Jumat, 09 Oktober 2020

Narasi Memuakkan Bulan September

Bulan September adalah bulan yang riuh di Indonesia, bukan karena hujan di bulan September. Melainkan karena sejumlah orang atau kelompok unjuk gigi dengan memanfaatkan momen yang pernah terjadi 55 tahun lalu. Namun, menurut penulis pribadi, momen yang dimanfaatkan tersebut berasal dari tafsir sejarah rezim orde baru.


Peristiwa G30S/PKI yang merupakan sebuah peristiwa kelam dalam perkembangan Republik Indonesia. Banyak tafsir atau versi sejarah mengenai peristiwa akhir September 1965 tersebut; baik dari akademisi yang netral maupun dari kelompok rezim yang ingin berkuasa saat itu yang tentu saja ada kepentingan di dalamnya. Namun, fakta di lapangan saat itu, memang terjadi peristiwa "berdarah-darah" saat akhir September 1965. Ya itu fakta di lapangan, tidak bisa dipungkiri,  tetapi yang mendasari fakta tersebut masih dan terus dikaji oleh akademisi ataupun para peminat sejarah.

Sebaiknya yang menjadi pemikiran bersama mengenai peristiwa tersebut bukan saja peristiwa di akhir September 1965, tetapi juga peristiwa sebelum dan sesudahnya, yang faktanya juga "berdarah-darah". Sebelum peristiwa 65, memang ada pemberontakan PKI yang sangat "berdarah-darah"; kemudian setelahnya, ada peristiwa yang cukup kelam, lebih "berdarah-darah" lagi, selain pembunuhan fisik masyarakat sipil yang dianggap kiri atau "berbau" komunis oleh rezim orde baru, juga terjadi pembunuhan karakter keturuan-keturunan mereka yang dianggap kiri. Ini lebih peristiwa kemanusiaan akibat politik praktis saat itu.


Pemerintahan atau rezim orde baru pun akhirnya membuat narasi sejarah mengenai peristiwa tersebut, sebuah narasi dari tafsir tunggal, tafsir yang wajib diikuti oleh seluruh warga negara. Jika ada tafsir lainnya sudah pasti diharamkan oleh rezim orde baru saat itu. warga negara hanya "manut", bahkan mungkin candaan yang mengandung kosakata "komunis, marxis, PKI" sudah pasti tabu. Guru sejarah mengajarkan apa yang ada di dalam text book yang sudah pasti sejarah versi orde baru, tidak berani bermain logika, tidak berani mempertanyakan apa yang ada di benaknya, dan pasrah melihat murid-muridnya menghapal mati apa yang tertera di text book tersebut. Literatur dan bacaan lainnya yang dianggap "kiri" dimusnahkan, tabu membaca literatur-literatur sejarah dari sumber selain pemerintah. Pemerintah orde baru melanggengkan kekuasaannya dengan cara memelihara narasi-narasi tentang komunisme dan PKI. Narasi yang diciptakan umumnya narasi yang seram dan orang-orang komunis diibaratkan seperti mesin pembunuh. Narasi ini pun diperkuat dengan diciptakan film mengenai G30S PKI pada tahun 1980-an dan wajib diputar oleh stasiun TV.


Karya film adalah sebuah karya seni yang sepatutnya diapresiasi tinggi-tinggi. Karya film mengenai pemberontakan PKI G30S juga harus diapresiasi tinggi. Karya tersebut memang hadir di tengah situasi rezim orde baru dengan tafsir dan narasi tentang komunis dan PKI khas orde baru. Yang menjadi "mengerikan" adalah ketika masyarakat yang menontonnya tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, karena berpikir kritis adalah subversif waktu itu, maka yang terjadi adalah propaganda "nasionalisme" khas orde baru yang berjalan dengan mulus.


Lalu setelah rezim orde baru tumbang, dan sampai saat ini, narasi berdasar tafsir tunggal rezim orde baru masih saja riuh kala memasuki bulan September. Sejak zaman reformasi, harusnya cara berpikir kritis mulai berkembang di masyarakat karena semua literatur mudah diperoleh, dibaca, dipelajari dan didiskusikan, tidak ada yang tabu. Seharusnya, saat ini di tahun-tahun 2015-2020-an, kita menikmati pesatnya berpikir kritis masyarakat Indonesia. Namun, ternyata toh sama saja atau bahkan mundur, entahlah. 


Narasi kebangkitan PKI akhir-akhir ini sungguh-sungguh memuakkan. Dunia sudah banyak berubah, lompatan teknologi dan cara berpikir manusia sudah sebegitu luar biasa, tapi masih saja masyarakat di Indonesia berkutat dengan narasi-narasi yang tidak masuk akal. Bagi masyarakat yang bebal, narasi ini bisa masuk bahkan mungkin bisa memobilisasi massa untuk bertindak sesuka hati menghakimi seorang atau kelompok yang mereka anggap "kiri". Dan narasi "bego" ditambah dengan kelompok masyarakat bego dan bebal merupakan santapan yang nikmat bagi para pengejar popularitas ataupun pengejar kekuasaan yang berlindung dalam sistem demokrasi. Jika masif, menurut penulis, oligarki-lah yang bermain di belakang narasi tersebut.


Di bulan ini, harusnya kita sebagai masyarakat Indonesia selalu berpikir, apa yang telah terjadi sebelum, saat dan setelah 1965. Semua peristiwa tersebut adalah peristiwa menjijikkan yang menghancurkan kemanusiaan. Peristiwa yang oleh penulis "dikangkangi" oleh oligarki-oligarki yang ingin bercokol di republik yang masih berumur muda. Semua korban adalah manusia dan warga negara Indonesia dengan nasionalisme sesuai levelnya masing-masing; baik itu pengurus PKI, warga simpatisan PKI, kalangan umat beragama, orang yang dituduh PKI, tentara serta jenderalnya. Kita harus berpikir sejenak, "kemanusiaan"-lah yang seharusnya menjadi kepedulian kita bersama saat kita memperingati Kesaktian Pancasila 1 Oktober setiap tahun.


Jangan sampai narasi yang ada saat ini, semakin besar karena medsos dan banyak yang menumpanginginya, menjadi tragedi "berdarah-darah" lagi. Zaman sudah berubah, saatnya kita semua mengambangkan penalaran kritis dan logika kita untuk menjadikan planet bumi sebagai tempat ternyaman untuk ditinggali. Lawan oligarki di sekitar kita, karena bukan PKI yang bangkit, tetapi oligarki yang semakin membesar saat ini.


NB : Opini ini sudah saya tulis pada pertengahan September 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar