Selasa, 13 Oktober 2020

Apakah Demo-nya Menyentuh Esensi Omnibus Law Cilaka?

 Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja masih menjadi polemik hingga tulisan singkat ini ditulis. Banyak penolakan oleh hampir semua unsur masyarakat. Penolakan yang penulis anggap wajar dan sangat wajar mengingat proses pengesahan yang bisa dibilang sangat aneh. Ada yang bilang tidak ada komunikasi ke masyarakat terdampak, meskipun ada yang bilang sudah dikomunikasikan, lalu pengesahan yang terburu-buru padahal Omnibus Law ini berjumlah ratusan pasal dan ratusan halaman, pengesahan di waktu yang mengindikasikan Omnibus Law ini seperti pesanan, kemudian pasal-pasal yang terkait kelas pekerja dan lingkungan hidup yang dinilai bermasalah. Dan anehnya pengesahan terhadap draft yang masih simpang-siur. Bahkan masyarakat tidak memiliki rujukan draft mana yang diketok palu waktu itu. Bahkan sampai tulisan ini dibuat, draft Omnibus Law tersebut katanya masih direvisi dan dirampungkan. Kok aneh ya.


Masyarakat pekerja dalam hal ini buruh sebagai masyarakat terdampak melakukan demonstrasi meminta legislatif dan eksekutif mencabut pengesahan draft UU ini. Demo terjadi hampir di seluruh Indonesia, dan mahasiswa pun ikut bergerak. Semua masyarakat terdampak UU ini, yang banyak dibilang UU Cilaka ini. Lingkungan hidup akan merana, dampak terhadap lingkungan hidup akan mengena di semua lapisan masyarakat negeri ini. Oligarki akan ongkang-ongkang kaki. 


Demo oleh buruh, mahasiswa dan masyarakat kelas bawah yang telah terjadi merupakan bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka terkait UU Omnibus Law Cilaka ini. Meskipun draft mana yang dipakai masih simpang-siur (harusnya karena draftnya belum dishare ke publik, polisi tidak bisa menganggap hoax terhadap draft UU tersebut adalah hoax). Penulis beropini, demo tersebut adalah bentuk tulus penyampaian kegelisahan mereka, ketika jalur resmi bisa jadi tidak direspon dengan baik oleh pembuat kebijakan. 


Demo pun masih bergulir, dan di minggu ini (minggu ke-3 Oktober 2020), demo dilanjutkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang penulis anggap berbeda dari niatan demo sebelumnya. Penulis merasa ada sesuatu yang mendasari mereka di demo kali ini, ibarat aji mumpung, dengan isu liar UU Omnibus Law Cilaka ini, mereka melancarkan “syahwat” keinginan berkuasa. Yang penulis rasakan, demo mereka tidak menyentuh esensi dari penolakan UU Omnibus Lawa Cilaka, tetapi malah ke perebutan kekuasaan. Niatan ini tentu menurut penulis sangat berbanding terbalik dari demo sebelumnya yang niatnya murni terhedap esensi UU Omnibus Law Cilaka.


Untuk penutup, penulis tidak berharap banyak pada pemerintah negeri ini.


Salam,

Penulis


Jumat, 09 Oktober 2020

Narasi Memuakkan Bulan September

Bulan September adalah bulan yang riuh di Indonesia, bukan karena hujan di bulan September. Melainkan karena sejumlah orang atau kelompok unjuk gigi dengan memanfaatkan momen yang pernah terjadi 55 tahun lalu. Namun, menurut penulis pribadi, momen yang dimanfaatkan tersebut berasal dari tafsir sejarah rezim orde baru.


Peristiwa G30S/PKI yang merupakan sebuah peristiwa kelam dalam perkembangan Republik Indonesia. Banyak tafsir atau versi sejarah mengenai peristiwa akhir September 1965 tersebut; baik dari akademisi yang netral maupun dari kelompok rezim yang ingin berkuasa saat itu yang tentu saja ada kepentingan di dalamnya. Namun, fakta di lapangan saat itu, memang terjadi peristiwa "berdarah-darah" saat akhir September 1965. Ya itu fakta di lapangan, tidak bisa dipungkiri,  tetapi yang mendasari fakta tersebut masih dan terus dikaji oleh akademisi ataupun para peminat sejarah.

Sebaiknya yang menjadi pemikiran bersama mengenai peristiwa tersebut bukan saja peristiwa di akhir September 1965, tetapi juga peristiwa sebelum dan sesudahnya, yang faktanya juga "berdarah-darah". Sebelum peristiwa 65, memang ada pemberontakan PKI yang sangat "berdarah-darah"; kemudian setelahnya, ada peristiwa yang cukup kelam, lebih "berdarah-darah" lagi, selain pembunuhan fisik masyarakat sipil yang dianggap kiri atau "berbau" komunis oleh rezim orde baru, juga terjadi pembunuhan karakter keturuan-keturunan mereka yang dianggap kiri. Ini lebih peristiwa kemanusiaan akibat politik praktis saat itu.


Pemerintahan atau rezim orde baru pun akhirnya membuat narasi sejarah mengenai peristiwa tersebut, sebuah narasi dari tafsir tunggal, tafsir yang wajib diikuti oleh seluruh warga negara. Jika ada tafsir lainnya sudah pasti diharamkan oleh rezim orde baru saat itu. warga negara hanya "manut", bahkan mungkin candaan yang mengandung kosakata "komunis, marxis, PKI" sudah pasti tabu. Guru sejarah mengajarkan apa yang ada di dalam text book yang sudah pasti sejarah versi orde baru, tidak berani bermain logika, tidak berani mempertanyakan apa yang ada di benaknya, dan pasrah melihat murid-muridnya menghapal mati apa yang tertera di text book tersebut. Literatur dan bacaan lainnya yang dianggap "kiri" dimusnahkan, tabu membaca literatur-literatur sejarah dari sumber selain pemerintah. Pemerintah orde baru melanggengkan kekuasaannya dengan cara memelihara narasi-narasi tentang komunisme dan PKI. Narasi yang diciptakan umumnya narasi yang seram dan orang-orang komunis diibaratkan seperti mesin pembunuh. Narasi ini pun diperkuat dengan diciptakan film mengenai G30S PKI pada tahun 1980-an dan wajib diputar oleh stasiun TV.


Karya film adalah sebuah karya seni yang sepatutnya diapresiasi tinggi-tinggi. Karya film mengenai pemberontakan PKI G30S juga harus diapresiasi tinggi. Karya tersebut memang hadir di tengah situasi rezim orde baru dengan tafsir dan narasi tentang komunis dan PKI khas orde baru. Yang menjadi "mengerikan" adalah ketika masyarakat yang menontonnya tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, karena berpikir kritis adalah subversif waktu itu, maka yang terjadi adalah propaganda "nasionalisme" khas orde baru yang berjalan dengan mulus.


Lalu setelah rezim orde baru tumbang, dan sampai saat ini, narasi berdasar tafsir tunggal rezim orde baru masih saja riuh kala memasuki bulan September. Sejak zaman reformasi, harusnya cara berpikir kritis mulai berkembang di masyarakat karena semua literatur mudah diperoleh, dibaca, dipelajari dan didiskusikan, tidak ada yang tabu. Seharusnya, saat ini di tahun-tahun 2015-2020-an, kita menikmati pesatnya berpikir kritis masyarakat Indonesia. Namun, ternyata toh sama saja atau bahkan mundur, entahlah. 


Narasi kebangkitan PKI akhir-akhir ini sungguh-sungguh memuakkan. Dunia sudah banyak berubah, lompatan teknologi dan cara berpikir manusia sudah sebegitu luar biasa, tapi masih saja masyarakat di Indonesia berkutat dengan narasi-narasi yang tidak masuk akal. Bagi masyarakat yang bebal, narasi ini bisa masuk bahkan mungkin bisa memobilisasi massa untuk bertindak sesuka hati menghakimi seorang atau kelompok yang mereka anggap "kiri". Dan narasi "bego" ditambah dengan kelompok masyarakat bego dan bebal merupakan santapan yang nikmat bagi para pengejar popularitas ataupun pengejar kekuasaan yang berlindung dalam sistem demokrasi. Jika masif, menurut penulis, oligarki-lah yang bermain di belakang narasi tersebut.


Di bulan ini, harusnya kita sebagai masyarakat Indonesia selalu berpikir, apa yang telah terjadi sebelum, saat dan setelah 1965. Semua peristiwa tersebut adalah peristiwa menjijikkan yang menghancurkan kemanusiaan. Peristiwa yang oleh penulis "dikangkangi" oleh oligarki-oligarki yang ingin bercokol di republik yang masih berumur muda. Semua korban adalah manusia dan warga negara Indonesia dengan nasionalisme sesuai levelnya masing-masing; baik itu pengurus PKI, warga simpatisan PKI, kalangan umat beragama, orang yang dituduh PKI, tentara serta jenderalnya. Kita harus berpikir sejenak, "kemanusiaan"-lah yang seharusnya menjadi kepedulian kita bersama saat kita memperingati Kesaktian Pancasila 1 Oktober setiap tahun.


Jangan sampai narasi yang ada saat ini, semakin besar karena medsos dan banyak yang menumpanginginya, menjadi tragedi "berdarah-darah" lagi. Zaman sudah berubah, saatnya kita semua mengambangkan penalaran kritis dan logika kita untuk menjadikan planet bumi sebagai tempat ternyaman untuk ditinggali. Lawan oligarki di sekitar kita, karena bukan PKI yang bangkit, tetapi oligarki yang semakin membesar saat ini.


NB : Opini ini sudah saya tulis pada pertengahan September 2020.

Sudah Lama Ingin Menulis Lagi

Sudah sekian lama saya tidak menulis blog yang berisikan uneg-uneg atau pemikiran pribadi mengenai sesuatu hal yang terjadi di luar tubuh saya. Mungkin bisa dibilang saya menuliskan apa yang ingin saya komentari pada waktu itu, dan mayoritas adalah masalah lingkungan hidup dan konservasi, serta sedikit-sedikit apa yang saya yakini tentang politik negeri ini,  meskipun saya tidak memiliki ketertarikan mengenai dunia politik yang saya sebut sebagai politik praktis di negeri ini. Namun, seorang kawan pernah berujar bahwa untuk dapat mencapai sesuatu dalam ranah komunitas besar, maka kita harus melek politik. Ya, memang benar, menurut saya pribadi dan dari pemikiran saya (entah pembenaran saya saja), politik memang wajib kita kuasai. Namun,bukan politik praktis yang seperti kita lihat di sekitar kita, politik transaksional. Politik yang saya maksud adalah cara mencapai sesuatu, dimana sesuatu tersebut lazim dan wajar diperuntukkan untuk khalayak ramai dan lingkungan hidup yag mendukungnya dengan teknis dan cara-cara yang bermartabat, tidak merendahkan seorang pun manusia atau makhluk hidup lain, dan tidak ada unsur keinginan untuk berkuasa atau kaya.

Saya memiliki keinginan, ya bisa saya sebut sebagai keinginan, belum merupakan cita-cita, bahwa kita semua yang hidup di wilayah yang saat ini bisa disebut sebagai Indonesia dapat hidup sebagai manusia. Semua setara sebagai manusia. Manusia yang tidak merendahkan manusia lainnya, manusia yang sadar akan kemanusiaannya, manusia yang tidak mengganggu atau melukai manusia lainnya, manusia yang sadar akan lingkungan sekitarnya, manusia yang berpikir, manusia yang tidak merendahkan makhluk hidup selain manusia, manusia yang merasa planet bumi adalah rumahnya, manusia yang tidak merasa dirinya lebih unggul dalam hubungan pribumi-non pribumi atau kulit putih-non putih, serta manusia yang benar-benar manusia.

Saya ingin menuliskan apa yang saya ingin tulis berdasarkan apa yang saya pikirkan dan mudah-mudahan bukan pembenaran pemikiran saya. Sudah beberapa waktu lalu saya ingin menulis blog lagi, terutama saat politik praktis di Indonesia semakin aneh dan politik identitas semakin meningkat. Namun, belum bisa terwujud karena ada kesibukan lainnya dan mungkin ketakutan adanya jeratan pasal karet UU ITE. Entah saat ini keinginan tersebut semain menguat. Apakah saya tidak takut terhadap pasal karet UU ITE tersebut terkait dengan ketersinggungan?.

Jawabannya ya mungkin agak sedikit khawatir, tapi saya khawatir ketika apa yang saya pikirkan tidak terlampiaskan dan tidak dapat dinikmati oleh orang lain. Ya, saya lebih khawatir ketika pemikiran saya (semoga bukan pembenaran apa yag saya pikirkan) tentang sesuatu yang aneh di negeri tempat saya hidup sampai tulisan ini dibuat tidak sempat saya tuliskan, yang mana tulisan tersebut akan abadi dari keberadaan saya di planet bumi ini. Untuk hal ini, saya terkesan dari pernyataan almarhum Pramoedya Ananta Toer, dimana beliau menyatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian dan supaya kita tidak hilang dari sejarah.

Akhir kata, saya bukanlah manusia yang pandai menulis, tetapi saya adalah manusia yang lebih bisa berbicara melalui jari-jari saya. Jadi mulai saat ini saya akan menulis apa pun yang ingin saya tuliskan dan apa pun tentang pemikiran saya (dan sekali lagi semoga bukan pembenaran) mengenai suatu hal yang aneh atau tidak semestinya. Karena saya berpatokan pada salah satu pasal di konstitusi republik ini yang menyatakan bahwa setiap warga negara (saya masih merasa sebagai warga negara republik ini) memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, maka saya akan menulis. Untuk ketersinggungan sendiri, saya tidak bisa menjamin bebas dari ketersinggungan publik atau netizen. Jika ada yang tersinggung, saya berharap yang tersinggung tidak buru-buru menuju kantor polisi untuk melaporkan degan dasar pasal karet UU ITE. Jika tersinggung, mari berpikir, menjadi manusia yang berpikir dengan berdiskusi.


Salam,
Wirakid


Rabu, 30 Juli 2014

Mari Kita Menolak Penambangan Karst Rembang

Sebuah poster mengenai dampak industri terhadap kelestarian lingkungan hidup yang ditempel di salah satu tembok bangunan di kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (30/7/2014).

Pro dan kontra masih mewarnai pemanfaatan karst Kabupaten Rembang oleh PT. Semen Indonesia. Berbagai aksi penolakan pun diperlihatkan oleh warga Rembang, demonstrasi dan pemasangan poster-poster terkait penolakan adalah salah satu aksi yang sering dilakukan oleh warga yang kontra pembangunan pabrik semen. Tidak bisa dipungkiri bahwa kawasan karst merupakan kawasan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi industri semen. Batu gamping yang merupakan penyusun bentang alam karst merupakan penghasil kalsium karbonat, dimana hampir 70 – 80 persen bahan baku semen merupakan batu gamping.  Namun, kawasan karst juga mempunyai nilai lingkungan yang tinggi, yakni sebagai kawasan penyimpan air tanah dan perlindungan biodiversitas atau keanekaragaman hayati yang tinggi. Nilai lingkungan tersebut sangatlah penting bagi keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan ekosistem sekitar kawasan karst.

Memang menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah daerah kabupaten Rembang dan propinsi Jawa Tengah, mengingat kedua wilayah ini sangat membutuhkan peningkatan pendapatan asli daerah. Namun, jika ditilik lebih lanjut di masa sekarang dimana pengalaman-pengalaman sebelumnya bahwa pemanfaatan kawasan lindung untuk industri selalu menyisakan kerusakan lingkungan yang masif, maka menurut hemat penulis, pemanfaatan kawasan karst Rembang dan pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia sudah sepatutnya harus dihentikan. Meskipun PT. Semen Indonesia mengatakan bahwa pembangunan usahanya sudah mengantongi dukungan dari pejabat-pejabat di lingkup pemerintah kabupaten dan propinsi.

Investasi industri semen memang sangat besar nilai ekonominya, tetapi investasi kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati justru sangat besar nilainya, baik itu nilai ekonomi maupun non-ekonomi. Pemanfaatan kawasan lindung oleh industri tambang selalu menyisakan efek samping yang tidak begitu kecil, misalnya saja polusi, hilangnya sumber air, kekeringan, serta rusaknya lahan-lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Efek samping tersebut sangatlah tidak berimbang dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan industri tersebut. Memang, secara hukum, pihak industri dan pihak pemerintah (propinsi dan kabupaten) memegang kunci utama bagi keberlanjutan usaha ini. Namun, mereka seharusnya bisa mengerti dan paham mengenai kearifan lokal masyarakat sekitar dan masalah kelestarian lingkungan. Mereka sudah seharusnya menjadi kawan bagi masyarakat awam dalam membangun wilayah yang selaras dengan kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup. Mereka dengan kebijakannya bisa mengubah itu semua.

Namun, apa yang diperbuat pemerintah (propinsi dan kabupaten) selalu bertentangan dengan aspirasi masyarakat yang dipimpinnya. Menurut hemat penulis, pemerintah harus memperhatikan UUNo.  32 tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ia bisa berupa peran pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan dan menyampaikan informasi dan atau laporan.

Menurut pendataan Aliansi Warga Rembang Peduli Pegunungan Kendeng (AWRPPK), telah ditemukan bukti-bukti lapangan di kawasan cekungan air tanah Watuputih Rembanng, yakni 109 mata air, 49 goa, dan empat sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus, serta fosil-fosil yang menempel pada dinding goa. Dari data ini sudah sepantasnya pemerintah propinsi Jawa Tengah dan kabupaten Rembang berpikir ratusan bahkan ribuan kali untuk menerbitkan ijin pemanfaatn karst kepada industri semen.

Ini adalah lebih kepada persoalan kelestarian lingkungan hidup, sudah sepantasnya kita semua berpikir ulang bagaimana kita memperlambat laju kerusakan lingkungan hidup, karena sejatinya kelestarian lingkungan hidup lambat laun akan menurun juga. Di tangan manusia lah kunci kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. Jika penambangan akan menghasilkan untung besar dalam jangka pendek, maka melestarikan lingkungan hidup akan menghasilkan untung besar dalam jangka panjang, dan semua lini kehidupan akan berjalan baik. Dan satu lagi, negeri kita berdiri karena kekayaan alamnya, kekayaan keanekaragaman hayatinya, kearifan lokal masyarakatnya, serta pertaniannya (dalam arti luas), negeri kita bukan berdiri dari industri perusak alam dan masyarakat bermental buruh.

Kalau penulis tidak salah ingat, pemerintah pusat pernah berujar mengenai swasembada di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan yang harus diraih oleh bangsa ini. Lalu, mengapa tidak kita manfaatkan kawasan sekitar lindung karst untuk mendukung “swasembada” di bidang tersebut. dengan teknologi yang dipunyai oleh anak-anak bangsa sudah seharusnya kita mampu, mengingat ribuan sarjana dari bidang tersebut tersebar di negeri ini. Jika tidak keberatan, penulis sampaikan, marilah kita hentikan penambangan karst yang dilindungi atau karst yang memang nyata-nayata mempunyai nilai-nilai keanekaragaman hayati. Mari kita beralih kepada pembangunan wilayah yang berorientasi kepada kelestarian lingkungan hidup.


Salam Lestari !!!

Sabtu, 26 Juli 2014

Tinta Merah Menyala

Telah banyak yang kami coretkan
Di atas hamparan tanah hijau biru
Entah dengan tinta putih atau hitam
Atau  abu abu
Tetapi lebih banyak merah menyala
Membakar setiap hijau
Mencekik napas lepas
Merobek kilau biru

Hancur sudut semesta
Akibat aku kamu
Dan kita para khalifah
Yang tak malu
Akan karya menjijikkan

Tidakkah kalbu mengutuk
Atas tinta merah
Yang kita tebar selama hidup

Sadarkah ketika alam memeluk
Dengan segala keramahan
Langitnya teduh
Memecah setiap cucuran keringat
Yang jatuh
Anginnya mesra
Membelai setiap uban di rambut

Oh, inilah alam, kawan manusia
Hanya ingin memberi, tidak menuntut

Namun, tinta merah menyala yang telah kita coretkan
Duh Gusti, kami memohon ampunan Mu
Atas tingkah dan kesombongan
Terhadap hijau biru
Yang telah Engkau anugerahkan
Di bumi khatulistiwa laksana zamrud
Semoga kesalehan terhadap alam tertanam
Dan muncul
Di dalam setiap jiwa
Dan kalbu
Setelah berakhirnya bulan penuh rahmat

Lestari semoga terwujud
Untuk alam negeri Indonesia



Tangerang Selatan, 27 Juli 2014

Kamis, 24 Juli 2014

Kesejahteraan Satwa dan Kelestarian Keanekaragaman Hayati Indonesia



Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai megabiodiversity country atau negara yang mempunyai kekayaan hayati tertinggi di dunia. Mengutip dari buku Biologi Konservasi karya Indrawan M, dkk (2007); penyebab tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia diantaranya adalah wilayah Indonesia terletak di kawasan tropik yang mempunyai iklim stabil, serta secara geografis, wilayah Indonesia dilintasi oleh dua pusat distribusi biota (tipe Oriental dan Australia). Untuk kekayaan satwa, beberapa literatur menegaskan bahwa sekitar 17 persen satwa yang ada di muka bumi terdapat di wilayah Indonesia. Tidak hanya itu saja, menurut IUCN (2011), Indonesia memiliki satwa endemik dengan jumlah yang besar. Melihat kondisi ini, tentunya kita sebagai bangsa Indonesia patut berbangga terhadap prestasi alam bumi Indonesia ini.
            Namun, akhir-akhir ini bisa dikatakan telah terjadi ancaman kepunahan terhadap hampir semua jenis satwa liar di wilayah Indonesia. Menurut data IUCN pada tahun 2011, jumlah satwa yang terancam punah di wilayah Indonesia diantaranya adalah 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis amfibi. Jumlah satwa terancam punah tentu akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Banyak literatur yang menyatakan bahwa penyebab utama penurunan kuantitas dan kualitas kekayaan hayati satwa di Indonesia adalah rusaknya habitat tempat satwa hidup serta adanya peningkatan perdagangan satwa liar. Dua kondisi tersebut sangatlah berkaitan erat. Pola pembangunan dan perekonomian yang kurang berpihak kepada kelestarian lingkungan hidup telah dituding sebagai salah satu penyebabnya. Selain itu, jika dicermati lebih mendalam, kurangnya pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan/satwa juga menjadi penyebab pokok terhadap penurunan kekayaan hayati satwa liar Indonesia. Konflik antara manusia dengan satwa liar di sekitar kawasan konservasi, buruknya pengelolaan beberapa lembaga konservasi satwa, serta eksploitasi terhadap pemanfaatan satwa liar yang meningkat akhir-akhir ini merupakan contoh kecil dari lemahnya pemahaman dan penerapan kesejahteraan hewan di Republik Indonesia.

Kesejahteraan Hewan
            Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Menurut undang-undang tersebut, penyelenggaraan kesejahteraan hewan dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama masyarakat. Di dalam kesejahteraan hewan dikenal lima prinsip freedom, yaitu freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus); freedom from discomfort (bebas dari rasa tidak nyaman); freedom from pain, injury, and disease (bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit); freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan tertekan); serta freedom to express natural behavior (bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alamiahnya). Kesejahteraan hewan dapat dikatakan sebagai “hak asasi” untuk hewan/satwa. Hak tersebut merupakan hak pokok bagi satwa untuk diperlakukan sebagaimana mestinya sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan dan sebagai dasar bagi kelangsungan hidup satwa beserta segala hal yang menyertainya (habitat satwa). Selain itu, khusus untuk satwa liar dilindungi juga sudah tertulis jelas aturannya di Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
            Satwa liar sangatlah rentan terhadap penyimpangan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan. Lemahnya penerapan kesejahteraan hewan yang telah terjadi akhir-akhir ini menjadi pertanda bagi minimnya penghargaan masyarakat kita akan kekayaan hayati negaranya sendiri. Pemahaman dan penerapan kesejahteraan hewan yang baik akan berbanding lurus dengan kelestarian keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu diperlukan penyebaran informasi mengenai kesejahteraan hewan di masyarakat luas dan juga diperlukan penegakan hukum terkait penyimpangan kesejahteraan hewan.

Seperti yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, the greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated atau kemajuan moral suatu bangsa dapat dinilai bagaimana bangsa itu memperlakukan satwanya. Maka sudah sepatutnya semua pihak terutama yang mempunyai kaitan dengan kelestarian satwa untuk meningkatkan penerapan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan di dalam pengelolaannya sehingga tercipta kelestarian kekayaan jenis satwa yang merupakan bagian dari keanekaragaman hayati. Apabila keanekaragaman hayati negara kita terus lestari, maka secara tidak langsung akan mengangkat derajat Republik Indonesia di mata dunia. Dan tentunya, kita semua sebagai bangsa Indonesia akan berbangga atas prestasi bumi Indonesia dan bangga bahwa kita telah hidup di negara dengan kekayaan hayati yang luar biasa berlimpah. 

Jumat, 18 Juli 2014

Rusa Bawean Ragunan

Seekor rusa bawean merumput di salah satu kandang rusa di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (16/7/2014).