Rabu, 22 September 2021

Tetangga saya #2 : Warga Asli dan Bukan Asli

Komplek perumahan yang saya tinggali ini dahulunya adalah bekas sawah dan rawa. Kondisi saat ini tentunya berbeda 180 derajat dari 20 atau 30 tahun yang lalu. Dahulu, mungkin di tempat saya berdiri ini hanyalah sawah dan mungkin juga rawa dengan sangat jarang manusia. Saat ini, tempat saya berdiri adalah paving dengan pemandangan kanan kiri berupa rumah berhiaskan lalu-lalang manusia dan kendaraan bermotor. Menurut cerita pengembang, perumahan ini berdiri karena aktivitas perkantoran di sekitar yang melaju dengan sangat cepatnya sehingga berbanding lurus dengan peningkatan populasi manusia di tempat ini. 


Pak Gembul, salah seorang yang pernah bekerja di pengembang kawasan perumahan ini menuturkan bahwa 100 persen warga yang membeli perumahan ini adalah bukan warga lokal. Dan senada dengan penuturan pak Gembul; menurut pak Kenthung yang merupakan ketua RW, saat ini warga yang mendiami perumahan ini bisa dipastikan 100 persen bukanlah warga lokal yang dahulunya menggarap sawah sebelum dijadikan perumahan.


Yang menjadi lucu akhir-akhir ini dan terkait dengan pemilihan ketua RW, warga menjadi terkotak-kotak, lantaran ada sejumlah warga yang membentuk kelompok-kelompok, tentu tujuannya untuk mendukung calon ketua RW. Lucunya, ada salah satu kelompok yang terkesan meniadakan kelompok lainnya dan bahkan seakan-akan meniadakan eksistensi semua warga sebagai warga yang tinggal di perumahan ini. Kelompok tersebut menamakan dirinya sebagai kelompok Pemurnian.


Kelompok Pemurnian ini diinisiasi oleh pak Gombyor, yang juga sebagai ketua salah satu perkumpulan warga. Perkumpulan itu mereka sebut dengan perkumpulan Putih. Menurut sebagian besar warga, perkumpulan Putih bersifat eksklusif. Perkumpulan Putih ini sering sekali menyebarkan kabar-kabar yang membuat warga perumahan menjadi gaduh. Lebih sering lagi anggota kelompok Putih selalu masif menyebarkan kabar yang belum tentu kebenarannya melalui whatsapp dan facebook. 


Pak Kenthung yang menjabat sebagai ketua RW sebenarnya berulang kali menegur pak Gombyor, tapi ya ibarat masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Malahan setiap kali habis ditegur, kabar-kabar yang belum tentu kebenarannya tiba-tiba masif beredar yang menyudutkan pak Kenthung.


Momen pemilihan ketua RW tampaknya benar-benar akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh pak Gombyor beserta kelompok Pemurnian untuk meraih simpati warga lainnya. Mereka akan menyerang calon selain pak Cemet, yang merupakan calon yang mereka usung. Isu yang dilontarkan kelompok Pemurnian saat ini dan terkesan absurd adalah larangan bagi anggota kelompok dan simaptiasannya memilih calon ketua RW yang bukan warga perumahan asli, padahal semua yang tinggal di perumahan ini adalah pendatang.


Berkumpul, berorasi, membentangkan spanduk yang bertuliskan "Saya warga Asli Perumahan" terkesan aneh bin ajaib sekaligus lucu. Kesan yang tertangkap justru adalah stigma warga yang tidak ikut kelompok mereka dan tidak memilih pak Cemet adalah bukan warga asli perumahan ini. Jika stigma ini terus berlanjut dan bahkan berkembang dan beririsan dengan kondisi lainnya tentunya akan sangat berbahaya bagi kerukunan dan keguyuban warga perumahan yang semuanya adalah pendatang.


Begitulah lucunya tetangga saya.


- Cerita adalah fiksi belaka -


Selasa, 21 September 2021

Tetangga Saya #1 : Ritual Setiap September




Tetangga saya semuanya lucu-lucu. Ada yang lebih lucu lagi yaitu salah satu tetangga yang rumahnya paling besar dan megah di komplek perumahan saya. Rumahnya sangatlah besar dengan peghuni yang jumlahnya sangat banyak dan semuanya masih berkerabat dekat; halamannya sangatlah luas dan ditumbuhi banyak tanaman buah yang rindang, serta kolam-kolam besar berisi ikan-ikan yang mungkin tidak dimiliki oleh rumah tangga lainnya di komplek perumahan ini. Bisa dibilang tetangga saya tersebut sangatlah kaya raya, ya bisa dibilang juga banyak sumberdaya alamnya.


Namun, dalam kehidupan rumah tangganya, bisa dibilang antar kerabatnya tidaklah terlalu akur. Kata tetangga-tetangga yang lain sih banyak intrik di dalam rumah besar itu. Bahkan lucunya, antar anggota keluarga yang tinggal di rumah besar itu malah membuat geng atau kelompok-kelompok. Kata Lik Karjo, seorang tukang kebun rumah itu, geng-gengan dalam rumah besar itu malah saling berkompetisi, bisa dikatakan satu sama lain saling meniadakan. Katanya lagi, akhir-akhir ini masing-masing geng sangat kentara ambisinya untuk menguasai rumah beserta lahannya itu.


Pak Gering masih tercatat sebagai kepala keluarga rumah besar itu. Badannya tinggi, tidak terlalu kurus, rambutnya selalu klimis, dan umurnya sekitar 60-an. Pak Gering sangatlah murah senyum dan ramah kepada setiap orang yang tinggal di kompleks perumahan saya, dan juga tidak pernah rasis atau membeda-bedakan. Namun, sebagian kerabatnya yang tinggal di rumah itu sangat membenci pak Gering, termasuk salah satu anak kandungnya. 


Mas Cempluk, salah satu anak kandung pak Gering yang membenci bapaknya, dan dia ikut mendirikan salah satu geng pembenci pak Gering. Pernah suatu waktu, sekitar tiga tahun lalu, mas Cempluk menyebarkan suatu kabar bahwa pak Gering akan menjual seluruh aset ke tetangga sebelah kiri rumahnya. Padahal jika dilihat-lihat, hal itu tidaklah mungkin, karena tetangga sebelah kirinya bukanlah termasuk keluarga yang punya banyak uang.


Mas Cempluk memang tidak suka kepada keluarga pak Lurit, tetangga sebelah kiri rumahnya dan masih berkerabat jauh. Mas Cempluk bersama gengnya sering sekali mencurigai seluruh keluarga pak Lurit; katanya sih keluarga pak Lurit membawa sial bagi rumahnya. Setiap ada kesialan selalu dikaitkan dengan pak Lurit; misalnya ketika anak mas Cempluk jatuh dari pohon jambu, selalu saja dikaitkan keberadaan rumah pak Lurit di sebelah kiri rumahnya; misalnya lagi, mas Gombloh, sepupu mas Cempluk yang masih satu geng, menyalahkan keberadaan rumah pak Lurit lantaran dia berdarah terkena arit saat membersihkan rumput di halamannya, padahal kecerobohannya sendiri.


Intinya mereka suka sekali mengkambing-hitamkan keluarga pak Lurit, padahal seluruh keluarga pak Lurit selalu baik kepada keluarga mas Cempluk. Sering sekali, pak Lurit menggagalkan pencurian di rumah pak Gering yang memang tidak memiliki pagar. Seluruh tetangga bahkan pak Gering dan kerabat yang pro kepada pak Gering selalu mengapresiasi langkah pak Lurit, tetapi tidak bagi mas Cempluk beserta gengnya. Malah seringkali, keluarga pak Lurit dikambing-hitamkan untuk membuat keonaran di dalam keluarga pak Gering. 


Mas Cempluk beserta gengnya menetapkan setiap bulan September adalah puncak kesialan bagi rumahnya, meskipun ini hanya asumsi mereka belaka. Mas Cempluk beserta gengnya akan membuat ritual aneh setiap bulan September, biasanya di tanggal 15 September, dimana mereka akan berkumpul di halaman depan rumahnya, lalu membakar foto pak Lurit yang mereka cetak sendiri dan berorasi menyuruh keluarga pak Lurit untuk tidak tinggal di sebelah kiri rumahnya, melainkan disuruh pindah ke sebelah kanan rumahnya.


Ya itulah salah satu tetangga saya yang lucu.


- Fiksi Belaka -




Dapat didengarkan di Youtube Tetangga Saya Podcast

Senin, 21 Juni 2021

Tolak Ekosida

Ketika mendengar istilah "genosida", pikiran kita pasti menerawang mengenai bentuk kekejaman yang dilakukan oleh kelompok manusia terhadap kelompok manusia lainnya.  Tentunya kita semua mengutuk kekejian genosida ini. Lantas bagaimana dengan istilah "ekosida"?


------------------


Saat penulis masih bersekolah dasar, antara pertengahan sampai menjelang akhir tahun 1990; ada suatu rasa kecintaan terhadap negara bangsa ini yang begitu membuncah. Kecintaan tersebut tidak lebih karena kecintaan kepada unsur-unsur alami penyusun negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, yakni biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Hanya biodiversitas dan yang terkait dengan biodiversitas (misalnya budaya dan tradisi lokal) yang membuat penulis mencintai negeri ini, tidak lebih.


Opini penulis, negeri dan pemerintahan tentunya berbeda. Istilah negeri tentunya lebih luas daripada sekedar pemerintahan. Ibarat penginapan, negeri adalah fisik penginapannya dan pemerintah adalah pengelolanya. Jika kita mencintai suatu negeri, belum tentu kita bisa pro atau setuju dengan pemerintahnya. Banyak yang beranggapan jika kita mencintai negeri ini, maka kita harus pro kepada pemerintah yang sah. Harusnya dikembalikan lagi kepada esensinya, kita mencintai negeri ini beserta budaya dan kearifan lokalnya, tapi kita patut menolak apabila pengelola berlaku tidak adil kepadanegeri ini dan budayanya; bahkan kita bisa saja melawan jika pengelola berlaku eksploitatif dan destruktif. 


Terkait biodiversitas atau keanekaragaman hayati, tampaknya ada upaya eksploitatif dan merusak yang berlebihan yang dilakukan oleh korporasi-korporasi besar pertambangan dan perkebunan akhir-akhir ini. Korporasi besar pertambangan dan perkebunan tentunya telah mendapat restu dari pengelola negara ini untuk berlaku demikian. Kelakuan seperti ini ya mungkin saja sudah ada sejak republik ini menggandeng tangan kapitalis pada awal orde baru berkuasa, dan semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini. 


Mengerikan, itulah satu kata yang bisa terucap. Inti dari segala inti kegiatan mereka adalah mendapatkan cuan, dan tentunya tidak ada kepedulian akan kelestarian biodiversitas beserta unsur terkaitnya (budaya, tradisi dan kearifan lokal). Restu dari pengelola adalah kunci utama kelakuan buruk korporasi tambang dan perkebunan. Menurut opini penulis, si pemberi restu tak ubahnya seperti kaum-kaum penjajah jaman dahulu kala, yang memaksa masyarakat lokal merelakan tanah tumpah darahnya untuk diduduki, dan sering juga kekuatan para-militer atau militer dikerahkan untuk memuluskan kelakuan buruk tersebut. 


Dapat dibilang sudah keterlaluan ketika aktivitas tambang dan perkebunan menggusur biodiversitas negeri ini. Inilah sebentuk Ekosida yang menurut opini penulis akan lebih ganas dan keji dari genosida. Pada ekosida kali ini, semua unsur kapitalis dan pemerintah beserta aparatusnya bersekongkol. Kondisi seperti ini akan menjadikan kerusakan besar-besaran biodiversitas negeri ini dan mematikan budaya serta kearifan lokalnya. Tidak hanya itu saja, perlahan-lahan akan mematikan masyarakat di dalamnya. Sungguh keji.


Kita patut menolak, karena kita lebih cinta kepada negeri ini daripada mereka.

Selasa, 13 Oktober 2020

Apakah Demo-nya Menyentuh Esensi Omnibus Law Cilaka?

 Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja masih menjadi polemik hingga tulisan singkat ini ditulis. Banyak penolakan oleh hampir semua unsur masyarakat. Penolakan yang penulis anggap wajar dan sangat wajar mengingat proses pengesahan yang bisa dibilang sangat aneh. Ada yang bilang tidak ada komunikasi ke masyarakat terdampak, meskipun ada yang bilang sudah dikomunikasikan, lalu pengesahan yang terburu-buru padahal Omnibus Law ini berjumlah ratusan pasal dan ratusan halaman, pengesahan di waktu yang mengindikasikan Omnibus Law ini seperti pesanan, kemudian pasal-pasal yang terkait kelas pekerja dan lingkungan hidup yang dinilai bermasalah. Dan anehnya pengesahan terhadap draft yang masih simpang-siur. Bahkan masyarakat tidak memiliki rujukan draft mana yang diketok palu waktu itu. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, draft Omnibus Law tersebut katanya masih direvisi dan dirampungkan. Kok aneh ya.


Masyarakat pekerja dalam hal ini buruh sebagai masyarakat terdampak melakukan demonstrasi meminta legislatif dan eksekutif mencabut pengesahan draft UU ini. Demo terjadi hampir di seluruh Indonesia, dan mahasiswa pun ikut bergerak. Semua masyarakat terdampak UU ini, yang banyak dibilang UU Cilaka ini. Lingkungan hidup akan merana, dampak terhadap lingkungan hidup akan mengena di semua lapisan masyarakat negeri ini. Oligarki akan ongkang-ongkang kaki. 


Demo oleh buruh, mahasiswa dan masyarakat kelas bawah yang telah terjadi merupakan bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka terkait UU Omnibus Law Cilaka ini. Meskipun draft mana yang dipakai masih simpang-siur (harusnya karena draftnya belum dishare ke publik, polisi tidak bisa menganggap hoax terhadap draft UU tersebut adalah hoax). Penulis beropini, demo tersebut adalah bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka, ketika jalur resmi bisa jadi tidak direspon dengan baik oleh pembuat kebijakan. 


Demo pun masih bergulir, dan di minggu ini (minggu ke-3 Oktober 2020), demo dilanjutkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang penulis anggap berbeda dari niatan demo sebelumnya. Penulis merasa ada sesuatu yang mendasari mereka di demo kali ini, ibarat aji mumpung, dengan isu liar UU Omnibus Law Cilaka ini, mereka melancarkan “syahwat” keinginan berkuasa. Yang penulis rasakan, demo mereka tidak menyentuh esensi dari penolakan UU Omnibus Lawa Cilaka, tetapi malah ke perebutan kekuasaan. Niatan ini tentu menurut penulis sangat berbanding terbalik dari demo sebelumnya yang niatnya murni terhedap esensi UU Omnibus Law Cilaka.


Untuk penutup, penulis tidak berharap banyak pada pemerintah negeri ini.


Salam,

Penulis


Jumat, 09 Oktober 2020

Narasi Memuakkan Bulan September

Bulan September adalah bulan yang riuh di Indonesia, bukan karena hujan di bulan September. Melainkan karena sejumlah orang atau kelompok unjuk gigi dengan memanfaatkan momen yang pernah terjadi 55 tahun lalu. Namun, menurut penulis pribadi, momen yang dimanfaatkan tersebut berasal dari tafsir sejarah rezim orde baru.


Peristiwa G30S/PKI yang merupakan sebuah peristiwa kelam dalam perkembangan Republik Indonesia. Banyak tafsir atau versi sejarah mengenai peristiwa akhir September 1965 tersebut; baik dari akademisi yang netral maupun dari kelompok rezim yang ingin berkuasa saat itu yang tentu saja ada kepentingan di dalamnya. Namun, fakta di lapangan saat itu, memang terjadi peristiwa "berdarah-darah" saat akhir September 1965. Ya itu fakta di lapangan, tidak bisa dipungkiri,  tetapi yang mendasari fakta tersebut masih dan terus dikaji oleh akademisi ataupun para peminat sejarah.

Sebaiknya yang menjadi pemikiran bersama mengenai peristiwa tersebut bukan saja peristiwa di akhir September 1965, tetapi juga peristiwa sebelum dan sesudahnya, yang faktanya juga "berdarah-darah". Sebelum peristiwa 65, memang ada pemberontakan PKI yang sangat "berdarah-darah"; kemudian setelahnya, ada peristiwa yang cukup kelam, lebih "berdarah-darah" lagi, selain pembunuhan fisik masyarakat sipil yang dianggap kiri atau "berbau" komunis oleh rezim orde baru, juga terjadi pembunuhan karakter keturuan-keturunan mereka yang dianggap kiri. Ini lebih peristiwa kemanusiaan akibat politik praktis saat itu.


Pemerintahan atau rezim orde baru pun akhirnya membuat narasi sejarah mengenai peristiwa tersebut, sebuah narasi dari tafsir tunggal, tafsir yang wajib diikuti oleh seluruh warga negara. Jika ada tafsir lainnya sudah pasti diharamkan oleh rezim orde baru saat itu. warga negara hanya "manut", bahkan mungkin candaan yang mengandung kosakata "komunis, marxis, PKI" sudah pasti tabu. Guru sejarah mengajarkan apa yang ada di dalam text book yang sudah pasti sejarah versi orde baru, tidak berani bermain logika, tidak berani mempertanyakan apa yang ada di benaknya, dan pasrah melihat murid-muridnya menghapal mati apa yang tertera di text book tersebut. Literatur dan bacaan lainnya yang dianggap "kiri" dimusnahkan, tabu membaca literatur-literatur sejarah dari sumber selain pemerintah. Pemerintah orde baru melanggengkan kekuasaannya dengan cara memelihara narasi-narasi tentang komunisme dan PKI. Narasi yang diciptakan umumnya narasi yang seram dan orang-orang komunis diibaratkan seperti mesin pembunuh. Narasi ini pun diperkuat dengan diciptakan film mengenai G30S PKI pada tahun 1980-an dan wajib diputar oleh stasiun TV.


Karya film adalah sebuah karya seni yang sepatutnya diapresiasi tinggi-tinggi. Karya film mengenai pemberontakan PKI G30S juga harus diapresiasi tinggi. Karya tersebut memang hadir di tengah situasi rezim orde baru dengan tafsir dan narasi tentang komunis dan PKI khas orde baru. Yang menjadi "mengerikan" adalah ketika masyarakat yang menontonnya tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, karena berpikir kritis adalah subversif waktu itu, maka yang terjadi adalah propaganda "nasionalisme" khas orde baru yang berjalan dengan mulus.


Lalu setelah rezim orde baru tumbang, dan sampai saat ini, narasi berdasar tafsir tunggal rezim orde baru masih saja riuh kala memasuki bulan September. Sejak zaman reformasi, harusnya cara berpikir kritis mulai berkembang di masyarakat karena semua literatur mudah diperoleh, dibaca, dipelajari dan didiskusikan, tidak ada yang tabu. Seharusnya, saat ini di tahun-tahun 2015-2020-an, kita menikmati pesatnya berpikir kritis masyarakat Indonesia. Namun, ternyata toh sama saja atau bahkan mundur, entahlah. 


Narasi kebangkitan PKI akhir-akhir ini sungguh-sungguh memuakkan. Dunia sudah banyak berubah, lompatan teknologi dan cara berpikir manusia sudah sebegitu luar biasa, tapi masih saja masyarakat di Indonesia berkutat dengan narasi-narasi yang tidak masuk akal. Bagi masyarakat yang bebal, narasi ini bisa masuk bahkan mungkin bisa memobilisasi massa untuk bertindak sesuka hati menghakimi seorang atau kelompok yang mereka anggap "kiri". Dan narasi "bego" ditambah dengan kelompok masyarakat bego dan bebal merupakan santapan yang nikmat bagi para pengejar popularitas ataupun pengejar kekuasaan yang berlindung dalam sistem demokrasi. Jika masif, menurut penulis, oligarki-lah yang bermain di belakang narasi tersebut.


Di bulan ini, harusnya kita sebagai masyarakat Indonesia selalu berpikir, apa yang telah terjadi sebelum, saat dan setelah 1965. Semua peristiwa tersebut adalah peristiwa menjijikkan yang menghancurkan kemanusiaan. Peristiwa yang oleh penulis "dikangkangi" oleh oligarki-oligarki yang ingin bercokol di republik yang masih berumur muda. Semua korban adalah manusia dan warga negara Indonesia dengan nasionalisme sesuai levelnya masing-masing; baik itu pengurus PKI, warga simpatisan PKI, kalangan umat beragama, orang yang dituduh PKI, tentara serta jenderalnya. Kita harus berpikir sejenak, "kemanusiaan"-lah yang seharusnya menjadi kepedulian kita bersama saat kita memperingati Kesaktian Pancasila 1 Oktober setiap tahun.


Jangan sampai narasi yang ada saat ini, semakin besar karena medsos dan banyak yang menumpanginginya, menjadi tragedi "berdarah-darah" lagi. Zaman sudah berubah, saatnya kita semua mengambangkan penalaran kritis dan logika kita untuk menjadikan planet bumi sebagai tempat ternyaman untuk ditinggali. Lawan oligarki di sekitar kita, karena bukan PKI yang bangkit, tetapi oligarki yang semakin membesar saat ini.


NB : Opini ini sudah saya tulis pada pertengahan September 2020.

Sudah Lama Ingin Menulis Lagi

Sudah sekian lama saya tidak menulis blog yang berisikan uneg-uneg atau pemikiran pribadi mengenai sesuatu hal yang terjadi di luar tubuh saya. Mungkin bisa dibilang saya menuliskan apa yang ingin saya komentari pada waktu itu, dan mayoritas adalah masalah lingkungan hidup dan konservasi, serta sedikit-sedikit apa yang saya yakini tentang politik negeri ini,  meskipun saya tidak memiliki ketertarikan mengenai dunia politik yang saya sebut sebagai politik praktis di negeri ini. Namun, seorang kawan pernah berujar bahwa untuk dapat mencapai sesuatu dalam ranah komunitas besar, maka kita harus melek politik. Ya, memang benar, menurut saya pribadi dan dari pemikiran saya (entah pembenaran saya saja), politik memang wajib kita kuasai. Namun,bukan politik praktis yang seperti kita lihat di sekitar kita, politik transaksional. Politik yang saya maksud adalah cara mencapai sesuatu, dimana sesuatu tersebut lazim dan wajar diperuntukkan untuk khalayak ramai dan lingkungan hidup yag mendukungnya dengan teknis dan cara-cara yang bermartabat, tidak merendahkan seorang pun manusia atau makhluk hidup lain, dan tidak ada unsur keinginan untuk berkuasa atau kaya.

Saya memiliki keinginan, ya bisa saya sebut sebagai keinginan, belum merupakan cita-cita, bahwa kita semua yang hidup di wilayah yang saat ini bisa disebut sebagai Indonesia dapat hidup sebagai manusia. Semua setara sebagai manusia. Manusia yang tidak merendahkan manusia lainnya, manusia yang sadar akan kemanusiaannya, manusia yang tidak mengganggu atau melukai manusia lainnya, manusia yang sadar akan lingkungan sekitarnya, manusia yang berpikir, manusia yang tidak merendahkan makhluk hidup selain manusia, manusia yang merasa planet bumi adalah rumahnya, manusia yang tidak merasa dirinya lebih unggul dalam hubungan pribumi-non pribumi atau kulit putih-non putih, serta manusia yang benar-benar manusia.

Saya ingin menuliskan apa yang saya ingin tulis berdasarkan apa yang saya pikirkan dan mudah-mudahan bukan pembenaran pemikiran saya. Sudah beberapa waktu lalu saya ingin menulis blog lagi, terutama saat politik praktis di Indonesia semakin aneh dan politik identitas semakin meningkat. Namun, belum bisa terwujud karena ada kesibukan lainnya dan mungkin ketakutan adanya jeratan pasal karet UU ITE. Entah saat ini keinginan tersebut semain menguat. Apakah saya tidak takut terhadap pasal karet UU ITE tersebut terkait dengan ketersinggungan?.

Jawabannya ya mungkin agak sedikit khawatir, tapi saya khawatir ketika apa yang saya pikirkan tidak terlampiaskan dan tidak dapat dinikmati oleh orang lain. Ya, saya lebih khawatir ketika pemikiran saya (semoga bukan pembenaran apa yag saya pikirkan) tentang sesuatu yang aneh di negeri tempat saya hidup sampai tulisan ini dibuat tidak sempat saya tuliskan, yang mana tulisan tersebut akan abadi dari keberadaan saya di planet bumi ini. Untuk hal ini, saya terkesan dari pernyataan almarhum Pramoedya Ananta Toer, dimana beliau menyatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian dan supaya kita tidak hilang dari sejarah.

Akhir kata, saya bukanlah manusia yang pandai menulis, tetapi saya adalah manusia yang lebih bisa berbicara melalui jari-jari saya. Jadi mulai saat ini saya akan menulis apa pun yang ingin saya tuliskan dan apa pun tentang pemikiran saya (dan sekali lagi semoga bukan pembenaran) mengenai suatu hal yang aneh atau tidak semestinya. Karena saya berpatokan pada salah satu pasal di konstitusi republik ini yang menyatakan bahwa setiap warga negara (saya masih merasa sebagai warga negara republik ini) memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, maka saya akan menulis. Untuk ketersinggungan sendiri, saya tidak bisa menjamin bebas dari ketersinggungan publik atau netizen. Jika ada yang tersinggung, saya berharap yang tersinggung tidak buru-buru menuju kantor polisi untuk melaporkan degan dasar pasal karet UU ITE. Jika tersinggung, mari berpikir, menjadi manusia yang berpikir dengan berdiskusi.


Salam,
Wirakid