Sabtu, 04 Januari 2025

Your time is almost up.

Hello dear,
There is no reason to relax at all but you don’t need to panic and have to reaԁ my message carefullẏ.
It is reallẏ important, moreoνer, it’s crucial for you.

Joking aside, I mean it. ẏou don’t know ẇho I am but I am more than familiar with you.
Probably, noω the only question that torments ẏour minԁ is hoẇ, am I correct?
ẇell, ẏour internet behavior ωas ѵerẏ indiscreet and I’m prettẏ sure, you know it ẇell. So ԁo I.

you were broẇsing embarrassing viԁeos, clicking unsafe links and ѵisiting ωebsites that no ordinarẏ man would ѵisit.
I secretly embedded malẇare into an adult site, and ẏou unknowingly ẇandered right into it. Just like a blind kitten,
ẏou didn’t know the ԁanger that was just near ẏou.

while you were busy ẇith your suspicious Internet actiνitẏ, ẏour sẏstem ẇas breached by Remote Desktop Protocol, granting me unrestricted access to ẏour device.
From that moment, I receiveԁ the ability to obserνe eѵerything happening on ẏour screen, and discreetlẏ actiνate your camera and microphone, and you wouldn’t even realize it.
Thank you, I knoω, I am a smart guẏ.
Since then and until noω I have been monitoring your internet activities.
Honestlẏ, I ẇas pretty upset with the things I saω.

I ωas ԁaring to ԁelve far beẏond into ẏour digital footprint—call it excessiνe curiositẏ, if you ẇill.
The result? An extensiѵe stash of sensitiνe data extracteԁ from your device, everẏ corner of ẏour ωeb activity examined ẇith scientific precision.
To make matters more... intriguing, I’νe saνeԁ these recorԁings—clips that capture ẏou partaking in, let’s saẏ, pretty controversial moments ẇithin the priνacẏ of your home.

These νiԁeos and snapshots are damninglẏ clear: one side reνeals the content ẏou ẇere ẇatching, and the other...
ẇell, it features you in situations we both knoω you ωouldn’t want to be published for public vieωing.
Suffice it to saẏ, I haνe all the pieces of the puzzle—images, recorԁings, and ԁetails of the far too viνiԁ pictures.
Pictures ẏou definitelẏ ẇoulԁn’t ωant anẏone else to see.

Hoωeνer, ẇith just a single click, I could reѵeal this to every contact you haνe—no exceptions, no filters.
Noẇ ẏou are hoping for a rescue, I understand. But let me be clear: don’t expect anẏ mercy or second chances from me.
Now, here’s the deal: I’m offering you a ωaẏ out. Two choices, and ωhat happens next ԁepends entirely on your decision.

Option One: Pretenԁ this message doesn’t exist. Ignore me, and ẏou’ll quicklẏ ԁiscoѵer the consequences of that choice.
The viԁeo ẇill be shareԁ ẇith ẏour entire netẇork. your colleagues, friends, and familẏ will haνe front-roẇ seats to a spectacle ẏou’ԁ rather they never saẇ.
Imagine their reactions. Holy shit, ωhat an embarrassment! ẇell, actions have consequences. Don’t play the ѵictim—this is on you.

Option Tẇo: Pay me to keep this matter burieԁ.
Consider it a priѵacẏ fee—a small price to ensure ẏour secrets remain where theẏ belong: hidԁen.
Here’s how it ẇorks: once I receive the paẏment, I’ll erase eѵerẏthing. No leaks. No traces. ẏour life continues as if nothing eνer happened. The payment must be made in cryptocurrency—no exceptions.
I’m aiming for a resolution that ẇorks for us both, but let me emphasize: mẏ terms are final and non-negotiable.

1270 USD to mẏ Bitcoin adԁress below (remove anẏ spaces): 1AM1i YVVrX1CV P8ZAXpKv8 tmLgSBU PqNiZ

 

Rabu, 22 September 2021

Tetangga saya #2 : Warga Asli dan Bukan Asli

Komplek perumahan yang saya tinggali ini dahulunya adalah bekas sawah dan rawa. Kondisi saat ini tentunya berbeda 180 derajat dari 20 atau 30 tahun yang lalu. Dahulu, mungkin di tempat saya berdiri ini hanyalah sawah dan mungkin juga rawa dengan sangat jarang manusia. Saat ini, tempat saya berdiri adalah paving dengan pemandangan kanan kiri berupa rumah berhiaskan lalu-lalang manusia dan kendaraan bermotor. Menurut cerita pengembang, perumahan ini berdiri karena aktivitas perkantoran di sekitar yang melaju dengan sangat cepatnya sehingga berbanding lurus dengan peningkatan populasi manusia di tempat ini. 


Pak Gembul, salah seorang yang pernah bekerja di pengembang kawasan perumahan ini menuturkan bahwa 100 persen warga yang membeli perumahan ini adalah bukan warga lokal. Dan senada dengan penuturan pak Gembul; menurut pak Kenthung yang merupakan ketua RW, saat ini warga yang mendiami perumahan ini bisa dipastikan 100 persen bukanlah warga lokal yang dahulunya menggarap sawah sebelum dijadikan perumahan.


Yang menjadi lucu akhir-akhir ini dan terkait dengan pemilihan ketua RW, warga menjadi terkotak-kotak, lantaran ada sejumlah warga yang membentuk kelompok-kelompok, tentu tujuannya untuk mendukung calon ketua RW. Lucunya, ada salah satu kelompok yang terkesan meniadakan kelompok lainnya dan bahkan seakan-akan meniadakan eksistensi semua warga sebagai warga yang tinggal di perumahan ini. Kelompok tersebut menamakan dirinya sebagai kelompok Pemurnian.


Kelompok Pemurnian ini diinisiasi oleh pak Gombyor, yang juga sebagai ketua salah satu perkumpulan warga. Perkumpulan itu mereka sebut dengan perkumpulan Putih. Menurut sebagian besar warga, perkumpulan Putih bersifat eksklusif. Perkumpulan Putih ini sering sekali menyebarkan kabar-kabar yang membuat warga perumahan menjadi gaduh. Lebih sering lagi anggota kelompok Putih selalu masif menyebarkan kabar yang belum tentu kebenarannya melalui whatsapp dan facebook. 


Pak Kenthung yang menjabat sebagai ketua RW sebenarnya berulang kali menegur pak Gombyor, tapi ya ibarat masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Malahan setiap kali habis ditegur, kabar-kabar yang belum tentu kebenarannya tiba-tiba masif beredar yang menyudutkan pak Kenthung.


Momen pemilihan ketua RW tampaknya benar-benar akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pak Gombyor beserta kelompok Pemurnian untuk meraih simpati warga lainnya. Mereka akan menyerang calon selain pak Cemet, yang merupakan calon yang mereka usung. Isu yang dilontarkan kelompok Pemurnian saat ini dan terkesan absurd adalah larangan bagi anggota kelompok dan simaptiasannya memilih calon ketua RW yang bukan warga perumahan asli, padahal semua yang tinggal di perumahan ini adalah pendatang.


Berkumpul, berorasi, membentangkan spanduk yang bertuliskan "Saya warga Asli Perumahan" terkesan aneh bin ajaib sekaligus lucu. Kesan yang tertangkap justru adalah stigma warga yang tidak ikut kelompok mereka dan tidak memilih pak Cemet adalah bukan warga asli perumahan ini. Jika stigma ini terus berlanjut dan bahkan berkembang dan beririsan dengan kondisi lainnya tentunya akan sangat berbahaya bagi kerukunan dan keguyuban warga perumahan yang semuanya adalah pendatang.


Begitulah lucunya tetangga saya.


- Cerita adalah fiksi belaka -


Selasa, 21 September 2021

Tetangga Saya #1 : Ritual Setiap September




Tetangga saya semuanya lucu-lucu. Ada yang lebih lucu lagi yaitu salah satu tetangga yang rumahnya paling besar dan megah di komplek perumahan saya. Rumahnya sangatlah besar dengan peghuni yang jumlahnya sangat banyak dan semuanya masih berkerabat dekat; halamannya sangatlah luas dan ditumbuhi banyak tanaman buah yang rindang, serta kolam-kolam besar berisi ikan-ikan yang mungkin tidak dimiliki oleh rumah tangga lainnya di komplek perumahan ini. Bisa dibilang tetangga saya tersebut sangatlah kaya raya, ya bisa dibilang juga banyak sumberdaya alamnya.


Namun, dalam kehidupan rumah tangganya, bisa dibilang antar kerabatnya tidaklah terlalu akur. Kata tetangga-tetangga yang lain sih banyak intrik di dalam rumah besar itu. Bahkan lucunya, antar anggota keluarga yang tinggal di rumah besar itu malah membuat geng atau kelompok-kelompok. Kata Lik Karjo, seorang tukang kebun rumah itu, geng-gengan dalam rumah besar itu malah saling berkompetisi, bisa dikatakan satu sama lain saling meniadakan. Katanya lagi, akhir-akhir ini masing-masing geng sangat kentara ambisinya untuk menguasai rumah beserta lahannya itu.


Pak Gering masih tercatat sebagai kepala keluarga rumah besar itu. Badannya tinggi, tidak terlalu kurus, rambutnya selalu klimis, dan umurnya sekitar 60-an. Pak Gering sangatlah murah senyum dan ramah kepada setiap orang yang tinggal di kompleks perumahan saya, dan juga tidak pernah rasis atau membeda-bedakan. Namun, sebagian kerabatnya yang tinggal di rumah itu sangat membenci pak Gering, termasuk salah satu anak kandungnya. 


Mas Cempluk, salah satu anak kandung pak Gering yang membenci bapaknya, dan dia ikut mendirikan salah satu geng pembenci pak Gering. Pernah suatu waktu, sekitar tiga tahun lalu, mas Cempluk menyebarkan suatu kabar bahwa pak Gering akan menjual seluruh aset ke tetangga sebelah kiri rumahnya. Padahal jika dilihat-lihat, hal itu tidaklah mungkin, karena tetangga sebelah kirinya bukanlah termasuk keluarga yang punya banyak uang.


Mas Cempluk memang tidak suka kepada keluarga pak Lurit, tetangga sebelah kiri rumahnya dan masih berkerabat jauh. Mas Cempluk bersama gengnya sering sekali mencurigai seluruh keluarga pak Lurit; katanya sih keluarga pak Lurit membawa sial bagi rumahnya. Setiap ada kesialan selalu dikaitkan dengan pak Lurit; misalnya ketika anak mas Cempluk jatuh dari pohon jambu, selalu saja dikaitkan keberadaan rumah pak Lurit di sebelah kiri rumahnya; misalnya lagi, mas Gombloh, sepupu mas Cempluk yang masih satu geng, menyalahkan keberadaan rumah pak Lurit lantaran dia berdarah terkena arit saat membersihkan rumput di halamannya, padahal kecerobohannya sendiri.


Intinya mereka suka sekali mengkambing-hitamkan keluarga pak Lurit, padahal seluruh keluarga pak Lurit selalu baik kepada keluarga mas Cempluk. Sering sekali, pak Lurit menggagalkan pencurian di rumah pak Gering yang memang tidak memiliki pagar. Seluruh tetangga bahkan pak Gering dan kerabat yang pro kepada pak Gering selalu mengapresiasi langkah pak Lurit, tetapi tidak bagi mas Cempluk beserta gengnya. Malah seringkali, keluarga pak Lurit dikambing-hitamkan untuk membuat keonaran di dalam keluarga pak Gering. 


Mas Cempluk beserta gengnya menetapkan setiap bulan September adalah puncak kesialan bagi rumahnya, meskipun ini hanya asumsi mereka belaka. Mas Cempluk beserta gengnya akan membuat ritual aneh setiap bulan September, biasanya di tanggal 15 September, dimana mereka akan berkumpul di halaman depan rumahnya, lalu membakar foto pak Lurit yang mereka cetak sendiri dan berorasi menyuruh keluarga pak Lurit untuk tidak tinggal di sebelah kiri rumahnya, melainkan disuruh pindah ke sebelah kanan rumahnya.


Ya itulah salah satu tetangga saya yang lucu.


- Fiksi Belaka -




Dapat didengarkan di Youtube Tetangga Saya Podcast

Senin, 21 Juni 2021

Tolak Ekosida

Ketika mendengar istilah "genosida", pikiran kita pasti menerawang mengenai bentuk kekejaman yang dilakukan oleh kelompok manusia terhadap kelompok manusia lainnya.  Tentunya kita semua mengutuk kekejian genosida ini. Lantas bagaimana dengan istilah "ekosida"?


------------------


Saat penulis masih bersekolah dasar, antara pertengahan sampai menjelang akhir tahun 1990; ada suatu rasa kecintaan terhadap negara bangsa ini yang begitu membuncah. Kecintaan tersebut tidak lebih karena kecintaan kepada unsur-unsur alami penyusun negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yakni biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Hanya biodiversitas dan yang terkait dengan biodiversitas (misalnya budaya dan tradisi lokal) yang membuat penulis mencintai negeri ini, tidak lebih.


Opini penulis, negeri dan pemerintahan tentunya berbeda. Istilah negeri tentunya lebih luas daripada sekedar pemerintahan. Ibarat penginapan, negeri adalah fisik penginapannya dan pemerintah adalah pengelolanya. Jika kita mencintai suatu negeri, belum tentu kita bisa pro atau setuju dengan pemerintahnya. Banyak yang beranggapan jika kita mencintai negeri ini, maka kita harus pro kepada pemerintah yang sah. Harusnya dikembalikan lagi kepada esensinya, kita mencintai negeri ini beserta budaya dan kearifan lokalnya, tapi kita patut menolak apabila pengelola berlaku tidak adil kepadanegeri ini dan budayanya; bahkan kita bisa saja melawan jika pengelola berlaku eksploitatif dan destruktif. 


Terkait biodiversitas atau keanekaragaman hayati, tampaknya ada upaya eksploitatif dan merusak yang berlebihan yang dilakukan oleh korporasi-korporasi besar pertambangan dan perkebunan akhir-akhir ini. Korporasi besar pertambangan dan perkebunan tentunya telah mendapat restu dari pengelola negara ini untuk berlaku demikian. Kelakuan seperti ini ya mungkin saja sudah ada sejak republik ini menggandeng tangan kapitalis pada awal orde baru berkuasa, dan semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini. 


Mengerikan, itulah satu kata yang bisa terucap. Inti dari segala inti kegiatan mereka adalah mendapatkan cuan, dan tentunya tidak ada kepedulian akan kelestarian biodiversitas beserta unsur terkaitnya (budaya, tradisi dan kearifan lokal). Restu dari pengelola adalah kunci utama kelakuan buruk korporasi tambang dan perkebunan. Menurut opini penulis, si pemberi restu tak ubahnya seperti kaum-kaum penjajah jaman dahulu kala, yang memaksa masyarakat lokal merelakan tanah tumpah darahnya untuk diduduki, dan sering juga kekuatan para-militer atau militer dikerahkan untuk memuluskan kelakuan buruk tersebut. 


Dapat dibilang sudah keterlaluan ketika aktivitas tambang dan perkebunan menggusur biodiversitas negeri ini. Inilah sebentuk Ekosida yang menurut opini penulis akan lebih ganas dan keji dari genosida. Pada ekosida kali ini, semua unsur kapitalis dan pemerintah beserta aparatusnya bersekongkol. Kondisi seperti ini akan menjadikan kerusakan besar-besaran biodiversitas negeri ini dan mematikan budaya serta kearifan lokalnya. Tidak hanya itu saja, perlahan-lahan akan mematikan masyarakat di dalamnya. Sungguh keji.


Kita patut menolak, karena kita lebih cinta kepada negeri ini daripada mereka.

Selasa, 13 Oktober 2020

Apakah Demo-nya Menyentuh Esensi Omnibus Law Cilaka?

 Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja masih menjadi polemik hingga tulisan singkat ini ditulis. Banyak penolakan oleh hampir semua unsur masyarakat. Penolakan yang penulis anggap wajar dan sangat wajar mengingat proses pengesahan yang bisa dibilang sangat aneh. Ada yang bilang tidak ada komunikasi ke masyarakat terdampak, meskipun ada yang bilang sudah dikomunikasikan, lalu pengesahan yang terburu-buru padahal Omnibus Law ini berjumlah ratusan pasal dan ratusan halaman, pengesahan di waktu yang mengindikasikan Omnibus Law ini seperti pesanan, kemudian pasal-pasal yang terkait kelas pekerja dan lingkungan hidup yang dinilai bermasalah. Dan anehnya pengesahan terhadap draft yang masih simpang-siur. Bahkan masyarakat tidak memiliki rujukan draft mana yang diketok palu waktu itu. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, draft Omnibus Law tersebut katanya masih direvisi dan dirampungkan. Kok aneh ya.


Masyarakat pekerja dalam hal ini buruh sebagai masyarakat terdampak melakukan demonstrasi meminta legislatif dan eksekutif mencabut pengesahan draft UU ini. Demo terjadi hampir di seluruh Indonesia, dan mahasiswa pun ikut bergerak. Semua masyarakat terdampak UU ini, yang banyak dibilang UU Cilaka ini. Lingkungan hidup akan merana, dampak terhadap lingkungan hidup akan mengena di semua lapisan masyarakat negeri ini. Oligarki akan ongkang-ongkang kaki. 


Demo oleh buruh, mahasiswa dan masyarakat kelas bawah yang telah terjadi merupakan bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka terkait UU Omnibus Law Cilaka ini. Meskipun draft mana yang dipakai masih simpang-siur (harusnya karena draftnya belum dishare ke publik, polisi tidak bisa menganggap hoax terhadap draft UU tersebut adalah hoax). Penulis beropini, demo tersebut adalah bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka, ketika jalur resmi bisa jadi tidak direspon dengan baik oleh pembuat kebijakan. 


Demo pun masih bergulir, dan di minggu ini (minggu ke-3 Oktober 2020), demo dilanjutkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang penulis anggap berbeda dari niatan demo sebelumnya. Penulis merasa ada sesuatu yang mendasari mereka di demo kali ini, ibarat aji mumpung, dengan isu liar UU Omnibus Law Cilaka ini, mereka melancarkan “syahwat” keinginan berkuasa. Yang penulis rasakan, demo mereka tidak menyentuh esensi dari penolakan UU Omnibus Lawa Cilaka, tetapi malah ke perebutan kekuasaan. Niatan ini tentu menurut penulis sangat berbanding terbalik dari demo sebelumnya yang niatnya murni terhedap esensi UU Omnibus Law Cilaka.


Untuk penutup, penulis tidak berharap banyak pada pemerintah negeri ini.


Salam,

Penulis