Minggu, 30 Oktober 2011

Tentang Nasib Manusia

Seorang bijak pernah berkata, "nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, yang tersial adalah umur tua. Berbahagialah yang mati muda". Sebuah kutipan yang patut dimaknai. Mereka yang tidak dilahirkan, mereka tidak akan pernah menginjak carut-marut tatanan dunia ini lantaran mereka tidak pernah ada, bahkan ruhnya pun tidak pernah dikenal, Tuhan tidak menciptakan mereka. Mereka yang dilahirkan tapi mati muda, mereka berkesempatan menapaki belukar kering dan bahkan merekalah yang punya kesanggupan menghijaukan kembali atau justru membakarnya. Bisa dikatakan itulah "karya" mereka, entah positif atau negatif. Mereka berkarya lalu mereka mati, itulah keberuntungan seumur hidup. Menyumbangkan karya hidup mereka untuk secuil perubahan kesemrawutan tatanan dunia sedangkan mereka tidak menikmatinya, sungguh keikhlasan yang luar biasa. Mereka tidak akan berputar dalam karma hidup lantaran putaran itu akan terkunci dalam suatu titik
kematian, sang Pencipta menyelamatkan mereka dari roda tersebut. Namun, apabila tak ada karya hidup, bisa dikatakan mereka lebih kurang beruntung dari mereka yang berkarya hidup, walaupun sama-sama terselamatkan dari roda tanpa henti. Sedangkan, mereka yang berumur tua, mereka lebih sial dan bisa dikatakan sial yang berlebihan, mungkin mereka akan ikut dalam perputaran karma hidup, sungguh mengerikan, ketika awal menjadi akhir. Berbahagialah mereka yang mati muda dengan secuil karya hidup untuk dunia yang lebih baik

Kaca Jendela

gelap legam, lantaran hujan menelikung semburat kelip alami,

hanya pijar kunang kunang yang masih menantang hukum alam

bias menembus kaca jendela buram lekat embun

masih tampak sedikit gambaran pekarangan yang lusuh itu

pohon kamboja berbunga elok menjajar liar, ilalang yang berpesta pora dan serumpun bambu tua

hanya suara rintihan angin malam ditemani gurauan hujan yang tersaring gendang telinga

ini malam kutukan bagi celepuk celepuk Kelaparan

ini pun malam kala jendela tak memberi ijin mengulas dua sosok makhluk di luar sana

di bawah pohon kamboja terkokoh tak jauh dari jendela ini

berdiri menantang malam, tajam menatap kaca jendela yang berembun

dua sosok makhluk, entah apa niatan mereka, tiap malam mematung menatap kaca jendela ini

entah mereka terpukau dengan alur alur embun yang terlukis di kaca jendela

ataukah menunggu bersua dengan penghuni ruang yang hangat ini

pintu kayu sudah menyambutmu jika kalian datang malam ini, makhluk berjubah putih

bintaro, 12/11/2011

Rabu, 07 September 2011

Untuk Negriku 11

Akhir-akhir ini santer terdengar kabar kebakaran di perumahan-perumahan masyarakat kelas menengah ke bawah dan juga pasar-pasar tradisional, bukannya sebuah kabar lagi tetapi sudah menjadi fakta yang benar-benar terjadi. Kebakaran yang sering diperkirakan akibat kelalaian penghuninya menjadi alasan utama penyebab terjadinya musibah tersebut. Kebakaran yang entah disebabkan oleh kelalaian ataupun penyebab lain nampaknya sedang menjadi trend musibah di negri ini, terutama di kota atau kabupaten yang sedang dan ingin meningkatkan pendapatan daerahnya alias sebenarnya pendapatan pejabat-pejabat pemerintahan daerah yang bersangkutan. Sering terdengar kabar bahwa terdapat rencana pembangunan sebuah pusat perbelanjaan dan ataupun area publik yang lebih modern di lokasi musibah kebakaran. Nampaknya, ke-strategis-an tempat seringkali menjadi alasan utama pemerintah daerah setempat untuk berkeinginan membangun area yang lebih modern lagi karena dirasa pemukiman ataupun pasar dinilai mengganggu aktifitas ekonomi modern daerah tersebut. Mereka mungkin berujar bahwa hal itu dilakukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi rasa-rasanya itu hanyalah omong-kosong belaka, kesejahteraan hanyalah untuk pejabat-pejabat daerah beserta keluarganya. Setelah tempat dirasa strategis, maka langkah selanjutnya adalah "pengusiran" penghuni-penghuninya baik secara halus dan atau secara kasar. Namun, penggusuran atau pengusiran akan memakan biaya yang lumayan besar. Jika pengusiaran ataupun penggusuran dilakukan, jumlah dana yang akan dikorupsi pun akan semakin sedikit........ dan akhirnya dipilih cara lain yang lebih jitu, sebuah cara yang membuat masyarakat rela memindahkan usahanya ke lokasi lain, tanpa paksaan.

Baru saja terdengar kabar terbakarnya pasar di kabupaten Rembang yang notabene merupakan satu-satunya pasar tradisional utama di daerah tersebut dimana arus perputaran uang berdampak pada kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Penyebabnya belum bisa diketahui secara pasti, lha wong ketika tulisan ini diketik, kemungkinan pasar tersebut masih dikuasai si jago merah. Rasa-rasanya ada dua pilihan penyebab dari kebakaran tersebut dan juga kebakaran-kebakaran lain di negri ini, yakni kelalaian dan atau kesengajaan. Kelalaian adalah alasan yang lebih sopan untuk diutarakan pejabat daerah ketika mengomentari suatu musibah kebakaran. Namun, bagaimanakah dengan kesengajaan?????. Rasa-rasanya dalam hati kecil selalu berujar bahwa "kesengajaan" adalah penyebab utama berkuasanya si jago merah di pasar-pasar tradisional ataupun pemukiman kelas menengah ke bawah akhir-akhir ini. Lantas apa alasannya dibakar dan siapa yang membakar???, seperti diutarakan di paragraf pertama, pejabat-pejabat daerah lah aktornya (dengan segala hormat mohon maaf kepada bapak ibu pejabat daerah yang bersangkutan). Membakar lebih mudah daripada mengusir atau menggusur secara halus ataupun secara kasar. Membakar pun akan menyiratkan betapa besarnya perhatian pemerintah daerah akan musibah tersebut dengan pengerahan alat-alat pemadam, ucapan duka cita, dan pengkalkulasian kerugian. Pembakaran pun akan menjauhkan pemerintah daerah merugi banyak kala alasan penyebabnya adalah kelalaian, karena mereka akan terhindar dari biaya ganti rugi penggusuran dan ganti rugi bantuan korban. Lantas apakah hasil yang dinikmati si pejabat pemerintahan daerah???, rasa-rasanya proyek miliaran mereka akan berjalan mulus tanpa hambatan. Penghuni alias korban dapat dengan mudah dipindahkan ke lokasi baru tanpa ada ganti rugi sedikitpun dari pihak pemerintah. 

Inilah sebuah ironi negara bangsa yang bernama Indonesia. Pemerintah nampaknya sedang berlaku sebagai "yang memerintah" dimana rakyat harus tunduk dan patuh. Sebuah ironi memang ketika para pejabat pemerintah tidak merasa sebagai pemegang amanah rakyat kecil. Dengan jabatan yang mulia tersebut nampaknya digunakan untuk "menjajah" rakyat negri ini. Inilah sebuah penjajahan gaya baru, entah siapa protagonis yang akan menang dan antagonis yang akan kalah, ataukah protagonis yang akan kalah dan antagonis yang akan menang. Kala ini, ibaratnya pejabat pemerintah adalah drakula dan rakyat adalah korbannya. Lantas bagaimana slogan-slogan kesejahteraan rakyat yang diusung pemerintahan daerah yang bersangkutan?????, slogan ibaratnya cover sebuah buku sedangkan konspirasi di dalamnya adalah isi sebuah buku, covernya bercorak bagus sedangkan isinya hanya corat-coret orang idiot. Dengan cover yang bagus menyebabkan masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang patut, karena kecenderungan masyarakat negri ini yang berpikiran "cover bagus maka isinya pun bagus". Lantas siapa yang akan merana?, rakyatlah yang akan merana, semakin terhisap jiwa raganya oleh pejabat pemerintah yang korup. Rakyat semakin terjerat hutang yang entah sampai kapan akan melunasinya, jumlah keluarga miskin akan bertambah, dan para pejabat semakin buncit perutnya. Kembali lagi ke masalah terbakarnya pasar tradisional dan pemukiman masyarakat yang masih misterius, dalam hal ini masyarakat korban adalah korban sebenar-benarnya korban dari proyek-proyek gila. Sebuah proyek gila yang tidak manusiawi nampaknya sedang menjalari kalbu setiap individu-individu pejabat pemerintahan daerah sampai pemerintahan pusat. Inilah penjajahan gaya baru negri ini, rasa-rasanya kemerdekaan yang telah berusia 66 tahun ini menjadi semakin absurd. Benar-benar absurd!!!!!

Selasa, 30 Agustus 2011

Untuk Negriku 10

"dok, saya penyayang hewan lho",

sebuah pernyataan yang dengan spontan terlontar dari seorang wanita pemilik kucing di dalam sebuah klinik hewan di pinggiran Jakarta.

"Selain si Kitty, punya apa lagi mbak di rumah?".

"Kucing saya di rumah ada delapan ekor dok, ada empat anjing, ehmmm, saya juga pelihara elang dan harimau".

"O ya, itu di rumah semua ya mbak?".

"Yang harimau sudah gak lagi dok soalnya ketahuan petugas, disita deh akhirnya".

"ooo, gitu ya".

"Iya dok, kalo ada gajah atau badak, pengen dipelihara juga".


Itulah sebuah percakapan basa-basi dari seorang pemilik hewan kaya raya yang terekam, dimana dalam pernyataannya tersebut, si wanita tersebut entah ingin menunjukkan betapa besar rasa sayangnya kepada hewan ataukah sebuah pernyataan yang ingin memamerkan betapa tinggi kedudukan sosialnya di masyarakat kala memelihara satwa liar yang notabene masuk kriteria dilindungi baik oleh peraturan Indonesia maupun dunia internasional. Nampaknya pernyataan tersebut lebih memperlihatkan kepada sebuah keangkuhan masyarakat berduit di kota-kota besar, sebuah keangkuhan dan kesewenang-wenangan terhadap hidupan liar. Seolah-olah hidupan liar adalah harta yang menunjukkan kemewahan tersendiri, dan orang-orang berduit "wajib" memeliharanya di halaman rumah mereka agar mereka dipandang sebagai orang yang terpandang. Hidupan liar jelas-jelas tidak memerlukan kasih sayang layaknya anjing dan kucing rumahan yang setiap saat dibelai atau dikandangkan, hidupan liar membutuhkan sebuah kasih sayang yang benar-benar datang dari kalbu dimana dengan keikhlasan menyayangi untuk tidak merusak habitat dan tidak memeliharanya. 

Masyarakat kelas atas perkotaan nampaknya merupakan kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan kelestaian hidupan liar negeri ini. Rasa-rasanya mereka tidak pernah tahu asal harimau sumatera, gajah sumatera, atau elang jawa, dan lain-lain, serta bagaimana habitatnya, bagaimana statusnya di alam. Gengsi, pamor, dan status sosial adalah incaran mereka. Hidupan liar hanyalah sebagai komoditi untuk mencapai kondisi tersebut. Dan akhirnya terjadi kongkalikong dengan petugas pemerintah yang seharusnya dengan kejujuran dan dedikasinya mampu menebas keberadaan pemelihara hidupan liar di perkotaan. Inilah sebuah rasa kasih sayang yang absurd terhadap hidupan liar. Inilah sulitnya mengubah gaya hidup masyarakat kelas atas perkotaan yang sudah terjejali oleh sikap angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sebuah ironi keanekaragaman hayati negeri ini. 

Ditilik dari sudut pandang manapun, memeliharahidupan liar adalah SALAH BESAR, misalnya dari sudut pandang medis, hidupan liar yang dipelihara di halaman rumah akan mendekatkan penyakit baru kepada masyarakat perkotaan, dan ketika sudah menjadi wabah, siapa yang patut disalahkan?, si satwa kah atau si manusia kah?. Dari sudut pandang kelestarian alam, pemelihara hidupan liar adalah penyumbang rusaknya keanekaragaman hayati bumi ini. Sudah saatnya bersama-sama kita sebagai masyarakat negara megabiodiversitas Indonesia bersatu untuk meneriakkan "STOP MEMELIHARA SATWA LIAR".

Untuk Negriku 9

Akhir-akhir ini tayangan televisi yang mengumbar keperkasaan manusia sering diputar pada jam-jam istirahat di sela-sela tayangan khusus anak dimana mayoritas penontonnya adalah anak-anak. Tayangan tersebut menggambarkan bagaimana manusia berkuasa terhadap alam, dalam hal ini adalah hewan atau lebih tepatnya satwa liar. Tayangan yang mempertontonkan "kekuasaan" yang berlebihan manusia akan satwa tanpa melihat aspek kenyamanan hewan dalam prinsip animal welfare. Dari tayangan ini dapat ditarik kesimpulan awal bahwa satwa dan atau satwa liar "dapat" dan "lazim" diperlakukan seperti tayangan tersebut. 

Jam tayang di siang hari ketika banyak anak-anak kecil menonton menjadikan tayangan tersebut terkesan seperti "cuci otak" anak-anak generasi penerus bangsa dalam memperlakukan satwa dan atau satwa liar yang merupakan unsur biodiversitas negeri ini. Apa yang terjadi ketika daya pikir anak-anak yang polos menangkap sebuah tayangan yang seolah-olah telah dilazimkan tersebut. Dengan mudahnya mereka akan berpikiran "eksploitasi" terhadap keanekaragaman hayati ketika dewasa, dan tidak hanya itu saja, kemungkinan pengaruh terburuknya adalah perubahan perilaku dan moral menjadi generasi penerus bangsa yang mengijinkan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. 

Inilah bencana yang akan menimpa negara bangsa ini ketika tayangan kekerasan tehadap alam disahkan dan dilazimkan begitu saja. Bencana yang datang ketika keanekaragaman hayati sudah menunjukkan titik nol bahkan minus, serta hilangnya keramah-tamahan bangsa ini karena tergantikan oleh kekerasan-kekerasan dan kesewenang-wenangan. Nampaknya semua unsur negara bangsa ini harus belajar dari ungkapan Gandhi, "The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated"

Minggu, 21 Agustus 2011

Tebak-Tebakan dari Sketsa Burung


Silakan diisi bagian-bagian tubuh burung yang telah ditampilkan di atas !!!!!!!!





Jawabannya silakan dicari di :


Mackinnon J. 1990. Field Guide To The Birds Of Java And Bali. Yogyakarta : Gajah Mada University press.

atau

Mackinnon J, Phillips K, Balen BV. 2007. Burung-Burung Di Sumatera, Jawa, Bali Dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak Dan Brunei Darusssalam). Puslitbang Biologi – LIPI & BirdLife International-Indonesia Programme.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Peranan Medik Konservasi dan Avian Medicine Terhadap Konservasi Burung Liar

            Kegiatan konservasi terhadap burung liar di Indonesia diperlukan untuk mempertahankan kelestarian keanekaragaman burung di Indonesia, karena burung liar merupakan salah satu penyusun keanekaragaman hayati di Indonesia. Selain itu, konservasi terhadap burung liar diperlukan karena menurut Setio dan Takandjandji (2006), keberadaan satwa burung di Indonesia sedang mengalami penurunan populasi. Menurut Lack (1954, 1966) dan Newton (1998) diacu dalam Sutherland (2004), sebagian besar burung secara alami dibatasi oleh beberapa variabel, diantaranya adalah kemampuan untuk memperoleh pakan, bersarang, predasi, kompetisi, serta penyakit. Penyakit parasitik hanya mempunyai pengaruh kecil terhadap sebagian besar burung, tetapi dapat menyebabkan kematian pada kondisi tertentu. Pengetahuan terhadap penyakit berguna sehingga efek penyakit terhadap daya tahan dan breeding suatu spesies burung dapat diketahui, penyakit dapat diatasi, serta adanya penyakit baru dapat dihilangkan melalui tindakan karantina. Pemeriksaan kesehatan terhadap burung-burung liar dan burung-burung liar di penangkaran merupakan suatu langkah untuk mencegah transmisi penyakit dari penangkaran ke populasi liar, dan sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, maka fasilitas penangkaran secara in situ harus diusahakan hanya untuk satu spesies.

            Burung-burung di penangkaran yang ditujukan untuk reintroduksi harus dijaga terhadap kontak dengan burung-burung di penangkaran lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan penyakit yang dibawa dari populasi di penangkaran (Greenwood 1996 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Manajemen penayakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik yang dapat mengancam burung di lapangan (Jones dan Duffy 1993 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Adanya kemungkinan penyakit pada burung liar dan juga satwa liar lainnya, maka kegiatan konservasi juga harus didukung oleh kegiatan medik konservasi. Menurut Aguirre dan Gόmez (2009), medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul yang menghubungkan antara kesehatan manusia dan ksehatan hewan dengan kesehatan ekosistem dan perubahan lingkungan global. Serta medik konservasi menurut UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang satwa liar.

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), teknik-teknik yang dapat dikembangkan untuk manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas habitat, penyediaan sarang-sarang buatan dan penyediaan pakan, atau pengendalian predator dan patogen. Tahapan pertama dalam pelaksanaan manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah adalah pengetahuan tentang sejarah hidup, ekologi, distribusi, serta jumlah spesies burung yang diperhatikan. Selain itu juga diperlukan suatu penelitian tentang sejumlah kecil pasangan burung sehingga dapat diketahui tentang diet, kebutuhan habitat, dan keberhasilan persarangan. Tahapan kedua dalam manajemen konservasi burung terancam punah adalah melakukan diagnosa terhadap penurunan populasi dan tindakan-tindakan perbaikan populasi. Beberapa pendekatan yang dilakukan adalah penyusunan pengetahuan yang diperlukan dalam penilaian tentang distribusi sebelumnya dan kecenderungan populasi selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan informasi tentang mortalitas, produktivitas, penyebab kegagalan breeding, struktur umur, pertahanan hidup di habitat yang berbeda, pengaruh cuaca, serta faktor-faktor lain yang berkaitan. Selain itu juga diperlukan tinjauan beberapa perubahan ekologi yang mempengaruhi spesies, khususnya yang disebabkan oleh tindakan manusia. Pengamatan pasangan burung-burung di alam, monitoring tingkah laku di alam, pencegahan maslah-masalah yang mempengaruhi seperti penyelamatan telur dan burung-burung muda dari sarang yang rusak merupakan salah satu langkah yang dapat diambil dalam manajemen konservasi. Kegiatan manajemen konservasi juga meliputi keterangan tentang faktor-faktor lain seperti pakan, cuaca, dan parasit. 

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), tahap ketiga adalah manajemen intensif, fokus dari tahap ketiga adalah menghasilkan produktivitas yang maksimal dan daya tahan setiap individu yang maksimal. Manajemen intensif juga melibatkan sistem penangkaran dan pelepas liaran, translokasi, serta manipulasi terhadap telur dan anakan. Manajemen intensif membutuhkan perhatian yang besar dari avian pediatrician, dokter hewan, ahli reintroduksi, dan personel-personel berpengalaman yang dapat membantu. Tahap keempat adalah manajemen populasi, pendekatan-pendekatan khusus dalam manajemen populasi adalah perlindungan terhadap aktivitas merugikan manusia, penyediaan habitat atau melindungi sarang, pemberian pakan suplemen, pengendalian predator dan penyakit, translokasi ke kawasan yang sesuai. Tahap kelima adalah monitoring, tahap ini merupakan tahap yang penting untuk memantau populasi yang diperhatikan selama konservasi. Monitoring ini dapat dilakukan selama restorasi atau setelah restorasi, sehingga pengaruh dari manajemen konservasi dapat dievaluasi. 

Menurut Newton (1998) diacu dalam Sutherland et al. (2004), penyakit parasit parasit pada burung merupakan bagian penting yang dapat membatasi populasi pada sebagian besar jenis burung. Menurut Sutherland et al. (2004), pengetahuan tentang profil penyakit pada suatu spesies burung bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan efek penyakit terhadap daya tahan dan kemampuan breeding suatu spesies, mengetahui bahwa penyakit dapat menyebabkan kegagalan kemampuan breeding dan kemampuan daya tahan hidup, serta adanya penyakit baru dapat dicegah melalui tindakan karantina.

Menurut Joyner et al. (1992), Gilardi et al. (1995) diacu dalam Sutherland et al. (2004), survei penyakit dan pengetahuan tentang survei yang sama terhadap spesies terkait dapat menyediakan suatu indikator yang berguna dalam manajemen konservasi burung terancam punah. Hasil yang dapat diperoleh adalah dapat mengetahui keberadaan penyakit yang sedang terjadi, mengetahui pengaruh penyakit yang sedang terjadi terhadap produktivitas dan daya tahan hidup burung, dan mengetahui langkah-langkah untuk mengurangi dampak penyakit pada burung. 

Menurut Sutherland et al. (2004), pemeriksaan kesehatan pada burung-burung liar dan burung-burung di penangkaran memungkinkan tindakan yang akan diambil untuk mencegah penyebaran penyakit dari penangkaran ke alam atau dari satu spesies ke spesies lainnya. Fasilitas penangkaran secara in-situ idealnya hanya mempunyai spesies tunggal dan apabila spesies lainnya terletak dalam satu kawasan maka spesies-spesies tersebut harus diperiksa untuk mencegah penyebaran penyakit ke spesies yang diutamakan. Menurut Greenwood (1996) diacu dalam Sutherland et al. (2004), burung-burung untuk tujuan reintroduksi harus dicegah terhadap adanya kontak dengan burung-burung lain di penangkaran karena burung-burung di penangkaran mempunyai kemungkinan untuk menyebarkan penyakit ke populasi burung reintroduksi. Perhatian terhadap adanya resiko penyakit yang dapat disebarkan ke alam melalui tindakan restocking dari burung di penangkaran harus ditetapkan untuk mengatasi penyakit pada populasi yang ada. Menurut Jones and Duffy (1993) diacu dalam Sutherland et al. (2004), manajemen penyakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik dapat diatasi di lapangan, khususnya pencegahan pada sarang. 

Menurut Ritchie et al. (1994), pelayanan dokter hewan terhadap penangkar burung adalah penyelenggaraan pemeriksaan terhadap burung-burung baru, penyelenggaraan pemeriksaan burung-burung yang sudah ada, membantu dalam pembuatan dan pemeliharaan sistem pencatatan, membuat program pencegahan penyakit, memberikan saran dalam hal penangkaran, penyediaan perawatan darurat untuk burung-burung di kandang/penangkaran, memberikan tindakan yang tepat untuk mengatasi wabah penyakit, mengevaluasi kegagalan reproduksi, serta membantu dalam hal inkubasi dan masalah-masalah pediatrik pada burung. Dokter hewan dan pegawainya harus mempunyai kesadaran tentang biosekuriti terhadap resiko-resiko potensial, hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit melalui vektor mekanik antara individu pasien dan fasilitas penangkaran. Dokter hewan harus mengunjungi satu penangkaran dalam satu hari, sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum memasuki fasilitas rumah sakit. Apabila dibutuhkan handling burung dari kandang maka langkah yang harus diperhatikan adalah memindahkan burung dari enclosure dengan meminimalkan gangguan.