Gontok-gontokan,
saling menyudutkan, dan tak jarang saling berkelahi antara satu dengan lainnya.
Itulah yang tengah terjadi di negeri ini menjelang pesta demokrasi tanggal 9
Juli nanti. Mereka yang mengaku pendukung masing-masing capres-cawapres berlaku
seperti itu, mereka tak jauh berbeda dengan anak kecil. Seolah-olah
capres-cawapres yang mereka dukung adalah manusia pemimpin sempurna di negeri
ini. Bisa dibilang bahwa mereka terlalu fanatik, bahkan ekstrem dalam hal
dukung mendukung ini. Hanya satu yang dikhawatirkan dalam kondisi ini, yaitu
tidak adanya kata “legowo” dan “”ikhlas” dalam menerima kekalahan capres-cawapres
yang didukungnya kelak. “Anarkis”, itulah satu kata yang paling dikhawatirkan
setelah tanggal 9 Juli kelak, menjadi chaos dan akhirnya Indonesia pecah di
tahun 2015 seperti yang diprediksi oleh Direktur Utama Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committe),
Djuyoto Suntani.
Indonesia
pecah lantaran tidak ada figur seperti Soekarno di masa silam yang mampu
meredam keinginan masing-masing kelompok. Saat ini sudah semakin terlihat,
setiap dan masing-masing kelompok merasa mempunyai keinginan yang ingin mereka munculkan
di negeri ini, dan mereka tidak mau mengalah atau bertoleransi terhadap
kelompok lain. Mungkin bisa dibilang, negeri ini menjadi rebutan antar kelompok.
Apa yang membuat negeri ini ibarat kue bolu?, tentu jawaban yang umum adalah
sumber daya alamnya. Untuk mendapatkan itu semua tentunya dengan satu kata,
yakni “kekuasaan”.
Saya pribadi masih meyakini sampai detik ini bahwa di belakang setiap
calon pemimpin tertinggi pasti ada kelompok-kelompok yang ingin eksis nantinya
ketika calon pemimpin menjadi pemimpin tertinggi negeri ini dan mereka akan
mendapatkan jatah kekuasaan dalam skala yang lebih kecil. Atau bahkan mereka
mampu “meracuni” pemimpin tertinggi sehingga mereka mendapatkan jatah dalam
skala besar.
Perihal pemilihan capres-cawapres saat ini, sudah terlihat bagaimana
kelakuan kelompok-kelompok pendukungnya, ada yang bilang kampanye hitam lah ada
yang bilang menyesatkan lah. Mayoritas dari mereka merasa dizolimi ketika
capres-cawapres yang mereka dukung ditelanjangi di muka umum. Ada yang
beranggapan bahwa memilih salah satu pasangan capres-cawapres adalah haram
hukumnya. Ada yang mengaitkan dengan fasisme, komunisme, dan lain sebagainya. Buruknya
adalah tataran akar rumput juga ikut terjebak dalam kondisi seperti ini, bahkan
bentrokan antar mereka juga kerap terjadi. Menurut saya, ini adalah kondisi
yang sangat menjijikkan di negeri ini. Pertanyaan yang ada di benak adalah
kenapa masyarakat tidak dibuat pandai politik oleh mereka yang menguasai
perihal politik?
Ada yang bilang, jika kita ingin melihat kelihaian seorang calon
pemimpin maka berikanlah kesempatan memimpin. Kedua pasang capres-cawapres
adalah manusia Indonesia ideal saat ini untuk menjadi pemimpin tertinggi. Sebuah
gagasan konyol tiba-tiba muncul dari pikiran yang sadar, bagaimana jika republik
ini dibagi saja (bukan dipecah) menjadi dua bagian, satu bagian dipimpin oleh
capres-cawapres nomor urut satu, dan satu bagian lagi dipimpin oleh
capres-cawapres nomor uurut dua. Dengan begitu maka gontok-gontokan dan perang
urat syaraf dapat terhindarkan. Selama memimpin, rakyat masing-masing
presiden-wakil presiden akan dengan jelas mengetahui kelihaian kepemimpinan
pemimpin yang mereka dukung. Jika tidak sesuai harapan mereka boleh saling
berpindah. Dan akhirnya rakyat bisa membandingkannya. Sebuah gagasan konyol
untuk menyongsong Indonesia yang semakin abu-abu.
Harapan pasti tetap ada, semoga pemimpin tertinggi yang terpilih pada
tanggal 9 Juli nanti adalah pemimpin yang dapat menjadi figur pemersatu bangsa,
jujur, amanah, tegas, mampu menjaga ke-bhinneka-an dan kearifan lokal, mampu
menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, mampu mewujudkan kesejahteraan
bangsa Indonesia, serta kebal dari “racun” kelompok-kelompok di belakangnya dan
“racun” dari koalisinya.
Selamat berpesta demokrasi untuk bangsa Indonesia, semoga Indonesia
tidak pecah menjadi 17 negara bagian di tahun 2015. Tulisan ini hanyalah
sekedar corat-coret dan mohon untuk tidak ditanggapi serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar