"Mbah, katanya gunung ini sebentar lagi akan
hilang ya?", tanya seorang muda kepada sesosok tua.
"Mungkin nak.", jawab sesosok tua sambil
mengetuk-ngetuk pelan salah satu alat berat yang berdiri kokoh di sampingnya dengan
tangannya yang sudah terlihat keriput.
"Lantas, bagaimanakah tempat bermain
kami?", tanya seorang muda itu lagi.
"Entahlah.", sambil berjalan berlalu
meninggalkan seorang muda itu.
Matahari belum menampakkan sinarnya, tetapi suhu
udara sudah terasa gerah. Suara burung yang sejatinya mengisi celah pagi, hari
ini tidak terdengar lagi. Suasana masih begitu gelap lantaran tebing-tebing tinggi
menaungi tempat mereka berdiri.
"Mbah, mbah, mbah, jangan pergi dulu mbah, saya
ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rumahku ini!", teriak seorang
muda itu sambil berjalan bergegas menghampiri sesosok tua yang tengah berjalan
pelan meninggalkannya.
"Ada apa nak?", ujar sesosok tua sambil
menghentikan langkah kecilnya dan berbalik menghadap ke arah seorang muda.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan gunung
ini?", tanyanya lagi.
"Kita harus melupakan gunung ini nak, kita harus
melupakan sapi-sapi kita, kita harus melupakan sumber air di sana yang menjadi
tempat bermainmu kemarin.", tegas sesosok tua tersebut sambil menunjuk ke
arah timur.
“Kenapa mbah?"
"Kita harus taat pemerintah nak.", ujar
sesosok tua sambil berjalan pelan meninggalkan seorang muda tersebut.
Meskipun matahari masih malu untuk menampakkan
sinarnya, sekelompok orang yang berjumlah sekitar sepuluh orang berjalan
bergegas melalui sesosok tua dan seorang muda tersebut, tanpa sapa dan berlalu
begitu saja menuju beberapa alat berat yang berdiri kokoh.
Seorang muda itu hanya bisa menatap heran ke arah
sekelompok orang tersebut. Matanya terlihat bertanya-tanya mengenai kejadian
yang belum pernah dia temui sebelumnya. Seketika itu, sesosok tua berhenti
berjalan dan berbalik arah menghampiri seorang muda.
"Kenapa nak?", tanya sesosok tua sambil
menepuk pundak seorang muda tersebut.
"Siapa mereka mbah?"
"Dan apa yang mereka lakukan di sini?",
tanyanya.
"Mbah juga tidak tahu pasti nak, yang pasti kita
disuruh pemerintah untuk meninggalkan gunung ini."
"Kenapa mbah?, bukankah ini rumah kita, rumah
sapi-sapi kita, rumah kambing-kambing kita?"
"Hanya itu yang mbah tahu.", ujar sesosok
tua sambil menundukkan kepala.
"Siapa mereka mbah kok berani melarang kita di
sini!"
Tidak berselang lama, dari arah yang berlawanan tiba
dua buah truk besar, satu berisi kelompok polisi dan satu berisi kelompok
tentara. Kedua truk besar tersebut berlalu begitu saja melewati seorang muda
dan sesosok tua tersebut. Tanpa sapa dan tanpa permisi. Segera setelah kedua truk
mendekati sekelompok orang yang sudah datang terlebih dahulu, alat-alat berat
pun segera dinyalakan.
Kedua anak manusia yang sejak subuh berada di tempat
tersebut hanya bisa menatap keriuhan suasana pagi yang masih abu-abu.
"Ayo nak kita bergegas pergi dari sini.",
ujar sesosok tua sambil menggandeng tangan seorang muda itu.
"Tidak mbah, saya tetap di sini sampai saya
mengetahui apa yang mereka lakukan terhadap rumah kita ini.", jawabnya
sambil berusaha melepaskan tangan sesosok tua dari tangannya.
"Jangan nak, mari kita pergi dari sini sebelum
mereka menangkap dan memasukkanmu ke penjara.", ujar sesosok tua sambil
berrusaha meraih tangan sorang muda itu.
Tidak lama, seorang muda itu berlari menuju kerumunan
orang-orang yang tengah mulai berkegiatan di sekitar alat-alat berat
pertambangan. Sesosok tua masih berdiri di tempatnya berdiri, dia tidak bisa
menahan seorang muda itu.
Segera setelah itu, muncul sejumlah mobil-mobil mewah,
beberapa berpelat hitam dan beberapa berpelat merah. Melewati sesosok tua itu,
dan lagi-lagi tanpa sapa dan tanpa permisi menuju kerumunan orang-orang yang
tengah memulai berkegiatan. Dan mobil-mobil mewah tersebut berhenti tidak jauh
dari kerumunan orang yang tengah mulai berkegiatan.
Sesosok muda itu tiba-tiba berhenti sekitar lima
meter dari kerumunan orang serta menatap heran ke arah kerumunan dan mobil-mobil
mewah yang baru saja tiba. Beberapa orang berbaju batik terlihat turun dari
mobil dan berjalan mendekati kerumunan tersebut. Beberapa orang dari kerumunan
itu pun memasang bendera merah putih tidak jauh dari tempat parker mobil-mobil
mewah.
"Hey, anak muda, siapa kamu dan mau apa kamu di
sini?", teriak salah satu polisi yang tengah berjaga diantara kerumunan
tersebut.
"Apa yang kalian akan lakukan terhadap rumahku
ini?, Tanya seorang muda tersebut.
"Rumahmu?, ini bukan rumahmu, ini milik
negara.", jawab si polisi.
"Ini rumahku, ini rumah kami, ini rumah
sapi-sapi kami, ini rumah kambing-kambing kami, ini rumah singkong-singkong kami.",
teriak seorang muda itu sambil berjalan menuju kerumunan.
"Woi kamu, kalau mendekat semeter saja, kami
tangkap kamu.", teriak si polisi sambil bersiap memegang senjatanya.
"Saya tidak takut, ini rumahku, kalian mau
apa!"
Matahari mulai menampakkan diri, sinarnya dengan
lembut jatuh diantara tebing-tebing bukit kapur yang menjulang tinggi dan memberi
warna sejumlah dataran bukit kapur yang putih susu. Beberapa polisi keudian
menghampiri seorang muda tersebut.
"Mundur, dan pulanglah ke rumah ibu mu sana
nak!", ujar salah seorang polisi yang tengah berjalan mendekati seorang
muda tersebut.
"Tidak, ini rumahku, ini rumah ibuku, ini rumah
bapakku, ini rumah mbah ku, ini rumah buyutku, ini rumah moyangku, kalian yang
harus pergi!"
Tidak beberapa lama, sejumlah polisi sudah berkerumun
mengelilingi seorang muda tersebut. Namun, dia berhasil lolos diantara
celah-celah antar polisi yang mengerumuninya. Dia berlari menuju tiang bendera
merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya karena ditimpa cahaya mentari
pagi.
Dia berhenti berlari dan terdiam sekitar tiga meter
dari tiang bendera merah putih. Terlihat matanya memerah seketika dan
tetes-tetes air mata mulai keluar dari ujung kelopak matanya, membasahi kedua
pipinya.
Dia mulai lemas setelah membaca sebuah papan yang
baru saja ditancapkan yang bertuliskan "Mohon Doa Restu, Akan Dilakukan Penambangan
Batu Kapur Dan Pembangunan Pabrik Semen". Dia terdiam dan mulai menunduk
sambil menangis sejadi-jadinya.
"Brakkk!", sebuah kayu menghantam tubuh
kurusnya.
Seorang muda itu terkapar, dan dalam kondisi setengah
sadarnya dia menatap bendera merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya.
Beberapa orang mengerumuninya, beberapa berpakaian coklat, beberapa berpakaian
batik, dan beberapa berpakaian hijau loreng. Matanya masih terlihat menatap ke arah
bendera merah putih yang berkibar di ujung tiang.
"Bagi kami merah putih sudah robek.",
ujarnya lirih sebelum matanya terpejam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar