Selasa, 17 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 2

"Galau" tampaknya bukan hanya tengah melanda anak-anak ABG dan remaja
negeri ini, tetapi penyakit "galau" rasa-rasanya telah menginfeksi
negara-bangsa Indonesia. Di masa Pax consortis, dimana republik ini
cukup berperanan di dalam ekonomi dunia, banyak warga negaranya justru
tengah dilanda kegelisahan akan masa depan nation-state Indonesia.
Kekhawatiran akan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan masih saja
menghantui setiap individu-individu bangsa Indonesia. Inilah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sebuah negara-bangsa dengan wilayah yang
menjembatani dua benua dan dua samudera, serta dengan berbagai masalah
sosial-budaya-ekonomi-lingkungan yang belum kunjung terselesaikan.
Seperti yang dituliskan Paulinus Yan olla di dalam rubrik Opini Kompas
tertanggal 20 Februari 2012, jauhnya jarak antara klaim keberhasilan
pembangunan ekonomi makro oleh pemerintah dan tetap minimnya
kesejahteraan masyarakat pada umumnya telah memicu ketidakpuasan
publik. Tampaknya kondisi inilah yang membuat kehidupan bangsa semakin
tidak tentu arah, bimbang, bagaimana menyikapi antara "kehebatan" dan
"keberhasilan" atas kestabilan perekonomian di tingkat atas, dan
kesemrawutan perekonomian di tingkat bawah.

Lantas apa yang akan terjadi kemudian?, ketidakpercayaan publik
terhadap pemerintah, apalagi saat ini kondisi justru diperparah dengan
sikap mental materialis dan borjuis yang ditunjukkan oleh elite-elite
politik negeri ini, serta tentu saja korupsi. Inilah tampaknya efek
samping dari sebuah sistem demokrasi a la barat, siapa "berkesempatan"
maka dialah yang akan "kaya". Pancasila yang menjadi dasar negara
masih dan hanya dipahami secara parsial oleh mereka dan juga oleh
kita, rakyat Indonesia, lantaran belum ada panutan yang bisa dijadikan
contoh.

Lantas salahkah sistem yang kita anut tersebut?, karena kita beriklim
demokrasi, maka dipersilakan untuk berpendapat. Jika menilik
tahun-tahun awal negara ini berdiri, kontemplasi founding father
Soekarno mengenai sosiodemokrasi tampaknya dapat menjadikan bangsa ini
bebas dari dikte negara-negara barat. Tampaknya sosiodemokrasi menjadi
penengah antara persaingan sistem bernegara waktu itu yang ditawarkan
oleh negara barat dan yang ditawarkan oleh negara sosialis komunis.
Secara garis besar, gagasan Bung Karno dalam berdemokrasi yang benar
adalah demokrasi yang melahirkan kesejahteraan sosial. Ekonomi
Pancasila dengan pengakuan hak individu sebagai penggerak ekonomi yang
ditawarkan sistem sosiodemokrasi tampaknya berbeda dengan sistem
demokrasi a la barat saat ini, dimana manusia dianggap sebagai "mesin"
pencetak laba, serta sistem sosialis komunis yang mengkebiri hak
individu. "Memanusiakan manusia", tampaknya begitulah yang ingin
diwujudkan Bung Karno. Jika ditilik lebih mendalam, memang susah
penerapan apa yang dinamakan ekonomi pancasila, karena ekonomi dunia
lebih condong kepada dua kutub yang bersebelahan, antara liberal
kapitalis dan sosialis komunis.

Warga negara tampaknya menginginkan suatu kondisi negara-bangsa yang
mandiri dan berdikari. Tentu masih ada di dalam benak, pidato Bung
Karno yang berbunyi, "America……… go to hell with your aid", pidato
tersebut tampaknya merupakan sebuah kepiawaian seorang pemimpin untuk
berani tidak didikte asing (Amerika) waktu itu, sehingga dengan
harapan, bangsa yang baru merdeka kala itu tidak merengek-rengek
meminta bantuan finasial terus-menerus, dan harapannya bangsa ini bisa
mandiri dan berdikari di masa depan. Sikap seperti Bung Karno yang
berpikiran ke depan kala itu, juga sejalan dengan sikap presiden
Phillipines, Manuel Quezon, beliau mengatakan, "lebih baik pergi ke
neraka tanpa Amerika, daripada pergi ke surga bersama-sama dengan
dia".

Pidato Bung Karno tahun 1965 yang berbunyi, " jika rakyat dan para
pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangkan daya kreasinya, pastilah
kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pastilah kita tidak perlu
impor barang-barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat
mengekspor barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip
'berdiri di kaki sendiri' dalam ekonomi". Namun, yang terjadi saat ini
tampaknya kebalikan dari apa yang diucapkan Bung Karno empat puluh
tujuh tahun yang lalu. Selain berkonsep berdikari dan mandiri,
jauh-jauh hari Bung Karno sudah merenungkan bahwa negara ini
memerlukan suatu toleransi sosial, kebersamaan dalam kesejahteraan,
menguasai sumberdaya strategis, mengakui potensi lokal, serta berperan
aktif dalam pembangunan untuk menuju Indonesia yang tangguh. Namun,
saat ini, konsep dan gagasan founding father kita rasa-rasanya
dianggap sebagai sesuatu yang sudah usang dan tidak sejalan dengan era
reformasi dan globalisasi. Yang terjadi saat ini adalah ketimpangan
dan ketidakseimbangan yang kemudian akan menyebabkan negara-bangsa
Indonesia menjadi goyah dan keropos. Wallahu'alam Bishowab.

Di Bawah Pohon beringin, 18/7/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar