Senin, 15 Agustus 2011

Cerecet Terakhir Sang Betet

Aku terlahir sebagai seekor betet, tepatnya betet biasa atau yang oleh orang pintar sering dipanggil dengan Psittacula alexandrii. Tubuhku berukuran tidak besar dan tidak pula kecil, serta warna buluku hijau dengan pipi berwarna pink. Bila dilihat-lihat sekilas, diriku memang mirip dengan burung lovebird yang yang harganya mahalnya minta ampun nan dipelihara oleh orang-orang berkantung tebal. Sebenrnya kami memang sama-sama dari keluarga burung berparuh bengkok, tapi yang membedakan adalah sebuah nasib. Nasib si burung lovebird adalah di sangkar nan elite dan nasibku tidak begitu jelas di alam. 

Aku dan sesamaku tak tahu apakah kami ini dilindungi atau tidak. Sekilas yang pernah kami dengar dari obrolan orang-orang pintar, kami merupakan salah satu satwa endemik di pulau Jawa yang terpadat di negri ini, sebuah negri yang lupa akan kekayaan alamnya sendiri. Memang jika diakui, kami keluarga betet masih kalah jauh cantiknya dengan burung-burung paruh bengkok lainnya yang endemik di bagian timur sana. Nasib telah mengubah hidup kami sebagai seekor burung terancam keberadaannya di tanah warisan moyang kami. Kami di sini hanya hidup dalam dua kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok kami ini rasa-rasanya merupakan sisa-sisa kehidupan para betet yang pernah menghuni tanah ini. Dahulu kala memang ada kelompok-kelompok yang banyak saat hutan di tanah ini masih luas nan asri, tetapi sejak area pepohonan hijau tinggal secuil maka tinggal secuil pula jumlah kami serta tinggal secuil pula jiwa kami. Kami di sini hidup terasing di sebuah hutan kecil di tengah-tengah bangunan yang dipakai oleh calon-calon ilmuwan melengkapi ilmunya. Hutan sengon yang luasnya Cuma beberapa meter saja inilah kami melepaskan semua beban hidup saat malam tiba dan merawat keturunan yang mungkin terakhir. 

            Kami sebenarnya merasa bosan hanya hidup berputar-putar di sekitar hutan sengon yang dikelilingi oleh gedung-gedung gudang kepintaran dan pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin memusuhi kami. Sesekali kami bergantian keluar melintasi pagar gedung-gedung gudang kepintaran untuk melihat riuhnya kehidupan manusia yang semakin lupa akan hijau-birunya lingkungannya. Sebenarnya sih bisa dikatakan dari sejak gedung gudang ilmu itu berdiri sampai saat ini, kehidupan kami tidak pernah terusik. Tetapi hanya sekali dua kali terusik oleh pemburu liar dan oleh pikiran-pikiran nakal para ilmuwan. Jika memandang gunung di seberang sana, kami sering mengkhayal, mengandai-andai di sana masih banyak saudara-saudara kami yang hidup tanpa gurauan manusia. Namun, khayalan kami dengan serta merta terhenti setelah telinga kami yang tidak berdaun mendengar obrolan para manusia yang sering nongkrong di hutan ini untuk menanti atraksi kami. Menurut obrolan mereka, gunung seberang sudah gersang. Gersang gara-gara tapak-tapak hitam manusia.

            Jika kami pikir-pikir, benar juga apa kata mereka, pantaslah tempat hidupku sekarang ini menjadi panas bukan main saat siang, tidak seperti cerita-cerita kakek nenekku yang menurut mereka daerah hidup kami di sini dulunya sejuk. Jika gunung seberang sudah gersang, berarti sudah tidak menghijau lagi dan menandakan bahwa kehidupan makhluk-makhluk seperti kami di sana menjadi lebih menderita daeripada di sini. Biar bagimanapun kami masih merasa beruntung hidup di sini. Kami dan keluarga satwa lain yang hidup di hutan sengon ini selalu berharap supaya hutan tempat tinggal kami ini tidak lagi disulap menjadi gedung atau ladang yang lebih modern, karena kami tak tahu lagi harus tinggal dimana. 

            Di hutan ini kami hidup bersama burung-burung lain, satwa-satwa lain dan manusia-manusia yang sering nongkrong di sini seminggu sekali atau dua kali seminggu. Kami sering resah jika memikirkan masa depan, kami takut akan kepunahan generasi kami. Sejujurnya kami punya keinginan kuat keluar dari hutan sengon yang tinggal secuil ini, kami ingin mencari tempat yang layak dan mencari kawan-kawan sejenis. Namun, keinginan hanya tinggal keinginan absurd, karena nyali kami tidak sebesar burung elang ular bido yang berani terbang tinggi dan berani mengarungi luasnya daratan. Nyali selalu menciut manakala memikirkan nasib kami yang tinggal beberapa ekor ini.

            Mungkin ini adalah nasib yang harus kami jalani. Setiap hari selalu menanti-nanti kabar dari burung-burung lain yang bernyali besar, kabar tentang pengalamannya menemukan tempat-tempat yang cocok. Aku iri mendengar itu, jika kukerahkan kelompokku bertualang mencari tempat baru, maka kami takut akan sesuatu hal yang akan menimpa kami, jika ada bencana maka habislah kelompok kami, mungkin habis pula betet di tanah jawa ini. Biarlah rasa iri ini kami pendam saja. Kami selalu mencoba menikmati indahnya tempat ini dan kami selalu bersyukur masih punya kawan-kawan sejenis meskipun bisa dihitung dengan jari. Setiap pagi kami selalu saling menyapa dengan suara “cerecetan” khas kami, saling menghitung jumlah kelompok karena siapa tahu ada yang hilang satu. Siang hari kami mengarungi luasnya bangunan-bangunan berilmu yang masih terlihat hijau untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dan sore harinya kami bercerecet lagi mengumpulkan kelompok dan saling bercerita tentang pengalaman yang terjadi seharian ini. Selepas maghrib adalah saatnya kami bersiap-siap melepas lelah di lubang-lubang pohon sengon yang sengaja kami buat.

            Seminggu sekali kami menyombongkan aksi-aksi kami supaya disaksikan oleh beberapa orang sang “penikmat” burung yang sering “nongkrong” di hutan sengon ini. Kepala mereka selalu melihat ke atas, di lehernya dikalungkan sebuah benda dengan bentuk seperti dua buah tabung yang saling merekat, dan di tangannnya memegang buku serta alat tulis. Kehadiran mereka selalu kami nantikan. Dilihat dari gerak-geriknya, pastilah mereka bukan manusia-manusia jahat dan serakah. Mereka adalah tamu-tamu terhormat kami. Kami rela seharian tidak mencari makan hanya untuk ditonton mereka. Mereka adalah manusia yang menyatu dengan alam karena jika dilihat dari tampangnya bisa terlihat bahwa manusia-manusia itu adalah manusia yang sederhana, bijak, polos dan bersahaja. Lewat obrolan mereka tentang alam, sudah membuat hati kami gembira setengah mati dan kami selalu antusias mendengarkan cerita-cerita mereka. Dan sebagai imbalannya, kami tak segan-segan memamerkan keunikan tubuh kami pada mereka, nampaknya tak hanya kami saja yang memberi imbalan atas kehadiran “sang penikmat”, burung-burung yang lain juga saling berebutan memamerkan keelokan dan keunikannya masing-masing. Si wiwik lurik memamerkan suaranya yang memilukan dan kuanggap itu suara terjelek di sini. Si kutilang tanpa sungkan-sungkan memperagakan akrobatnya, dan kami anggap si kutilang adalah makhluk yang tidak punya rasa malu, seperti halnya burung gereja. Sekian kisah kami di hutan sengon yang tinggal secuil ini, dan semoga hutan sengon ini dengan keanekaragaman makhluknya tidak menjadi kenangan manusia-manusia pintar yang menimba ilmu di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar