Senin, 16 Januari 2012

Mempertanyakan Ulang KeIndonesiaan Kita

"Eh, dimana itu, bagus ya, luar negeri sepertinya ya"

Sebuah pertanyaan retoris terlontar dari seorang karyawan sebuah
tempat keramaian di dekat ibukota negara. Entah basa-basi menunggu jam
istirahat usai ataukah benar-benar terheran-heran melihat tayangan
televisi siang yang kebetulan saat itu menayangkan program acara anak,
dimana stasiun televisi tersebut menyajikan aktivitas anak-anak dari
daerah Indonesia bagian timur. Selain itu, tim kreatif tayangan
tersebut juga membalutnya dengan keindahan alam Indonesia bagian
timur, yang begitu menakjubkan.

"Ah, itu kan orang-orang pedalaman, lihat saja", salah seorang
karyawan menimpalinya dengan santainya sambil menghembuskan asap
rokoknya.

"Emang itu di Indonesia?"

"Tau deh, kayaknya sih iya, orang pedalaman pokoknya"

"Ada juga yang seperti itu ya"

Sebuah percakapan singkat siang itu sebenarnya terkesan biasa-biasa
saja. Namun, jika ditelisik lebih jauh, tampaknya dua orang karyawan
tersebut dapat jadi mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia
terutama yang tinggal dan menggantungkan hidupnya pada hiruk-pikuk
kota. Mereka berdua dapat jadi sebuah contoh betapa masyarakat
Indonesia belum dan sepertinya juga tidak yakin akan "Indonesia",
sebuah wilayah negara bangsa. Entahlah, sengaja ataukah
ketidaksengajaan, ataukah memang tidak tahu-menahu tentang Indonesia.
Rasa-rasanya mereka adalah sebuah sampel dimana masyarakat negeri ini
hanya mengenal negara Jakarta, negara Surabaya, negara Bandung, dan
lain sebagainya. Entahlah, berapa persen yang mengenal negeri yang
bernama Indonesia ini.

Apatah kondisi seperti ini dapat "menenggelamkan" NKRI dalam rawa-rawa bermetan.

Ketidaktahuan dan ketidaksadaran jika mereka hidup dalam sebuah ceruk
besar yang bernama Indonesia tampaknya telah menjangkiti sebagian
masyarakat muda negeri ini. Sikap tersebut akan menjadi sebuah
karakter masyarakat muda negeri ini dan akhirnya menimbulkan sebuah
rasa ketidakpedulian. Rupa-rupanya kondisi yang demikian itu
kemungkinan muncul akibat mereka terlalu "mengelu-elukan" kehidupan
kota, kehidupan yang serba ada, kehidupan yang menelikung kenyataan di
luar sana. Entahlah.

Umumnya juga, mereka akan merasa alam negeri ini hanya sebatas tempat
mereka hidup dan tinggal. Eksotisme alam dan budaya masyarakat
Indonesia lainnya biasanya dianggap bukan kepunyaan negeri ini.
Tampaknya hanya tersisa sebuah anggapan bahwa negeri ini haruslah
berisikan jalan raya dengan deretan mobil dan kendaraan lainnya yang
antre menyeberang di sebuah perempatan, dengan kanan kiri berhias
bangunan-bangunan bertingkat gaya baru, serta kesibukan karyawan
kantoran dan pekerja yang tidak lupa menenteng sebuah "Blackberry".

Entah, Indonesia yang bagaimanakah yang ada di dalam benak setiap
masyarakat. Sungguh miris jikalau dalam imaji warga negaranya,
Indonesia justru menjelma menjadi ceruk-ceruk kecil. Apatah hilangnya
kesadaran toleransi juga akan muncul akibat kondisi ini, entahlah.

Negeri ini kaya akan budaya, seni, tradisi, bentang alam,
keanekaragaman hayati, kearifan lokal, tradisi, dan keanekaragaman
kehidupan sosial. Itulah yang harus tertanam dalam imaji setiap anak
bangsa.

Namun, entahlah, tidak gampang rasanya. Betapa banyak anak-anak muda
yang di sekolahnya hanya diajarkan ilmu teori dalam text book, hanya
mengejar nilai bagus, dan mengejar masuk ke dalam sekolah dan
perguruan tinggi top nasional juga internasional, serta mengejar masuk
menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan top.

Entahlah, keIndonesiaan kita tampaknya perlu dipertanyakan ulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar