Minggu, 27 April 2014

Mari Lestarikan Ikan Hiu

Ikan Hiu merupakan ikan yang masuk dalam kelas chondrichtyes atau ikan bertulang rawan memiliki kurang lebih 440 spesies. Di habitatnya, hiu menempati posisi puncak dalam jaring-jaring makanan dimana hiu berperan sebagai kontrol terhadap populasi satwa laut lainnya. Namun, kondisi mereka saat ini sangatlah mengkhawatirkan, karena hiu masuk dalam daftar satwa yang terancam punah. 

Indonesia bersama India menduduki urutan teratas 20 negara yang secara bersama-sama menyumbang hampir 80 persen dari total tangkapan hiu yang dilaporkan antara tahun 2002 hingga 2011 (internasional.kompas.com 2013). Penangkapan ikan hiu memang masih marak terjadi sampai saat ini, baik dilakukan oleh pelaku besar maupun pelaku tradisional (nelayan tradisional). Jika pelaku besar, mereka akan melakukan penangkapan hiu secara besar-besaran karena tujuan mereka adalah keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan pelaku kecil umumnya menangkap hiu karena alasan hiu tersangkut di jaring mereka ketika mereka menangkap ikan. Seperti yang dijumpai di pasar tradisional Kabupaten Rembang, beberapa pedagang ikan menjual olahan hiu yakni daging hiu yang dipanggang (seperti terlihat pada foto di bawah). Hiu tersebut mungkin berjenis Alopias superciliosus dan atau Alopias pelagicus.


Olahan daging ikan hiu yang ditemukan di Pasar Tradisional Kabupaten Rembang


Para pedagang ikan biasanya tidak mengetahui mengenai status konservasi hiu. Mungkin sosialisasi konservasi hiu belum sampai kepada mereka. Menurut WWF, terhitung dari tahun 2013, sebagian besar hiu akan punah dalam 55 tahun mendatang jika aksi pelestarian hiu tidak dijalankan oleh semua pihak. Sungguh menyedihkan jika hiu benar-benar punah, karena berarti akan terjadi krisis pangan bersumber laut. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan ekosistem laut ketika hiu mulai punah. 

Berikut adalah contoh yang ditulis oleh WWF, "Contoh yang terjadi di Atlantik, penurunan populasi 11 jenis hiu mengakibatkan meledaknya populasi 12 jenis ikan pari hingga 10 kali lipat, yang merupakan pemangsa jenis kerang-kerangan (bivalvia). Hilangnya bivalvia mengakibatkan tingkat kekeruhan air meningkat sehingga kemampuan fotosintesis lamun menurun. Hilangnya lamun menyebabkan ikan-ikan juga hilang atau tidak bertahan hidup, hingga kawasan itu disebut dead zone. Hilangnya spesies kerang menyebabkan bisnis kuliner dilokasi tersebut juga runtuh, sehingga perekonomian terganggu."

Tentunya kita semua tidak ingin semua ini terjadi, jadi marilah untuk memulai membantu pelestarian ikan hiu, apa pun jenis hiu. Aksi yang paling mudah adalah tidak membeli produk-produk ikan hiu dan menjelaskan kepada orang lain mengenai pentingnya pelestarian hiu. Selain itu, peraturan pemerintah yang mendukung konservasi hiu diantaranya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 tahun 2012 yang mewajibkan dilepaskannya anak hiu dan hiu hamil serta hiu monyet yang tertangkap.





Selasa, 08 April 2014

Secuil Tulisan Untuk Hari Ini

NKRI itu menjembatani dan menaungi kebhinekaan masyarakat serta budayanya, itulah mengapa kebanggan itu masih ada di hati sampai saat ini. Hari ini republik kita mempunyai hajatan besar, yakni pemilihan umum calon legislatif, memilih mereka-mereka yang “layak” duduk di kursi empuk parlemen, banyak harapan masyarakat akan adanya kebangkitan republik di masa-masa mendatang. Namun, apakah republik ini akan bangkit, berdikari dan mengayomi kebhinekaan?, saya pribadi sangat meragukan masa depan republik dan bangsa ini.

Saat ini banyak sekali ormas dan partai politik yang dalam visi-misinya akan bekerja untuk rakyat serta menjaga persatuan dan keutuhan NKRI. Saya pribadi hanya menganggap ucapan mereka ada di tataran lidah dan bibir saja alias cuap-cuap, ucapan mereka belum terbenam di kalbu. Pengingkaran, ya, kata itu yang paling tepat ketika mereka dihadapkan kepada kekuasaan dengan sumber-sumber pendapatan yang berasal dari kekayaan negeri ini. Mereka akan dengan mudah membelot hanya untuk mengambil secuil demi secuil sumber-sumber kekayaan negeri ini untuk masuk ke kantong mereka pribadi dan kelompoknya. Apa yang diperjuangkan tak lain adalah harta duniawi.

Dalam hal partai politik, banyak janji-janji yang ditebarkan oleh calon-calon legislatif mereka selama masa kampanye. Entah itu benar atau tidak, hanya mereka dan Tuhan yang mengetahui. Lantas apa yang mereka perjuangkan?, saya sangat pesimis mereka mampu menjaga keutuhan NKRI. Lihat saja, kelompok bagi mereka adalah nomor satu, entah itu partai yang berjuluk nasionalis maupun religius. Bukankah seharusnya partai adalah kendaraan, dan Indonesia adalah tujuannya. Saya percaya terdapat banyak sekali sebenarnya manusia-manusia yang berjiwa Indonesia, tetapi mereka terbenam dalam keriuhan masalah di negeri sendiri, tidak ada kendaraan dan pengeras suara yang membawa suara mereka ke tingkatan yang lebih tinggi di negeri ini.

Banyak calon-calon legislatif yang mungkin kurang memahami akar pokok masalah negeri ini, mereka hanya berucap “pokoknya” dan “yang penting”, seperti “pokoknya untuk rakyat” atau “yang penting untuk rakyat”. Lantas rakyat yang manakah?, rakyat bukan saja di tempat dapil-dapil mereka saja. Rakyat Indonesia sangat besar jumlahnya, tentunya dengan keragaman yang sangat tinggi. Tidak bisa dipukul rata atau diseragamkan. Mereka harus bisa merasakan keanekaragaman itu dan bekerja dalam keanekaragaman. Mereka harus bekerja tidak hanya dengan mata saja, tetapi harus dengan mata batin.

Menurut saya pribadi, negeri ini membutuhkan orang-orang yang berjiwa Indonesia, khususnya nasionalis dengan tingkat spiritualitas yang tinggi. Banyak yang berucap “katanya”, nasionalisme sudah tidak dibutuhkan lagi bagi mereka yang beraliran paham-paham dari luar seperti dari tanah Arab atau kapitalis barat. Dalam pandangan saya, mereka itu seperti parasit yang menempel di tubuh makhluk hidup lain dan mereka adalah bahaya laten. Nasionalisme bukanlah sempit, bukanlah mendewakan negeri ini, tetapi nasionalisme memperkuat identitas dan jati diri kita sebagai bangsa besar, bangsa yang berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Spiritualitas lebih dalam maknanya dari religiusitas, mungkin saya menganggapnya religius hanya permukaan saja, saklek dengan tulisan-tulisan ayat yang tertera di kitab-kitab agama dan hanya berkutat dengan ritus-ritus biasa. Sedangkan yang spiritual adalah lebih baik lagi, dia lebih mengenal Tuhannya. Nasionalis dengan spiritualitas tinggi dalam pandangan saya adalah sangat dibutuhkan negeri ini supaya NKRI tidak bubar di tengah jalan.


Semoga hari ini menjadi tonggak sejarah NKRI untuk mendapatkan manusia-manusia yang tepat untuk mengurusi peradaban bangsa ini. Manusia-manusia yang mampu membuat terobosan dan inovasi terbaik bagi kemajuan bangsa ini, seluruh bangsa ini, dari Sabang sampai Merauke. Manusia-manusia yang menjaga keutuhan dan persatuan NKRI, dan membenamkan diri dalam ke-Bhineka-an. Manusia-manusia yang menjunjung tinggi Pancasila. Selamat untuk Indonesia, selamat melaksanakan pemilihan umum calon legislatif. 

Minggu, 10 Maret 2013

Sooty-Headed Bulbul

                                            Sooty-headed bulbul (Pycnonotus aurigaster)

Rabu, 15 Agustus 2012

Caraku MencintaMu

Kedamaian hidup,
Begitulah yang diujarkan sang filsuf
Akan tujuan sebuah kata
Yang sering terpahami hanya sampai pangkal lidah
Begitulah tampaknya,
Itu bukanlah ceritera ceritera anak muda
Yang tengah mengadu nafsu
Melainkan sebuah rasa yang menggelegar terbenam di dalam jantung
Setiap detaknya menunjukkan kesetiaan yang tidak pernah terputus
Mengharap kedekatan denganMu

Rasa itu pun beranekaragam
Tidak begitu saja homogen
Sama rata oleh manusia manusia
Namun, terkadang mereka memaksa
Untuk menjadi satu

Ah, entahlah
Kata itu adalah cinta,
Yang sering dipahami sebagai sampul sebuah buku berwarna meriah
Namun, isinya masih putih kosong
Belum tergores pena

Entahlah,
Caraku mencintaMu ibarat buku bersampul polos yang tidak menarik sedikitpun,
Dengan isi berupa coretan coretan pena
Yang entah membuat orang lain merasa bingung

Di dalam buku itu, Aku hanya selalu menulis Maha Besar Engkau, Tuhanku


Refleksi akhir Ramadhan

Jumat, 20 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 5

Marhaban Ya Ramadhan, begitulah yang bisa terucap kala memasuki bulan
suci Ramadhan. Bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk
meningkatkan kesadaran secara vertikal dan horizontal, dan bulan
kontemplasi untuk sebuah hidup yang berkualitas. Namun, bagi
kebanyakan masyarakat, Ramadhan justru disikapi dengan cara hidup
konsumerisme dan hedonisme. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini,
masyarakat kebanyakan justru menghambur memenuhi pusat-pusat
perbelanjaan untuk berburu kebutuhan perut, tidak tanggung-tanggung
mungkin, jika di bulan selain Ramadhan, mereka hanya membelanjakan
uangnya sekian ribu, maka di bulan Ramadhan ini bisa berkali-kali
lipat. Seperti ajang balas dendam setelah seharian perut kosong.
Lantas bagaimana dengan kesederhanaan dan kesahajaan yang diajarkan
oleh sekolah yang bernama Ramadhan ini?

Rasa-rasanya inilah budaya modern umat manusia, budaya konsumerisme
dan hedonisme yang entah diajarkan oleh siapa. Entah mengakar sendiri
ataukah budaya ikut-ikutan. Entah, tetapi kondisi seperti ini
tampaknya tenda-tanda terjadinya benturan kebudayaan (shock culture)
di masyarakat Indonesia. Apatah konsumerisme ini sejalan dengan teori
Abraham Maslow, tentang hirarki kebutuhan, yakni kebutuhan aktualisasi
diri?, entahlah. Konsumerisme dan hedonisme di bulan Ramadhan hanya
akan menurunkan nilai ibadah dan nilai sosial yang diajarkan bulan
suci ini.

Konsumerisme merupakan upaya yang berlebih-lebihan, atau dengan kata
lain pemborosan. Lantas, mengapa pemborosan atau apapun namanya kerap
muncul setiap bulan Ramadhan?, mungkin lantaran amalan agama hanya
sebatas formalitas belaka, atau yang lebih parah, ibadah hanyalah
ikut-ikutan dan pencitraan belaka. Seperti yang ditulis oleh Ketua
Umum PBNU, Said Aqil Siradj dalam Opini Kompas tanggal 20 Juli 2012,
puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum
memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya
sekedar rutinitas dan tren unjuk beragama.

Puasa merupakan ibadah yang tidak perlu dipamer-pamerkan. Namun,
budaya saat ini, mengarahkan untuk memamerkan bahwa seseorang
berpuasa, salah satunya melalui konsumerisme dan hedonisme.
Konsumerisme mungkin bisa dikatakan bersumber dari individu
masing-masing manusia. Seharusnya setiap individu muslim berkomitmen
di dalam satu bulan ini, bahwa bulan ini adalah bulan "pemusatan
latihan" ibadah, pengendalian diri, kontemplasi, dan sosial. Alangkah
baiknya jika terjadi aliran materi ke arah umat yang membutuhkan,
sebuah tabungan akhirat. Wallahu A'lam Bishshowab.

Di bawah pohon beringin, 21/7/2012

Kamis, 19 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 4

Puasa Ramadhan sebentar lagi, beberapa bahkan telah menjalankannya.
Begitu banyak hal yang dapat dipetik dari puasa Ramadhan untuk
kehidupan manusia di dunia dan hasilnya nanti di alam akhirat.
Ramadhan mengajari bagaimana menjalani hubungan terhadap Allah SWT
yang lebih mendalam, serta hubungan terhadap sesama manusia dan
hubungan terhadap alam yang harmonis. Ramadhan merupakan masa training
dan pemusatan latihan, jika boleh dibilang. Masa training untuk
menjadi pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan ketiga hubungan
tersebut di atas, sehingga menjadi pribadi muslim yang luar biasa,
baik di dalam bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan. Menurut Gus
Solah, berpuasa Ramadhan akan menciptakan kesalehan-kesalehan,
diantaranya adalah kesalehan ritual, kesalehan sosial, kesalehan
profesional, dan kesalehan terhadap alam.

Jika saat ini, lingkungan hidup masih menjadi isu yang setiap hari
semakin menghangat, maka ada baiknya di bulan Ramadhan ini, setiap
individu muslim juga menerapkan kesalehan terhadap alam dan kesalehan
sosial, tentunya setelah kesalehan ritual dijalankan dengan
sebenar-benarnya. Mengutip surat Ar-Rum ayat 41: "Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)". Melihat ayat tersebut,
maka ada baiknya jika setiap setiap diri seorang muslim juga dibekali
kesalehan terhadap alam, dan harapannya bukan hanya di dalam bulan
Ramadhan, melainkan di luar bulan Ramadhan.

Peduli dan ikut berupaya dalam kelestarian alam dan ekosistemnya,
merupakan salah satu wujud syukur akan nikmat yang telah Allah SWT
berikan kepada umat manusia. Nikmat Alamah, merupakan salah satu
nikmat dari sekian nikmat yang diberikan Allah kepada umat manusia.

Jika nikmat alamah tidak disyukuri, maka kemungkinan bencana alam akan
mengintai kehidupan umat manusia. Seperti dalam Quran surat Ibrahim
ayat 7 : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Menurut M. Ali di dalam Kompas, 22
Februari 2002, krisis ekologi pada dasarnya merupakan krisis
spiritual. Juga menurut M. Ali, kerusakan alam juga merupakan dampak
individualisme dan egoisme, selain materialisme yang membuat manusia
kering dari kesadaran ekologis. Begitu juga adanya kepentingan sesaat
dan sempit menjadikan manusia tidak peduli dengan integritas dan
kesehatan ekosistem Bumi. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Al Gore
mengatakan bahwa krisis lingkungan yang melanda dunia merupakan
manifestasi nyata dari krisis spiritual. Menilik hal tersebut, sudah
sepantasnya bulan suci Ramadhan juga dijadikan tempat melatih diri
untuk membentuk kesalehan dan sikap syukur terhadap nikmat Allah,
sehingga bulan Ramadhan nantinya akan meluluskan "sarjana-sarjana"
Ramadhan yang berbakti kepada Allah SWT serta peduli dan mau bergerak
untuk kelestarian lingkungan hidup dan masyarakat sosial. Wallahu'alam
bishowab.

Di bawah pohon beringin, 20/7/2012

Rabu, 18 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 3

Negara hijau-biru, sebuah nama yang sepertinya patut disematkan di
pundak negara Indonesia, di masa lalu. Mengapa hijau dan biru?,
lantaran peta dari foto satelit biasanya menggambarkan warna hijau dan
biru untuk gugusan kepulauan NKRI. Hijau menandakan vegetasi hutan dan
biru menandakan wilayah perairan. Namun, muncul keraguan saat ini,
lantaran foto satelit untuk wilayah Indonesia memperlihatkan alopesia
berwarna coklat, abu-abu, dan kekuningan diantara warna hijau. Bahkan
tampaknya di waktu sekarang ini, alopesia tersebut bertambah meluas
dan dikhawatirkan beberapa tahun ke depan, hijau dan biru akan
digantikan oleh warna coklat dan abu-abu. Lantas apa artinya?,
kegersangan akan melanda negeri ini.

Warna-warna tersebut hanyalah ibarat, fakta di lapangan, negara
Indonesia telah mengalami kehilangan vegetasi hutan tropis yang sangat
besar, baik kualitas dan kuantitasnya, menurut data, hutan kita hilang
sebesar 3 hektar permenitnya. Bahkan mungkin, hutan tropis yang
tersisa saat ini sebenarnya sudah tidak sanggup lagi menanggung beban
berat untuk menopang kehidupannya sendiri. Terlalu berat memang jika
alam raya Indonesia yang semakin ringkih diabaikan begitu saja.
Negara-bangsa Indonesia hidup di atas keanekaragaman hayatinya, jadi
salah besar jika sekarang ini manusia-manusia Indonesia mengabaikan
kelestarian hayatinya. Pengabaian secara terprogram, rasa-rasanya
telah dan tengah dijalankan oleh kalangan-kalangan tertentu supaya
keanekaragaman hayati tersebut menjadi terlupakan dan tergantikan oleh
keseragaman yang mungkin lebih menghasilkan "uang". Contoh mudahnya,
betapa mudahnya perusahaan-perusahaan asing yang tidak berwawasan
lingkungan beroperasi di suatu kawasan yang notabene mempunyai nilai
keanekaragaman hayati yang tinggi.

Pemerintah dan elite-elite pejabat di atas sana cenderung menutup
mata, mulut, dan hati akan masalah lingkungan hidup dan keanekaragaman
hayati yang tengah terjadi sampai detik ini, bahkan mungkin mereka
telah menutup hatinya akan kondisi ini. Degradasi dan kerusakan
keanekaragaman hayati pun semakin menjadi-jadi, tampaknya tidak
terlihat upaya serius mengatasi ini. Inilah ketidakadilan pemerintah
terhadap lingkungan hidup. Apabila upaya "penghilangan" vegetasi hutan
terjadi terus menerus di negeri ini dan planet bumi ini, maka
kemungkinan sekitar 5 – 10 % spesies yang ada di dunia akan punah
setiap sepuluh tahun sampai 30 tahun mendatang.

Jika di masa lalu kita berbangga bahwa negara Indonesia adalah negara
dengan keanekaragaman hayati terbaik, seperti dalam lirik lagunya Koes
Plus, dimana "tongkat kayu dan batu jadi tanaman". Maka saat ini
tampaknya kita sering melihat kebalikannya, "tanaman jadi tongkat
kayu". Saat ini pemerintah lebih berbangga akan megaproyek ekonomi
yang berlandaskan pada ekonomi liberal kapitalis yang agaknya
memandang alam raya sebagai bahan baku belaka untuk diolah menjadi
uang. "Ketidak sabaran", mungkin itu yang bisa terucap dari mulut
ketika melihat tingkah polah para pembuat kebijakan di atas sana,
lantaran menginginkan terjadi percepatan aliran uang ke kas negara,
dan juga ke kas pribadinya masing-masing dalam waktu singkat atau
jangka pendek. Padahal jika ditelisik lebih mendalam, bukankah
melestarikan keanekaragaman hayati atau pembangunan ekonomi yang
berwawasan lingkungan hidup-keanekaragaman hayati justru menghasilkan
keuntungan yang begitu besar dalam jangka waktu panjang?, entahlah.
Kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati merupakan
kekayaan suatu bangsa yang tidak ternilai harganya dan memberikan
kontribusi yang baik langsung maupun tidak langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Saat ini, adanya suara-suara untuk
menerapkan green economy diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati Indonesia,
sehingga negara ini tetap menjadi negara hijau-biru.

Selain itu, adanya komitmen bersama untuk menegakkan UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta UU
No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya diharapkan dapat mengurangi kerusakan kualitas dan
kuantitas lingkungan hidup dan keanekargaman hayati Indonesia. Kita
juga harus ingat bahwa lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati yang
dimiliki negara-bangsa ini bukanlah warisan nenek moyang untuk
generasi sekarang, melainkan titipan yang harus dan wajib kita
sampaikan ke generasi berikutnya. Sesungguhnya keanekaragaman hayati
merupakan unsur terpenting negara-bangsa ini dalam menapaki pergaulan
internasional di jaman globalisasi, karena keanekaragaman hayatilah,
Indonesia dikenal dunia internasional, dan keanekaragaman hayatilah
yang membuat Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi ratusan suku
yang kemudian menamakan diri sebagai bangsa Indonesia. Tanpa
keanekaragaman hayati, maka Indonesia akan limbung. Seperti yang
dikatakan oleh seorang naturalis Henry David Thoreau, bahwa "apa
gunanya rumah, jika anda tidak mempunyai sebuah planet untuk
meletakkannya". Serta jangan sampai kita baru menyadari pentingnya
kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati setelah bencana
memporak-porandakan negara kita dan bumi kita, seperti pepatah Indian
yang mengatakan bahwa "hanya bila pohon terakhir telah tumbang
ditebang, hanya bila tetes air sungai terakhir telah tercemar, hanya
bila ikan terakhir telah ditangkap, maka barulah kita sadar bahwa uang
di tangan tidak dapat dimakan". Wallahualam bishowab.

19/7/2012