Ada yang bilang, negara ini kekurangan stok negarawan. Mungkin ada
benarnya, dan mungkin juga tidak begitu, hanya belum dipertemukan
saja. Lantas apakah begitu berwarna-warninya partai-partai politik dan
banyaknya sosok-sosok di gedung DPR-MPR belum cukup dikatakan sebagai
stok negarawan di Indonesia?, mungkin, tetapi sepertinya mereka bukan
tipikal negarawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud
negarawan adalah ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan) dan
pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara
dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan
kebijaksanaan dan kewibawaan, bisa dikatakan bahwa beliau merupakan
pahlawan besar dan agung. Lantas siapakah mereka yang ada di parlemen
dan pemerintahan?, entahlah.
Gampangnya, jika mereka yang ada di parlemen dan pemerintahan tidak
mempunyai ciri negarawan seperti yang ada dalam KBBI, maka bisa
dibilang mereka bukanlah negarawan. Lalu, siapa mereka?, media-media
massa sudah sangat rutin memberitakan mengenai sepak terjang mereka.
Dan penilaian pasti akan sangat relatif, karena iklim kita adalah
demokrasi. Namun, rasa-rasanya mayoritas dari kita pasti berpikir
mereka hanyalah para pencari kesenangan belaka. Entah benar, entah
salah, terserah yang menilai lantaran iklim kita adalah demokrasi.
Apatah yang dikatakan Willem Walraven ada benarnya jika menilik
kondisi negara bangsa yang semrawut ini. Menurut Walraven,
orang Indonesia terhormat adalah seorang materialis, sama sekali bukan
idealis. Ia juga mengatakan, orang Indonesia bukan marxis, bukan
sosialis, melainkan betul-betul tipikal orang borjuis. Apabila apa
yang dikatakan Walraven benar-benar bercokol di dalam diri kita,
bangsa Indonesia, maka habis sudah negara bangsa ini. Dan terkhusus
jika mereka-mereka yang ada di sana, parlemen dan pemerintahan, serta
yang akan "bertarung" ke arah sana, maka benar-benar habis sudah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rasa-rasanya kehidupan yang
materialis dan borjuis sudah ditunjukkan oleh mereka-mereka sang
pejabat dan elite politik kita. Bukan melayani rakyat sesuai dengan
idealisme wakil rakyat, tetapi merengek-rengek manja minta dilayani.
Lebih miris lagi jika apa yang ditulis Wischer Hulst benar adanya dan
tersembunyi dalam jiwa setiap bangsa Indonesia. Melalui buku
"Becakrijders, Hoeren, Generaals en andere Politici", Hulst mengatakan
bahwa Indonesia adalah suatu bangsa politisi. Orang-orang Indonesia
dilahirkan dengan naluri atau insting politik, dan mereka mati dengan
itu pula. Jika dicermati, rasa-rasanya memang begitulah bangsa
Indonesia. Bukti sudah sering kita baca dan tonton di media-media
massa. Politik sudah menjadi "bidang pekerjaan" baru di negeri ini,
ribuan orang berjibaku untuk dapat meraih pekerjaan itu. Asal dapat
mencicipi "politik", humanisme dan moralitas berani mereka langgar.
Begitu menjanjikankah politik itu?, buat mereka tampaknya begitu dan
sangat menjanjikan jabatan di bidang politik itu, materi dan
kekuasaan, itulah yang dijanjikan politik. Namun, bukankah politik
diibaratkan sebagai barang yang paling kotor dan lumpur-lumpur yang
kotor (Soe Hok Gie). Entahlah, karena kita berdemokrasi, silakan
beropini sendiri.
Bangsa ini haruslah bisa lepas dari pesimisme-pesimisme tersebut. Jika
terpaksa jatuh ke dalam kubangan lumpur kotor politik; ada baiknya
berlakulah taat asas, berwibawa, bijaksana, dan berpikir untuk
kemajuan seluruh golongan bangsa Indonesia. Ah, entahlah, tampaknya
pesimistis tersebut malah semakin membuncah manakala melihat bangsa
ini yang saling sikut kanan-sikut kiri demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Entah sampai kapan kondisi ini menghantui negara bangsa
ini. Habis sudah negara bangsa ini, Bung Karno-Hatta-Sjahrir dan
negarawan-negarawan lainnya mungkin akan menitikkan air mata melihat
kondisi NKRI saat ini.
Percaya atau tidak, karakter materialis dan borjuis seperti yang
dikatakan Walraven sudah mendarah daging di kehidupan setiap bangsa
Indonesia, contohnya mungkin kita sendiri. Tampaknya untuk waktu ke
depan, mungkin tidak akan pernah terdengar lagi "titik darah
penghabisan untuk tanah air", tetapi "titik darah penghabisan asal
saya bisa senang". Nasionalisme dan patriotisme pun hanya akan menjadi
hiasan-hiasan di buku-buku pelajaran anak sekolahan, yang mungkin
tidak akan pernah dipahami maknanya. Terlihat seperti sebuah slogan
absurd yang sampai kapanpun akan begitu-begitu saja, bahkan mungkin
akan hilang dengan sendirinya. Mengapa kita tidak berusaha menjadi
Gie, yang percaya bahwa untuk menjadi patriot-patriot yang baik harus
mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh.
Di bawah pohon beringin, 17/7/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar