Senin, 14 Mei 2012

Rindu Rerumputan Hijau

Panas, gersang, dan kering, begitulah kesan yang terasa ketika
memasuki gapura dusun Sawo. Tidak usah menunggu tengah hari, suasana
panas dan gerah sudah terasa sejak pagi hari, bahkan selepas kumandang
adzan Subuh. Begitu kering dan gersangnya, hanya terlihat hamparan
tanah-tanah kosong berliput debu-debu kelabu beserta rumah-rumah
berdinding papan kayu dan anyaman bambu. Sama sekali tidak terlihat
tegakan pohon, bahkan mungkin rumput pun enggan tumbuh di dusun Sawo.

Suasana yang disajikan dusun Sawo di siang ini benar-benar sunyi dan
sepi. Entah pergi kemana sebagian besar warganya. Menurut pemuda dusun
yang tengah bercengkerama di bawah atap gapura dusun, jika siang
menjelang, hampir semua warga dusun masuk ke dalam rumah, atau dengan
kata lain mereka tengah berteduh. Tepatnya berteduh dari sengatan
matahari dan dari debu-debu kelabu yang menghantui dusun Sawo.

"Debu-debu kelabu itu sudah menjadi pemandangan umum di dusun ini
sejak tiga bulan yang lalu, dan sejak adanya debu-debu itu, malapetaka
pun selalu mendatangi dusun setiap waktu, bahkan sampai hari ini",
tambah salah seorang dari pemuda dusun itu lagi.

Entah apa maksud mereka. Memang jika dilihat sepintas, dusun Sawo
terlihat bagaikan dusun tak berpenghuni. Siapapun orang yang bertamu
ke dusun Sawo pasti selalu menanyakan mengenai keganjilan yang ada di
dusun Sawo. Siang semakin terik, matahari tepat di atas kepala,
semakin sepi pula dusun Sawo. Tiga orang pemuda itu tampaknya tengah
bertugas menjaga dusun. Mereka berujar bahwa tamu tidak diperkenankan
memasuki dusun kala siang hari. Mungkin peraturan tersebut berguna
untuk melindungi dusun dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan.
Meskipun terik dan cahaya mentari seharusnya menenggelamkan dusun
dalam suasana terang-benderang, pandangan mata tetap saja tidak bisa
melihat lebih jauh suasana ke dalam dusun Sawo, lantaran kabut debu
yang semakin terik semakin meningkat kekeruhannya.

----------------------------

Mentari semakin condong ke arah barat, kabut semakin menghilang,
seketika itu pemandangan dusun semakin terlihat jelas. Beberapa warga
dusun terlihat tengah keluar dari rumahnya yang berselimut debu
kelabu. Terlihat beberapa diantaranya menyapu teras dan pekarangan
rumahnya dari debu yang tampaknya tebalnya sampai satu mata kaki orang
dewasa. Panas dan gerah masih saja terasa hingga sore ini. Sore yang
terik, begitulah kesan yang terasa. Diantara suasana sore yang mulai
ramai, tiba-tiba terdengar suara isak tangis dan teriakan dari arah
timur gapura dusun, suara itu terdengar bersamaan kumandang adzan
Ashar yang tidak terlalu keras.

Beberapa warga terlihat menghentikan aktivitasnya dan berhamburan
menuju sumber suara. Tidak lama berselang, sekitar lima belas menit,
tiba-tiba terdengar pemberitahuan dari pengeras suara musholla yang
sebelumnya mengumandangkan adzan Ashar.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, telah meninggal dunia, Klênthêng,
putra dari bapak Kapuk, pada hari ini pukul tiga sore", begitulah
kabar lelayu yang terdengar berkali-kali dari pengeras suara musholla.

Menurut salah satu pemuda dusun yang sejak siang berjaga di bawah
gapura dusun, kejadian seperti sore ini hampir tiap hari terjadi,
kejadiannya diawali sekitar tiga bulan yang lalu, sejak debu-debu
kelabu memayungi dusun Sawo, dan sejak rumput-rumput hijau musnah.

"Beliau yang meninggal adalah beliau yang rindu akan rumput hijau,
biarkan gusti Allah menuntunnya menuju hamparan rumput hijau di sana",
ujar mas Kadal, salah satu pemuda dusun yang sejak siang berjaga di
bawah atap gapura dusun, sambil mengarahkan tangan kanannya ke langit
yang mulai redup.

-----------------------

Dusun Sawo merupakan salah satu dusun percontohan swasembada beras dan
dusun penghasil palawija terbaik di salah satu sudut pulau Jawa. Dusun
ini memiliki tanah yang sangat subur dan cocok untuk segala macam
tanaman, baik pangan maupun tanaman liar. Selain itu, sumber air yang
berlimpah telah menjadikan dusun Sawo sebagai daerah yang ditunjuk
oleh pemerintah daerah setempat sebagai daerah penyedia air untuk
wilayah-wilayah sekitar. Gemah ripah loh jinawi, begitulah ujar
masyarakat ketika melihat kondisi dan kehidupan masyarakat di dusun
Sawo.

Mata pencaharian sebagai petani dan peternak telah turun-temurun
dijalani oleh hampir semua warga dusun Sawo. Mereka selalu bangga akan
mata pencaharian tersebut. Mbah Suket, salah satu tetua dusun pernah
berujar bahwa semua warga akan bersatu-padu untuk melestarikan dusun
Sawo meskipun ancaman modernisasi mulai menggerus dusun itu. Beberapa
warga memang mengkhawatirkan kondisi akhir-akhir ini, dimana banyak
dusun sekitar yang menjual lahan pertaniannya kepada pengembang
perumahan. Entah karena alasan apa, banyak warga dari dusun sekitar
dusun Sawo tertarik untuk menjual hartanya tersebut.

"Tanah ini, dusun ini adalah harta yang tak ternilai harganya",
begitulah ujar mbah Suket. Hampir semua warga dusun Sawo beranggapan
bahwa bertani dan beternak merupakan salah satu wujud rasa syukur
kepada Tuhan atas kehidupan yang diberikan-Nya kepada mereka. Atas
keuletan dan ketangguhan warga dusun Sawo, akhirnya dusun tersebut
dinobatkan pemerintah propinsi sebagai dusun swasembada pertanian satu
tahun yang lalu.

Hijau royo-royo, begitulah kesan yang tertangkap oleh pandangan mata,
lantaran di semua arah terlihat hamparan hijau, baik oleh rerumputan,
lahan-lahan persawahan, dan tegakan-tegakan pepohonan rindang. Kala
hari terang, terdengar riuh anak-anak dusun memenuhi hampir di setiap
sudut dusun. Dengan bertelanjang kaki, telapak-telapak mungil mereka
menjejak hijau rerumputan yang menghampar di seluruh dusun. Hampir
setiap hari, mereka selalu dibelai oleh hijaunya rerumputan dan
sejuknya angin dusun Sawo. Sedangkan para orang tua terlihat
berkerumun di setiap lahan persawahan dusun Sawo. Senyum penuh
semangat selalu merekah di bibir mereka, rasa-rasanya tidak pernah
terdengar keluhan yang terlontar dari mulut mereka.

"Gusti Allah sudah memberikan rejekinya kepada warga dusun Sawo, jadi
kami harus selalu bersyukur dengan bekerja penuh senyum dan semangat",
begitulah ujar pak Êntung, putra dari mbah Suket.

Begitu bersahaja dan sederhana kehidupan warga dusun Sawo. Bisa
disebut mereka hidup selaras dengan alam, lantaran mereka selalu
memanfaatkan secara bijak sumber-sumber alamnya. Mbah Suket pernah
berujar bahwa untuk menebang satu pohon, warga dusun diwajibkan untuk
menggantinya dengan menanam pohon yang sama. Selain itu, setiap habis
panen, sebagian hasil panen tersebut dibagikan kepada warga dusun
tetangga dan juga dibagikan untuk makhluk-makhluk lain penghuni dusun,
yang tak lain adalah burung dan monyet ekor panjang. Pemanfaatan air
pun benar-benar diatur sedemikian rupa, sehingga ketika musim kemarau,
persediaan air tetap melimpah.

----------------------

Sekitar tiga bulan yang lalu, tepatnya sepeninggal mbah Suket.
Pemerintah daerah dan propinsi merubah peraturan tentang rencana tata
ruang wilayah, tiba-tiba pemerintah daerah menetapkan wilayah dusun
Sawo dikhususkan sebagai wilayah industri pertambangan, lantaran
berdasarkan data tim pemantau pemerintah daerah menemukan bahwa tanah
dusun Sawo memiliki kandungan gamping dan silika yang melimpah dengan
kualitas terbaik. Seketika itu, pemerintah daerah pun mengijinkan
berdirinya industri pengolah gamping dan silika di dusun Sawo.
Bukannya tidak ada penolakan dari warga dusun Sawo, tetapi mereka
tidak tahu harus menyalurkan penolakannya kepada siapa. Mereka terus
berupaya menggagalkan pendirian industri tersebut. Namun, kekuatan
mereka tampaknya kalah dibandingkan kekuatan pemerintah dan pengusaha.

Pemerintah daerah yang sebelumnya bangga terhadap dusun Sawo sebagai
sentra pertanian dan peternakan, kini pemerintah daerah lebih bangga
terhadap industri pengolah gamping dan silika yang akan beroperasi di
dusun Sawo. Pemerintah daerah beralasan bahwa keberadaan industri di
dusun Sawo akan mengangkat taraf perekonomian warga dusun dan warga
sekitar dusun Sawo. Namun, warga dusun Sawo beranggapan lain, mereka
tidak menginginkan jika hidupnya hanya dijadikan sebagai buruh,
apalagi buruh dari industri yang merusak alam, dan mereka menilai,
industri tersebut hanya akan menyengsarakan kehidupan warga dusun
Sawo. Tampaknya pemerintah daerah terkesan semena-mena, lantaran sama
sekali tidak ada dialog antara warga dusun Sawo dengan pemerintah
daerah.

--------------------

Sejak peresmian berdirinya industri pengolah gamping dan silika
tersebut, malapetaka benar-benar menghinggapi dusun Sawo. Rerumputan
hijau berubah menjadi hamparan gersang, sawah yang sebelumnya
berisikan padi tiba-tiba berubah menjadi tanah lapang yang gersang.
Tidak hanya itu, satu persatu ternak sapi dan kambing mendadak mati.
Sumber air pun tiba-tiba menyusut, dan akhirnya menjadi kering
kerontang. Kekeringan dan kelaparan benar-benar telah menjadi momok
warga dusun Sawo. Tampaknya tidak ada yang menanggung derita warga
dusun Sawo, lantaran industri tersebut tetap mengabaikan hak-hak
masyarakat dusun Sawo. Pemerintah daerah pun seolah-olah menutup mata
atas kejadian tersebut.

Tidak hanya itu saja, sudah tiga bulan ini, debu-debu sisa pengolahan
gamping dan silika mencemari udara dusun Sawo. Apabila siang hari,
debu-debu berwarna kelabu tersebut memadati setiap ruang dusun Sawo,
tampak seperti sebuah kabut di pegunungan. Pak Êntung pernah berujar
bahwa setiap hari, setidaknya satu orang warga dusun meninggal,
lantaran keracunan debu-debu sisa pengolahan silika dan gamping. Warga
lain pun selalu mengeluhkan adanya gejala sakit pernapasan ke
puskesmas setempat, tetapi tetap saja tidak terlihat respon dari
pemerintah daerah.

-----------------------

Malapetaka itu pun berlanjut sampai sekarang, warga dusun yang dulunya
dikenal sebagai warga yang tangguh, saat ini menjadi warga yang
ringkih dan gampang sakit-sakitan. Seperti yang diungkapkan mas Kadal,
warga dusun Sawo benar-benar rindu akan rerumputan hijau, yang
merupakan tanda hidup yang lestari dan bersahaja. Saat ini memang
mereka tidak dapat melihat hamparan rerumputan hijau lagi, tetapi
Tuhan telah mengijinkan mereka melihatnya di tempat yang
dikehendaki-Nya.