Senin, 15 Agustus 2011

Cerecet Terakhir Sang Betet

Aku terlahir sebagai seekor betet, tepatnya betet biasa atau yang oleh orang pintar sering dipanggil dengan Psittacula alexandrii. Tubuhku berukuran tidak besar dan tidak pula kecil, serta warna buluku hijau dengan pipi berwarna pink. Bila dilihat-lihat sekilas, diriku memang mirip dengan burung lovebird yang yang harganya mahalnya minta ampun nan dipelihara oleh orang-orang berkantung tebal. Sebenrnya kami memang sama-sama dari keluarga burung berparuh bengkok, tapi yang membedakan adalah sebuah nasib. Nasib si burung lovebird adalah di sangkar nan elite dan nasibku tidak begitu jelas di alam. 

Aku dan sesamaku tak tahu apakah kami ini dilindungi atau tidak. Sekilas yang pernah kami dengar dari obrolan orang-orang pintar, kami merupakan salah satu satwa endemik di pulau Jawa yang terpadat di negri ini, sebuah negri yang lupa akan kekayaan alamnya sendiri. Memang jika diakui, kami keluarga betet masih kalah jauh cantiknya dengan burung-burung paruh bengkok lainnya yang endemik di bagian timur sana. Nasib telah mengubah hidup kami sebagai seekor burung terancam keberadaannya di tanah warisan moyang kami. Kami di sini hanya hidup dalam dua kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok kami ini rasa-rasanya merupakan sisa-sisa kehidupan para betet yang pernah menghuni tanah ini. Dahulu kala memang ada kelompok-kelompok yang banyak saat hutan di tanah ini masih luas nan asri, tetapi sejak area pepohonan hijau tinggal secuil maka tinggal secuil pula jumlah kami serta tinggal secuil pula jiwa kami. Kami di sini hidup terasing di sebuah hutan kecil di tengah-tengah bangunan yang dipakai oleh calon-calon ilmuwan melengkapi ilmunya. Hutan sengon yang luasnya Cuma beberapa meter saja inilah kami melepaskan semua beban hidup saat malam tiba dan merawat keturunan yang mungkin terakhir. 

            Kami sebenarnya merasa bosan hanya hidup berputar-putar di sekitar hutan sengon yang dikelilingi oleh gedung-gedung gudang kepintaran dan pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin memusuhi kami. Sesekali kami bergantian keluar melintasi pagar gedung-gedung gudang kepintaran untuk melihat riuhnya kehidupan manusia yang semakin lupa akan hijau-birunya lingkungannya. Sebenarnya sih bisa dikatakan dari sejak gedung gudang ilmu itu berdiri sampai saat ini, kehidupan kami tidak pernah terusik. Tetapi hanya sekali dua kali terusik oleh pemburu liar dan oleh pikiran-pikiran nakal para ilmuwan. Jika memandang gunung di seberang sana, kami sering mengkhayal, mengandai-andai di sana masih banyak saudara-saudara kami yang hidup tanpa gurauan manusia. Namun, khayalan kami dengan serta merta terhenti setelah telinga kami yang tidak berdaun mendengar obrolan para manusia yang sering nongkrong di hutan ini untuk menanti atraksi kami. Menurut obrolan mereka, gunung seberang sudah gersang. Gersang gara-gara tapak-tapak hitam manusia.

            Jika kami pikir-pikir, benar juga apa kata mereka, pantaslah tempat hidupku sekarang ini menjadi panas bukan main saat siang, tidak seperti cerita-cerita kakek nenekku yang menurut mereka daerah hidup kami di sini dulunya sejuk. Jika gunung seberang sudah gersang, berarti sudah tidak menghijau lagi dan menandakan bahwa kehidupan makhluk-makhluk seperti kami di sana menjadi lebih menderita daeripada di sini. Biar bagimanapun kami masih merasa beruntung hidup di sini. Kami dan keluarga satwa lain yang hidup di hutan sengon ini selalu berharap supaya hutan tempat tinggal kami ini tidak lagi disulap menjadi gedung atau ladang yang lebih modern, karena kami tak tahu lagi harus tinggal dimana. 

            Di hutan ini kami hidup bersama burung-burung lain, satwa-satwa lain dan manusia-manusia yang sering nongkrong di sini seminggu sekali atau dua kali seminggu. Kami sering resah jika memikirkan masa depan, kami takut akan kepunahan generasi kami. Sejujurnya kami punya keinginan kuat keluar dari hutan sengon yang tinggal secuil ini, kami ingin mencari tempat yang layak dan mencari kawan-kawan sejenis. Namun, keinginan hanya tinggal keinginan absurd, karena nyali kami tidak sebesar burung elang ular bido yang berani terbang tinggi dan berani mengarungi luasnya daratan. Nyali selalu menciut manakala memikirkan nasib kami yang tinggal beberapa ekor ini.

            Mungkin ini adalah nasib yang harus kami jalani. Setiap hari selalu menanti-nanti kabar dari burung-burung lain yang bernyali besar, kabar tentang pengalamannya menemukan tempat-tempat yang cocok. Aku iri mendengar itu, jika kukerahkan kelompokku bertualang mencari tempat baru, maka kami takut akan sesuatu hal yang akan menimpa kami, jika ada bencana maka habislah kelompok kami, mungkin habis pula betet di tanah jawa ini. Biarlah rasa iri ini kami pendam saja. Kami selalu mencoba menikmati indahnya tempat ini dan kami selalu bersyukur masih punya kawan-kawan sejenis meskipun bisa dihitung dengan jari. Setiap pagi kami selalu saling menyapa dengan suara “cerecetan” khas kami, saling menghitung jumlah kelompok karena siapa tahu ada yang hilang satu. Siang hari kami mengarungi luasnya bangunan-bangunan berilmu yang masih terlihat hijau untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dan sore harinya kami bercerecet lagi mengumpulkan kelompok dan saling bercerita tentang pengalaman yang terjadi seharian ini. Selepas maghrib adalah saatnya kami bersiap-siap melepas lelah di lubang-lubang pohon sengon yang sengaja kami buat.

            Seminggu sekali kami menyombongkan aksi-aksi kami supaya disaksikan oleh beberapa orang sang “penikmat” burung yang sering “nongkrong” di hutan sengon ini. Kepala mereka selalu melihat ke atas, di lehernya dikalungkan sebuah benda dengan bentuk seperti dua buah tabung yang saling merekat, dan di tangannnya memegang buku serta alat tulis. Kehadiran mereka selalu kami nantikan. Dilihat dari gerak-geriknya, pastilah mereka bukan manusia-manusia jahat dan serakah. Mereka adalah tamu-tamu terhormat kami. Kami rela seharian tidak mencari makan hanya untuk ditonton mereka. Mereka adalah manusia yang menyatu dengan alam karena jika dilihat dari tampangnya bisa terlihat bahwa manusia-manusia itu adalah manusia yang sederhana, bijak, polos dan bersahaja. Lewat obrolan mereka tentang alam, sudah membuat hati kami gembira setengah mati dan kami selalu antusias mendengarkan cerita-cerita mereka. Dan sebagai imbalannya, kami tak segan-segan memamerkan keunikan tubuh kami pada mereka, nampaknya tak hanya kami saja yang memberi imbalan atas kehadiran “sang penikmat”, burung-burung yang lain juga saling berebutan memamerkan keelokan dan keunikannya masing-masing. Si wiwik lurik memamerkan suaranya yang memilukan dan kuanggap itu suara terjelek di sini. Si kutilang tanpa sungkan-sungkan memperagakan akrobatnya, dan kami anggap si kutilang adalah makhluk yang tidak punya rasa malu, seperti halnya burung gereja. Sekian kisah kami di hutan sengon yang tinggal secuil ini, dan semoga hutan sengon ini dengan keanekaragaman makhluknya tidak menjadi kenangan manusia-manusia pintar yang menimba ilmu di sini.

Minggu, 14 Agustus 2011

Sekilas Kondisi Burung Liar di Indonesia

Kebaradaan satwa burung di Indonesia semakin hari semakin menurun populasinya. Hal ini disebabkan oleh perburuan liar sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Selain itu, penurunan kualitas habitat sebagai akibat dari aktivitas manusia, lemahnya pengamanan, pengawasan, penerapan sanksi hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi juga turut mengakibatkan penurunan populasi burung di alam. Walaupun telah berstatus dilindungi (termasuk oleh pemerintah daerah dimana habitat dan jenis burung berada), namun perburuan liar masih tetap berjalan hingga saat ini (Setio & Takandjandji 2006).

Pemanfaatan keanekaragaman jenis satwa liar secara tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis burung air termasuk salah satu yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Awal pemanfaatan dari jenis-jenis burung tersebut adalah hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan protein bagi masyarakat setempat. Namun, dalam perkembangannya ternyata jenis-jenis burung tersebut tidak saja dimanfaatkan untuk kebutuhan protein tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada masyarakat kota untuk menambah sumber pendapatan, sehingga pengeksploitasian jenis-jenis burung tersebut secara terus-menerus tanpa adanya pengendalian dikhawatirkan akan mengancam kepunahan (Iskandar & Karlina 2004). Selain itu, pemanfaatan burung terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah masyarakat penghobi burung kicauan dengan jumlah uang yang beredar
sebanyak Rp 7 triliun (Moehayat 2008).

Menurut MacKinnon (1990), perdagangan burung secara keseluruhan mempunyai nilai penting dalam perdagangan dan sampai skala tertentu akan menghabiskan populasi burung liar. Nilai penting burung dalam perekonomian di Pulau Jawa adalah sabagai hama pertanian (pipit, bondol dan manyar sebagai hama padi), jenis burung yang menguntungkan (elang), bahan makanan (mandar, ayam hutan, puyuh dan punai), serta perdagangan burung piaraan (perkutut, kucica hutan, beo, kutilang dan jalak) dan pada tahun 1980 terdapat lebih dari 340.000 burung secara ilegal diekspor dari Indonesia dimana jenis-jenis ekspor yang disukai adalah bondol, pipit benggala, gelatik, perkutut, beo, dan serindit. Menurut anonim (2002), perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangutan, penyu, beberapa jenis burung, harimau sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut maka harganya semakin mahal.

Perdagangan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan populasi suatu jenis burung, disamping akibat menghilangnya habitat dan degradasi habitat. Perusakan habitat dan eksploitasi spesies secara berlebihan menyebabkan Indonesia mempunyai daftar spesies fauna terancam punah terpanjang di dunia (Lambert 1993; Sumardja 1998 diacu dalam Widodo 2007).

Sebuah Keraguan Lestarinya Biodiversitas di Kampus Hijau


Kampus IPB atau yang sering disebut kampus hijau menyimpan keanekaragaman hayati yang bervariasi diantaranya adalah satwa burung. Dimana menurut Dono (2003), keberadaan burung dapat dijadikan alat indikator/alat bantu untuk menentukan skala prioritas dalam penanganan permasalahan lingkungan karena burung mempunyai atribut yang mendukung, hidup di seluruh habitat di dunia, relatif mudah diidentifikasi, peka terhadap perubahan lingkungan, data penyebarannya relatif cukup diketahui dan terdokumentasi dengan baik serta taksonominya cukup lengkap. Daftar dibawah ini memuat jenis-jenis burung yang dijumpai pada saat kegiatan birdwatching di area kampus IPB Dramaga selama kurun waktu 2006 - 2008, terdapat kemungkinan daftar yang dijumpai tersebut hanya sebagian atau dengan kata lain sebenarnya masih ada jenis yang belum terident dan belum masuk ke list. 
Mengingat jenis-jenis burung liar yang beragam tersebut, tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan, apakah keanekaragaman spesies burung tersebut masih lestari sampai saat ini????, masihkah mereka dapat dijumpai dengan mudah di waktu sekarang ini???, timbul keraguan jawaban akan pertanyaan tersebut mengingat masa sekarang pastilah berbeda dengan masa ketika tahun 2008, 2007, 2006, atau tahun-tahun sebelumnya. Masa sekarang nampaknya masa-masa pembangunan fisik bagi si "kampus hijau", sebuah pembangunan yang nampaknya akan menggeser lahan-lahan hijau habitat satwa burung. Apabila terjadi penurunan spesies atau jumlah maka dapat diambil kesimpulan singkat bahwa si "kampus hijau" tidak bisa menjaga dan mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati yang merupakan anugerah-Nya. Sungguh miris jika kondisi tersebut benar-benar terjadi, satwa liar penghuninya (burung liar) ibarat peribahasa, "tikus mati di lumbung padi", satwa liar "terdesak" di dalam lingkungan yang berisi manusia-manusia cerdas yang berpikiran "hijau". Semoga hal tersebut tidak terjadi, dan semoga keanekaragam hayati di kampus hijau dapat lestari.

Daftar List Burung yang dijumpai di Kampus IPB Darmaga, Bogor (2006 – 2008)
  • Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga)
  • Kapinis rumah (Apus affinis)
  • Walet linchi (Collocalia linchi)
  • Kowak malam kelabu (Nycticorax nycticorax)
  • Gemak loreng (Turnix suscitator)
  • Walet-palem asia (Cypsiurus balasiensis)
  • Kareo padi (Amaurornis phoenicurus)
  • Punai gading (Treron vernans)
  • Tekukur biasa (Streptopelia chinensis)
  • Delimukan zamrud (Chalcophaps indica)
  • Betet biasa (Psittacula alexandri)
  • Bubut alang-alang (Centropus bengalensis)
  • Wiwik lurik (Cacomantis sonneratii)
  • Wiwik kelabu (Cacomantis merulinus)
  • Wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis)
  • Serak jawa (Tyto alba)
  • Raja udang meninting (Alcedo meninting)
  • Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris)
  • Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis)
  • Cekakak sungai (Todirhampus chloris)
  • Caladi tilik (Picoides moluccensis)
  • Layang-layang batu (Hirundo tahitica)
  • Layang-layang loreng (Hirundo striolata)
  • Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus)
  • Kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis)
  • Kekep babi (Artamus leucorhynchus)
  • Cipoh kacat (Aegithina tiphia)
  • Srigunting hitam (Dicrurus macrocercus)
  • Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus)
  • Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster)
  • Gagak hutan (Corvus enca)
  • Cinenen pisang (Orthotomus sutorius)
  • Cinenen jawa (Orthotomus sepium)
  • Prenjak jawa (Prinia familiaris)
  • Cabai jawa (Dicaeum trochileum)
  • Bentet kelabu (Lanius schach)
  • Pelanduk semak (malacocincla sepiarium)
  • Remetuk laut (Gerygone sulphurea)
  • Kipasan belang (Rhipidura javanica)
  • Burung madu kelapa (Anthreptes malacensis)
  • Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis)
  • Pijantung kecil (Arachnothera longirostra)
  • Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus)
  • Burung gereja erasia (Passer montanus)
  • Bondol jawa (Lonchura leucogastroides)
  • Bondol peking (Lonchura punctulata)
  • Elang-ular bido (Spilornis cheela)
  • Pelanduk topi hitam (Pellorneum capistratum)
  • Cikrak kutub (Philloscopus borealis)
  • Celepuk reban (Otus lempiji)
  • Paruh-kodok jawa (Batrachostomus javensis)

Selasa, 12 Juli 2011

Untuk Negriku 6

Beragam himbauan yang bertemakan "Selamatkan Alam" atau "Selamatkan Lingkungan" atau "Selamatkan Keanekaragaman Hayati" sering terlihat di berbagai sudut kehidupan, mulai dari media cetak, elektronik, poster, spanduk, brosur, atau leaflet, baik yang diinisiasi oleh instansi pemerintah ataupun non-pemerintah. Rasa-rasanya setiap masyarakat pernah membacanya, entah detail ataupun hanya sekilas saja. Sebuah slogan atau pesan yang menghimbau terhadap penyelamatan alam dan lingkungan dengan gaya bahasa yang menarik dan tata gambar yang indah ataupun mengharukan nampaknya menjadi tren di kala manusia cenderung tidak peduli lagi dengan alam sekitar.

Lazimnya pemasang himbauan tersebut selalu merasa khawatir andai pesan yang ingin disampaikan tidak sampai ke khalayak umum. Entah mengena atau tidak, entah mahal atau murah, yang terpenting bagi mereka adalah sudah mengajak masyarakat umum untuk berbuat baik terhadap alam serta secara ikhlas mengajarkan pentingnya alam untuk kehidupan manusia saat ini dan masa yang akan datang. Nampaknya kondisi seperti ini hanya dipunyai oleh manusia-manusia yang benar-benar ikhlas menyerahakan jiwa raganya untuk kelestarian alam dan lingkungan sehingga himbauan yang ditorehkan mereka pun terlihat lebih serius dan bahasanya hidup. 

Namun, bagaimanakah pesan atau slogan himbauan pentingnya pelestarian alam yang dipasang oleh instansi pemerintah, apakah terdapat keseriusan dari pihak pemerintah untuk benar-benar mengharapkan "mengenanya" pesan yang disampaikan???. Menurut pribadi penulis, rasa-rasanya pesan himbauan yang disampaikan oleh instansi pemerintah tidak mempunyai unsur keseriusan atau mungkin bisa disebut sebagai guyonan belaka, hanya sebatas kalimat dengan bahasa yang tidak hidup atau sama sekali tidak akan pernah hidup. Apabila kalimat himbauan tersebut dituliskan pada sebuah media, nampaknya hal itu hanyalah sebuah proyek yang bisa diambil keuntungan ekonominya ataupun bisa dikorupsi sedikit. Selain itu,rasa-rasanya tidak pernah ada upaya lebih lanjut dari instansi pemerintah untuk mengajarkan masyarakat umum bagaimana bersikap baik terhadap alam. Miris sekali ketika pemerintah yang seharusnya mengayomi bangsa dan negri ini, mengayomi bukan saja masyarakatnya tetapi juga alam yang telah memberi bentuk wajah negri ini. Bagaimana nasib keanekaragaman hayati negriku jika tidak ada keseriusan di pihak pemerintah untuk menggarap kelestarian alam dan keanekaragaman hayati.

Tak hanya itu saja, pesan pelestarian pun nampaknya hanya menjadi formalitas perusahaan-perusahaan pengeksploitasi alam. Mereka dengan mudahnya menyisihkan sedikit "uang" mereka pada program yang sering kita dengar sebagai CSR yang bertemakan lingkungan. Tetapi apakah kita pernah berpikir berapa keuntungan yang mereka dapatkan setelah "menganiaya" alam negri ini, lalu dengan mudahnya mereka berbicara tentang "pentingnya" pelestarian alam dan keanekaragaman hayati. Rasa-rasanya mereka menganggap uang akan menyelesaikan masalah pelestarian alam, dengan menyuap si pembuat kebijakan, bahkan dengan menyuap masyarakat melalui CSR maka formalitas pelestarian alam pun sudah terpenuhi.

Senin, 11 Juli 2011

harapan sang waktu

harapan malam akan siang, dan
siang pun mengharap malam
bukanlah absurd,
melainkan repetisi waktu
setiap saat, tidak kenal musim
baginya hanyalah impian kenyataan sebongkah asa
kala impian tiba,
masa gelap terang, dan terang gelap
melebur menjadi satu warna
dalam sebuah simbol gerhana
maka, malam mendekap siang,
dan siang pun membelai malam
sebuah masa istimewa dari sang pencipta
harapan impian siang untuk malam
dan malam untuk siang
adalah kenyataan harapan hati atasmu

bogor, 30 juni 2011

hijau biru

hijau biru,
bukan langit bukan pula bumi

hijau biru,
memadu kaki langit puncak nan megah halimun salak
takjubnya akal lantaran romantisme hijau biru
begitu selaras dengan mata angin
pun mesra mendekap kasih dua kepak garuda
di dahan pohon yang dedaunnya melebur dalam ragam rupawan

hijau biru,
wujud indahnya harmonisasi warna kehidupan 
begitu lekatnya,
halimun pun tak pernah mengusik
bahkan mendung pun enggan bersinggung

hijau biru, 
dua warna yang akan memeluk asa
dua jiwa makhluk muka bumi
yang corak rupanya tak akan pernah memudar
karena lestari adalah takdir dari sang khalik


bintaro, 12 juli 2011

Untuk Negriku 5

Terulang lagi sebuah kisah memilukan, belum begitu lama berselang sudah terdengar mirisnya kabar "amarah" warga terhadap sang loreng pewaris terakhir hutan sumatera. Berita yang tak sengaja terdengar hari ini dari Redaksi Sore Trans 7 mengabarkan bahwa seekor harimau sumatera betina terjerat oleh perangkap warga di salah satu kabupaten di Sumatera Barat. Diberitakan bahwa jerat tersebut senagaja dipasang lantaran warga sekitar merasa kesal dengan ulang sang loreng yang sering memangsa hewan ternak warga. Kekesalan itupun akhirnya berujung pada penjeratan si harimau yang tidak berdosa. Sampai berita tersebut tersiar, terlihat bahwa harimau betina yang ada di dalam perangkap warga masih hidup. Namun, dari gambar terlihat nampaknya sang harimau mengalami kepayahan. Ironisnya, setelah penjeratan tersebut dan harimau masih hidup, warga tidak serta-merta menyerahkan ke pihak BKSDA, alasannya mereka menginginkan si harimau untuk ritual "tolak bala" terlebih dahulu. Tidak begitu jelas, ritual tolak bala yang bagaimanakah yang akan dilakukan oleh warga. 


Sebuah tragedi terhadap keanekaragaman hayati negri ini. Warga atau masyarakat setempat sekitar habitat si loreng yang seharusnya menjadi salah satu unsur pendukung kegiatan pelestarian harimau sumatera justru menjadikan harimau sebagai organisme hama yang patut dihabisi. Harimau bukanlah kucing rumahan yang dengan mudahnya beranak pinak, harimau adalah satwa liar dimana kelangsungan hidupnya membutuhkan habitat yang layak. Habitat pun nampaknya tidak terlepas dari "campur tangan" masyarakat sekitar habitat, sehingga kelayakan sebuah habitat tersebut dapat dinilai dari habitat itu sendiri (misalnya hutan) beserta kearifan dan kebijaksanaan masyarakat sekitar habitat. Namun apa yang terjadi sekarang ini, habitat harimau dan juga satwa liar lainnya mengalami penurunan kelayakan bahkan sampai ke titik terendah, selain itu disertai dengan menurunnya kearifan masyarakat sekitar habitat terhadap tingkah laku alam.


Rasa-rasanya semua hal tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dengan kepentingan ekonomi modern. Asalakan bisa diuangkan, maka alam pun digadai. Bagaimana keanekaragaman hayati negri ini bisa langgeng jika kepentingan ekonomi yang merusak dinomorsatukan oleh semua pihak. Bahkan oleh yang disebut sebagai "pemerintah".

Nampaknya kita harus berpikir jernih, ibaratnya harimau adalah anak kecil yang belum tahu-menahu urusan manusia dewasa dan masyarakat diibaratkan sebagai manusia dewasa sekaligus orang tua dari si anak tersebut. Maka, ketika si anak tersebut melakukan kegiatan yang dianggap merugikan orang tuanya, misalkan saja corat-coret tembok di sebuah rumah baru yang baru dibeli orang tuanya secara kredit, apakah si orang tua tersebut akan serta-merta menjebloskan si anak ke dalam penjara ataukah akan menghakimi sendiri. Sudah pasti jawabannya tentu tidak demikian. Selain itu, anak adalah aset dari orang tuanya, begitu juga dengan harimau sumatera sebagai aset dari masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia.