Jumat, 20 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 5

Marhaban Ya Ramadhan, begitulah yang bisa terucap kala memasuki bulan
suci Ramadhan. Bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk
meningkatkan kesadaran secara vertikal dan horizontal, dan bulan
kontemplasi untuk sebuah hidup yang berkualitas. Namun, bagi
kebanyakan masyarakat, Ramadhan justru disikapi dengan cara hidup
konsumerisme dan hedonisme. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini,
masyarakat kebanyakan justru menghambur memenuhi pusat-pusat
perbelanjaan untuk berburu kebutuhan perut, tidak tanggung-tanggung
mungkin, jika di bulan selain Ramadhan, mereka hanya membelanjakan
uangnya sekian ribu, maka di bulan Ramadhan ini bisa berkali-kali
lipat. Seperti ajang balas dendam setelah seharian perut kosong.
Lantas bagaimana dengan kesederhanaan dan kesahajaan yang diajarkan
oleh sekolah yang bernama Ramadhan ini?

Rasa-rasanya inilah budaya modern umat manusia, budaya konsumerisme
dan hedonisme yang entah diajarkan oleh siapa. Entah mengakar sendiri
ataukah budaya ikut-ikutan. Entah, tetapi kondisi seperti ini
tampaknya tenda-tanda terjadinya benturan kebudayaan (shock culture)
di masyarakat Indonesia. Apatah konsumerisme ini sejalan dengan teori
Abraham Maslow, tentang hirarki kebutuhan, yakni kebutuhan aktualisasi
diri?, entahlah. Konsumerisme dan hedonisme di bulan Ramadhan hanya
akan menurunkan nilai ibadah dan nilai sosial yang diajarkan bulan
suci ini.

Konsumerisme merupakan upaya yang berlebih-lebihan, atau dengan kata
lain pemborosan. Lantas, mengapa pemborosan atau apapun namanya kerap
muncul setiap bulan Ramadhan?, mungkin lantaran amalan agama hanya
sebatas formalitas belaka, atau yang lebih parah, ibadah hanyalah
ikut-ikutan dan pencitraan belaka. Seperti yang ditulis oleh Ketua
Umum PBNU, Said Aqil Siradj dalam Opini Kompas tanggal 20 Juli 2012,
puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum
memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya
sekedar rutinitas dan tren unjuk beragama.

Puasa merupakan ibadah yang tidak perlu dipamer-pamerkan. Namun,
budaya saat ini, mengarahkan untuk memamerkan bahwa seseorang
berpuasa, salah satunya melalui konsumerisme dan hedonisme.
Konsumerisme mungkin bisa dikatakan bersumber dari individu
masing-masing manusia. Seharusnya setiap individu muslim berkomitmen
di dalam satu bulan ini, bahwa bulan ini adalah bulan "pemusatan
latihan" ibadah, pengendalian diri, kontemplasi, dan sosial. Alangkah
baiknya jika terjadi aliran materi ke arah umat yang membutuhkan,
sebuah tabungan akhirat. Wallahu A'lam Bishshowab.

Di bawah pohon beringin, 21/7/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar