Selasa, 30 Agustus 2011

Untuk Negriku 10

"dok, saya penyayang hewan lho",

sebuah pernyataan yang dengan spontan terlontar dari seorang wanita pemilik kucing di dalam sebuah klinik hewan di pinggiran Jakarta.

"Selain si Kitty, punya apa lagi mbak di rumah?".

"Kucing saya di rumah ada delapan ekor dok, ada empat anjing, ehmmm, saya juga pelihara elang dan harimau".

"O ya, itu di rumah semua ya mbak?".

"Yang harimau sudah gak lagi dok soalnya ketahuan petugas, disita deh akhirnya".

"ooo, gitu ya".

"Iya dok, kalo ada gajah atau badak, pengen dipelihara juga".


Itulah sebuah percakapan basa-basi dari seorang pemilik hewan kaya raya yang terekam, dimana dalam pernyataannya tersebut, si wanita tersebut entah ingin menunjukkan betapa besar rasa sayangnya kepada hewan ataukah sebuah pernyataan yang ingin memamerkan betapa tinggi kedudukan sosialnya di masyarakat kala memelihara satwa liar yang notabene masuk kriteria dilindungi baik oleh peraturan Indonesia maupun dunia internasional. Nampaknya pernyataan tersebut lebih memperlihatkan kepada sebuah keangkuhan masyarakat berduit di kota-kota besar, sebuah keangkuhan dan kesewenang-wenangan terhadap hidupan liar. Seolah-olah hidupan liar adalah harta yang menunjukkan kemewahan tersendiri, dan orang-orang berduit "wajib" memeliharanya di halaman rumah mereka agar mereka dipandang sebagai orang yang terpandang. Hidupan liar jelas-jelas tidak memerlukan kasih sayang layaknya anjing dan kucing rumahan yang setiap saat dibelai atau dikandangkan, hidupan liar membutuhkan sebuah kasih sayang yang benar-benar datang dari kalbu dimana dengan keikhlasan menyayangi untuk tidak merusak habitat dan tidak memeliharanya. 

Masyarakat kelas atas perkotaan nampaknya merupakan kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan kelestaian hidupan liar negeri ini. Rasa-rasanya mereka tidak pernah tahu asal harimau sumatera, gajah sumatera, atau elang jawa, dan lain-lain, serta bagaimana habitatnya, bagaimana statusnya di alam. Gengsi, pamor, dan status sosial adalah incaran mereka. Hidupan liar hanyalah sebagai komoditi untuk mencapai kondisi tersebut. Dan akhirnya terjadi kongkalikong dengan petugas pemerintah yang seharusnya dengan kejujuran dan dedikasinya mampu menebas keberadaan pemelihara hidupan liar di perkotaan. Inilah sebuah rasa kasih sayang yang absurd terhadap hidupan liar. Inilah sulitnya mengubah gaya hidup masyarakat kelas atas perkotaan yang sudah terjejali oleh sikap angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sebuah ironi keanekaragaman hayati negeri ini. 

Ditilik dari sudut pandang manapun, memeliharahidupan liar adalah SALAH BESAR, misalnya dari sudut pandang medis, hidupan liar yang dipelihara di halaman rumah akan mendekatkan penyakit baru kepada masyarakat perkotaan, dan ketika sudah menjadi wabah, siapa yang patut disalahkan?, si satwa kah atau si manusia kah?. Dari sudut pandang kelestarian alam, pemelihara hidupan liar adalah penyumbang rusaknya keanekaragaman hayati bumi ini. Sudah saatnya bersama-sama kita sebagai masyarakat negara megabiodiversitas Indonesia bersatu untuk meneriakkan "STOP MEMELIHARA SATWA LIAR".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar