Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Mei 2011

si burik dan mbah jambu

Ya Gusti, kenapa hujan tidak berhenti, gumam si burik di dahan paling atas pohon beringin tua, menantang hujan.

Tepat jam 9 lebih 20 pagi ini, langit sepertinya sedang marah kepada bumi, betapa tidak, tepat saat ini hujan deras turun seperti bocornya pipa kran kamar mandi. Sebenarnya sudah dua hari ini hujan dengan mudahnya mengguyur kawasan kebun karet di belakang gudang tua peninggalan belanda. kebun karet yang luasnya tidak lebih dari lapangan sepak bola itu nampaknya kondisinya semakin memprihatinkan, tiap hari luasannya tidak pernah tetap bahkan bertmabah, karena tiap hari selalu berkurang, walau satu centimeter pun. Menurut penuturan mbah jambu, begitu namanya dipanggil, seorang kakek penjaga gudang tua di pinggiran kota tua yang sepi, gudang tua dan kebun karet peninggalan belanda dahulunya dipunyai oleh saudagar kaya dari belanda, asalnya kebun karetnya sangat luas bisa lima kali dari kebun karet yang tersisa saat ini. Lagi-lagi menurut mbah jambu, pasangan belanda itu akhirnya meninggal di sungai yang sekarang letaknya persis di samping kanan gudang tua. Sayangnya tidak ada seorang penduduk desa sekitar yang tahu penyebab kematiannya, bahkan mbah Jambu pun tidak mau bercerita.

Hujan sejak dua hari yang lalu telah membuat separuh kebun karet tua digenangi air dari luapan sungai yang letaknya di samping kanan gudang tua yang dijaga mbah Jambu. Genangan air setinggi lutut orang dewasa telah membuat kebun karet di belakang gudang tua bagaikan rawa-rawa tanpa buaya. Kebun karet yang sudah lama tidak disadap, kira-kira tiga puluhan tahun-an, hanya dibiarkan menjadi kebun tak terurus dengan batang pohon-pohon karet yang kekar dan dedaunan yang rimbun. Sekilas memang nampak seperti rimba di tengah-tengah kota tua yang sepi. Sebuah rimba tak pernah lepas dari hewan-hewan yang hidupnya tak terikat tingkah laku manusia. Seminggu yang lalu tiga orang warga desa yang mencari ranting-ranting kering di karet tua bercerita pernah menjumpai seekor ular yang berukuran besar dan panjang. Pak Jono, salah satu dari tiga orang yang waktu itu mencari ranting di kebun karet tua berujar ular besar waktu itu hanya diam saja tidak bergerak sama sekali walaupun mereka melewatinya. Pak Jono dan kedua orang punya prinsip kalau ular tidak mengganggu mereka, mereka pun tidak akan pernah mengganggu ular tersebut. Nampaknya beda lagi dengan cerita Didi dan Tito, dua pemda dari desa sekitar kebun karet tua di belakang gudang tua peninggalan belanda, mereka berujar kalau mereka berhasil menjerat sekawanan ajak yang tinggal di kebun karet tua dan mereka menjualnya ke pedagang sate anjing di dekat alun-alun kota tua. Mbah Jambu pun membenarkan cerita Didi dan Tito, sejak empat malam sebelumnya, mbah Jambu tidak pernah mendengar lagi gerak-gerik sekawanan ajak di kebun karet tua. Tak hanya itu, Didi dan Tito juga bercerita, mereka berhasil menembak dua serak jawa yang menurut mbah Jambu dua serak jawa itu kemungkinan dua serak jawa dari tiga serak jawa yang masih tersisa. Tingkah laku dua pemuda desa itu sangat disayangkan oleh mbah Jambu, yang di sisa usianya masih ingin melihat hewan-hewan penghuni kebun karet tua itu hidup, disamping ingin melihat kebun karet tua itu tidak terdesak lagi oleh laju pembangunan desa sekitar kebun karet tua.

Hujan kali ini benar-benar hampir meporak-porandakan kehidupan kebun karet tua di belakang gudang tua peninggalan belanda. Dua hari lalu, mbah Jambu menemukan tiga ekor burung kutilang yang ikut hanyut dalam genangan air di kebun karet tua. Tak hanya itu, seekor musang dan tiga ekor tupai pun ditemukan mati kemarin sore. Entah sebuah kiamat atau berkah bagi kehidupan kebun karet tua. Mbah Jambu yang tempat tinggalnya muali tergenang air tadi pagi berujar kalau beliau mencemaskan elang ular bido dengan bulu jarang-jarang yang tinggal di pohon beringin di tengah-tengah kebun karet. Mbah Jambu mencemaskan si burik, sebutan elang ular bido betina dengan bulu jarang karena si burik sedang merawat anak yang menetas seminggu lalu. Si burik adalah satu-satunya elang ular bido yang tersisa di kebun karet tua belakang gudang tua peninggalan belanda. Apabila seekor anaknya tumbuh besar maka di kebun karet tua itu punya generasi baru elang ular bido, begitu ujar mbah Jambu.

Cuaca yang semakin memburuk saat ini dikhawatirkan akan membunuh anak si Burik dan bahkan si burik sendiri. Cuaca yang buruk menjadikan si burik tidak bisa terbang bebas berburu mangsa, apalagi ditambah berkurangnya hewan buruannya dan semakin hilangnya rumah si burik. Terlihat air mata menetes dari kedua mata mbah Jambu ketika bercerita tentang si burik, nampaknya mbah Jambu mempunyai ikatan batin dengan si burik. Menurut cerita yang beredar di kampung sekitar kebun karet tua belakang gudang tua peninggalan belanda, setahun lalu mbah Jambu menyelamatkan si burik dari para pemburu, yang merupakan warga desa sekitar. Ketika itu, si burik tertembak di paha kirinya, dengan keberanian seadanya mbah Jambu bergulat melawan lima orang warga pemburu. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya mbah Jambu mendapatkan si burik. Dengan ketelatenan menyembuhkan si burik, akhirnya saat ini bisa dilihat si burik memberi keturunan untuk kebun karet tua belakang gudang tua peninggalan belanda.

Siang harinya sekitar pukul 1 siang, kebiasaan mbah Jambu mencari ranting-ranting pohon karet untuk dijadikannya kayu bakar, meskipun basah habis hujan mbah Jambu tetap berangkat masuk lebih jauh ke tengah kebun karet tua. Dengan berbekal sepatu bot lusuh dan sebuah parang yang ketajamannya tidak diragukan lagi, mbah Jambu dengan mudahnya menembus semak-semak dan genangan air yang membuat orang malas menjejak tempat itu. Seperti biasanya, sebelum mencari lebih banyak ranting, mbah Jambu menghampiri pohon beringin tua di tengah kebun karet tua. Belum juga langkah mbah Jambu menjejak sekitar pohon beringin tua berdiri, seekor elang kecil yang belum berbulu nampak tergeletak dengan darah yang masih merah menggenangi sekitar tubuh kecil itu. Bisa ditebak, saat itu pikiran mbah Jambu langsung galau, apalagi ketika kedua mata mbah Jambu yang masih tajam melihat sesosok tubuh elang ular bido berbulu jarang tergeletak penuh darah tidak jauh dari jasad elang kecil. Dua peluru nampaknya menembus dada si burik, terlihat dari dua lubang yang mengeluarkan darah di daerah dada si burik. Tak berapa lama, tiba-tiba mbah Jambu terjatuh, entah marah atau ketidaktegaan melihat peristiwa ini. Tidak ada yang tahu.