Senin, 30 Juni 2014

Jangan Rusak Rumah Kami

"Mbah, katanya gunung ini sebentar lagi akan hilang ya?", tanya seorang muda kepada sesosok tua.

"Mungkin nak.", jawab sesosok tua sambil mengetuk-ngetuk pelan salah satu alat berat yang berdiri kokoh di sampingnya dengan tangannya yang sudah terlihat keriput.

"Lantas, bagaimanakah tempat bermain kami?", tanya seorang muda itu lagi.

"Entahlah.", sambil berjalan berlalu meninggalkan seorang muda itu.

Matahari belum menampakkan sinarnya, tetapi suhu udara sudah terasa gerah. Suara burung yang sejatinya mengisi celah pagi, hari ini tidak terdengar lagi. Suasana masih begitu gelap lantaran tebing-tebing tinggi menaungi tempat mereka berdiri.

"Mbah, mbah, mbah, jangan pergi dulu mbah, saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rumahku ini!", teriak seorang muda itu sambil berjalan bergegas menghampiri sesosok tua yang tengah berjalan pelan meninggalkannya.

"Ada apa nak?", ujar sesosok tua sambil menghentikan langkah kecilnya dan berbalik menghadap ke arah seorang muda.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan gunung ini?", tanyanya lagi.

"Kita harus melupakan gunung ini nak, kita harus melupakan sapi-sapi kita, kita harus melupakan sumber air di sana yang menjadi tempat bermainmu kemarin.", tegas sesosok tua tersebut sambil menunjuk ke arah timur.

“Kenapa mbah?"

"Kita harus taat pemerintah nak.", ujar sesosok tua sambil berjalan pelan meninggalkan seorang muda tersebut.

Meskipun matahari masih malu untuk menampakkan sinarnya, sekelompok orang yang berjumlah sekitar sepuluh orang berjalan bergegas melalui sesosok tua dan seorang muda tersebut, tanpa sapa dan berlalu begitu saja menuju beberapa alat berat yang berdiri kokoh.

Seorang muda itu hanya bisa menatap heran ke arah sekelompok orang tersebut. Matanya terlihat bertanya-tanya mengenai kejadian yang belum pernah dia temui sebelumnya. Seketika itu, sesosok tua berhenti berjalan dan berbalik arah menghampiri seorang muda.

"Kenapa nak?", tanya sesosok tua sambil menepuk pundak seorang muda tersebut.

"Siapa mereka mbah?"

"Dan apa yang mereka lakukan di sini?", tanyanya.

"Mbah juga tidak tahu pasti nak, yang pasti kita disuruh pemerintah untuk meninggalkan gunung ini."

"Kenapa mbah?, bukankah ini rumah kita, rumah sapi-sapi kita, rumah kambing-kambing kita?"

"Hanya itu yang mbah tahu.", ujar sesosok tua sambil menundukkan kepala.

"Siapa mereka mbah kok berani melarang kita di sini!"

Tidak berselang lama, dari arah yang berlawanan tiba dua buah truk besar, satu berisi kelompok polisi dan satu berisi kelompok tentara. Kedua truk besar tersebut berlalu begitu saja melewati seorang muda dan sesosok tua tersebut. Tanpa sapa dan tanpa permisi. Segera setelah kedua truk mendekati sekelompok orang yang sudah datang terlebih dahulu, alat-alat berat pun segera dinyalakan.

Kedua anak manusia yang sejak subuh berada di tempat tersebut hanya bisa menatap keriuhan suasana pagi yang masih abu-abu.

"Ayo nak kita bergegas pergi dari sini.", ujar sesosok tua sambil menggandeng tangan seorang muda itu.

"Tidak mbah, saya tetap di sini sampai saya mengetahui apa yang mereka lakukan terhadap rumah kita ini.", jawabnya sambil berusaha melepaskan tangan sesosok tua dari tangannya.

"Jangan nak, mari kita pergi dari sini sebelum mereka menangkap dan memasukkanmu ke penjara.", ujar sesosok tua sambil berrusaha meraih tangan sorang muda itu.

Tidak lama, seorang muda itu berlari menuju kerumunan orang-orang yang tengah mulai berkegiatan di sekitar alat-alat berat pertambangan. Sesosok tua masih berdiri di tempatnya berdiri, dia tidak bisa menahan seorang muda itu.

Segera setelah itu, muncul sejumlah mobil-mobil mewah, beberapa berpelat hitam dan beberapa berpelat merah. Melewati sesosok tua itu, dan lagi-lagi tanpa sapa dan tanpa permisi menuju kerumunan orang-orang yang tengah memulai berkegiatan. Dan mobil-mobil mewah tersebut berhenti tidak jauh dari kerumunan orang yang tengah mulai berkegiatan.

Sesosok muda itu tiba-tiba berhenti sekitar lima meter dari kerumunan orang serta menatap heran ke arah kerumunan dan mobil-mobil mewah yang baru saja tiba. Beberapa orang berbaju batik terlihat turun dari mobil dan berjalan mendekati kerumunan tersebut. Beberapa orang dari kerumunan itu pun memasang bendera merah putih tidak jauh dari tempat parker mobil-mobil mewah.

"Hey, anak muda, siapa kamu dan mau apa kamu di sini?", teriak salah satu polisi yang tengah berjaga diantara kerumunan tersebut.

"Apa yang kalian akan lakukan terhadap rumahku ini?, Tanya seorang muda tersebut.

"Rumahmu?, ini bukan rumahmu, ini milik negara.", jawab si polisi.

"Ini rumahku, ini rumah kami, ini rumah sapi-sapi kami, ini rumah kambing-kambing kami, ini rumah singkong-singkong kami.", teriak seorang muda itu sambil berjalan menuju kerumunan.

"Woi kamu, kalau mendekat semeter saja, kami tangkap kamu.", teriak si polisi sambil bersiap memegang senjatanya.

"Saya tidak takut, ini rumahku, kalian mau apa!"

Matahari mulai menampakkan diri, sinarnya dengan lembut jatuh diantara tebing-tebing bukit kapur yang menjulang tinggi dan memberi warna sejumlah dataran bukit kapur yang putih susu. Beberapa polisi keudian menghampiri seorang muda tersebut.

"Mundur, dan pulanglah ke rumah ibu mu sana nak!", ujar salah seorang polisi yang tengah berjalan mendekati seorang muda tersebut.

"Tidak, ini rumahku, ini rumah ibuku, ini rumah bapakku, ini rumah mbah ku, ini rumah buyutku, ini rumah moyangku, kalian yang harus pergi!"

Tidak beberapa lama, sejumlah polisi sudah berkerumun mengelilingi seorang muda tersebut. Namun, dia berhasil lolos diantara celah-celah antar polisi yang mengerumuninya. Dia berlari menuju tiang bendera merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya karena ditimpa cahaya mentari pagi.

Dia berhenti berlari dan terdiam sekitar tiga meter dari tiang bendera merah putih. Terlihat matanya memerah seketika dan tetes-tetes air mata mulai keluar dari ujung kelopak matanya, membasahi kedua pipinya.

Dia mulai lemas setelah membaca sebuah papan yang baru saja ditancapkan yang bertuliskan "Mohon Doa Restu, Akan Dilakukan Penambangan Batu Kapur Dan Pembangunan Pabrik Semen". Dia terdiam dan mulai menunduk sambil menangis sejadi-jadinya.

"Brakkk!", sebuah kayu menghantam tubuh kurusnya.

Seorang muda itu terkapar, dan dalam kondisi setengah sadarnya dia menatap bendera merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya. Beberapa orang mengerumuninya, beberapa berpakaian coklat, beberapa berpakaian batik, dan beberapa berpakaian hijau loreng. Matanya masih terlihat menatap ke arah bendera merah putih yang berkibar di ujung tiang.


"Bagi kami merah putih sudah robek.", ujarnya lirih sebelum matanya terpejam.

Tolak Eksploitasi Karst Rembang

Sebuah poster penolakan terhadap pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (30/6/2014), Foto oleh Adhi Mahendratomo
Eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan dan keuntungan jangka pendek kerap terjadi di hampir seluruh kawasan Republik Indonesia. Dengan dalih peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, eksploitasi tersebut dengan mudah berdiri dengan restu dari pemerintah. Biasanya untuk menarik simpati masyarakat sekitar, industri-industri tersebut dijalankan dengan embel-embel industri "hijau" atau industri yang berwawasan lingkungan hidup. Seperti yang akhir-akhir ini terjadi di kecamatan Gunem, kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yakni pembangunan pabrik semen oleh salah satu perusahaan semen pelat merah ternama.

Memang, pembangunan industri semen di kabupaten Rembang merupakan investasi besar di kabupaten miskin ini, apalagi dimungkinkan adanya investasi besar lainnya yang akan dibangun di Rembang di kemudian hari. Tentu hal ini akan sangat meningkatkan perekonomian kabupaten Rembang dan propinsi Jawa Tengah. Namun, apakah investasi besar tersebut bisa selaras dengan kelestarian lingkungan hidup kawasan sekitarnya, mengingat kawasan sekitar merupakan kawasan karst.

Kawasan karst merupakan kawasan yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi. Karst juga sebagai tempat penyimpan sumber air. Apabila karst dieksploitasi sedemikian rupa, maka hilang juga unsur-unsur yang mendukung keanekaragaman hayati kawasan tersebut.

Jika ditilik, karst terbentuk bukan dalam waktu sekejap, tetapi dalam waktu yang sangat lama. Jadi sungguh tidak adil jika karst yang sangat bernilai tersebut dirusak atas nama peningkatan ekonomi yang akan bertahan dalam jangka pendek saja.  Apalagi penggunaan kawasan karst untuk penambangan karst sebagai bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.

Mengapa pemerintah tidak sepenuh hati melindungi kawasan karst. Apabila karst ditambang maka kabupaten Rembang akan menjadi kabupaten tertandus di Jawa Tengah. Jika pemerintah ingin meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Rembang dan Jawa Tengah, mengapa tidak mengoptimalkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.  Perlindungan bentang karst akan memberikan efek keuntungan jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat.


Salam lestari !!!

Minggu, 27 April 2014

Mari Lestarikan Ikan Hiu

Ikan Hiu merupakan ikan yang masuk dalam kelas chondrichtyes atau ikan bertulang rawan memiliki kurang lebih 440 spesies. Di habitatnya, hiu menempati posisi puncak dalam jaring-jaring makanan dimana hiu berperan sebagai kontrol terhadap populasi satwa laut lainnya. Namun, kondisi mereka saat ini sangatlah mengkhawatirkan, karena hiu masuk dalam daftar satwa yang terancam punah. 

Indonesia bersama India menduduki urutan teratas 20 negara yang secara bersama-sama menyumbang hampir 80 persen dari total tangkapan hiu yang dilaporkan antara tahun 2002 hingga 2011 (internasional.kompas.com 2013). Penangkapan ikan hiu memang masih marak terjadi sampai saat ini, baik dilakukan oleh pelaku besar maupun pelaku tradisional (nelayan tradisional). Jika pelaku besar, mereka akan melakukan penangkapan hiu secara besar-besaran karena tujuan mereka adalah keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan pelaku kecil umumnya menangkap hiu karena alasan hiu tersangkut di jaring mereka ketika mereka menangkap ikan. Seperti yang dijumpai di pasar tradisional Kabupaten Rembang, beberapa pedagang ikan menjual olahan hiu yakni daging hiu yang dipanggang (seperti terlihat pada foto di bawah). Hiu tersebut mungkin berjenis Alopias superciliosus dan atau Alopias pelagicus.


Olahan daging ikan hiu yang ditemukan di Pasar Tradisional Kabupaten Rembang


Para pedagang ikan biasanya tidak mengetahui mengenai status konservasi hiu. Mungkin sosialisasi konservasi hiu belum sampai kepada mereka. Menurut WWF, terhitung dari tahun 2013, sebagian besar hiu akan punah dalam 55 tahun mendatang jika aksi pelestarian hiu tidak dijalankan oleh semua pihak. Sungguh menyedihkan jika hiu benar-benar punah, karena berarti akan terjadi krisis pangan bersumber laut. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan ekosistem laut ketika hiu mulai punah. 

Berikut adalah contoh yang ditulis oleh WWF, "Contoh yang terjadi di Atlantik, penurunan populasi 11 jenis hiu mengakibatkan meledaknya populasi 12 jenis ikan pari hingga 10 kali lipat, yang merupakan pemangsa jenis kerang-kerangan (bivalvia). Hilangnya bivalvia mengakibatkan tingkat kekeruhan air meningkat sehingga kemampuan fotosintesis lamun menurun. Hilangnya lamun menyebabkan ikan-ikan juga hilang atau tidak bertahan hidup, hingga kawasan itu disebut dead zone. Hilangnya spesies kerang menyebabkan bisnis kuliner dilokasi tersebut juga runtuh, sehingga perekonomian terganggu."

Tentunya kita semua tidak ingin semua ini terjadi, jadi marilah untuk memulai membantu pelestarian ikan hiu, apa pun jenis hiu. Aksi yang paling mudah adalah tidak membeli produk-produk ikan hiu dan menjelaskan kepada orang lain mengenai pentingnya pelestarian hiu. Selain itu, peraturan pemerintah yang mendukung konservasi hiu diantaranya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 tahun 2012 yang mewajibkan dilepaskannya anak hiu dan hiu hamil serta hiu monyet yang tertangkap.





Selasa, 08 April 2014

Secuil Tulisan Untuk Hari Ini

NKRI itu menjembatani dan menaungi kebhinekaan masyarakat serta budayanya, itulah mengapa kebanggan itu masih ada di hati sampai saat ini. Hari ini republik kita mempunyai hajatan besar, yakni pemilihan umum calon legislatif, memilih mereka-mereka yang “layak” duduk di kursi empuk parlemen, banyak harapan masyarakat akan adanya kebangkitan republik di masa-masa mendatang. Namun, apakah republik ini akan bangkit, berdikari dan mengayomi kebhinekaan?, saya pribadi sangat meragukan masa depan republik dan bangsa ini.

Saat ini banyak sekali ormas dan partai politik yang dalam visi-misinya akan bekerja untuk rakyat serta menjaga persatuan dan keutuhan NKRI. Saya pribadi hanya menganggap ucapan mereka ada di tataran lidah dan bibir saja alias cuap-cuap, ucapan mereka belum terbenam di kalbu. Pengingkaran, ya, kata itu yang paling tepat ketika mereka dihadapkan kepada kekuasaan dengan sumber-sumber pendapatan yang berasal dari kekayaan negeri ini. Mereka akan dengan mudah membelot hanya untuk mengambil secuil demi secuil sumber-sumber kekayaan negeri ini untuk masuk ke kantong mereka pribadi dan kelompoknya. Apa yang diperjuangkan tak lain adalah harta duniawi.

Dalam hal partai politik, banyak janji-janji yang ditebarkan oleh calon-calon legislatif mereka selama masa kampanye. Entah itu benar atau tidak, hanya mereka dan Tuhan yang mengetahui. Lantas apa yang mereka perjuangkan?, saya sangat pesimis mereka mampu menjaga keutuhan NKRI. Lihat saja, kelompok bagi mereka adalah nomor satu, entah itu partai yang berjuluk nasionalis maupun religius. Bukankah seharusnya partai adalah kendaraan, dan Indonesia adalah tujuannya. Saya percaya terdapat banyak sekali sebenarnya manusia-manusia yang berjiwa Indonesia, tetapi mereka terbenam dalam keriuhan masalah di negeri sendiri, tidak ada kendaraan dan pengeras suara yang membawa suara mereka ke tingkatan yang lebih tinggi di negeri ini.

Banyak calon-calon legislatif yang mungkin kurang memahami akar pokok masalah negeri ini, mereka hanya berucap “pokoknya” dan “yang penting”, seperti “pokoknya untuk rakyat” atau “yang penting untuk rakyat”. Lantas rakyat yang manakah?, rakyat bukan saja di tempat dapil-dapil mereka saja. Rakyat Indonesia sangat besar jumlahnya, tentunya dengan keragaman yang sangat tinggi. Tidak bisa dipukul rata atau diseragamkan. Mereka harus bisa merasakan keanekaragaman itu dan bekerja dalam keanekaragaman. Mereka harus bekerja tidak hanya dengan mata saja, tetapi harus dengan mata batin.

Menurut saya pribadi, negeri ini membutuhkan orang-orang yang berjiwa Indonesia, khususnya nasionalis dengan tingkat spiritualitas yang tinggi. Banyak yang berucap “katanya”, nasionalisme sudah tidak dibutuhkan lagi bagi mereka yang beraliran paham-paham dari luar seperti dari tanah Arab atau kapitalis barat. Dalam pandangan saya, mereka itu seperti parasit yang menempel di tubuh makhluk hidup lain dan mereka adalah bahaya laten. Nasionalisme bukanlah sempit, bukanlah mendewakan negeri ini, tetapi nasionalisme memperkuat identitas dan jati diri kita sebagai bangsa besar, bangsa yang berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Spiritualitas lebih dalam maknanya dari religiusitas, mungkin saya menganggapnya religius hanya permukaan saja, saklek dengan tulisan-tulisan ayat yang tertera di kitab-kitab agama dan hanya berkutat dengan ritus-ritus biasa. Sedangkan yang spiritual adalah lebih baik lagi, dia lebih mengenal Tuhannya. Nasionalis dengan spiritualitas tinggi dalam pandangan saya adalah sangat dibutuhkan negeri ini supaya NKRI tidak bubar di tengah jalan.


Semoga hari ini menjadi tonggak sejarah NKRI untuk mendapatkan manusia-manusia yang tepat untuk mengurusi peradaban bangsa ini. Manusia-manusia yang mampu membuat terobosan dan inovasi terbaik bagi kemajuan bangsa ini, seluruh bangsa ini, dari Sabang sampai Merauke. Manusia-manusia yang menjaga keutuhan dan persatuan NKRI, dan membenamkan diri dalam ke-Bhineka-an. Manusia-manusia yang menjunjung tinggi Pancasila. Selamat untuk Indonesia, selamat melaksanakan pemilihan umum calon legislatif. 

Minggu, 10 Maret 2013

Sooty-Headed Bulbul

                                            Sooty-headed bulbul (Pycnonotus aurigaster)

Rabu, 15 Agustus 2012

Caraku MencintaMu

Kedamaian hidup,
Begitulah yang diujarkan sang filsuf
Akan tujuan sebuah kata
Yang sering terpahami hanya sampai pangkal lidah
Begitulah tampaknya,
Itu bukanlah ceritera ceritera anak muda
Yang tengah mengadu nafsu
Melainkan sebuah rasa yang menggelegar terbenam di dalam jantung
Setiap detaknya menunjukkan kesetiaan yang tidak pernah terputus
Mengharap kedekatan denganMu

Rasa itu pun beranekaragam
Tidak begitu saja homogen
Sama rata oleh manusia manusia
Namun, terkadang mereka memaksa
Untuk menjadi satu

Ah, entahlah
Kata itu adalah cinta,
Yang sering dipahami sebagai sampul sebuah buku berwarna meriah
Namun, isinya masih putih kosong
Belum tergores pena

Entahlah,
Caraku mencintaMu ibarat buku bersampul polos yang tidak menarik sedikitpun,
Dengan isi berupa coretan coretan pena
Yang entah membuat orang lain merasa bingung

Di dalam buku itu, Aku hanya selalu menulis Maha Besar Engkau, Tuhanku


Refleksi akhir Ramadhan

Jumat, 20 Juli 2012

Opini Bebas Pagi Hari 5

Marhaban Ya Ramadhan, begitulah yang bisa terucap kala memasuki bulan
suci Ramadhan. Bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam untuk
meningkatkan kesadaran secara vertikal dan horizontal, dan bulan
kontemplasi untuk sebuah hidup yang berkualitas. Namun, bagi
kebanyakan masyarakat, Ramadhan justru disikapi dengan cara hidup
konsumerisme dan hedonisme. Betapa tidak, di bulan Ramadhan ini,
masyarakat kebanyakan justru menghambur memenuhi pusat-pusat
perbelanjaan untuk berburu kebutuhan perut, tidak tanggung-tanggung
mungkin, jika di bulan selain Ramadhan, mereka hanya membelanjakan
uangnya sekian ribu, maka di bulan Ramadhan ini bisa berkali-kali
lipat. Seperti ajang balas dendam setelah seharian perut kosong.
Lantas bagaimana dengan kesederhanaan dan kesahajaan yang diajarkan
oleh sekolah yang bernama Ramadhan ini?

Rasa-rasanya inilah budaya modern umat manusia, budaya konsumerisme
dan hedonisme yang entah diajarkan oleh siapa. Entah mengakar sendiri
ataukah budaya ikut-ikutan. Entah, tetapi kondisi seperti ini
tampaknya tenda-tanda terjadinya benturan kebudayaan (shock culture)
di masyarakat Indonesia. Apatah konsumerisme ini sejalan dengan teori
Abraham Maslow, tentang hirarki kebutuhan, yakni kebutuhan aktualisasi
diri?, entahlah. Konsumerisme dan hedonisme di bulan Ramadhan hanya
akan menurunkan nilai ibadah dan nilai sosial yang diajarkan bulan
suci ini.

Konsumerisme merupakan upaya yang berlebih-lebihan, atau dengan kata
lain pemborosan. Lantas, mengapa pemborosan atau apapun namanya kerap
muncul setiap bulan Ramadhan?, mungkin lantaran amalan agama hanya
sebatas formalitas belaka, atau yang lebih parah, ibadah hanyalah
ikut-ikutan dan pencitraan belaka. Seperti yang ditulis oleh Ketua
Umum PBNU, Said Aqil Siradj dalam Opini Kompas tanggal 20 Juli 2012,
puasa Ramadhan masih terpampang sebatas simbol ibadah yang belum
memberikan nilai transformatif kepada masyarakat. Puasa Ramadhan hanya
sekedar rutinitas dan tren unjuk beragama.

Puasa merupakan ibadah yang tidak perlu dipamer-pamerkan. Namun,
budaya saat ini, mengarahkan untuk memamerkan bahwa seseorang
berpuasa, salah satunya melalui konsumerisme dan hedonisme.
Konsumerisme mungkin bisa dikatakan bersumber dari individu
masing-masing manusia. Seharusnya setiap individu muslim berkomitmen
di dalam satu bulan ini, bahwa bulan ini adalah bulan "pemusatan
latihan" ibadah, pengendalian diri, kontemplasi, dan sosial. Alangkah
baiknya jika terjadi aliran materi ke arah umat yang membutuhkan,
sebuah tabungan akhirat. Wallahu A'lam Bishshowab.

Di bawah pohon beringin, 21/7/2012