Sabtu, 20 Agustus 2011

Peranan Medik Konservasi dan Avian Medicine Terhadap Konservasi Burung Liar

            Kegiatan konservasi terhadap burung liar di Indonesia diperlukan untuk mempertahankan kelestarian keanekaragaman burung di Indonesia, karena burung liar merupakan salah satu penyusun keanekaragaman hayati di Indonesia. Selain itu, konservasi terhadap burung liar diperlukan karena menurut Setio dan Takandjandji (2006), keberadaan satwa burung di Indonesia sedang mengalami penurunan populasi. Menurut Lack (1954, 1966) dan Newton (1998) diacu dalam Sutherland (2004), sebagian besar burung secara alami dibatasi oleh beberapa variabel, diantaranya adalah kemampuan untuk memperoleh pakan, bersarang, predasi, kompetisi, serta penyakit. Penyakit parasitik hanya mempunyai pengaruh kecil terhadap sebagian besar burung, tetapi dapat menyebabkan kematian pada kondisi tertentu. Pengetahuan terhadap penyakit berguna sehingga efek penyakit terhadap daya tahan dan breeding suatu spesies burung dapat diketahui, penyakit dapat diatasi, serta adanya penyakit baru dapat dihilangkan melalui tindakan karantina. Pemeriksaan kesehatan terhadap burung-burung liar dan burung-burung liar di penangkaran merupakan suatu langkah untuk mencegah transmisi penyakit dari penangkaran ke populasi liar, dan sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, maka fasilitas penangkaran secara in situ harus diusahakan hanya untuk satu spesies.

            Burung-burung di penangkaran yang ditujukan untuk reintroduksi harus dijaga terhadap kontak dengan burung-burung di penangkaran lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan penyakit yang dibawa dari populasi di penangkaran (Greenwood 1996 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Manajemen penayakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik yang dapat mengancam burung di lapangan (Jones dan Duffy 1993 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Adanya kemungkinan penyakit pada burung liar dan juga satwa liar lainnya, maka kegiatan konservasi juga harus didukung oleh kegiatan medik konservasi. Menurut Aguirre dan Gόmez (2009), medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul yang menghubungkan antara kesehatan manusia dan ksehatan hewan dengan kesehatan ekosistem dan perubahan lingkungan global. Serta medik konservasi menurut UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang satwa liar.

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), teknik-teknik yang dapat dikembangkan untuk manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas habitat, penyediaan sarang-sarang buatan dan penyediaan pakan, atau pengendalian predator dan patogen. Tahapan pertama dalam pelaksanaan manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah adalah pengetahuan tentang sejarah hidup, ekologi, distribusi, serta jumlah spesies burung yang diperhatikan. Selain itu juga diperlukan suatu penelitian tentang sejumlah kecil pasangan burung sehingga dapat diketahui tentang diet, kebutuhan habitat, dan keberhasilan persarangan. Tahapan kedua dalam manajemen konservasi burung terancam punah adalah melakukan diagnosa terhadap penurunan populasi dan tindakan-tindakan perbaikan populasi. Beberapa pendekatan yang dilakukan adalah penyusunan pengetahuan yang diperlukan dalam penilaian tentang distribusi sebelumnya dan kecenderungan populasi selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan informasi tentang mortalitas, produktivitas, penyebab kegagalan breeding, struktur umur, pertahanan hidup di habitat yang berbeda, pengaruh cuaca, serta faktor-faktor lain yang berkaitan. Selain itu juga diperlukan tinjauan beberapa perubahan ekologi yang mempengaruhi spesies, khususnya yang disebabkan oleh tindakan manusia. Pengamatan pasangan burung-burung di alam, monitoring tingkah laku di alam, pencegahan maslah-masalah yang mempengaruhi seperti penyelamatan telur dan burung-burung muda dari sarang yang rusak merupakan salah satu langkah yang dapat diambil dalam manajemen konservasi. Kegiatan manajemen konservasi juga meliputi keterangan tentang faktor-faktor lain seperti pakan, cuaca, dan parasit. 

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), tahap ketiga adalah manajemen intensif, fokus dari tahap ketiga adalah menghasilkan produktivitas yang maksimal dan daya tahan setiap individu yang maksimal. Manajemen intensif juga melibatkan sistem penangkaran dan pelepas liaran, translokasi, serta manipulasi terhadap telur dan anakan. Manajemen intensif membutuhkan perhatian yang besar dari avian pediatrician, dokter hewan, ahli reintroduksi, dan personel-personel berpengalaman yang dapat membantu. Tahap keempat adalah manajemen populasi, pendekatan-pendekatan khusus dalam manajemen populasi adalah perlindungan terhadap aktivitas merugikan manusia, penyediaan habitat atau melindungi sarang, pemberian pakan suplemen, pengendalian predator dan penyakit, translokasi ke kawasan yang sesuai. Tahap kelima adalah monitoring, tahap ini merupakan tahap yang penting untuk memantau populasi yang diperhatikan selama konservasi. Monitoring ini dapat dilakukan selama restorasi atau setelah restorasi, sehingga pengaruh dari manajemen konservasi dapat dievaluasi. 

Menurut Newton (1998) diacu dalam Sutherland et al. (2004), penyakit parasit parasit pada burung merupakan bagian penting yang dapat membatasi populasi pada sebagian besar jenis burung. Menurut Sutherland et al. (2004), pengetahuan tentang profil penyakit pada suatu spesies burung bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan efek penyakit terhadap daya tahan dan kemampuan breeding suatu spesies, mengetahui bahwa penyakit dapat menyebabkan kegagalan kemampuan breeding dan kemampuan daya tahan hidup, serta adanya penyakit baru dapat dicegah melalui tindakan karantina.

Menurut Joyner et al. (1992), Gilardi et al. (1995) diacu dalam Sutherland et al. (2004), survei penyakit dan pengetahuan tentang survei yang sama terhadap spesies terkait dapat menyediakan suatu indikator yang berguna dalam manajemen konservasi burung terancam punah. Hasil yang dapat diperoleh adalah dapat mengetahui keberadaan penyakit yang sedang terjadi, mengetahui pengaruh penyakit yang sedang terjadi terhadap produktivitas dan daya tahan hidup burung, dan mengetahui langkah-langkah untuk mengurangi dampak penyakit pada burung. 

Menurut Sutherland et al. (2004), pemeriksaan kesehatan pada burung-burung liar dan burung-burung di penangkaran memungkinkan tindakan yang akan diambil untuk mencegah penyebaran penyakit dari penangkaran ke alam atau dari satu spesies ke spesies lainnya. Fasilitas penangkaran secara in-situ idealnya hanya mempunyai spesies tunggal dan apabila spesies lainnya terletak dalam satu kawasan maka spesies-spesies tersebut harus diperiksa untuk mencegah penyebaran penyakit ke spesies yang diutamakan. Menurut Greenwood (1996) diacu dalam Sutherland et al. (2004), burung-burung untuk tujuan reintroduksi harus dicegah terhadap adanya kontak dengan burung-burung lain di penangkaran karena burung-burung di penangkaran mempunyai kemungkinan untuk menyebarkan penyakit ke populasi burung reintroduksi. Perhatian terhadap adanya resiko penyakit yang dapat disebarkan ke alam melalui tindakan restocking dari burung di penangkaran harus ditetapkan untuk mengatasi penyakit pada populasi yang ada. Menurut Jones and Duffy (1993) diacu dalam Sutherland et al. (2004), manajemen penyakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik dapat diatasi di lapangan, khususnya pencegahan pada sarang. 

Menurut Ritchie et al. (1994), pelayanan dokter hewan terhadap penangkar burung adalah penyelenggaraan pemeriksaan terhadap burung-burung baru, penyelenggaraan pemeriksaan burung-burung yang sudah ada, membantu dalam pembuatan dan pemeliharaan sistem pencatatan, membuat program pencegahan penyakit, memberikan saran dalam hal penangkaran, penyediaan perawatan darurat untuk burung-burung di kandang/penangkaran, memberikan tindakan yang tepat untuk mengatasi wabah penyakit, mengevaluasi kegagalan reproduksi, serta membantu dalam hal inkubasi dan masalah-masalah pediatrik pada burung. Dokter hewan dan pegawainya harus mempunyai kesadaran tentang biosekuriti terhadap resiko-resiko potensial, hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit melalui vektor mekanik antara individu pasien dan fasilitas penangkaran. Dokter hewan harus mengunjungi satu penangkaran dalam satu hari, sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum memasuki fasilitas rumah sakit. Apabila dibutuhkan handling burung dari kandang maka langkah yang harus diperhatikan adalah memindahkan burung dari enclosure dengan meminimalkan gangguan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar