Sabtu, 21 Mei 2011

hilang sudah

jaman telah berubah, 
namun hanyalah sebuah hiperbola akal 
makhluk alam hanya tumbal kemajuan
tak ada lagi kebebasan yang dapat dipijak
mereka tenggelam dalam keriuhan dunia balas membalas, 
seperti gunung salak yang tertimbun pekatnya malam 
dan bagaikan hujan meteor orionid yang dikalahkan awan mendung
tak ada yang peduli, 
hanya humanisme-alam dengan jiwa jiwa hijau yang peduli
sebuah ironi di negri batara surya

bogor, 23 oct 09

hujan malam ini

ketika hujan menghempaskan kelam, 
hargailah 
karena dia adalah lampiasan cemoohan alam
laju airnya menghapus kerentaan bumi
derap rintiknya bubarkan mimpi mimpi buruk makhluk bumi tak berdaya

bogor, 1 nov 09

negriku dalam sebuah coretan

negriku ini amatlah miskin
tanah dan airnya bukanlah tanah gemah ripah loh jinawi seperti cerita buku buku anak sekolahan
negri ini miskin gunung, miskin laut, miskin hutan, miskin sungai
negri ini negri gersang
karena inilah negri miskin gagasan
namun, amatlah kaya lisan

apakah bangsa ini ramah?
tidak, sama sekali tidak
kapankah bangsa ini pernah ramah
senyum dan santun
itu hanya cerita penghibur anak anak sekolah
yang lelah menghadapi masa depan
lihatlah betapa chaos bangsa ini
kebhinnekaan hanyalah simbol belaka
suku, agama, ras dan golongan yang dipilih
oh betapa buruknya negri ini
betapa bodohnya bangsa ini
sungguh absurd nusantaraku

bogor, 26 september 2010

hilang

bagaimana bisa kami tidur pulas
bagaimana bisa kami tertawa lepas
ketika kearifan-kearifan lokal direnggut oleh tangan-tangan abstrak
atas nama demokrasi barat
oh, malangnya kearifan lokal tanahku ini
hilang satu per satu
hilang semua kelak
menyisakan anak-anak yang benar-benar kehilangan
asal usul dan jati diri
bukankah nusantara ini punya nilai yang lebih agung
daripada demokrasi ala orang-orang berdasi

demokrasi nusantaraku adalah
demokrasi atas dasar kearifan lokal
demokrasi atas dasar nilai-nilai tradisi
demokrasi atas dasar budaya
demokrasi atas dasar adat-adat lokal
demokrasi dengan toleransi dan kekeluargaan yang sangat tinggi
itulah yang bisa membuat kami tersenyum

bogor, 1 desember 2010

Rabu, 18 Mei 2011

gadis kecil kawan kucing kecil

gadis kecil dengan kucing kecil
terlelap kala bulan masih muda
lantai toko teman ketiga
berpadu menghabiskan malam

gadis kecil tak beribu bapak,
berkawan kucing betina coklat tak bertuan
pulas kala ramai orang orang mencaci harapan
gadis kecil dan kucing betina kecil, menjelajahi waktu
pagi menjelang,
kaki kaki kecilnya menapaki suramnya harapan
polos melangkah maju tak hiraukan sandalnya setipis kain sutra
karena hidup adalah esok, bukan hari ini
ketika lelah menyapa, pejamnya mata adalah hiburan
malam orang tua sejati, bumi rumah kehidupan

gadis kecil dan kucing kecil, tertidur di pinggir toko beralaskan lantai
hampir diinjak oleh kaki kaki kokoh pengikut waktu
kadang tertendang,
namun tidak ada minat untuk berontak
karena lelah melunakkan hati
karena mereka bukan musuh
gadis kecil dan kucing kecil masih tertidur ditemani nafas sang malam
dingin ditengah hangatnya lampu lampu kota
sepi diantara renyahnya tawa dalam rumah rumah yang tak pernah terpikir olehnya
gadis kecil dan kucing kecil, hanya hidup untuk sepotong harapan hari esok
karena mereka tidak mati malam ini


bogor, 19 mei 2011

kisah Kebun Sukun Belakang Balaidesa

Tidak banyak yang tahu kalau hutan pohon sukun belakang balaidesa, atau lebih tepatnya kebun sukun yang tidak terurus menyimpan sesuatu yang berharga bagi desa sukun, bahkan bagi warga desa sukun sendiri. Kebun sukun yang tidak terurus itu terletak persis di belakang balaidesa, agak ke kanan sedikit, di samping kirinya berdiri bangunan jaman belanda yang tidak terawat. Bangunan belanda dan kebun sukun itu berpemilik sama, seorang kakek yang hidup seorang diri. Sampai sang kakek pemilik rumah bangunan belanda dan kebun sukun seluas setengah lapangan sepakbola meninggal dua minggu yang lalu, tidak ada satu orang pun yang mengetahui asal-usul sang kakek. Dari beberapa cerita yang beredar, sang kakek masih mempunyai darah belanda, tapi cerita lainnya mengatakan kalau sang kakek hanyalah orang suruhan untuk menunggui rumah kuno dan kebun sukun itu.

Kebun sukun yang dulunya mempunyai luas hampir sepuluh kali dari luas saat ini menurut cerita-cerita orang tua dahulu pernah menyatu dengan hutan jati di seberang sungai jambu. Hutan jati di seberang sungai pun nampaknya sudah tergusur keberadaannya sekitar setahun yang lalu. Sebuah gudang sabun telah dibangun di atas hutan jati seberang sungai jambu. Sisa-sisanya pun sebenarnya masih bisa dilihat, beberapa gelondongan kayu jati di samping kiri tembok pagar gudang sabun. Hutan jati seberang sungai jambu sebenarnya tidak berpemilik, uanglah yang telah mengubah perangai orang-orang yang tinggal di samping kanan dan samping kiri hutan jati seberang sungai jambu. Mereka berlomba-lomba mengakui kepemilikan hutan jati seberang sungai jambu. Sungguh malang nasib hutan jati seberang sungai jambu.

Lebih malang nasib kebun sukun di belakang balaidesa, sejak sang kakek penghuni bangunan belanda di samping kiri kebun sukun tidak pernah keluar rumah karena stroke, orang-orang yang tinggal di samping kanan dan kiri kebun sukun berlomba-lomba meluaskan pekarangannya sampai sekarang nasib kebun sukun tinggal separo luas lapangan sepak bola. Kebun itu memang tak terawat, tak ada seorang pun yang berani menjamahnya. Sekitar tujuh bulan lalu, salah seorang warga desa yang menebangi pohon sukun tiba-tiba tak sadarkan diri dan tiba-tiba tubuhnya menggigil dan panas tidak karuan sebelum akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, warga desa mencoba menjauhi kebun sukun di belakang balaidesa beserta bangunan belanda kuno di samping kirinya.

Nampaknya tidak ada yang berani menyentuh sehelai daun pun di kebun sukun belakang balaidesa, bahkan sehelai daun kering pun. Tetapi nampaknya tidak untuk seekor lutung yang hidup di kebun sukun belakang balaidesa. Beberapa warga desa, terutama yang sudah menjadi kakek-kakek atau pun nenek-nenek sudah tahu semenjak kebun sukun belakang balaidesa menyatu dengan hutan jati seberang sungai jambu, kebun maupun hutan tersebut sudah menjadi tempat hidup puluhan keluarga lutung, mereka merasa lutung yang hidup di sana adalah harta bagi desa jambu tempat mereka tinggal. Hanya warga-warga tua yang tahu, sayangnya anak-anak mereka tidak pernah mengetahui harta terpendam tersebut. Mereka selain menghabisi kebun sukun belakang balaidesa dan hutan jati seberang sungai jambu juga menghabisi puluhan lutung-lutung yang telah terdesak di kebun sukun belakang balaidesa. Lutung bukanlah harta, mereka hanyalah makhluk jadi-jadian, begitulah ujar mereka.

Sejak tidak ada tangan-tangan yang berani mengacak-acak kebun sukun belakang balaidesa, dua ekor lutung nampaknya hidup bahagia. Seekor lutung betina dan seekor anaknya yang hidup dengan makan buah sukun sepertinya telah menjadi makhluk terakhir penghuni kebun sukun belakang balaidesa dan makhluk terakhir saksi kejayaan desa jambu. Setiap harinya mereka hanya mengahbiskan waktu di pohon sukun tua yang letaknya tepat di tengah-tengah kebun sukun belakang balaidesa. Meskipun tidak ada yang mengganggu lagi, mereka masih tidak percaya dengan warga desa yang telah merenggut kebahagiaan sang lutung betina.

Dua hari yang lalu, desa jambu kedatangan pasangan suami istri muda warga baru yang berasal dari ibukota kabupaten. Mereka menempati bangunan kuno jaman belanda yang ada di samping kiri kebun sukun. Seperti halnya kakek penghuni asal bangunan kuno tersebut, tidak ada yang tahu menahu perihal pasangan suami istri penghuni bangunan kuno tersebut. Tepatnya satu hari yang lalu, entah merasa terganggu atau rasa ingin mengganggu, sang suami dari pasangan suami istri muda penghuni terakhir itu pun masuk ke kebun sukun yang telah menjadi haknya dengan membawa sebuah senapan angin. Tak berapa lama, tak ada angin, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di semak-semak. Benda jatuh itu bukanlah buah sukun yang matang atau pun batang pohon sukun, melainkan seekor lutung betina. Sebual peluru timah menembus dada kiri dan sebelah kiri kepala lutung betina itu. Seketika itu, darah berceceran di antara daun-daun yang telah mengering.

Terlihat senyum kecil di wajah sang suami dari pasangan suami istri muda penghuni baru bangunan kuno jaman belanda di samping kiri kebun sukun. Mungkin rasa puas yang dirasakannya, seketika itu, sang suami pun meninggalkan kebun sukun belakang balaidesa. Tak berapa lama seekor anak lutung harapan terakhir saksi kejayaan keluarga lutung dan saksi kejayaan desa jambu turun dari salah satu pohon sukun tua tempat beberapa menit lalu digendong induknya. Pelukan sang anak lutung kepada induknya yang telah bersimbah darah nampaknya tidak akan pernah mengembalikan nyawa sang induk. Beberapa hari, sang anak tetap memeluk sang induk walaupun bau menyengat dang belatung sudah keluar dari tubuh tak bernyawa itu. Entah sampai kapan si anak lutung akan melepaskan pelukannya itu.

Selasa, 17 Mei 2011

kucing kucing malam

ribuan mata kucing melepas kepergian mata mata sayu
dalam gelapnya lelap
tajamnya menelisik bulu bulu kusam burung gereja
yang menyanyi sendu dalam riuhnya angin pagi
lihatlah betapa gontai langkahnya, menapak tidak menjejak pun enggan
limbung diterpa alunan  nafas pekerja pekerja berbadan tegap
terkoyak oleh taring taring mentari
sementara, tikus tikus selokan mendekap tawa
licik menikam akal yang meredup

tidak,
kau adalah kucing kucing malam
liarmu menyapa teka teki akal
gelap terang bukan masalah
kucing kucing malam sorot mata elang tajam cakar harimau
penuhi muka bumi dengan liarmu
hantam tikus tikus selokan bermata buram
kucing kucing malam lincah tubuh lutung
pijak dahan ranting terkuat
ujung pohon tertinggi pun tercapai
kucing kucing malam penakluk sepinya gelap sesaknya terang
gelap untuk sebuah imaji
terang untuk kenyataan imaji


bogor, 18 mei 2011