alamah tidak disyukuri, maka kemungkinan bencana alam akan
mengintai kehidupan umat manusia. Seperti dalam Quran surat Ibrahim
ayat 7 : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Menurut M. Ali di dalam Kompas, 22
Februari 2002, krisis ekologi pada dasarnya merupakan krisis
spiritual. Juga menurut M. Ali, kerusakan alam juga merupakan dampak
individualisme dan egoisme, selain materialisme yang membuat manusia
kering dari kesadaran ekologis. Begitu juga adanya kepentingan sesaat
dan sempit menjadikan manusia tidak peduli dengan integritas dan
kesehatan ekosistem Bumi. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Al Gore
mengatakan bahwa krisis lingkungan yang melanda dunia merupakan
manifestasi nyata dari krisis spiritual. Menilik hal tersebut, sudah
sepantasnya bulan suci Ramadhan juga dijadikan tempat melatih diri
untuk membentuk kesalehan dan sikap syukur terhadap nikmat Allah,
sehingga bulan Ramadhan nantinya akan meluluskan "sarjana-sarjana"
Ramadhan yang berbakti kepada Allah SWT serta peduli dan mau bergerak
untuk kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat sosial. Wallahu'alam
bishowab.

Di bawah pohon beringin, 20/7/2012

Rabu, 18 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 3

Negara hijau-biru, sebuah nama yang sepertinya patut disematkan di
pundak negara Indonesia, di masa lalu. Mengapa hijau dan biru?,
lantaran peta dari foto satelit biasanya menggambarkan warna hijau dan
biru untuk gugusan kepulauan NKRI. Hijau menandakan vegetasi hutan dan
biru menandakan wilayah perairan. Namun, muncul keraguan saat ini,
lantaran foto satelit untuk wilayah Indonesia memperlihatkan alopesia
berwarna coklat, abu-abu, dan kekuningan diantara warna hijau. Bahkan
tampaknya di waktu sekarang ini, alopesia tersebut bertambah meluas
dan dikhawatirkan beberapa tahun ke depan, hijau dan biru akan
digantikan oleh warna coklat dan abu-abu. Lantas apa artinya?,
kegersangan akan melanda negeri ini.

Warna-warna tersebut hanyalah ibarat, fakta di lapangan, negara
Indonesia telah mengalami kehilangan vegetasi hutan tropis yang sangat
besar, baik kualitas dan kuantitasnya, menurut data, hutan kita hilang
sebesar 3 hektar permenitnya. Bahkan mungkin, hutan tropis yang
tersisa saat ini sebenarnya sudah tidak sanggup lagi menanggung beban
berat untuk menopang kehidupannya sendiri. Terlalu berat memang jika
alam raya Indonesia yang semakin ringkih diabaikan begitu saja.
Negara-bangsa Indonesia hidup di atas keanekaragaman hayatinya, jadi
salah besar jika sekarang ini manusia-manusia Indonesia mengabaikan
kelestarian hayatinya. Pengabaian secara terprogram, rasa-rasanya
telah dan tengah dijalankan oleh kalangan-kalangan tertentu supaya
keanekaragaman hayati tersebut menjadi terlupakan dan tergantikan oleh
keseragaman yang mungkin lebih menghasilkan "uang". Contoh mudahnya,
betapa mudahnya perusahaan-perusahaan asing yang tidak berwawasan
lingkungan beroperasi di suatu kawasan yang notabene mempunyai nilai
keanekaragaman hayati yang tinggi.

Pemerintah dan elite-elite pejabat di atas sana cenderung menutup
mata, mulut, dan hati akan masalah lingkungan hidup dan keanekaragaman
hayati yang tengah terjadi sampai detik ini, bahkan mungkin mereka
telah menutup hatinya akan kondisi ini. Degradasi dan kerusakan
keanekaragaman hayati pun semakin menjadi-jadi, tampaknya tidak
terlihat upaya serius mengatasi ini. Inilah ketidakadilan pemerintah
terhadap lingkungan hidup. Apabila upaya "penghilangan" vegetasi hutan
terjadi terus menerus di negeri ini dan planet bumi ini, maka
kemungkinan sekitar 5 – 10 % spesies yang ada di dunia akan punah
setiap sepuluh tahun sampai 30 tahun mendatang.

Jika di masa lalu kita berbangga bahwa negara Indonesia adalah negara
dengan keanekaragaman hayati terbaik, seperti dalam lirik lagunya Koes
Plus, dimana "tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Maka saat ini
tampaknya kita sering melihat kebalikannya, "tanaman jadi tongkat
kayu". Saat ini pemerintah lebih berbangga akan megaproyek ekonomi
yang berlandaskan pada ekonomi liberal kapitalis yang agaknya
memandang alam raya sebagai bahan baku belaka untuk diolah menjadi
uang. "Ketidak sabaran", mungkin itu yang bisa terucap dari mulut
ketika melihat tingkah polah para pembuat kebijakan di atas sana,
lantaran menginginkan terjadi percepatan aliran uang ke kas negara,
dan juga ke kas pribadinya masing-masing dalam waktu singkat atau
jangka pendek. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, bukankah
melestarikan keanekaragaman hayati atau pembangunan ekonomi yang
berwawasan lingkungan hidup-keanekaragaman hayati justru menghasilkan
keuntungan yang begitu besar dalam jangka waktu panjang?, entahlah.
Kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati merupakan
kekayaan suatu bangsa yang tidak ternilai harganya dan memberikan
kontribusi yang baik langsung maupun tidak langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Saat ini, adanya suara-suara untuk
menerapkan green economy diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati Indonesia,
sehingga negara ini tetap menjadi negara hijau-biru.

Selain itu, adanya komitmen bersama untuk menegakkan UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya diharapkan dapat mengurangi kerusakan kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekargaman hayati Indonesia. Kita
juga harus ingat bahwa lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati yang
dimiliki negara-bangsa ini bukanlah warisan nenek moyang untuk
generasi sekarang, melainkan titipan yang harus dan wajib kita
sampaikan ke generasi berikutnya. Sesungguhnya keanekaragaman hayati
merupakan unsur terpenting negara-bangsa ini dalam menapaki pergaulan
internasional di jaman globalisasi, karena keanekaragaman hayatilah,
Indonesia dikenal dunia internasional, dan keanekaragaman hayatilah
yang membuat Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi ratusan suku
yang kemudian menamakan diri sebagai bangsa Indonesia. Tanpa
keanekaragaman hayati, maka Indonesia akan limbung. Seperti yang
dikatakan oleh seorang naturalis Henry David Thoreau, bahwa "apa
gunanya rumah, jika anda tidak mempunyai sebuah planet untuk
meletakkannya". Serta jangan sampai kita baru menyadari pentingnya
kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati setelah bencana
memporak-porandakan negara kita dan bumi kita, seperti pepatah Indian
yang mengatakan bahwa "hanya bila pohon terakhir telah tumbang
ditebang, hanya bila tetes air sungai terakhir telah tercemar, hanya
bila ikan terakhir telah ditangkap, maka barulah kita sadar bahwa uang
di tangan tidak dapat dimakan". Wallahualam bishowab.

19/7/2012

Selasa, 17 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 2

"Galau" tampaknya bukan hanya tengah melanda anak-anak ABG dan remaja
negeri ini, tetapi penyakit "galau" rasa-rasanya telah menginfeksi
negara-bangsa Indonesia. Di masa Pax consortis, dimana republik ini
cukup berperanan di dalam ekonomi dunia, banyak warga negaranya justru
tengah dilanda kegelisahan akan masa depan nation-state Indonesia.
Kekhawatiran akan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan masih saja
menghantui setiap individu-individu bangsa Indonesia. Inilah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebuah negara-bangsa dengan wilayah yang
menjembatani dua benua dan dua samudera, serta dengan berbagai masalah
sosial-budaya-ekonomi-lingkungan yang belum kunjung terselesaikan.
Seperti yang dituliskan Paulinus Yan olla di dalam rubrik Opini Kompas
tertanggal 20 Februari 2012, jauhnya jarak antara klaim keberhasilan
pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya
kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan
publik. Tampaknya kondisi inilah yang membuat kehidupan bangsa semakin
tidak tentu arah, bimbang, bagaimana menyikapi antara "kehebatan" dan
"keberhasilan" atas kestabilan perekonomian di tingkat atas, dan
kesemrawutan perekonomian di tingkat bawah.

Lantas apa yang akan terjadi kemudian?, ketidakpercayaan publik
terhadap pemerintah, apalagi saat ini kondisi justru diperparah dengan
sikap mental materialis dan borjuis yang ditunjukkan oleh elite-elite
politik negeri ini, serta tentu saja korupsi. Inilah tampaknya efek
samping dari sebuah sistem demokrasi a la barat, siapa "berkesempatan"
maka dialah yang akan "kaya". Pancasila yang menjadi dasar negara
masih dan hanya dipahami secara parsial oleh mereka dan juga oleh
kita, rakyat Indonesia, lantaran belum ada panutan yang bisa dijadikan
contoh.

Lantas salahkah sistem yang kita anut tersebut?, karena kita beriklim
demokrasi, maka dipersilakan untuk berpendapat. Jika menilik
tahun-tahun awal negara ini berdiri, kontemplasi founding father
Soekarno mengenai sosiodemokrasi tampaknya dapat menjadikan bangsa ini
bebas dari dikte negara-negara barat. Tampaknya sosiodemokrasi menjadi
penengah antara persaingan sistem bernegara waktu itu yang ditawarkan
oleh negara barat dan yang ditawarkan oleh negara sosialis komunis.
Secara garis besar, gagasan Bung Karno dalam berdemokrasi yang benar
adalah demokrasi yang melahirkan kesejahteraan sosial. Ekonomi
Pancasila dengan pengakuan hak individu sebagai penggerak ekonomi yang
ditawarkan sistem sosiodemokrasi tampaknya berbeda dengan sistem
demokrasi a la barat saat ini, dimana manusia dianggap sebagai "mesin"
pencetak laba, serta sistem sosialis komunis yang mengkebiri hak
individu. "Memanusiakan manusia", tampaknya begitulah yang ingin
diwujudkan Bung Karno. Jika ditilik lebih mendalam, memang susah
penerapan apa yang dinamakan ekonomi pancasila, karena ekonomi dunia
lebih condong kepada dua kutub yang bersebelahan, antara liberal
kapitalis dan sosialis komunis.

Warga negara tampaknya menginginkan suatu kondisi negara-bangsa yang
mandiri dan berdikari. Tentu masih ada di dalam benak, pidato Bung
Karno yang berbunyi, "America……… go to hell with your aid", pidato
tersebut tampaknya merupakan sebuah kepiawaian seorang pemimpin untuk
berani tidak didikte asing (Amerika) waktu itu, sehingga dengan
harapan, bangsa yang baru merdeka kala itu tidak merengek-rengek
meminta bantuan finasial terus-menerus, dan harapannya bangsa ini bisa
mandiri dan berdikari di masa depan. Sikap seperti Bung Karno yang
berpikiran ke depan kala itu, juga sejalan dengan sikap presiden
Phillipines, Manuel Quezon, beliau mengatakan, "lebih baik pergi ke
neraka tanpa Amerika, daripada pergi ke surga bersama-sama dengan
dia".

Pidato Bung Karno tahun 1965 yang berbunyi, " jika rakyat dan para
pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangkan daya kreasinya, pastilah
kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pastilah kita tidak perlu
impor barang-barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat
mengekspor barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip
'berdiri di kaki sendiri' dalam ekonomi". Namun, yang terjadi saat ini
tampaknya kebalikan dari apa yang diucapkan Bung Karno empat puluh
tujuh tahun yang lalu. Selain berkonsep berdikari dan mandiri,
jauh-jauh hari Bung Karno sudah merenungkan bahwa negara ini
memerlukan suatu toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan,
menguasai sumberdaya strategis, mengakui potensi lokal, serta berperan
aktif dalam pembangunan untuk menuju Indonesia yang tangguh. Namun,
saat ini, konsep dan gagasan founding father kita rasa-rasanya
dianggap sebagai sesuatu yang sudah usang dan tidak sejalan dengan era
reformasi dan globalisasi. Yang terjadi saat ini adalah ketimpangan
dan ketidakseimbangan yang kemudian akan menyebabkan negara-bangsa
Indonesia menjadi goyah dan keropos. Wallahu'alam Bishowab.

Di Bawah Pohon beringin, 18/7/2012

Senin, 16 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 1

Ada yang bilang, negara ini kekurangan stok negarawan. Mungkin ada
benarnya, dan mungkin juga tidak begitu, hanya belum dipertemukan
saja. Lantas apakah begitu berwarna-warninya partai-partai politik dan
banyaknya sosok-sosok di gedung DPR-MPR belum cukup dikatakan sebagai
stok negarawan di Indonesia?, mungkin, tetapi sepertinya mereka bukan
tipikal negarawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud
negarawan adalah ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan) dan
pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara
dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan
kebijaksanaan dan kewibawaan, bisa dikatakan bahwa beliau merupakan
pahlawan besar dan agung. Lantas siapakah mereka yang ada di parlemen
dan pemerintahan?, entahlah.

Gampangnya, jika mereka yang ada di parlemen dan pemerintahan tidak
mempunyai ciri negarawan seperti yang ada dalam KBBI, maka bisa
dibilang mereka bukanlah negarawan. Lalu, siapa mereka?, media-media
massa sudah sangat rutin memberitakan mengenai sepak terjang mereka.
Dan penilaian pasti akan sangat relatif, karena iklim kita adalah
demokrasi. Namun, rasa-rasanya mayoritas dari kita pasti berpikir
mereka hanyalah para pencari kesenangan belaka. Entah benar, entah
salah, terserah yang menilai lantaran iklim kita adalah demokrasi.

Apatah yang dikatakan Willem Walraven ada benarnya jika menilik
kondisi negara bangsa yang semrawut ini. Menurut Walraven,
orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis, sama sekali bukan
idealis. Ia juga mengatakan, orang Indonesia bukan marxis, bukan
sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang borjuis. Apabila apa
yang dikatakan Walraven benar-benar bercokol di dalam diri kita,
bangsa Indonesia, maka habis sudah negara bangsa ini. Dan terkhusus
jika mereka-mereka yang ada di sana, parlemen dan pemerintahan, serta
yang akan "bertarung" ke arah sana, maka benar-benar habis sudah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rasa-rasanya kehidupan yang
materialis dan borjuis sudah ditunjukkan oleh mereka-mereka sang
pejabat dan elite politik kita. Bukan melayani rakyat sesuai dengan
idealisme wakil rakyat, tetapi merengek-rengek manja minta dilayani.

Lebih miris lagi jika apa yang ditulis Wischer Hulst benar adanya dan
tersembunyi dalam jiwa setiap bangsa Indonesia. Melalui buku
"Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici", Hulst mengatakan
bahwa Indonesia adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia
dilahirkan dengan naluri atau insting politik, dan mereka mati dengan
itu pula. Jika dicermati, rasa-rasanya memang begitulah bangsa
Indonesia. Bukti sudah sering kita baca dan tonton di media-media
massa. Politik sudah menjadi "bidang pekerjaan" baru di negeri ini,
ribuan orang berjibaku untuk dapat meraih pekerjaan itu. Asal dapat
mencicipi "politik", humanisme dan moralitas berani mereka langgar.
Begitu menjanjikankah politik itu?, buat mereka tampaknya begitu dan
sangat menjanjikan jabatan di bidang politik itu, materi dan
kekuasaan, itulah yang dijanjikan politik. Namun, bukankah politik
diibaratkan sebagai barang yang paling kotor dan lumpur-lumpur yang
kotor (Soe Hok Gie). Entahlah, karena kita berdemokrasi, silakan
beropini sendiri.

Bangsa ini haruslah bisa lepas dari pesimisme-pesimisme tersebut. Jika
terpaksa jatuh ke dalam kubangan lumpur kotor politik; ada baiknya
berlakulah taat asas, berwibawa, bijaksana, dan berpikir untuk
kemajuan seluruh golongan bangsa Indonesia. Ah, entahlah, tampaknya
pesimistis tersebut malah semakin membuncah manakala melihat bangsa
ini yang saling sikut kanan-sikut kiri demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Entah sampai kapan kondisi ini menghantui negara bangsa
ini. Habis sudah negara bangsa ini, Bung Karno-Hatta-Sjahrir dan
negarawan-negarawan lainnya mungkin akan menitikkan air mata melihat
kondisi NKRI saat ini.

Percaya atau tidak, karakter materialis dan borjuis seperti yang
dikatakan Walraven sudah mendarah daging di kehidupan setiap bangsa
Indonesia, contohnya mungkin kita sendiri. Tampaknya untuk waktu ke
depan, mungkin tidak akan pernah terdengar lagi "titik darah
penghabisan untuk tanah air", tetapi "titik darah penghabisan asal
saya bisa senang". Nasionalisme dan patriotisme pun hanya akan menjadi
hiasan-hiasan di buku-buku pelajaran anak sekolahan, yang mungkin
tidak akan pernah dipahami maknanya. Terlihat seperti sebuah slogan
absurd yang sampai kapanpun akan begitu-begitu saja, bahkan mungkin
akan hilang dengan sendirinya. Mengapa kita tidak berusaha menjadi
Gie, yang percaya bahwa untuk menjadi patriot-patriot yang baik harus
mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh.


Di bawah pohon beringin, 17/7/12

Selasa, 10 Juli 2012

Corat-Coret Siang Bolong

Semilir angin laut di siang terik tidak menghalangi niatan seorang pemuda lusuh mendekati sesosok kakek tua berjubah putih dengan beberapa sobekan di sana-sini. Tepat di atas batu kali dan di bawah pohon beringin yang rindang, sesosok kakek tua terlihat tengah bersandar pada batang pohon beringin yang kokoh itu. Semilir angin tampaknya membuat kedua matanya terpejam.

"Nuwun séwu mbah", ucap lirih pemuda lusuh sambil berjalan jongkok mendekati kakek tua itu.

"Héh, ono opo?", tiba-tiba kedua mata sayu sesosok kakek tua itu terbuka, masih sambil bersandar di batang pohon beringin.

"Nuwun sewu, nyuwun ngapuntên mbah, kulo sampun ganggu mbah."

"Ora opo-opo, arêp opo kowé lé?"

"Niki mbah kulo pengen ngêrtos punapa sakniki sampun mlêbêt jaman goro-goro?"

"Sik, sik, tak takoni dhisik, opo kowé wis ngêrti opo iku jaman goro-goro?"

"Déréng ngêrtos mbah, lha pripun mbah?"

"Jaman goro-goro iku nék asah, asih, lan asuh wis ilang, gantiné asa, asi, lan asu."

"Pripun niku mbah?"

"Wis dhêlokono jaman saiki, asa iku pêmêrintah wis ora pêduli karo rakyaté, asi iku akéh sing podho ngunggulke nafsuné, lan asu iku akéh sing duwé kêlakuan koyo kéwan."

Seiring dengan angin yang agak ribut, tiba-tiba sesosok kakek tua itu menghilang.

"Mbah, mbah, mbah!", panggil pemuda lusuh itu.

Senin, 14 Mei 2012

Rindu Rerumputan Hijau

Panas, gersang, dan kering, begitulah kesan yang terasa ketika
memasuki gapura dusun Sawo. Tidak usah menunggu tengah hari, suasana
panas dan gerah sudah terasa sejak pagi hari, bahkan selepas kumandang
adzan Subuh. Begitu kering dan gersangnya, hanya terlihat hamparan
tanah-tanah kosong berliput debu-debu kelabu beserta rumah-rumah
berdinding papan kayu dan anyaman bambu. Sama sekali tidak terlihat
tegakan pohon, bahkan mungkin rumput pun enggan tumbuh di dusun Sawo.

Suasana yang disajikan dusun Sawo di siang ini benar-benar sunyi dan
sepi. Entah pergi kemana sebagian besar warganya. Menurut pemuda dusun
yang tengah bercengkerama di bawah atap gapura dusun, jika siang
menjelang, hampir semua warga dusun masuk ke dalam rumah, atau dengan
kata lain mereka tengah berteduh. Tepatnya berteduh dari sengatan
matahari dan dari debu-debu kelabu yang menghantui dusun Sawo.

"Debu-debu kelabu itu sudah menjadi pemandangan umum di dusun ini
sejak tiga bulan yang lalu, dan sejak adanya debu-debu itu, malapetaka
pun selalu mendatangi dusun setiap waktu, bahkan sampai hari ini",
tambah salah seorang dari pemuda dusun itu lagi.

Entah apa maksud mereka. Memang jika dilihat sepintas, dusun Sawo
terlihat bagaikan dusun tak berpenghuni. Siapapun orang yang bertamu
ke dusun Sawo pasti selalu menanyakan mengenai keganjilan yang ada di
dusun Sawo. Siang semakin terik, matahari tepat di atas kepala,
semakin sepi pula dusun Sawo. Tiga orang pemuda itu tampaknya tengah
bertugas menjaga dusun. Mereka berujar bahwa tamu tidak diperkenankan
memasuki dusun kala siang hari. Mungkin peraturan tersebut berguna
untuk melindungi dusun dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan.
Meskipun terik dan cahaya mentari seharusnya menenggelamkan dusun
dalam suasana terang-benderang, pandangan mata tetap saja tidak bisa
melihat lebih jauh suasana ke dalam dusun Sawo, lantaran kabut debu
yang semakin terik semakin meningkat kekeruhannya.

----------------------------

Mentari semakin condong ke arah barat, kabut semakin menghilang,
seketika itu pemandangan dusun semakin terlihat jelas. Beberapa warga
dusun terlihat tengah keluar dari rumahnya yang berselimut debu
kelabu. Terlihat beberapa diantaranya menyapu teras dan pekarangan
rumahnya dari debu yang tampaknya tebalnya sampai satu mata kaki orang
dewasa. Panas dan gerah masih saja terasa hingga sore ini. Sore yang
terik, begitulah kesan yang terasa. Diantara suasana sore yang mulai
ramai, tiba-tiba terdengar suara isak tangis dan teriakan dari arah
timur gapura dusun, suara itu terdengar bersamaan kumandang adzan
Ashar yang tidak terlalu keras.

Beberapa warga terlihat menghentikan aktivitasnya dan berhamburan
menuju sumber suara. Tidak lama berselang, sekitar lima belas menit,
tiba-tiba terdengar pemberitahuan dari pengeras suara musholla yang
sebelumnya mengumandangkan adzan Ashar.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, telah meninggal dunia, Klênthêng,
putra dari bapak Kapuk, pada hari ini pukul tiga sore", begitulah
kabar lelayu yang terdengar berkali-kali dari pengeras suara musholla.

Menurut salah satu pemuda dusun yang sejak siang berjaga di bawah
gapura dusun, kejadian seperti sore ini hampir tiap hari terjadi,
kejadiannya diawali sekitar tiga bulan yang lalu, sejak debu-debu
kelabu memayungi dusun Sawo, dan sejak rumput-rumput hijau musnah.

"Beliau yang meninggal adalah beliau yang rindu akan rumput hijau,
biarkan gusti Allah menuntunnya menuju hamparan rumput hijau di sana",
ujar mas Kadal, salah satu pemuda dusun yang sejak siang berjaga di
bawah atap gapura dusun, sambil mengarahkan tangan kanannya ke langit
yang mulai redup.

-----------------------

Dusun Sawo merupakan salah satu dusun percontohan swasembada beras dan
dusun penghasil palawija terbaik di salah satu sudut pulau Jawa. Dusun
ini memiliki tanah yang sangat subur dan cocok untuk segala macam
tanaman, baik pangan maupun tanaman liar. Selain itu, sumber air yang
berlimpah telah menjadikan dusun Sawo sebagai daerah yang ditunjuk
oleh pemerintah daerah setempat sebagai daerah penyedia air untuk
wilayah-wilayah sekitar. Gemah ripah loh jinawi, begitulah ujar
masyarakat ketika melihat kondisi dan kehidupan masyarakat di dusun
Sawo.

Mata pencaharian sebagai petani dan peternak telah turun-temurun
dijalani oleh hampir semua warga dusun Sawo. Mereka selalu bangga akan
mata pencaharian tersebut. Mbah Suket, salah satu tetua dusun pernah
berujar bahwa semua warga akan bersatu-padu untuk melestarikan dusun
Sawo meskipun ancaman modernisasi mulai menggerus dusun itu. Beberapa
warga memang mengkhawatirkan kondisi akhir-akhir ini, dimana banyak
dusun sekitar yang menjual lahan pertaniannya kepada pengembang
perumahan. Entah karena alasan apa, banyak warga dari dusun sekitar
dusun Sawo tertarik untuk menjual hartanya tersebut.

"Tanah ini, dusun ini adalah harta yang tak ternilai harganya",
begitulah ujar mbah Suket. Hampir semua warga dusun Sawo beranggapan
bahwa bertani dan beternak merupakan salah satu wujud rasa syukur
kepada Tuhan atas kehidupan yang diberikan-Nya kepada mereka. Atas
keuletan dan ketangguhan warga dusun Sawo, akhirnya dusun tersebut
dinobatkan pemerintah propinsi sebagai dusun swasembada pertanian satu
tahun yang lalu.

Hijau royo-royo, begitulah kesan yang tertangkap oleh pandangan mata,
lantaran di semua arah terlihat hamparan hijau, baik oleh rerumputan,
lahan-lahan persawahan, dan tegakan-tegakan pepohonan rindang. Kala
hari terang, terdengar riuh anak-anak dusun memenuhi hampir di setiap
sudut dusun. Dengan bertelanjang kaki, telapak-telapak mungil mereka
menjejak hijau rerumputan yang menghampar di seluruh dusun. Hampir
setiap hari, mereka selalu dibelai oleh hijaunya rerumputan dan
sejuknya angin dusun Sawo. Sedangkan para orang tua terlihat
berkerumun di setiap lahan persawahan dusun Sawo. Senyum penuh
semangat selalu merekah di bibir mereka, rasa-rasanya tidak pernah
terdengar keluhan yang terlontar dari mulut mereka.

"Gusti Allah sudah memberikan rejekinya kepada warga dusun Sawo, jadi
kami harus selalu bersyukur dengan bekerja penuh senyum dan semangat",
begitulah ujar pak Êntung, putra dari mbah Suket.

Begitu bersahaja dan sederhana kehidupan warga dusun Sawo. Bisa
disebut mereka hidup selaras dengan alam, lantaran mereka selalu
memanfaatkan secara bijak sumber-sumber alamnya. Mbah Suket pernah
berujar bahwa untuk menebang satu pohon, warga dusun diwajibkan untuk
menggantinya dengan menanam pohon yang sama. Selain itu, setiap habis
panen, sebagian hasil panen tersebut dibagikan kepada warga dusun
tetangga dan juga dibagikan untuk makhluk-makhluk lain penghuni dusun,
yang tak lain adalah burung dan monyet ekor panjang. Pemanfaatan air
pun benar-benar diatur sedemikian rupa, sehingga ketika musim kemarau,
persediaan air tetap melimpah.

----------------------

Sekitar tiga bulan yang lalu, tepatnya sepeninggal mbah Suket.
Pemerintah daerah dan propinsi merubah peraturan tentang rencana tata
ruang wilayah, tiba-tiba pemerintah daerah menetapkan wilayah dusun
Sawo dikhususkan sebagai wilayah industri pertambangan, lantaran
berdasarkan data tim pemantau pemerintah daerah menemukan bahwa tanah
dusun Sawo memiliki kandungan gamping dan silika yang melimpah dengan
kualitas terbaik. Seketika itu, pemerintah daerah pun mengijinkan
berdirinya industri pengolah gamping dan silika di dusun Sawo.
Bukannya tidak ada penolakan dari warga dusun Sawo, tetapi mereka
tidak tahu harus menyalurkan penolakannya kepada siapa. Mereka terus
berupaya menggagalkan pendirian industri tersebut. Namun, kekuatan
mereka tampaknya kalah dibandingkan kekuatan pemerintah dan pengusaha.

Pemerintah daerah yang sebelumnya bangga terhadap dusun Sawo sebagai
sentra pertanian dan peternakan, kini pemerintah daerah lebih bangga
terhadap industri pengolah gamping dan silika yang akan beroperasi di
dusun Sawo. Pemerintah daerah beralasan bahwa keberadaan industri di
dusun Sawo akan mengangkat taraf perekonomian warga dusun dan warga
sekitar dusun Sawo. Namun, warga dusun Sawo beranggapan lain, mereka
tidak menginginkan jika hidupnya hanya dijadikan sebagai buruh,
apalagi buruh dari industri yang merusak alam, dan mereka menilai,
industri tersebut hanya akan menyengsarakan kehidupan warga dusun
Sawo. Tampaknya pemerintah daerah terkesan semena-mena, lantaran sama
sekali tidak ada dialog antara warga dusun Sawo dengan pemerintah
daerah.

--------------------

Sejak peresmian berdirinya industri pengolah gamping dan silika
tersebut, malapetaka benar-benar menghinggapi dusun Sawo. Rerumputan
hijau berubah menjadi hamparan gersang, sawah yang sebelumnya
berisikan padi tiba-tiba berubah menjadi tanah lapang yang gersang.
Tidak hanya itu, satu persatu ternak sapi dan kambing mendadak mati.
Sumber air pun tiba-tiba menyusut, dan akhirnya menjadi kering
kerontang. Kekeringan dan kelaparan benar-benar telah menjadi momok
warga dusun Sawo. Tampaknya tidak ada yang menanggung derita warga
dusun Sawo, lantaran industri tersebut tetap mengabaikan hak-hak
masyarakat dusun Sawo. Pemerintah daerah pun seolah-olah menutup mata
atas kejadian tersebut.

Tidak hanya itu saja, sudah tiga bulan ini, debu-debu sisa pengolahan
gamping dan silika mencemari udara dusun Sawo. Apabila siang hari,
debu-debu berwarna kelabu tersebut memadati setiap ruang dusun Sawo,
tampak seperti sebuah kabut di pegunungan. Pak Êntung pernah berujar
bahwa setiap hari, setidaknya satu orang warga dusun meninggal,
lantaran keracunan debu-debu sisa pengolahan silika dan gamping. Warga
lain pun selalu mengeluhkan adanya gejala sakit pernapasan ke
puskesmas setempat, tetapi tetap saja tidak terlihat respon dari
pemerintah daerah.

-----------------------

Malapetaka itu pun berlanjut sampai sekarang, warga dusun yang dulunya
dikenal sebagai warga yang tangguh, saat ini menjadi warga yang
ringkih dan gampang sakit-sakitan. Seperti yang diungkapkan mas Kadal,
warga dusun Sawo benar-benar rindu akan rerumputan hijau, yang
merupakan tanda hidup yang lestari dan bersahaja. Saat ini memang
mereka tidak dapat melihat hamparan rerumputan hijau lagi, tetapi
Tuhan telah mengijinkan mereka melihatnya di tempat yang
dikehendaki-Nya.

Rabu, 14 Maret 2012

Masa Sekarang Negara Bangsaku

Semakin hari semakin bertambah pula masalah yang dialami negara bangsa
ini. Entah mulai masalah politik sampai kemasyarakatan yang tampaknya
belum terlihat ujung penyelesaiannya. Apa yang akan terjadi
selanjutnya?, begitulah kira-kira yang terlintas di benak sebagian
masyarakat. Rupa-rupanya semua masalah tersebut berpangkal dari apa
yang namanya uang, atau lebih halusnya disebut ekonomi. Pemerintahan
negara ini tampaknya ingin berusaha mensejajarkan negara bangsa ini
dengan negara-negara lain di dunia yang masuk kategori maju dan mapan
secara ekonomi. Segala macam cara ditempuh oleh pemerintah, tampaknya
mengedepankan cara-cara barat atau berpatokan pada kaidah kapitalisme.
Mereka atau pengurus negara yang notabene adalah orang-orang pintar
berusaha mendobrak apa yang disebut dengan kearifan-kearifan lokal
dengan maksud supaya maksud kemajuan secara ekonomi dapat tercapai,
dan akhirnya negara bangsa ini tidak berada di posisi negara dunia
ketiga, serta setidaknya dapat sejajar dengan negara-negara maju di
dunia. Kita, nusantara, beraneka ragam tipe masyarakatnya, belumlah
bijak jikalau pemerintah terlalu memaksakan kemajuan ekonomi yang
melanggar nilai-nilai luhur dan kearifan lokal tiap-tiap masyarakat
nusantara. Industrialisasi yang meluas dan tidak tepat, menyebabkan
beberapa bagian masyarakat menjadi korban. Konflik terjadi
dimana-mana. Bangsa yang terkenal murah senyum tiba-tiba berbalik
seratus delapan puluh derajat menjadi mudah marah dan mudah tersulut
emosi. Inikah wajah nusantara sebenarnya?

Pemerintah dengan iming-iming peningkatan ekonomi, menyuburkan
industri yang bisa dibilang tidak ramah sosial-budaya-lingkungan-alam
nusantara. "Yang penting negara ini berekonomi baik", begitu mungkin
ujarnya. Apakah perekonomian negara yang "baik" tersebut berbanding
lurus dengan kemakmuran, kedamaian, dan kesejahteraan
sosial-budaya-alam-lingkungan?, entahlah. Memang ekonomi negara bangsa
ini tergolong membaik, tetapi efek atas dan bawah terus saja terjadi.
Ekonomi negara cenderung berkawan dengan dunia politik, atau
sebaliknya, dan ekonomi negara tersebut belum terlalu lancar arusnya
sampai ke masyarakat-sosial-budaya-lingkungan. Di tataran atas, efek
samping tipu-tipu, kemunafikan, dan korupsi menjadi hal yang tampaknya
akan menjadi sesuatu yang lumrah.

Kita sebaiknya ingat, jikalau negara bangsa ini dibangun di atas
peradaban nusantara yang adiluhung, dengan keanekaragaman nilai-nilai
spiritual, kearifan-kearifan lokal, keanekaragaman hayati, dan
nilai-nilai budaya yang luar biasa besarnya, yang tidak dipunyai oleh
negara dan bangsa manapun di dunia ini. Negara bangsa ini bukanlah
dibangun di atas industrialisasi yang tidak memanusiakan manusia dan
merusak alam. Inilah yang seharusnya digali oleh pemerintah, atau
pemerintah setidaknya berpikiran ke arah sana. Kita bangga dengan
Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati dan budaya yang luar
biasa besarnya, bukan bangga dengan industrialisasi yang
menyengsarakan dan menganiaya itu semua. Pemerintahan sudah jelas
tugasnya, mengayomi dan memfasilitasi masyarakatnya, serta
masyarakatnya setidaknya harus punya kesadaran dan daya kreasi untuk
mewujudkan itu semua. Apabila dua itu hal berjalan beriringan dan
selaras, tak bisa dipungkiri, kemakmuran akan menyambangi setiap
masyarakat dan keanekaragaman hayati-budaya Indonesia akan semakin
meningkat kualitas dan kuantitasnya.

Malam Melankolis

Rupa malam ini semakin melankolis saja
Entah esok
Tidak berbeda dengan malam sebelumnya
Namun, malam ini lebih membuncah

Tampaknya bukan lantaran gelap yang meunutup terang
Melainkan lesapnya sepenggal asa
Jiwa jiwa penghuni mayapada
Lihatlah, betapa banyak mata sayu dan merah
Bahkan tubuh pun memucat
Tidak ada beda dengan mayat
Kosong dari pengharapan

Ah, lihatlah dan dengarlah!
Narapraja pun enggan berkomentar
Hanya ceracau dalih dalih yang terlontar
Diam diam tangan mereka ikut mengacak acak pengharapan nan berwarna
Apatah ini yang menjadikan sendu menghias kala malam
Biarlah melankolis menjamahi setiap malam
Inilah empati manusia nusantara
Untuk esok yang lebih berwarna
Meskipun asa tinggal sepenggal

Bintaro, 15 Maret 2012

Senin, 12 Maret 2012

Pusara Kehidupan

Gundukan gundukan tanah lempung dengan sebatang pohon kamboja
Inilah pusara kehidupan
Gersang teduh tak jadi soal
Lantaran ini pusara kehidupan
Kadang terlupa dan dilupakan
Biarlah yang ingat
Menatap lekat sembari ziarah
Bertafakur sembari bersenandung lantang
Untuk lesapnya segenggam dan berkarung gurauan
Menyambut setitik kesejatian
Saat ini, besok dan masa mendatang


Bintaro, 13 Maret 2012

Jumat, 09 Maret 2012

Bêjo ora Bêjo

Kutho Bangkit jam 09.00 ésuk dina sênin, wayahé wong-wong dho kêrjo
lan cah-cah sêkolah wis padha budhal tapi dalan lan trotoar sampingé
alun alun iséh kotor.

Bêji : (markirké sêpéda jéngki ning ngisor wit cêmoro karo jupuk sapu
ning boncéngan sêpéda) wah wah asêm tênan, jam sêméné durung ono sing
têko, piyé iki sampah akéhé sêméné, moso aku dhéwé sing ngrêsiki.
Asêm, gaji mung iso kanggo mangan tahu témpé malah dikongkon kêrja
rodi. Wis lah, tak ênténané sing liyané, (ngêtokke handphone merk
china têko sak cêlononé) limolas mênit nék ora ono sing têko tak
tinggal mulih waé.

Bêjo : (ngêrém mêndadak ning mburiné Bêji) piyé Ji? kok iséh kotor
kabéh iki piyé? niat kêrjo opo ora? (markirké sêpéda jéngki ning
sampingé sêpédané Bêji).

Bêji : asêm ik, lha sampéyan iki ning êndi waé jam sêméné nêmbé teko?
opo sampéyan méh dadi PNS trus lali karo tugasé? (karo nglêbokké
handphoné ning sak celononé).

Bêjo : PNS opo tho?

Bêji : Halah, sampéyan iki, kaya wong lalinan waé.

Bêjo : Ooo kuwi tho, wong sésuk arêp mélu ujian CPNS thok og, kan yo
ora mêsti lolos Ji, lha wong aku cuma lulusan SMA thok (karo
ngrêgangké awaké).

Bêji : lha iséh bêjo sampéyan mas lulusan SMA, lha aku SD waé ora
lulus mas (jupuk sapu lan ékrak).

Bêjo : wis, wis, saiki balik ning gawéan waé (jupuk sapu lan ékrak),
loh sing liyané êndi Ji?

Bêji : mbuh mas, sinau kanggo tés sésuk paling mas. Sampéyan mau tak
kiro yo ora budhal mréné.

Bêjo : nék aku iki profésional og Ji (karo nêpuk pundaké Bêji).

Bêji : halah, tukang sapu waé ngomong profésional.

Bêjo : eee, ojo salah lho Ji, wong kêrjo iku dituntut profésional.
intiné yo kuwi dituntut profésionalismé.

Bêji : panganan opo kuwi, sampéyan ngêrti artiné opo ora? (mlaku
ninggalke Bêjo).

Bêjo : yo ngerti no.

Bêji : (balik mênéh) opo artiné mas?

Bêjo : yo ngono artiné, kêrjo yo kêrjo. Wis lah sing pênting halal (karo mésém).

Bêji : halah (nêruské langkah).

-----------------------------------

Awan sêkitar jam 01.00 awan, ning warung kopiné Dhé Mi wis dho ngumpul
Bêjo, Bêji, Lik Min, Mbah Marto lan Mas Kirno. Dho lungguh santai ning
bangku dhowo madêp méjo sing isiné panganan goréngan lan jajanan
pasar. Liyané iku ning jêro warung ono cah cilik lagi milih-milih
krupuk.

Dhé Mi : sésuk wis siap Kir? (karo ngudhêk kopi ning gêlas).

Mas Kirno : siap opo léh dhé?

Dhé Mi : dadi PNS (karo nompo dhuwit têko bocah cilik sing tuku krupuk).

Mas Kirno : lha iki mas Bêjo sing wis siap kéthoké (nyruput kopiné
sing iséh panas).

Bêjo : siap dunyo akhérat dhé (karo ngguyu).

Mas Kirno : aku sakjané yo êmoh mélu koyo ngono iku dhé, aku iki wis
iso makani anak bojo tanpa dadi babu pêmêrintah og.

Dhé Mi : lha sabên dino ngutang kok muni iso makani anak bojo Kir Kir.

Mas Kirno : tapi kan mêsti tak bayar dhé.

Lik Min : sék sék, sêbênêré kuwi kêrjomu opo tho Kir? (karo mangan bakwan).

Mas Kirno : lha kuwi daganganku (karo nunjuk akuarium-akuarium sing
dipajang ning pinggir dalan).

Lik Min : iku thok? (nadané ora percaya).

Mas Kirno : nggih lik.

Mbah Marto : jaréne krungu-krungu kowé mbiyén kêrjo ning pêrtambangan
lé? (karo nyumet rokok klobot).

Mas Kirno : sampun mbotên mbah, sakniki sampun ganti.

Bêji : mas Kirno kan sarjana kok gêlêm dagang iwak?

Mas Kirno : sarjana êndhasmu Ji.

Bêji : lha têrus opo mas?

Mas Kirno : aku ora tau mangan kuliahan og.
Wong cuma sêkolah kursus thok og, kok dianggap kuliah (karo ngguyu).

Bêji : opo bédhané mas?

Mas Kirno : yo bédha no, kuliah iku ragadé gêdhé. Wis wis ora usah
dibahas mênéh (karo nyeruput kopine sing iseh panas).

Bêjo : sing pênting kêrjo kuwi kudu profésional nggih mas?

Mas Kirno : wah pintêr kowé Jo, sinau têko êndi?

Bêji : kawit mau kok sing diomongno profésional (nglirik Bêjo karo
mésêm), mas Bêjo kan arêp dadi PNS mas, makané pintêr (karo mangan
gêdhang goréng).

Bêjo : kan sinauné têko sampéyan mas Kir (karo ngguyu).

Lik Min : kowé arêp mlêbu sing ning bagian opo Jo?

Bejo : kulo péngéné ning dinas kêbêrsihan lik.

Mas Kirno : wah iki sing jênêngé profésional tênan, ahli sampah dadi
pêgawai kêbêrsihan, sip tênan Jo, kutho iki lak malah dadi rêsik tur
nyaman dipandang, wis tak dongakké Jo.

Bêjo : amin, suwun mas, lha mas Kirno milih opo?

Mas Kirno : sakjané aku ora niat mélu tés CPNS Jo, aku dipaksa wong
tuo dikongkon dadi PNS pokoké, yo wis aku milih ning dinas pêrtanian
waé Jo.

Dhé Mi : kowé kok antêng dhéwé Ji, ora mélu tés-tésan pêgawai?

Bêji : mbotên dhé, mboten gadhah artha dhé, lak énak tak ênggo tuku
rokok waé dhé (karo ngemut rokok sing durung disumêt).

Lik Min : ngomong-ngomong kowé wis padha ngêrti durung, saiki kuwi
jamané pêsên formasi pêgawai.

Bêjo : opo kuwi lik?

Mas Kirno : iyo lik, wis ngêrti aku. ngéné lho saiki kuwi sopo waé
sing arêp dadi PNS kudu pêsên dhisik.

Bêjo : piyé tho, aku kok iséh durung mudêng (karo maténi rokoké sing
wis arêp ênték).

Mas Kirno : ngéné lho Jo, gambarané saiki kuwi sêbênêré kutho Bangkit
iki mung butuh 10 PNS, tapi kowé nék pêsên dhisik, jatah PNS kutho
Bangkit iso ditambah.

Bêjo : lha sing 10 wong kuwi sing bêjo yo mas?

Mas Kirno : 10 wong kuwi yo sing bêjo yo sing mbayar Jo (karo ngguyu).

Bêjo : lha aku yo mbayar lho mas.

Mas Kirno : mbayar opo?

Bêjo : kan mbayar biaya pêndaftaran.

Mas Kirno : (ngguyu), sing kêtompo kuwi sing iso mbayar 80 jutaan lan
titipan sing bapaké pêjabat utowo kênalané bupati.

Bêjo : wah tênané mas?

Lik Min : mosok kowé ora ngêrti Jo, makané ojo nyapu têrus.

Bêjo : lha têrus aku piyé iki Lik, lak mbotên sagêd dadi pêgawai
kantoran (karo ngemut rokok mênéh).

Bêji : aku iséh duwé konco nék ngono (ngguyu sampai kêsêlêk).

Mbah Marto : hus, kancané péngén dadi pêgawai kok ora didongakké.

Bêji : lha pripun mbah?

Mas Kirno : wis ora opo-opo, aku yo ora bakal iso masuk PNS, wis ngéné
waé, kowé tak dadékno pegawaiku waé yo (nunjuk Bejo).

Bêji : aku piyé mas?

Mas Kirno : kowé yo iyo, tak dadékké pêgawaiku.

Bêji : asik iso dadi pegawai, éh pêgawai opo mas?

Dhé Min : pêgawai opo Kir?, dagang iwak hias urip waé ko butuh pêgawai.

Mas Kirno : wah, dhé Min iki sênêngané kok underestimate (karo
ngguyu), aku kan rêncanané arêp mbangun warung makan dhé.

Dhé Min : lho nyaingi warungku nék ngono?

Mas Kirno : mbotên dhé, warungé dhé Min kan warung kopi lan bukaké
ésuk sampai soré, warungku kuwi warung ikan bakar bukaké wayah wêngi
dhé.

Bêjo : tênan lho mas, bén aku iso pénsiun dadi tukang sapu.

Dhé Min : aku nék mangan ning nggonmu digratiské yo? (karo ngêlap
gêlas sing arêp diisi téh angêt).

Mas Kirno : bérés dhé, nék sampun kulo nggih diréwangi rêsik-rêsik
warung (karo ngguyu).

Dhé Min : o, kowé iku kir.

Mbah Marto : kapan kowé arêp mbangun warung lé?

Mas kirno : Insyaallah sasi ngarêp mbah.

Mbah Marto : ning êndi mbanguné lé?

Mas Kirno : samping dalêmé ibuk mbah.

Mbah Marto : o ngono tho, wis tak dongakké mugo-mugo diparingi
kêlancaran rêjêki têko gusti Allah.

Mas Kirno : amin, suwun nggih mbah.

Suara cah cilik sing golék iwak ning got pinggir warung nyêluk Lik Min.

Cah cilik : Lik Min, Lik Min ono pênumpang.

Lik Min : ojo ngapusi lho kowé.

Cah cilik : mbotên Lik, sakniki bênêr og, wontên mbak-mbak sing arêp
numpak bécaké Lik Min.

Lik Min : (mlaku mêtu têko warung) awas kowé nék ngapusi mênéh, (mlêbu
mênéh ning warung) wis yo aku tak nuthukké nyambut gawé dhisik.

Dhé Min : mbayar dhisik Min.

Lik Min : catêt waé dhé, mêngko aku mréné mênéh (mlaku mêtu têko warung).

Bêjo : wis kulo tak nyambut gawé malih dhé.

Mas Kirno : minggu ngarêp réwangi mbangun warung yo, kowé karo Bêji
(karo nepuk gêgêré Bêjo).

Bêji : oké, siap mas.

Bêjo : nggih mas, parêng rumiyin nggih.

----------------------------------

Dina pêngumuman tés CPNS kutho Bangkit, akéh wong sing dho dhêlok
hasil tés sing dipasang ning ngarêp pêndopo kabupatén.

Bêjo : wah tênan jênêngku ora masuk ning daftar, wis ikhlas waé,
pancén durung rêjêkiku og.

Mas Kirno : woooiii, Jo, mréné.

Bêjo : (mlaku nyêdaki Mas Kirno) ono opo tho mas?

Mas Kirno : piyé kowé, kêtêrimo ora?

Bêjo : mbotên masuk é mas, mbotên rêjêkiné (karo ngguyu).

Mas Kirno : yo wis sabar waé, durung jodoné (karo ngusap kêringêt
nganggo tissue basah).

Bêjo : pripun mas Kir, kapan mbangun warung?, aku wis péngén ganti
kêrjoan (karo ngguyu mênéh).

Mas Kirno : lha iki sing arêp tak omongké (karo nyêdot aqua gêlas),
ngéné Jo, dina iki matêrialé wis dho têko, rêncanané mêngko soré arêp
tak mulai, paling ora nêntukké bêntuké dhisik. bantu yo Jo!

Bêjo : bérés mas, saora-orané sasi ngarêp aku wis pênsiun têko tukang sampah.

Mas Kirno : Siip lah, tak jamin, insyaAllah.

Karyo : (nyénggol tas é mas Kirno) lho kowé tho No, lagi ngopo ning kéné?

Mas Kirno : yo koyo sampéyan mas, péngén dadi pêgawai kantoran.

Karyo : opo kowé iso nggarap tés wingi?

Mas kirno : nggih sagêd mas tapi yo durung jodoné mas.

Karyo : yo jêlas, wong koyo kowé iki durung pantês dadi PNS ning kéné
(karo ngguyu ngakak).

Mas Kirno : nggih mas, kulo niki wong kéré og, mbotên sagêd sêkolah
dhuwur koyo sampéyan mas.

Karyo : lha iyo makané, kowé iki nék arêp masuk bagian opo waé kéthoké
kok ora pantês, hahaha (ngguyu ngakak). iki sopo? (karo nunjuk Bêjo).

Bêjo : kulo Bêjo mas.

Karyo : kowe iki kan sing biasané nyapu ning alun-alun kan, kowé mélu CPNS juga?

Bêjo : nggih mas.

Karyo : héh mas, rupamu kuwi ora pantês dadi pêgawai, potonganmu kuwi
koyo gémbél mas, hahaha (ngguyu ngakak).

Bêjo : nggih mas.

Karyo : wong sing pantês yo koyo aku ngéné, sêdélok mênéh dadi kêpala
lan pêjabat penting.

Mas Kirno : kok mbotên bupati sisan mas?

Karyo : o, jêlas kuwi, dadi kêpala lan pêjabat lan bupati.

Pak Jono : Yo, sini dulu ada yang papa mau omongin (suara nyêluk mas
karyo têko adoh).

Karyo : Oke pa (mlaku moro arah bapaké), wis ora lévêl ngomong karo
wong cilik koyo kowé-kowé iki, wis kono mulih.

Ning jêro pêndopo bagian pinggir kidul sing ora ramé.

Pak Jono : Yo, papa ada masalah.

Karyo : masalah apa pa?

Pak Jono : kemarin papa sudah ngasih duwit ke pak Bupati biar kamu
jadi pegawai negeri.

Karyo : iya, terus kenapa pa?

Pak Jono : jangan keras-keras kalo ngomong. gini Yo, tadi papa
dipanggil pak bupati, katanya dia mau masukin ponakannya jadi pegawai.

Karyo : ya tinggal masukin aja tho.

Pak Jono : (karo bisik-bisik) masalahnya formasinya itu udah ga bisa
ditambahin lagi, pak bupati mau masukin ponakannya di posisi kamu.

Karyo : terus gimana pa?, papa kan wakil bupati harusnya bisa dong.

Pak Jono : pak Bupati bilang kalo papa gak bisa nambah 30 juta lagi,
posisimu bakal ditempatin ponakannya.

Karyo : ya udah pa bayar aja.

Pak Jono : bayar pake apa? uang sisa proyek pembuatan jalan sudah
habis Yo, tinggal 10 juta, kalau mau korupsi lagi takutnya nanti apês,
ketahuan Yo, masuk penjara.

Karyo : aduh gimana pa?, pokoknya aku gak mau tahu, harus jadi PNS.

Handphoné pak Jono muni, ringtonené nandakké sing nélpon pak Bupati.

Pak Jono : Assalamualaikum pak, selamat siang pak. Siap pak segera
kesana. (Hpne dilêbokké tas hp). Yo, papa dipanggil pak Bupati. kamu
mending pulang, gak enak dilihat orang-orang, kan kamu kemarin gak
ikut tes.

Karyo : tak tunggu ya kabar dari papa.

Ning samping papan pengumuman hasil CPNS, suasanané wis radha sêpi
Mas kirno : Jo, Jo nasibmu ora koyo jênêngmu, bêjo, haha, bêjo durung
jodo dadi pêgawai nêgêri.

Bêjo : nggih mas, mau sapa mas?

Mas Kirno : kanca SMA Jo lan anaké wakil bupati. Jênêngé Karyo.

Mas Bêjo : wah hébat, wong sugih.

Mas Kirno : iyo sugih, wong bapakké tau korupsi duwit proyék jalan raya og.

Bêjo : wah duwit haram kuwi mas.

Mas Kirno : bêtul Jo, éh kowé ngerti ra?

Bêjo : opo mas?

Mas Kirno : wingi wêktu tés CPNS kuwi si Karyo ora mélu lho.

Bêjo : lho lho kok ngono, tênané mas? kok iso lolos?

Mas Kirno : yo jêlas iso, kan bapakké mêsti tuku posisi.

Bêjo : wah, édan kuwi.

Mas Kirno : wis gak édan mênéh tapi uédan, haha (ngguyu ngakak). wis,
yuk saiki ning warungé dhé mi waé, mêngko tak critani macêm-macêm.

Bêjo : oké mas (mlaku ninggalké lokasi pêngumumam tés CPNS).

Selasa, 28 Februari 2012

Satwaku pun Menangis

Menemukan sebuah coretan yang ditulis pada hari senin, 24 Desember
2007 (terposting di dickyvet.blogspot.com)


satwaku pun menangis


api yang menjilat-jilat
asap yang membubung hitam pekat
buih laut yang perak dan lengket
panas yang menyengat
hutan yang berwarna kuning
dan layu
bukit yang memucat

elang terbang tak tentu arah
buaya-buaya kepanasan
orang utan tak lagi berumah
jalak bali tak tampak menghiasi sang dewata
gelatik sudah menjadi hiburan
macan kumbang mulai beralih makan ternak
komodo pun makan manusia
harimau sumatra menangis meratapi nasib
badak jawa pergi entah kemana
gajah-gajah tak lagi ramah
owa jawa mulai terasing

semua satwa di rimba raya pun ikut menangis
tersiksa oleh nasib
yang dibuat sang manusia pintar nan

Kamis, 16 Februari 2012

Corat Coret Monolog Manusia dan Negeri

Negeri tanpa rupa
Sekali lenyap kala tertiup angin
Nyaris tak bersisa

Ah, semoga bukan negeriku ini
Namun, rupanya memang negeri ini sedang hilang rupa
Ah, hanya perasaan pesimis
Semoga saja bukan

Tapi memang seperti itulah, ujar hati kecil
Hilang rupa?, bukankah negeri ini masih punya nama
Hanya nama, akal sejenak berpikir
Nama hanya embel-embel, tanpa wujud nyata
Entahlah, mungkin tidak usah terlalu dipikir
Negeri ini rasanya masih berwujud negara

Ah, seketika akal berputar kembali
Negeri hilang rupa kala penghuninya menjelma caplak
Menyedot darah tanpa henti
Mewariskan ribuan generasi serupa
Ah, seburuk itukah negeriku ini
Entahlah, rupanya memang demikian

Tengok kabar, tiba-tiba merasa memang negeriku sedang tertindih
Oleh mereka yang menjelma caplak
Bumi dipermalukan tak henti-henti
Isinya dikuras habis hampir tak bersisa
Makhluk hutan dibantai
Tanpa meninggalkan jejak
Hanya untuk alasan percepatan ekonomi
Betapa tercela, entahlah, siapa yang salah

Rupanya benar-benar tengah tertindih
Negeriku yang makmur dan bersahaja
Oleh mereka yang menjelma
Menjadi tikus besar maupun kecil
Ah, entahlah, mungkin mereka titisan siluman
Yang bermisi memporak-porandakan kehidupan ini

Lantas apatah tujuannya setelah porak-poranda?

Mungkin untuk kejayaan kerajaan mereka masing-masing

Oh, betapa mengerikan dan keji jikalau demikian adanya

Entahlah, tetapi memang membuat miris

Rasa-rasanya hilangnya rupa negeri ini tengah berjalan mulus tanpa hambatan
Tatkala kebijaksanaan dikebiri
Oleh mereka yang sedang mabuk materi dan jabatan

Lantas apa yang terjadi dengan negeri ini?

Kadang terjelma menjadi manusia-manusia kanibal
Dengan nikmatnya melahap manusia-manusia lain
Tanpa takut dosa
Karena mereka memang telah mabuk duniawi

Oh, betapa mengerikan

Hilang rupa tampaknya akan benar-benar beralih menjadi negeri tanpa
rupa sama sekali
Lantaran mereka yang tengah meninggalkan darma
Dan budi pekerti

Lihatlah, betapa banyak yang tengah mengungguli Tuhan
Mencipta surga dan neraka sendiri

Oh, lantas apakah dampaknya?

Sebentar lagi negeri ini akan tanpa rupa
Polos layaknya kertas yang belum digambari


Bintaro, 17 Februari 2012

Rabu, 15 Februari 2012

Sajak Manusia

Duh Gusti,
Inikah yang namanya realita jaman
Kala manusia menjelma menjadi lain
Lupa darma
Hilang budi

Duh Gusti,
Bukan keluh yang ingin kami haturkan
Tetapi bertumpuk doa dan asa insani
Untuk bumi dan negeriku yang bersahaja

Duh Gusti,
Kadang kami tertawa lepas
Tatkala menonton tingkah mereka yang tengah berparodi
Sungguh jenaka
Layaknya gerombolan tikus yang berebut keju manis
Rupanya itulah salah satu jelmaan manusia jaman sekarang
Tikus selokan yang dekil
Yang dicerca jaman

Kadang kami menangis
Melihat kebijaksanaan telah hilang ditelan uang
Hidup saling makan memakan demi kejayaan pribadi
Rupanya mereka menjelma menjadi kanibal
Siap memangsa makhluk makhluk kecil
Tak berdaya
Hukum rimba ujar mereka berdalih
Ah, dimana kebijaksanaan berada
Kami rindu itu ya Gusti
Dengan itu, berjalan pun kami tidak takut tersesat
Kelaparan tidak akan mencibir
Kemiskinan pun akan sirna
Dan, kemakmuran yang akhirnya akan menghampiri
Oh, kami ingin segera menatap kebijaksanaan

Duh Gusti,
Kadang kami mengelus dada
Tatkala asma Mu yang Maha Agung dipelintir
Asma Mu dicatut hanya untuk penghakiman sesaat
Mereka mengucap asma Mu hanya untuk menempeleng orang lain
Membunuh serta mengobarkan kebencian
Duh Gusti, mereka rupanya telah menjadi tuhan tuhan kecil
Melangkahi langkah Mu serta menetapkan orang lain kotor dan sesat
Duh Gusti, betapa miris hati kami
Ibadah kami hanya untuk Mu, bukan untuk mereka

Duh Gusti,
Inikah pergolakan jaman
Di jaman akhir
Kami hanya berharap kedamaian tercipta di nusantara
Dan semesta raya ini
Sampai maut menjemput seluruh makhluk yang telah Engkau ciptakan
Semoga manusia tetap merasa manusia, bukan menjelma yang lain
Melakukan darmanya
mempunyai budi
Santun serta bijaksana dalam bertindak
Alangkah indahnya ketika manusia saling berjabat tangan oh Gusti
Semoga semesta raya ini pun berdoa dan berharap demikian


Bintaro, 16 Februari 2012

Senin, 13 Februari 2012

Corat Coret Siang Bolong

Semilir angin laut di siang terik tidak menghalangi niatan seorang
pemuda lusuh mendekati sesosok kakek tua berjubah putih dengan
beberapa sobekan di sana-sini. Tepat di atas batu kali dan di bawah
pohon beringin yang rindang, sesosok kakek tua terlihat tengah
bersandar pada batang pohon beringin yang kokoh itu. Semilir angin
tampaknya membuat kedua matanya terpejam.

"Nuwun séwu mbah", ucap lirih pemuda lusuh sambil berjalan jongkok
mendekati kakek tua itu.

"Héh, ono opo?", tiba-tiba kedua mata sayu sesosok kakek tua itu
terbuka, masih sambil bersandar di batang pohon beringin.

"Nuwun sewu, nyuwun ngapuntên mbah, kulo sampun ganggu mbah."

"Ora opo-opo, arêp opo kowé lé?"

"Niki mbah kulo pengen ngêrtos punapa sakniki sampun mlêbêt jaman goro-goro?"

"Sik, sik, tak takoni dhisik, opo kowé wis ngêrti opo iku jaman goro-goro?"

"Déréng ngêrtos mbah, lha pripun mbah?"

"Jaman goro-goro iku nék asah, asih, lan asuh wis ilang, gantiné asa,
asi, lan asu."

"Pripun niku mbah?"

"Wis dhêlokono jaman saiki, asa iku pêmêrintah wis ora pêduli karo
rakyaté, asi iku akéh sing podho ngunggulke nafsuné, lan asu iku akéh
sing duwé kêlakuan koyo kéwan."

Seiring dengan angin yang agak ribut, tiba-tiba sesosok kakek tua itu
menghilang.

"Mbah, mbah, mbah!", panggil pemuda lusuh itu.

Minggu, 12 Februari 2012

Dari Kami Untuk Tuan-Tuan Sekalian

Tuan, kenalkah anda siapa kami
Ah, tampaknya tuan-tuan tidak mengenal siapa kami
Biarlah

Siapa kami, rupanya hanya akan menambah beban akal tuan-tuan sekalian
Kami tidak mau merengek kepada tuan
Kami hanya ingin mengingatkan tuan-tuan sekalian
Coretan-coretan absurd telah tuan goreskan
Dalam polosnya hati kami

Kami telah menua
Dan, tubuh kami terluka
Lantaran goresan yang tuan torehkan
Tetapi tampaknya tuan-tuan tidak mau tahu
Luka demi luka telah melemahkan kami
Entahlah esok kami musnah

Kami selalu bertanya-tanya
Apakah kami hanya menjadi tumbal kemajuan negeri ini
Ataukah kemajuan dompet tuan-tuan sekalian
Ah, entahlah
Kami sudah bosan mendengar celoteh tuan-tuan di dalam istana batu pualam

Tuan, kami telah menua,
Ringkih,
Dan sakit-sakitan
Bukankah tuan-tuan diajar untuk menghormat kepada yang tua
Ah, entahlah
Rupanya tuan tengah lupa
Mungkin juga tengah tidak sadar
Kami berharap tuan mengenal kami
Lebih dekat
Bahkan menyentuh kami
Sehingga kami bisa menaruh asa di pundak tuan-tuan sekalian
Sebuah asa untuk nusantara lestari
Itu saja tuan


Bintaro, 12 februari 2012

Jumat, 10 Februari 2012

Gersang

Coklat, hitam dan abu-abu
Jelas terbayang
Menghampar bak samudera

Oh, dimanakah hijau
Hijau yang memberi kedamaian
Hijau yang memayungi kehidupan
Hijau yang merangkul harapan

Benar-benar tak terlihat setitik pun hijau
Entahlah, mimpi atau nyata
Namun, sesak masih enggan hengkang
Rindu yang terus menyerang kalbu
Dan, iri pada hari lalu
Dimana nusantara masih berselimutkan sutra hijau

Ah, entahlah esok
Apatah lebih gersang atau hijau kembali
Hanya asa yang tersisa


Bintaro, 11 Februari 2012

Senin, 06 Februari 2012

Corat Coret Siang

"Mbah, tiyang urip puniku sêjatiné napa nggih mbah?", sebuah lontaran pertanyaan seorang pemuda kepada sesosok kakek tua yang tengah bertapa di bawah pohon beringin tua.

"Wong urip kuwi sêjatine kudu ono manfaaté kanggo liyané, iso wujud manungso, kéwan, lan donya saisiné, mudêng opo ora lé?"

"Ngotên nggih mbah, lha pripun nêk mbotên sugih, tur mbotên gadhah artha?, mbotên sagêd bantu liyané mbah"

"Jaréné wis mudêng lé?", balas kakek itu sambil memicingkan sebelah matanya.

"Émmm, taksih bingung mbah", dengan gugupnya pemuda tersebut menimpali.

"Kowé iki wis diciptakké sing gawé urip, bêrarti sing gawé urip wis pêrcaya karo awakmu."

"Lha têrus pripun mbah?"

"yo wis lakoni omonganku mau."

"Nggih mbah, tapi?"

"Wis ora usah tapi-tapian, madhép ngarép, maju kono", sergah kakek pertapa itu dengan nada agak meninggi.

"Nggih mbah."

"Koyoné kok iséh bingung, wis wis, saiki kowé dhuwé pikiran opo ora?"

"Kagungan mbah."

"Lha kuwi kunciné, pikiranmu manfaatké kanggo uripmu, ojo urip mung mikir waé."

"Nggih mbah."

Tiba-tiba sesosok tua dengan jubah putih itu menghilang. Entah. Pemuda itu pun kaget, raut muka kebingungan pun serta-merta terpancar.

"Mbah!"........... "mbah, mbah, mbah!"

Tetap tidak ada sahutan dari sesosok kakek tua yang beberapa menit lalu berada di bawah pohon beringin. Sunyi, hanya semilir angin laut yang terasa.

Rabu, 01 Februari 2012

Kicau yang Tiada

Tidakkah terdengar parau
Kadang mengerang
Kicau burung di atas beringin sana
Entah lantaran kuatnya angin berhembus
Atau derasnya hujan semalam
Entah, tidak ada yang peduli

Satu persatu bulu tercerabut
Dari pangkalnya,
Benar benar perjalanan menuju gundul
Rupanya bukan karena kutu dan tungau,
Melainkan badai dan hujan
Tunak menghujat hipokrisi pejabat
Yang kehilangan kebijaksanaan

Kicau yang kemarin pernah menggema, kini hampir hampir tiada
Hanya riuh bunyi gesekan ranting ranting kering
Sesekali terdengar keluh kesah burung yang kepayahan
Tampaknya mereka mengutuki manusia

Esok, entahlah, kicau itu akan tiada
Berganti gaduh suara suara pemuja materi


Bintaro, 2 Februari 2012

Minggu, 22 Januari 2012

Kisah dari Bawah Pohon Waru

Mata lelaki tua berambut berombak itu masih saja menatap lautan lepas,
entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Setiap hari, bahkan setiap
waktu, lelaki tua dengan kulit terbakar matahari selalu saja berdiam
sambil bersila menghadap laut Jawa. Di bawah pohon waru yang teduh,
mulutnya terlihat komat-kamit seperti merapal kalimat, entah doa,
entah mantra, tidak ada yang tahu.

Sebagian besar warga dusun Têkek mengenalnya sebagai lelaki tua yang
ramah, lantaran selalu saja terlihat sebuah senyum manakala berpapasan
dengan warga dusun. Namun, sayangnya warga dusun tidak ada yang
mengetahui nama dan asal-usulnya. Warga hanya memanggilnya dengan nama
mbah Layar, karena jubah kumal yang dikenakannya selalu berkelebatan
layaknya sebuah layar jung yang diterpa angin laut. Jika diterka,
kemungkinan usia mbah Layar sudah berkepala enam atau tujuh, lantaran
gurata-guratan di wajahnya yang bisa dibilang tidak sedikit lagi.
Tetapi tidak ada yang tahu pasti, sebab sampai saat ini, belum ada
seorang warga yang pernah bercakap-cakap dengan mbah Layar.

"Mbah Layar itu baik orangnya, tetapi bahasanya itu lho yang tidak
kita mengerti", begitulah ujar pakdhe Êntung kala ditanya perihal
keberadaan mbah Layar di dusun Têkek.

Selain itu, beberapa warga dusun yang tinggal tidak jauh dari bibir
pantai berujar bahwa mbah Layar tak ubahnya sebagai seorang wali.
Menurut mereka, mbah Layar bisa mendatangkan dan menolak angin badai.
Pernah suatu ketika, angin ribut yang datang dari utara hampir
memporak-porandakan dusun Têkek, tetapi dengan "kekuatan" mbah Layar,
angin ribut itu pun akhirnya luluh. Entah kekuatan apa yang dimaksud.
Tak hanya itu, beberapa waktu lalu, ketika musim hujan tak kunjung
tiba, mbah Layar terlihat di luar kebiasaannya, waktu itu mbah Layar
menghilang pergi entah kemana, dan sekembalinya, hujan pun datang,
kekeringan pun tidak jadi menghantui dusun Têkek. Meskipun banyak
warga yang mempercayai kekuatan gaib mbah Layar, salah seorang tokoh
agama di dusun Têkek tetap menghimbau warga dusun agar tidak
berlebihan menyikapi fenomena tersebut.

"Aneh memang, tetapi kalau sudah kuasa gusti Allah, ya terjadi",
begitulah ujar Lik Randhu, salah seorang tokoh agama dusun Têkek, dan
merupakan santri almarhum mbah Watu yang juga dianggap sebagai wali
oleh warga dusun Têkek.

------------------

Seperti pagi sebelumnya, udara sejuk pagi cepat berganti menjadi
terik, lantaran bentang alam dusun Têkek yang berada di tepian laut
jawa. Namun, terik bukanlah halangan bagi warga dusun untuk berkarya
menggarap sumberdaya alam dusun Têkek. Sebagian besar warga dusun
berkarya sebagai nelayan, sedangkan sisanya berkarya sebagai pencari
buah mangrove dan sisa lainnya berkarya sebagai buruh di pasar yang
tidak begitu jauh dari dusun Têkek.

Bergantinya waktu menjadi siang, semakin sunyi suasana perkampungan
dusun Têkek, suasana riuh beralih ke bibir pantai, berpuluh-puluh
perahu dan jukung nelayan bersandar ke pantai setelah semalaman
mengarungi laut. Istri-istri dan anak-anak nelayan riang menyambut
sang kepala keluarga yang tiba dengan sejumlah rejeki di perahu dan
jukungnya. Beberapa tengkulak pun tak ketinggalan menunggu datangnya
rejeki yang sebentar lagi menghampiri kantungnya. Namun, akhir-akhir
ini, para tengkulak sudah tidak mendapat tempat di hati warga nelayan
dusun Têkek. Lantaran sebagian besar nelayan dusun Têkek sudah tidak
menjual hasil tangkapannya ke tengkulak. Entah apa sebabnya. Menurut
pakdhe Êntung, hasil tangkapan ikan menurun akhir-akhir ini lantaran
cuaca yang sedang tidak bersahabat, sehingga nelayan enggan menjual
hasil tangkapan yang bisa dibilang tidak terlalu banyak ke para
tengkulak, para nelayan pun beranggapan kalau para tengkulak justru
menyulitkan kehidupan mereka. Entah apa maksudnya pakdhe Êntung
tersebut.

Terik pun semakin menjadi-jadi. Namun, semilir angin laut meredam
terik siang. Beberapa anak yang belum genap sepuluh tahun riuh
memainkan bola dari buah kelapa tak jauh dari bibir pantai tempat
perahu-perahu nelayan tertambat. Beberapa anak yang lain tengah
terlihat bersiap memacu jukung kecilnya melaju ke arah pulau karang
yang tak begitu jauh jaraknya dari garis pantai. Tak hanya itu, di
sela-sela waktu rehatnya, kebanyakan nelayan dusun Têkek menghabiskan
waktunya dengan memperbaiki jaring dan juga membuat jaring baru.

Hembusan angin laut yang kadang-kadang kuat dan kadang-kadang lembut
menyapu rimbunnya pepohonan waru yang tumbuh berjajar bagaikan benteng
pemisah antara pantai dengan perkampungan dan berpuluh-puluh tegakan
pohon kelapa yang kokoh menjulang tinggi menantang langit. Beberapa
rumpun mangrove yang tumbuh di sisi kiri dusun Têkek pun terlihat
ramai kala hari beranjak sore, lantaran beberapa warga menghabiskan
waktunya dengan memancing di sela-sela akar mangrove. Gesekan-gesekan
dedaunan dan riak-riak ombak yang terpecah menghantam akar-akar
mangrove dan lambung-lambung perahu nelayan telah menciptakan alunan
khas yang merdu.

Hembus angin laut perlahan-lahan menyapa sesosok tua di bawah
rindangnya pohon waru. Jubah lusuh berwarna putih kusam pun
berkelebatan, diiringi ceracau yang memang sampai saat ini belum
dimengerti oleh warga dusun. Entah merapal mantra, entah berdoa,
ataukah mengutuki nasib, entah, tidak ada yang tahu. Sekilas sesosok
tua di bawah pohon waru seperti seorang pertapa dan juga seorang kyai
jaman dulu.

"Brakk", suara hantaman sebuah benda. Bola dari kelapa yang sejak tadi
dimainkan anak-anak dusun Têkek hilang kendali dan melesat menghantam
gubug sesosok tua itu. Atap dari papan terlihat bolong dan berserakan
akibat hantaman itu. Selang beberapa detik, lelaki tua itu menghampiri
sumber suara, dan tak lama kelapa itu sudah ada digenggamannya. Dengan
senyum ramah, tangannya menyerahkannya kepada segerombolan anak-anak
yang sejak tadi memainkan kelapa tersebut, sambil mengelus lembut
rambut salah satu anak, ceracau mulai dilontarkan diiringi dengan
senyuman ramah, dan tak berapa lama dia kembali ke gubugnya.

Meskipun mereka menganggapnya sebagai seorang yang aneh, anak-anak
tetap menganggapnya sebagai orang yang ramah, bahkan lebih ramah dari
lik Randhu, seorang tokoh agama setempat. Pernah suatu ketika, lelaki
tua itu memberikan sejumlah emas kepada keluarga-keluarga yang tengah
dirundung kemalangan. Tidak ada yang tahu dari mana sumber emasnya,
padahal setiap harinya dia hanya menghabiskan waktu di bawah pohon
waru tua, tak jauh dari gubugnya. Dari kejadian itulah, warga semakin
percaya bahwa lelaki tua itu adalah seorang wali.

Meskipun warga menganggapnya sebagai seorang yang mempunyai kelebihan,
warga masih segan menghampirinya atau sekedar bercakap dengannya,
sebagian besar warga beranggapan jika lebih baik membiarkannya dalam
aktivitasnya, warga pun menganggap lelaki tua itu sedang melaksanakan
lelaku tapa brata.

Setiap hari, bergiliran warga dusun mengirimkan makanan kepadanya.
Bahkan ketika ada acara hajatan, tak lupa warga mengundangnya. Pernah
suatu ketika lik Randhu mempersilakan untuk menginap di ruangan kamar
kosong samping surau dusun, tetapi dengan sopannya lelaki tua itu
menolaknya, dia lebih memilih tinggal di gubugnya, tentunya dengan
bahasa yang juga tidak terlalu dipahami oleh lik Randhu.

Lik Randhu sendiri juga menganggapnya sebagai orang yang dikaruniai
kelebihan ilmu oleh gusti Allah. Selalu saja dan sering lelaki itu
dipersilakan untuk menjadi imam di surau dusun. "Hafalannya bagus dan
bacaannya bagus", begitulah ujar lik Randhu, "tetapi ya itu, beliau
masih misterius", tambahnya lagi.

Misterius, begitulah status yang dilekatkan warga dusun Têkek kepada
lelaki tua itu, lantaran kadang-kadang dia ada di lingkungan dusun,
dan kadang menghilang dengan sendirinya. Pakdhe Êntung pernah berujar
bahwa bahasa sosok lelaki tua itu tak lain adalah bahasa sansekerta,
tetapi pakdhe Êntung belum bisa memastikannya, lantaran terdapat
perbedaan dari bahasa sansekerta yang pernah dipelajarinya. Namun,
warga dusun tidak mau ambil pusing, karena mereka menganggap lelaki
tua itu tetaplah sebagai seorang wali.

--------------------

Seperti sore sebelumnya, mbah Layar terlihat menaiki jukung kecilnya
menuju tengah laut Jawa. Tidak ada yang tahu persis tujuannya. Namun,
beberapa nelayan yang pernah berpapasan dengannya di tengah laut
merasa bahwa mbah Layar benar-benar mempunyai kelebihan, lantaran di
tengah laut itu, mbah Layar terlihat asyik bercengkerama dengan
puluhan lumba-lumba yang hidup di laut Jawa. Mas Piyik, salah seorang
nelayan menganggapnya mampu bercakap-cakap dengan binatang. Bahkan ada
yang menganggap bahwa bahasa aneh mbah Layar tak lain adalah bahasa
yang hanya dimengerti oleh hewan. Namun, entahlah, tidak ada yang tahu
kebenarannya.

Lumba-lumba merupakan hewan buruan para nelayan dusun Têkek, tetapi
semenjak mbah Layar hadir di dusun Têkek, kegiatan tersebut pun
berangsur-angsur menghilang. Entah, warga merasa menghormati mbah
Layar atau karena sebab lain, entahlah.

Mbah Layar memang hadir di tengah-tengah kehidupan warga dusun Têkek
sekitar dua puluh tahun lalu, tidak ada yang tahu darimana asalnya.
Pakdhe Randhu pernah berujar bahwa sebelum kedatangan mbah Layar,
hujan deras disertai angin ribut dan badai terjadi hampir satu minggu
penuh, bahkan kadang-kadang disertai tsunami kecil, kondisi saat itu
benar-benar membuat warga dusun mengalami musim "kelaparan", lantaran
mereka tidak bisa mencari rejeki di lautan. Setelah hampir tujuh hari,
cuaca pun berangsur-angsur membaik, dan anehnya, tiba-tiba tak jauh
dari garis pantai dan beberapa pohon waru yang membatasi pantai dengan
pemukiman berdiri sebuah gubug dari papan dan batang-batang kayu, yang
waktu itu dianggap warga sebagai gubugnya orang gila. Namun, ketika
dari dalam gubug itu keluar sesosok lelaki berjubah putih, maka warga
pun menganggapnya sebagai seorang wali.

Tidak ada yang tahu darimana datangnya mbah Layar. Beberapa warga
beranggapan bahwa, mbah Layar kemungkinan dari pulau seberang yang
terjebak badai waktu itu dan akhirnya terdampar di dusun Têkek. Beda
lagi dengan yang diujarkan pakdhe Randhu, pakdhe Randhu beranggapan
bahwa mbah Layar adalah titisan wali jaman dulu yang diutus untuk
memperbaiki kehidupan jaman sekarang. Entah dugaan mana yang benar,
tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti.

----------------

Biasanya mbah Layar hanya menghabiskan waktu bercengkerama dengan
sahabatnya di laut lepas sana sekitar habis ashar sampai sebelum
maghrib. Namun, hari ini, sampai habis sholat isya, belum terlihat
batang hidung mbah Layar, padahal mbah Layar tidak pernah melewatkan
sholat berjamaah di surau dusun Têkek. Beberapa warga pun
menganggapnya sebagai sebuah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu di
dusun Têkek, sebagian beranggapan bahwa bencana besar akan terjadi.
Namun, anggapan itu segera dibantah oleh lik Randhu. Lik Randhu
beranggapan bahwa mbah Layar kemungkinan punya kepentingan lain.

Tak berapa lama seusai sholat isya, warga pun berbondong-bondong
menuju gubug mbah Layar, dan sebagian menuju bibir pantai sambil
membawa obor. Setengah jam berlalu, tak juga terlihat batang hidung
mbah Layar. Warga yang mencoba masuk dan melihat sekeliling ruangan
dalam gubug mbah Layar menjumpai dua buah benda, sebuah kitab Al-Quran
dan sebuah gulungan kertas usang, yang mungkin usianya hampir sama
dengan umur kehadiran mbah Layar di dusun Têkek. Hanya dua benda itu,
tak ada lainnya, hanya ruangan kosong beralasakan dedaunan kering.

Sekitar pukul sembilan malam, terdengar teriakan warga yang sejak tadi
berkerumun di bibir pantai. Tak berapa lama, semua warga dusun
berdatangan ke arah suara tersebut. Sesosok mayat lelaki tua beserta
bangkai tiga ekor lumba-lumba terhanyut ke garis pantai. Dengan cahaya
obor yang semakin tak karuan lantaran angin darat sedang
kencang-kencangnya berhembus, sekilas terlihat senyum di wajah mayat
lelaki tua itu. Warga pun mengenalinya, mayat mbah Layar yang tengah
dikerumuni warga tersebut. Serta-merta mayat mbah Layar tersebut
dibawa ke tepi oleh warga dusun.

Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi malam ini. Beberapa warga
menduganya akibat dari badai yang mungkin sedang berkecamuk di tengah
lautan sana. Namun, dari bangkai tiga ekor lumba-lumba yang juga ikut
terhanyut ke garis pantai, mas Piyik berkesimpulan bahwa kematian mbah
Layar adalah tidak wajar, alias mbah Layar dibunuh oleh pemburu
lumba-lumba, lantaran terlihat dari fisik bangkai lumba-lumba yang
seperti tertusuk oleh benda tajam. Selain itu, mas piyik juga
mengungkapkan bahwa selama ini, banyak kapal nelayan dari daerah lain
yang berniat untuk berburu lumba-lumba, dan mereka pun tahu bahwa
puluhan lumba-lumba akan berkumpul di sekitar jukung mbah Layar
manakala mbah Layar menghampirinya. "Mungkin saat inilah dianggap
waktu yang tepat untuk memburu lumba-lumba itu", ujarnya lagi, "dan,
mbah Layar tampaknya dengan sekuat tenaga telah berupaya melindungi
kawan-kawannya itu, tetapi takdir berbicara lain", tambahnya lagi.

Rasa penasaran benar-benar menghantui warga dusun Têkek malam ini.
Serta-merta lik Randhu membuka gulungan kertas usang peninggalan mbah
Layar. Betapa kagetnya lik Randhu dan pakdhe Êntung yang melihat isi
gulungan kertas itu, lantaran kertas itu berisikan tulisan beraksara
sansekerta bercampur aksara Khmer disertai dengan huruf Arab. Dan
betapa kagetnya lik Randhu ketika dibacanya tulisan Arab yang mungkin
dipahaminya, isi surat itu merujuk pada almarhum mbah Watu, gurunya.

Serta-merta air mata menetes dari kedua mata lik Randhu. Dengan suara
lirih, lik Randhu berujar bahwa mbah Layar sebenarnya datang ke dusun
Têkek dengan tujuan untuk berguru kepada mbah Watu, beliau datang dari
utara, dari daerah yang dulunya dikenal dengan nama Champa.

Senin, 16 Januari 2012

Mempertanyakan Ulang KeIndonesiaan Kita

"Eh, dimana itu, bagus ya, luar negeri sepertinya ya"

Sebuah pertanyaan retoris terlontar dari seorang karyawan sebuah
tempat keramaian di dekat ibukota negara. Entah basa-basi menunggu jam
istirahat usai ataukah benar-benar terheran-heran melihat tayangan
televisi siang yang kebetulan saat itu menayangkan program acara anak,
dimana stasiun televisi tersebut menyajikan aktivitas anak-anak dari
daerah Indonesia bagian timur. Selain itu, tim kreatif tayangan
tersebut juga membalutnya dengan keindahan alam Indonesia bagian
timur, yang begitu menakjubkan.

"Ah, itu kan orang-orang pedalaman, lihat saja", salah seorang
karyawan menimpalinya dengan santainya sambil menghembuskan asap
rokoknya.

"Emang itu di Indonesia?"

"Tau deh, kayaknya sih iya, orang pedalaman pokoknya"

"Ada juga yang seperti itu ya"

Sebuah percakapan singkat siang itu sebenarnya terkesan biasa-biasa
saja. Namun, jika ditelisik lebih jauh, tampaknya dua orang karyawan
tersebut dapat jadi mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia
terutama yang tinggal dan menggantungkan hidupnya pada hiruk-pikuk
kota. Mereka berdua dapat jadi sebuah contoh betapa masyarakat
Indonesia belum dan sepertinya juga tidak yakin akan "Indonesia",
sebuah wilayah negara bangsa. Entahlah, sengaja ataukah
ketidaksengajaan, ataukah memang tidak tahu-menahu tentang Indonesia.
Rasa-rasanya mereka adalah sebuah sampel dimana masyarakat negeri ini
hanya mengenal negara Jakarta, negara Surabaya, negara Bandung, dan
lain sebagainya. Entahlah, berapa persen yang mengenal negeri yang
bernama Indonesia ini.

Apatah kondisi seperti ini dapat "menenggelamkan" NKRI dalam rawa-rawa bermetan.

Ketidaktahuan dan ketidaksadaran jika mereka hidup dalam sebuah ceruk
besar yang bernama Indonesia tampaknya telah menjangkiti sebagian
masyarakat muda negeri ini. Sikap tersebut akan menjadi sebuah
karakter masyarakat muda negeri ini dan akhirnya menimbulkan sebuah
rasa ketidakpedulian. Rupa-rupanya kondisi yang demikian itu
kemungkinan muncul akibat mereka terlalu "mengelu-elukan" kehidupan
kota, kehidupan yang serba ada, kehidupan yang menelikung kenyataan di
luar sana. Entahlah.

Umumnya juga, mereka akan merasa alam negeri ini hanya sebatas tempat
mereka hidup dan tinggal. Eksotisme alam dan budaya masyarakat
Indonesia lainnya biasanya dianggap bukan kepunyaan negeri ini.
Tampaknya hanya tersisa sebuah anggapan bahwa negeri ini haruslah
berisikan jalan raya dengan deretan mobil dan kendaraan lainnya yang
antre menyeberang di sebuah perempatan, dengan kanan kiri berhias
bangunan-bangunan bertingkat gaya baru, serta kesibukan karyawan
kantoran dan pekerja yang tidak lupa menenteng sebuah "Blackberry".

Entah, Indonesia yang bagaimanakah yang ada di dalam benak setiap
masyarakat. Sungguh miris jikalau dalam imaji warga negaranya,
Indonesia justru menjelma menjadi ceruk-ceruk kecil. Apatah hilangnya
kesadaran toleransi juga akan muncul akibat kondisi ini, entahlah.

Negeri ini kaya akan budaya, seni, tradisi, bentang alam,
keanekaragaman hayati, kearifan lokal, tradisi, dan keanekaragaman
kehidupan sosial. Itulah yang harus tertanam dalam imaji setiap anak
bangsa.

Namun, entahlah, tidak gampang rasanya. Betapa banyak anak-anak muda
yang di sekolahnya hanya diajarkan ilmu teori dalam text book, hanya
mengejar nilai bagus, dan mengejar masuk ke dalam sekolah dan
perguruan tinggi top nasional juga internasional, serta mengejar masuk
menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan top.

Entahlah, keIndonesiaan kita tampaknya perlu dipertanyakan ulang.

Sabtu, 07 Januari 2012

Rejeki yang Tercaci

Pagi tadi,
Telapak telapak kecil masih bercumbu mesra dengan serasah serasah basah
Riuh menghambur, rumput menghijau pun tak lupa disalami
Riang yang membuncah, tak ubahnya sebuah pesta pora
Senandung parau tak henti hentinya memuja jernih berbulir
Lantaran mereka hidup dalam bayangnya
Sebuah titipan ilahi

Siang ini,
Beribu pasang kaki indah kompak menggerutu, mengutuki masa
Jijik memandang tetesan rembesan bulir bulir jernih
Sebuah anggapan kemalangan rupanya
Tak lupa umpatan beradu, betapa menggelitik hati
Sayup angin pun tertawa
Sayangnya, celoteh mereka pun tak henti henti
Masih mencaci tetesan yang menjadi genangan

Lantas, siapa yang menggali kubangan?

Sore nanti,
Entahlah, tidak bisa ditebak begitu saja
Lantaran hipokrisi masih terwarisi

Bintaro, 8 jan 2012