Selasa, 17 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 2

"Galau" tampaknya bukan hanya tengah melanda anak-anak ABG dan remaja
negeri ini, tetapi penyakit "galau" rasa-rasanya telah menginfeksi
negara-bangsa Indonesia. Di masa Pax consortis, dimana republik ini
cukup berperanan di dalam ekonomi dunia, banyak warga negaranya justru
tengah dilanda kegelisahan akan masa depan nation-state Indonesia.
Kekhawatiran akan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan masih saja
menghantui setiap individu-individu bangsa Indonesia. Inilah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebuah negara-bangsa dengan wilayah yang
menjembatani dua benua dan dua samudera, serta dengan berbagai masalah
sosial-budaya-ekonomi-lingkungan yang belum kunjung terselesaikan.
Seperti yang dituliskan Paulinus Yan olla di dalam rubrik Opini Kompas
tertanggal 20 Februari 2012, jauhnya jarak antara klaim keberhasilan
pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya
kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan
publik. Tampaknya kondisi inilah yang membuat kehidupan bangsa semakin
tidak tentu arah, bimbang, bagaimana menyikapi antara "kehebatan" dan
"keberhasilan" atas kestabilan perekonomian di tingkat atas, dan
kesemrawutan perekonomian di tingkat bawah.

Lantas apa yang akan terjadi kemudian?, ketidakpercayaan publik
terhadap pemerintah, apalagi saat ini kondisi justru diperparah dengan
sikap mental materialis dan borjuis yang ditunjukkan oleh elite-elite
politik negeri ini, serta tentu saja korupsi. Inilah tampaknya efek
samping dari sebuah sistem demokrasi a la barat, siapa "berkesempatan"
maka dialah yang akan "kaya". Pancasila yang menjadi dasar negara
masih dan hanya dipahami secara parsial oleh mereka dan juga oleh
kita, rakyat Indonesia, lantaran belum ada panutan yang bisa dijadikan
contoh.

Lantas salahkah sistem yang kita anut tersebut?, karena kita beriklim
demokrasi, maka dipersilakan untuk berpendapat. Jika menilik
tahun-tahun awal negara ini berdiri, kontemplasi founding father
Soekarno mengenai sosiodemokrasi tampaknya dapat menjadikan bangsa ini
bebas dari dikte negara-negara barat. Tampaknya sosiodemokrasi menjadi
penengah antara persaingan sistem bernegara waktu itu yang ditawarkan
oleh negara barat dan yang ditawarkan oleh negara sosialis komunis.
Secara garis besar, gagasan Bung Karno dalam berdemokrasi yang benar
adalah demokrasi yang melahirkan kesejahteraan sosial. Ekonomi
Pancasila dengan pengakuan hak individu sebagai penggerak ekonomi yang
ditawarkan sistem sosiodemokrasi tampaknya berbeda dengan sistem
demokrasi a la barat saat ini, dimana manusia dianggap sebagai "mesin"
pencetak laba, serta sistem sosialis komunis yang mengkebiri hak
individu. "Memanusiakan manusia", tampaknya begitulah yang ingin
diwujudkan Bung Karno. Jika ditilik lebih mendalam, memang susah
penerapan apa yang dinamakan ekonomi pancasila, karena ekonomi dunia
lebih condong kepada dua kutub yang bersebelahan, antara liberal
kapitalis dan sosialis komunis.

Warga negara tampaknya menginginkan suatu kondisi negara-bangsa yang
mandiri dan berdikari. Tentu masih ada di dalam benak, pidato Bung
Karno yang berbunyi, "America……… go to hell with your aid", pidato
tersebut tampaknya merupakan sebuah kepiawaian seorang pemimpin untuk
berani tidak didikte asing (Amerika) waktu itu, sehingga dengan
harapan, bangsa yang baru merdeka kala itu tidak merengek-rengek
meminta bantuan finasial terus-menerus, dan harapannya bangsa ini bisa
mandiri dan berdikari di masa depan. Sikap seperti Bung Karno yang
berpikiran ke depan kala itu, juga sejalan dengan sikap presiden
Phillipines, Manuel Quezon, beliau mengatakan, "lebih baik pergi ke
neraka tanpa Amerika, daripada pergi ke surga bersama-sama dengan
dia".

Pidato Bung Karno tahun 1965 yang berbunyi, " jika rakyat dan para
pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangkan daya kreasinya, pastilah
kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pastilah kita tidak perlu
impor barang-barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat
mengekspor barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip
'berdiri di kaki sendiri' dalam ekonomi". Namun, yang terjadi saat ini
tampaknya kebalikan dari apa yang diucapkan Bung Karno empat puluh
tujuh tahun yang lalu. Selain berkonsep berdikari dan mandiri,
jauh-jauh hari Bung Karno sudah merenungkan bahwa negara ini
memerlukan suatu toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan,
menguasai sumberdaya strategis, mengakui potensi lokal, serta berperan
aktif dalam pembangunan untuk menuju Indonesia yang tangguh. Namun,
saat ini, konsep dan gagasan founding father kita rasa-rasanya
dianggap sebagai sesuatu yang sudah usang dan tidak sejalan dengan era
reformasi dan globalisasi. Yang terjadi saat ini adalah ketimpangan
dan ketidakseimbangan yang kemudian akan menyebabkan negara-bangsa
Indonesia menjadi goyah dan keropos. Wallahu'alam Bishowab.

Di Bawah Pohon beringin, 18/7/2012

Senin, 16 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 1

Ada yang bilang, negara ini kekurangan stok negarawan. Mungkin ada
benarnya, dan mungkin juga tidak begitu, hanya belum dipertemukan
saja. Lantas apakah begitu berwarna-warninya partai-partai politik dan
banyaknya sosok-sosok di gedung DPR-MPR belum cukup dikatakan sebagai
stok negarawan di Indonesia?, mungkin, tetapi sepertinya mereka bukan
tipikal negarawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud
negarawan adalah ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan) dan
pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara
dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan
kebijaksanaan dan kewibawaan, bisa dikatakan bahwa beliau merupakan
pahlawan besar dan agung. Lantas siapakah mereka yang ada di parlemen
dan pemerintahan?, entahlah.

Gampangnya, jika mereka yang ada di parlemen dan pemerintahan tidak
mempunyai ciri negarawan seperti yang ada dalam KBBI, maka bisa
dibilang mereka bukanlah negarawan. Lalu, siapa mereka?, media-media
massa sudah sangat rutin memberitakan mengenai sepak terjang mereka.
Dan penilaian pasti akan sangat relatif, karena iklim kita adalah
demokrasi. Namun, rasa-rasanya mayoritas dari kita pasti berpikir
mereka hanyalah para pencari kesenangan belaka. Entah benar, entah
salah, terserah yang menilai lantaran iklim kita adalah demokrasi.

Apatah yang dikatakan Willem Walraven ada benarnya jika menilik
kondisi negara bangsa yang semrawut ini. Menurut Walraven,
orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis, sama sekali bukan
idealis. Ia juga mengatakan, orang Indonesia bukan marxis, bukan
sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang borjuis. Apabila apa
yang dikatakan Walraven benar-benar bercokol di dalam diri kita,
bangsa Indonesia, maka habis sudah negara bangsa ini. Dan terkhusus
jika mereka-mereka yang ada di sana, parlemen dan pemerintahan, serta
yang akan "bertarung" ke arah sana, maka benar-benar habis sudah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rasa-rasanya kehidupan yang
materialis dan borjuis sudah ditunjukkan oleh mereka-mereka sang
pejabat dan elite politik kita. Bukan melayani rakyat sesuai dengan
idealisme wakil rakyat, tetapi merengek-rengek manja minta dilayani.

Lebih miris lagi jika apa yang ditulis Wischer Hulst benar adanya dan
tersembunyi dalam jiwa setiap bangsa Indonesia. Melalui buku
"Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici", Hulst mengatakan
bahwa Indonesia adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia
dilahirkan dengan naluri atau insting politik, dan mereka mati dengan
itu pula. Jika dicermati, rasa-rasanya memang begitulah bangsa
Indonesia. Bukti sudah sering kita baca dan tonton di media-media
massa. Politik sudah menjadi "bidang pekerjaan" baru di negeri ini,
ribuan orang berjibaku untuk dapat meraih pekerjaan itu. Asal dapat
mencicipi "politik", humanisme dan moralitas berani mereka langgar.
Begitu menjanjikankah politik itu?, buat mereka tampaknya begitu dan
sangat menjanjikan jabatan di bidang politik itu, materi dan
kekuasaan, itulah yang dijanjikan politik. Namun, bukankah politik
diibaratkan sebagai barang yang paling kotor dan lumpur-lumpur yang
kotor (Soe Hok Gie). Entahlah, karena kita berdemokrasi, silakan
beropini sendiri.

Bangsa ini haruslah bisa lepas dari pesimisme-pesimisme tersebut. Jika
terpaksa jatuh ke dalam kubangan lumpur kotor politik; ada baiknya
berlakulah taat asas, berwibawa, bijaksana, dan berpikir untuk
kemajuan seluruh golongan bangsa Indonesia. Ah, entahlah, tampaknya
pesimistis tersebut malah semakin membuncah manakala melihat bangsa
ini yang saling sikut kanan-sikut kiri demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Entah sampai kapan kondisi ini menghantui negara bangsa
ini. Habis sudah negara bangsa ini, Bung Karno-Hatta-Sjahrir dan
negarawan-negarawan lainnya mungkin akan menitikkan air mata melihat
kondisi NKRI saat ini.

Percaya atau tidak, karakter materialis dan borjuis seperti yang
dikatakan Walraven sudah mendarah daging di kehidupan setiap bangsa
Indonesia, contohnya mungkin kita sendiri. Tampaknya untuk waktu ke
depan, mungkin tidak akan pernah terdengar lagi "titik darah
penghabisan untuk tanah air", tetapi "titik darah penghabisan asal
saya bisa senang". Nasionalisme dan patriotisme pun hanya akan menjadi
hiasan-hiasan di buku-buku pelajaran anak sekolahan, yang mungkin
tidak akan pernah dipahami maknanya. Terlihat seperti sebuah slogan
absurd yang sampai kapanpun akan begitu-begitu saja, bahkan mungkin
akan hilang dengan sendirinya. Mengapa kita tidak berusaha menjadi
Gie, yang percaya bahwa untuk menjadi patriot-patriot yang baik harus
mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh.


Di bawah pohon beringin, 17/7/12

Selasa, 10 Juli 2012

Corat-Coret Siang Bolong

Semilir angin laut di siang terik tidak menghalangi niatan seorang pemuda lusuh mendekati sesosok kakek tua berjubah putih dengan beberapa sobekan di sana-sini. Tepat di atas batu kali dan di bawah pohon beringin yang rindang, sesosok kakek tua terlihat tengah bersandar pada batang pohon beringin yang kokoh itu. Semilir angin tampaknya membuat kedua matanya terpejam.

"Nuwun séwu mbah", ucap lirih pemuda lusuh sambil berjalan jongkok mendekati kakek tua itu.

"Héh, ono opo?", tiba-tiba kedua mata sayu sesosok kakek tua itu terbuka, masih sambil bersandar di batang pohon beringin.

"Nuwun sewu, nyuwun ngapuntên mbah, kulo sampun ganggu mbah."

"Ora opo-opo, arêp opo kowé lé?"

"Niki mbah kulo pengen ngêrtos punapa sakniki sampun mlêbêt jaman goro-goro?"

"Sik, sik, tak takoni dhisik, opo kowé wis ngêrti opo iku jaman goro-goro?"

"Déréng ngêrtos mbah, lha pripun mbah?"

"Jaman goro-goro iku nék asah, asih, lan asuh wis ilang, gantiné asa, asi, lan asu."

"Pripun niku mbah?"

"Wis dhêlokono jaman saiki, asa iku pêmêrintah wis ora pêduli karo rakyaté, asi iku akéh sing podho ngunggulke nafsuné, lan asu iku akéh sing duwé kêlakuan koyo kéwan."

Seiring dengan angin yang agak ribut, tiba-tiba sesosok kakek tua itu menghilang.

"Mbah, mbah, mbah!", panggil pemuda lusuh itu.

Senin, 14 Mei 2012

Rindu Rerumputan Hijau

Panas, gersang, dan kering, begitulah kesan yang terasa ketika
memasuki gapura dusun Sawo. Tidak usah menunggu tengah hari, suasana
panas dan gerah sudah terasa sejak pagi hari, bahkan selepas kumandang
adzan Subuh. Begitu kering dan gersangnya, hanya terlihat hamparan
tanah-tanah kosong berliput debu-debu kelabu beserta rumah-rumah
berdinding papan kayu dan anyaman bambu. Sama sekali tidak terlihat
tegakan pohon, bahkan mungkin rumput pun enggan tumbuh di dusun Sawo.

Suasana yang disajikan dusun Sawo di siang ini benar-benar sunyi dan
sepi. Entah pergi kemana sebagian besar warganya. Menurut pemuda dusun
yang tengah bercengkerama di bawah atap gapura dusun, jika siang
menjelang, hampir semua warga dusun masuk ke dalam rumah, atau dengan
kata lain mereka tengah berteduh. Tepatnya berteduh dari sengatan
matahari dan dari debu-debu kelabu yang menghantui dusun Sawo.

"Debu-debu kelabu itu sudah menjadi pemandangan umum di dusun ini
sejak tiga bulan yang lalu, dan sejak adanya debu-debu itu, malapetaka
pun selalu mendatangi dusun setiap waktu, bahkan sampai hari ini",
tambah salah seorang dari pemuda dusun itu lagi.

Entah apa maksud mereka. Memang jika dilihat sepintas, dusun Sawo
terlihat bagaikan dusun tak berpenghuni. Siapapun orang yang bertamu
ke dusun Sawo pasti selalu menanyakan mengenai keganjilan yang ada di
dusun Sawo. Siang semakin terik, matahari tepat di atas kepala,
semakin sepi pula dusun Sawo. Tiga orang pemuda itu tampaknya tengah
bertugas menjaga dusun. Mereka berujar bahwa tamu tidak diperkenankan
memasuki dusun kala siang hari. Mungkin peraturan tersebut berguna
untuk melindungi dusun dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan.
Meskipun terik dan cahaya mentari seharusnya menenggelamkan dusun
dalam suasana terang-benderang, pandangan mata tetap saja tidak bisa
melihat lebih jauh suasana ke dalam dusun Sawo, lantaran kabut debu
yang semakin terik semakin meningkat kekeruhannya.

----------------------------

Mentari semakin condong ke arah barat, kabut semakin menghilang,
seketika itu pemandangan dusun semakin terlihat jelas. Beberapa warga
dusun terlihat tengah keluar dari rumahnya yang berselimut debu
kelabu. Terlihat beberapa diantaranya menyapu teras dan pekarangan
rumahnya dari debu yang tampaknya tebalnya sampai satu mata kaki orang
dewasa. Panas dan gerah masih saja terasa hingga sore ini. Sore yang
terik, begitulah kesan yang terasa. Diantara suasana sore yang mulai
ramai, tiba-tiba terdengar suara isak tangis dan teriakan dari arah
timur gapura dusun, suara itu terdengar bersamaan kumandang adzan
Ashar yang tidak terlalu keras.

Beberapa warga terlihat menghentikan aktivitasnya dan berhamburan
menuju sumber suara. Tidak lama berselang, sekitar lima belas menit,
tiba-tiba terdengar pemberitahuan dari pengeras suara musholla yang
sebelumnya mengumandangkan adzan Ashar.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, telah meninggal dunia, Klênthêng,
putra dari bapak Kapuk, pada hari ini pukul tiga sore", begitulah
kabar lelayu yang terdengar berkali-kali dari pengeras suara musholla.

Menurut salah satu pemuda dusun yang sejak siang berjaga di bawah
gapura dusun, kejadian seperti sore ini hampir tiap hari terjadi,
kejadiannya diawali sekitar tiga bulan yang lalu, sejak debu-debu
kelabu memayungi dusun Sawo, dan sejak rumput-rumput hijau musnah.

"Beliau yang meninggal adalah beliau yang rindu akan rumput hijau,
biarkan gusti Allah menuntunnya menuju hamparan rumput hijau di sana",
ujar mas Kadal, salah satu pemuda dusun yang sejak siang berjaga di
bawah atap gapura dusun, sambil mengarahkan tangan kanannya ke langit
yang mulai redup.

-----------------------

Dusun Sawo merupakan salah satu dusun percontohan swasembada beras dan
dusun penghasil palawija terbaik di salah satu sudut pulau Jawa. Dusun
ini memiliki tanah yang sangat subur dan cocok untuk segala macam
tanaman, baik pangan maupun tanaman liar. Selain itu, sumber air yang
berlimpah telah menjadikan dusun Sawo sebagai daerah yang ditunjuk
oleh pemerintah daerah setempat sebagai daerah penyedia air untuk
wilayah-wilayah sekitar. Gemah ripah loh jinawi, begitulah ujar
masyarakat ketika melihat kondisi dan kehidupan masyarakat di dusun
Sawo.

Mata pencaharian sebagai petani dan peternak telah turun-temurun
dijalani oleh hampir semua warga dusun Sawo. Mereka selalu bangga akan
mata pencaharian tersebut. Mbah Suket, salah satu tetua dusun pernah
berujar bahwa semua warga akan bersatu-padu untuk melestarikan dusun
Sawo meskipun ancaman modernisasi mulai menggerus dusun itu. Beberapa
warga memang mengkhawatirkan kondisi akhir-akhir ini, dimana banyak
dusun sekitar yang menjual lahan pertaniannya kepada pengembang
perumahan. Entah karena alasan apa, banyak warga dari dusun sekitar
dusun Sawo tertarik untuk menjual hartanya tersebut.

"Tanah ini, dusun ini adalah harta yang tak ternilai harganya",
begitulah ujar mbah Suket. Hampir semua warga dusun Sawo beranggapan
bahwa bertani dan beternak merupakan salah satu wujud rasa syukur
kepada Tuhan atas kehidupan yang diberikan-Nya kepada mereka. Atas
keuletan dan ketangguhan warga dusun Sawo, akhirnya dusun tersebut
dinobatkan pemerintah propinsi sebagai dusun swasembada pertanian satu
tahun yang lalu.

Hijau royo-royo, begitulah kesan yang tertangkap oleh pandangan mata,
lantaran di semua arah terlihat hamparan hijau, baik oleh rerumputan,
lahan-lahan persawahan, dan tegakan-tegakan pepohonan rindang. Kala
hari terang, terdengar riuh anak-anak dusun memenuhi hampir di setiap
sudut dusun. Dengan bertelanjang kaki, telapak-telapak mungil mereka
menjejak hijau rerumputan yang menghampar di seluruh dusun. Hampir
setiap hari, mereka selalu dibelai oleh hijaunya rerumputan dan
sejuknya angin dusun Sawo. Sedangkan para orang tua terlihat
berkerumun di setiap lahan persawahan dusun Sawo. Senyum penuh
semangat selalu merekah di bibir mereka, rasa-rasanya tidak pernah
terdengar keluhan yang terlontar dari mulut mereka.

"Gusti Allah sudah memberikan rejekinya kepada warga dusun Sawo, jadi
kami harus selalu bersyukur dengan bekerja penuh senyum dan semangat",
begitulah ujar pak Êntung, putra dari mbah Suket.

Begitu bersahaja dan sederhana kehidupan warga dusun Sawo. Bisa
disebut mereka hidup selaras dengan alam, lantaran mereka selalu
memanfaatkan secara bijak sumber-sumber alamnya. Mbah Suket pernah
berujar bahwa untuk menebang satu pohon, warga dusun diwajibkan untuk
menggantinya dengan menanam pohon yang sama. Selain itu, setiap habis
panen, sebagian hasil panen tersebut dibagikan kepada warga dusun
tetangga dan juga dibagikan untuk makhluk-makhluk lain penghuni dusun,
yang tak lain adalah burung dan monyet ekor panjang. Pemanfaatan air
pun benar-benar diatur sedemikian rupa, sehingga ketika musim kemarau,
persediaan air tetap melimpah.

----------------------

Sekitar tiga bulan yang lalu, tepatnya sepeninggal mbah Suket.
Pemerintah daerah dan propinsi merubah peraturan tentang rencana tata
ruang wilayah, tiba-tiba pemerintah daerah menetapkan wilayah dusun
Sawo dikhususkan sebagai wilayah industri pertambangan, lantaran
berdasarkan data tim pemantau pemerintah daerah menemukan bahwa tanah
dusun Sawo memiliki kandungan gamping dan silika yang melimpah dengan
kualitas terbaik. Seketika itu, pemerintah daerah pun mengijinkan
berdirinya industri pengolah gamping dan silika di dusun Sawo.
Bukannya tidak ada penolakan dari warga dusun Sawo, tetapi mereka
tidak tahu harus menyalurkan penolakannya kepada siapa. Mereka terus
berupaya menggagalkan pendirian industri tersebut. Namun, kekuatan
mereka tampaknya kalah dibandingkan kekuatan pemerintah dan pengusaha.

Pemerintah daerah yang sebelumnya bangga terhadap dusun Sawo sebagai
sentra pertanian dan peternakan, kini pemerintah daerah lebih bangga
terhadap industri pengolah gamping dan silika yang akan beroperasi di
dusun Sawo. Pemerintah daerah beralasan bahwa keberadaan industri di
dusun Sawo akan mengangkat taraf perekonomian warga dusun dan warga
sekitar dusun Sawo. Namun, warga dusun Sawo beranggapan lain, mereka
tidak menginginkan jika hidupnya hanya dijadikan sebagai buruh,
apalagi buruh dari industri yang merusak alam, dan mereka menilai,
industri tersebut hanya akan menyengsarakan kehidupan warga dusun
Sawo. Tampaknya pemerintah daerah terkesan semena-mena, lantaran sama
sekali tidak ada dialog antara warga dusun Sawo dengan pemerintah
daerah.

--------------------

Sejak peresmian berdirinya industri pengolah gamping dan silika
tersebut, malapetaka benar-benar menghinggapi dusun Sawo. Rerumputan
hijau berubah menjadi hamparan gersang, sawah yang sebelumnya
berisikan padi tiba-tiba berubah menjadi tanah lapang yang gersang.
Tidak hanya itu, satu persatu ternak sapi dan kambing mendadak mati.
Sumber air pun tiba-tiba menyusut, dan akhirnya menjadi kering
kerontang. Kekeringan dan kelaparan benar-benar telah menjadi momok
warga dusun Sawo. Tampaknya tidak ada yang menanggung derita warga
dusun Sawo, lantaran industri tersebut tetap mengabaikan hak-hak
masyarakat dusun Sawo. Pemerintah daerah pun seolah-olah menutup mata
atas kejadian tersebut.

Tidak hanya itu saja, sudah tiga bulan ini, debu-debu sisa pengolahan
gamping dan silika mencemari udara dusun Sawo. Apabila siang hari,
debu-debu berwarna kelabu tersebut memadati setiap ruang dusun Sawo,
tampak seperti sebuah kabut di pegunungan. Pak Êntung pernah berujar
bahwa setiap hari, setidaknya satu orang warga dusun meninggal,
lantaran keracunan debu-debu sisa pengolahan silika dan gamping. Warga
lain pun selalu mengeluhkan adanya gejala sakit pernapasan ke
puskesmas setempat, tetapi tetap saja tidak terlihat respon dari
pemerintah daerah.

-----------------------

Malapetaka itu pun berlanjut sampai sekarang, warga dusun yang dulunya
dikenal sebagai warga yang tangguh, saat ini menjadi warga yang
ringkih dan gampang sakit-sakitan. Seperti yang diungkapkan mas Kadal,
warga dusun Sawo benar-benar rindu akan rerumputan hijau, yang
merupakan tanda hidup yang lestari dan bersahaja. Saat ini memang
mereka tidak dapat melihat hamparan rerumputan hijau lagi, tetapi
Tuhan telah mengijinkan mereka melihatnya di tempat yang
dikehendaki-Nya.

Rabu, 14 Maret 2012

Masa Sekarang Negara Bangsaku

Semakin hari semakin bertambah pula masalah yang dialami negara bangsa
ini. Entah mulai masalah politik sampai kemasyarakatan yang tampaknya
belum terlihat ujung penyelesaiannya. Apa yang akan terjadi
selanjutnya?, begitulah kira-kira yang terlintas di benak sebagian
masyarakat. Rupa-rupanya semua masalah tersebut berpangkal dari apa
yang namanya uang, atau lebih halusnya disebut ekonomi. Pemerintahan
negara ini tampaknya ingin berusaha mensejajarkan negara bangsa ini
dengan negara-negara lain di dunia yang masuk kategori maju dan mapan
secara ekonomi. Segala macam cara ditempuh oleh pemerintah, tampaknya
mengedepankan cara-cara barat atau berpatokan pada kaidah kapitalisme.
Mereka atau pengurus negara yang notabene adalah orang-orang pintar
berusaha mendobrak apa yang disebut dengan kearifan-kearifan lokal
dengan maksud supaya maksud kemajuan secara ekonomi dapat tercapai,
dan akhirnya negara bangsa ini tidak berada di posisi negara dunia
ketiga, serta setidaknya dapat sejajar dengan negara-negara maju di
dunia. Kita, nusantara, beraneka ragam tipe masyarakatnya, belumlah
bijak jikalau pemerintah terlalu memaksakan kemajuan ekonomi yang
melanggar nilai-nilai luhur dan kearifan lokal tiap-tiap masyarakat
nusantara. Industrialisasi yang meluas dan tidak tepat, menyebabkan
beberapa bagian masyarakat menjadi korban. Konflik terjadi
dimana-mana. Bangsa yang terkenal murah senyum tiba-tiba berbalik
seratus delapan puluh derajat menjadi mudah marah dan mudah tersulut
emosi. Inikah wajah nusantara sebenarnya?

Pemerintah dengan iming-iming peningkatan ekonomi, menyuburkan
industri yang bisa dibilang tidak ramah sosial-budaya-lingkungan-alam
nusantara. "Yang penting negara ini berekonomi baik", begitu mungkin
ujarnya. Apakah perekonomian negara yang "baik" tersebut berbanding
lurus dengan kemakmuran, kedamaian, dan kesejahteraan
sosial-budaya-alam-lingkungan?, entahlah. Memang ekonomi negara bangsa
ini tergolong membaik, tetapi efek atas dan bawah terus saja terjadi.
Ekonomi negara cenderung berkawan dengan dunia politik, atau
sebaliknya, dan ekonomi negara tersebut belum terlalu lancar arusnya
sampai ke masyarakat-sosial-budaya-lingkungan. Di tataran atas, efek
samping tipu-tipu, kemunafikan, dan korupsi menjadi hal yang tampaknya
akan menjadi sesuatu yang lumrah.

Kita sebaiknya ingat, jikalau negara bangsa ini dibangun di atas
peradaban nusantara yang adiluhung, dengan keanekaragaman nilai-nilai
spiritual, kearifan-kearifan lokal, keanekaragaman hayati, dan
nilai-nilai budaya yang luar biasa besarnya, yang tidak dipunyai oleh
negara dan bangsa manapun di dunia ini. Negara bangsa ini bukanlah
dibangun di atas industrialisasi yang tidak memanusiakan manusia dan
merusak alam. Inilah yang seharusnya digali oleh pemerintah, atau
pemerintah setidaknya berpikiran ke arah sana. Kita bangga dengan
Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati dan budaya yang luar
biasa besarnya, bukan bangga dengan industrialisasi yang
menyengsarakan dan menganiaya itu semua. Pemerintahan sudah jelas
tugasnya, mengayomi dan memfasilitasi masyarakatnya, serta
masyarakatnya setidaknya harus punya kesadaran dan daya kreasi untuk
mewujudkan itu semua. Apabila dua itu hal berjalan beriringan dan
selaras, tak bisa dipungkiri, kemakmuran akan menyambangi setiap
masyarakat dan keanekaragaman hayati-budaya Indonesia akan semakin
meningkat kualitas dan kuantitasnya.

Malam Melankolis

Rupa malam ini semakin melankolis saja
Entah esok
Tidak berbeda dengan malam sebelumnya
Namun, malam ini lebih membuncah

Tampaknya bukan lantaran gelap yang meunutup terang
Melainkan lesapnya sepenggal asa
Jiwa jiwa penghuni mayapada
Lihatlah, betapa banyak mata sayu dan merah
Bahkan tubuh pun memucat
Tidak ada beda dengan mayat
Kosong dari pengharapan

Ah, lihatlah dan dengarlah!
Narapraja pun enggan berkomentar
Hanya ceracau dalih dalih yang terlontar
Diam diam tangan mereka ikut mengacak acak pengharapan nan berwarna
Apatah ini yang menjadikan sendu menghias kala malam
Biarlah melankolis menjamahi setiap malam
Inilah empati manusia nusantara
Untuk esok yang lebih berwarna
Meskipun asa tinggal sepenggal

Bintaro, 15 Maret 2012

Senin, 12 Maret 2012

Pusara Kehidupan

Gundukan gundukan tanah lempung dengan sebatang pohon kamboja
Inilah pusara kehidupan
Gersang teduh tak jadi soal
Lantaran ini pusara kehidupan
Kadang terlupa dan dilupakan
Biarlah yang ingat
Menatap lekat sembari ziarah
Bertafakur sembari bersenandung lantang
Untuk lesapnya segenggam dan berkarung gurauan
Menyambut setitik kesejatian
Saat ini, besok dan masa mendatang


Bintaro, 13 Maret 2012