Negara hijau-biru, sebuah nama yang sepertinya patut disematkan di
pundak negara Indonesia, di masa lalu. Mengapa hijau dan biru?,
lantaran peta dari foto satelit biasanya menggambarkan warna hijau dan
biru untuk gugusan kepulauan NKRI. Hijau menandakan vegetasi hutan dan
biru menandakan wilayah perairan. Namun, muncul keraguan saat ini,
lantaran foto satelit untuk wilayah Indonesia memperlihatkan alopesia
berwarna coklat, abu-abu, dan kekuningan diantara warna hijau. Bahkan
tampaknya di waktu sekarang ini, alopesia tersebut bertambah meluas
dan dikhawatirkan beberapa tahun ke depan, hijau dan biru akan
digantikan oleh warna coklat dan abu-abu. Lantas apa artinya?,
kegersangan akan melanda negeri ini.
Warna-warna tersebut hanyalah ibarat, fakta di lapangan, negara
Indonesia telah mengalami kehilangan vegetasi hutan tropis yang sangat
besar, baik kualitas dan kuantitasnya, menurut data, hutan kita hilang
sebesar 3 hektar permenitnya. Bahkan mungkin, hutan tropis yang
tersisa saat ini sebenarnya sudah tidak sanggup lagi menanggung beban
berat untuk menopang kehidupannya sendiri. Terlalu berat memang jika
alam raya Indonesia yang semakin ringkih diabaikan begitu saja.
Negara-bangsa Indonesia hidup di atas keanekaragaman hayatinya, jadi
salah besar jika sekarang ini manusia-manusia Indonesia mengabaikan
kelestarian hayatinya. Pengabaian secara terprogram, rasa-rasanya
telah dan tengah dijalankan oleh kalangan-kalangan tertentu supaya
keanekaragaman hayati tersebut menjadi terlupakan dan tergantikan oleh
keseragaman yang mungkin lebih menghasilkan "uang". Contoh mudahnya,
betapa mudahnya perusahaan-perusahaan asing yang tidak berwawasan
lingkungan beroperasi di suatu kawasan yang notabene mempunyai nilai
keanekaragaman hayati yang tinggi.
Pemerintah dan elite-elite pejabat di atas sana cenderung menutup
mata, mulut, dan hati akan masalah lingkungan hidup dan keanekaragaman
hayati yang tengah terjadi sampai detik ini, bahkan mungkin mereka
telah menutup hatinya akan kondisi ini. Degradasi dan kerusakan
keanekaragaman hayati pun semakin menjadi-jadi, tampaknya tidak
terlihat upaya serius mengatasi ini. Inilah ketidakadilan pemerintah
terhadap lingkungan hidup. Apabila upaya "penghilangan" vegetasi hutan
terjadi terus menerus di negeri ini dan planet bumi ini, maka
kemungkinan sekitar 5 – 10 % spesies yang ada di dunia akan punah
setiap sepuluh tahun sampai 30 tahun mendatang.
Jika di masa lalu kita berbangga bahwa negara Indonesia adalah negara
dengan keanekaragaman hayati terbaik, seperti dalam lirik lagunya Koes
Plus, dimana "tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Maka saat ini
tampaknya kita sering melihat kebalikannya, "tanaman jadi tongkat
kayu". Saat ini pemerintah lebih berbangga akan megaproyek ekonomi
yang berlandaskan pada ekonomi liberal kapitalis yang agaknya
memandang alam raya sebagai bahan baku belaka untuk diolah menjadi
uang. "Ketidak sabaran", mungkin itu yang bisa terucap dari mulut
ketika melihat tingkah polah para pembuat kebijakan di atas sana,
lantaran menginginkan terjadi percepatan aliran uang ke kas negara,
dan juga ke kas pribadinya masing-masing dalam waktu singkat atau
jangka pendek. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, bukankah
melestarikan keanekaragaman hayati atau pembangunan ekonomi yang
berwawasan lingkungan hidup-keanekaragaman hayati justru menghasilkan
keuntungan yang begitu besar dalam jangka waktu panjang?, entahlah.
Kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati merupakan
kekayaan suatu bangsa yang tidak ternilai harganya dan memberikan
kontribusi yang baik langsung maupun tidak langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Saat ini, adanya suara-suara untuk
menerapkan green economy diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati Indonesia,
sehingga negara ini tetap menjadi negara hijau-biru.
Selain itu, adanya komitmen bersama untuk menegakkan UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya diharapkan dapat mengurangi kerusakan kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekargaman hayati Indonesia. Kita
juga harus ingat bahwa lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati yang
dimiliki negara-bangsa ini bukanlah warisan nenek moyang untuk
generasi sekarang, melainkan titipan yang harus dan wajib kita
sampaikan ke generasi berikutnya. Sesungguhnya keanekaragaman hayati
merupakan unsur terpenting negara-bangsa ini dalam menapaki pergaulan
internasional di jaman globalisasi, karena keanekaragaman hayatilah,
Indonesia dikenal dunia internasional, dan keanekaragaman hayatilah
yang membuat Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi ratusan suku
yang kemudian menamakan diri sebagai bangsa Indonesia. Tanpa
keanekaragaman hayati, maka Indonesia akan limbung. Seperti yang
dikatakan oleh seorang naturalis Henry David Thoreau, bahwa "apa
gunanya rumah, jika anda tidak mempunyai sebuah planet untuk
meletakkannya". Serta jangan sampai kita baru menyadari pentingnya
kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati setelah bencana
memporak-porandakan negara kita dan bumi kita, seperti pepatah Indian
yang mengatakan bahwa "hanya bila pohon terakhir telah tumbang
ditebang, hanya bila tetes air sungai terakhir telah tercemar, hanya
bila ikan terakhir telah ditangkap, maka barulah kita sadar bahwa uang
di tangan tidak dapat dimakan". Wallahualam bishowab.
19/7/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar