Minggu, 30 Oktober 2011
Tentang Nasib Manusia
kematian, sang Pencipta menyelamatkan mereka dari roda tersebut. Namun, apabila tak ada karya hidup, bisa dikatakan mereka lebih kurang beruntung dari mereka yang berkarya hidup, walaupun sama-sama terselamatkan dari roda tanpa henti. Sedangkan, mereka yang berumur tua, mereka lebih sial dan bisa dikatakan sial yang berlebihan, mungkin mereka akan ikut dalam perputaran karma hidup, sungguh mengerikan, ketika awal menjadi akhir. Berbahagialah mereka yang mati muda dengan secuil karya hidup untuk dunia yang lebih baik
Kaca Jendela
hanya pijar kunang kunang yang masih menantang hukum alam
bias menembus kaca jendela buram lekat embun
masih tampak sedikit gambaran pekarangan yang lusuh itu
pohon kamboja berbunga elok menjajar liar, ilalang yang berpesta pora dan serumpun bambu tua
hanya suara rintihan angin malam ditemani gurauan hujan yang tersaring gendang telinga
ini malam kutukan bagi celepuk celepuk Kelaparan
ini pun malam kala jendela tak memberi ijin mengulas dua sosok makhluk di luar sana
di bawah pohon kamboja terkokoh tak jauh dari jendela ini
berdiri menantang malam, tajam menatap kaca jendela yang berembun
dua sosok makhluk, entah apa niatan mereka, tiap malam mematung menatap kaca jendela ini
entah mereka terpukau dengan alur alur embun yang terlukis di kaca jendela
ataukah menunggu bersua dengan penghuni ruang yang hangat ini
pintu kayu sudah menyambutmu jika kalian datang malam ini, makhluk berjubah putih
bintaro, 12/11/2011
Rabu, 07 September 2011
Untuk Negriku 11
Baru saja terdengar kabar terbakarnya pasar di kabupaten Rembang yang notabene merupakan satu-satunya pasar tradisional utama di daerah tersebut dimana arus perputaran uang berdampak pada kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Penyebabnya belum bisa diketahui secara pasti, lha wong ketika tulisan ini diketik, kemungkinan pasar tersebut masih dikuasai si jago merah. Rasa-rasanya ada dua pilihan penyebab dari kebakaran tersebut dan juga kebakaran-kebakaran lain di negri ini, yakni kelalaian dan atau kesengajaan. Kelalaian adalah alasan yang lebih sopan untuk diutarakan pejabat daerah ketika mengomentari suatu musibah kebakaran. Namun, bagaimanakah dengan kesengajaan?????. Rasa-rasanya dalam hati kecil selalu berujar bahwa "kesengajaan" adalah penyebab utama berkuasanya si jago merah di pasar-pasar tradisional ataupun pemukiman kelas menengah ke bawah akhir-akhir ini. Lantas apa alasannya dibakar dan siapa yang membakar???, seperti diutarakan di paragraf pertama, pejabat-pejabat daerah lah aktornya (dengan segala hormat mohon maaf kepada bapak ibu pejabat daerah yang bersangkutan). Membakar lebih mudah daripada mengusir atau menggusur secara halus ataupun secara kasar. Membakar pun akan menyiratkan betapa besarnya perhatian pemerintah daerah akan musibah tersebut dengan pengerahan alat-alat pemadam, ucapan duka cita, dan pengkalkulasian kerugian. Pembakaran pun akan menjauhkan pemerintah daerah merugi banyak kala alasan penyebabnya adalah kelalaian, karena mereka akan terhindar dari biaya ganti rugi penggusuran dan ganti rugi bantuan korban. Lantas apakah hasil yang dinikmati si pejabat pemerintahan daerah???, rasa-rasanya proyek miliaran mereka akan berjalan mulus tanpa hambatan. Penghuni alias korban dapat dengan mudah dipindahkan ke lokasi baru tanpa ada ganti rugi sedikitpun dari pihak pemerintah.
Inilah sebuah ironi negara bangsa yang bernama Indonesia. Pemerintah nampaknya sedang berlaku sebagai "yang memerintah" dimana rakyat harus tunduk dan patuh. Sebuah ironi memang ketika para pejabat pemerintah tidak merasa sebagai pemegang amanah rakyat kecil. Dengan jabatan yang mulia tersebut nampaknya digunakan untuk "menjajah" rakyat negri ini. Inilah sebuah penjajahan gaya baru, entah siapa protagonis yang akan menang dan antagonis yang akan kalah, ataukah protagonis yang akan kalah dan antagonis yang akan menang. Kala ini, ibaratnya pejabat pemerintah adalah drakula dan rakyat adalah korbannya. Lantas bagaimana slogan-slogan kesejahteraan rakyat yang diusung pemerintahan daerah yang bersangkutan?????, slogan ibaratnya cover sebuah buku sedangkan konspirasi di dalamnya adalah isi sebuah buku, covernya bercorak bagus sedangkan isinya hanya corat-coret orang idiot. Dengan cover yang bagus menyebabkan masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang patut, karena kecenderungan masyarakat negri ini yang berpikiran "cover bagus maka isinya pun bagus". Lantas siapa yang akan merana?, rakyatlah yang akan merana, semakin terhisap jiwa raganya oleh pejabat pemerintah yang korup. Rakyat semakin terjerat hutang yang entah sampai kapan akan melunasinya, jumlah keluarga miskin akan bertambah, dan para pejabat semakin buncit perutnya. Kembali lagi ke masalah terbakarnya pasar tradisional dan pemukiman masyarakat yang masih misterius, dalam hal ini masyarakat korban adalah korban sebenar-benarnya korban dari proyek-proyek gila. Sebuah proyek gila yang tidak manusiawi nampaknya sedang menjalari kalbu setiap individu-individu pejabat pemerintahan daerah sampai pemerintahan pusat. Inilah penjajahan gaya baru negri ini, rasa-rasanya kemerdekaan yang telah berusia 66 tahun ini menjadi semakin absurd. Benar-benar absurd!!!!!
Selasa, 30 Agustus 2011
Untuk Negriku 10
sebuah pernyataan yang dengan spontan terlontar dari seorang wanita pemilik kucing di dalam sebuah klinik hewan di pinggiran Jakarta.
"Selain si Kitty, punya apa lagi mbak di rumah?".
"Kucing saya di rumah ada delapan ekor dok, ada empat anjing, ehmmm, saya juga pelihara elang dan harimau".
"O ya, itu di rumah semua ya mbak?".
"Yang harimau sudah gak lagi dok soalnya ketahuan petugas, disita deh akhirnya".
"ooo, gitu ya".
"Iya dok, kalo ada gajah atau badak, pengen dipelihara juga".
Itulah sebuah percakapan basa-basi dari seorang pemilik hewan kaya raya yang terekam, dimana dalam pernyataannya tersebut, si wanita tersebut entah ingin menunjukkan betapa besar rasa sayangnya kepada hewan ataukah sebuah pernyataan yang ingin memamerkan betapa tinggi kedudukan sosialnya di masyarakat kala memelihara satwa liar yang notabene masuk kriteria dilindungi baik oleh peraturan Indonesia maupun dunia internasional. Nampaknya pernyataan tersebut lebih memperlihatkan kepada sebuah keangkuhan masyarakat berduit di kota-kota besar, sebuah keangkuhan dan kesewenang-wenangan terhadap hidupan liar. Seolah-olah hidupan liar adalah harta yang menunjukkan kemewahan tersendiri, dan orang-orang berduit "wajib" memeliharanya di halaman rumah mereka agar mereka dipandang sebagai orang yang terpandang. Hidupan liar jelas-jelas tidak memerlukan kasih sayang layaknya anjing dan kucing rumahan yang setiap saat dibelai atau dikandangkan, hidupan liar membutuhkan sebuah kasih sayang yang benar-benar datang dari kalbu dimana dengan keikhlasan menyayangi untuk tidak merusak habitat dan tidak memeliharanya.
Masyarakat kelas atas perkotaan nampaknya merupakan kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan kelestaian hidupan liar negeri ini. Rasa-rasanya mereka tidak pernah tahu asal harimau sumatera, gajah sumatera, atau elang jawa, dan lain-lain, serta bagaimana habitatnya, bagaimana statusnya di alam. Gengsi, pamor, dan status sosial adalah incaran mereka. Hidupan liar hanyalah sebagai komoditi untuk mencapai kondisi tersebut. Dan akhirnya terjadi kongkalikong dengan petugas pemerintah yang seharusnya dengan kejujuran dan dedikasinya mampu menebas keberadaan pemelihara hidupan liar di perkotaan. Inilah sebuah rasa kasih sayang yang absurd terhadap hidupan liar. Inilah sulitnya mengubah gaya hidup masyarakat kelas atas perkotaan yang sudah terjejali oleh sikap angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sebuah ironi keanekaragaman hayati negeri ini.
Ditilik dari sudut pandang manapun, memeliharahidupan liar adalah SALAH BESAR, misalnya dari sudut pandang medis, hidupan liar yang dipelihara di halaman rumah akan mendekatkan penyakit baru kepada masyarakat perkotaan, dan ketika sudah menjadi wabah, siapa yang patut disalahkan?, si satwa kah atau si manusia kah?. Dari sudut pandang kelestarian alam, pemelihara hidupan liar adalah penyumbang rusaknya keanekaragaman hayati bumi ini. Sudah saatnya bersama-sama kita sebagai masyarakat negara megabiodiversitas Indonesia bersatu untuk meneriakkan "STOP MEMELIHARA SATWA LIAR".
Untuk Negriku 9
Jam tayang di siang hari ketika banyak anak-anak kecil menonton menjadikan tayangan tersebut terkesan seperti "cuci otak" anak-anak generasi penerus bangsa dalam memperlakukan satwa dan atau satwa liar yang merupakan unsur biodiversitas negeri ini. Apa yang terjadi ketika daya pikir anak-anak yang polos menangkap sebuah tayangan yang seolah-olah telah dilazimkan tersebut. Dengan mudahnya mereka akan berpikiran "eksploitasi" terhadap keanekaragaman hayati ketika dewasa, dan tidak hanya itu saja, kemungkinan pengaruh terburuknya adalah perubahan perilaku dan moral menjadi generasi penerus bangsa yang mengijinkan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah bencana yang akan menimpa negara bangsa ini ketika tayangan kekerasan tehadap alam disahkan dan dilazimkan begitu saja. Bencana yang datang ketika keanekaragaman hayati sudah menunjukkan titik nol bahkan minus, serta hilangnya keramah-tamahan bangsa ini karena tergantikan oleh kekerasan-kekerasan dan kesewenang-wenangan. Nampaknya semua unsur negara bangsa ini harus belajar dari ungkapan Gandhi, "The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated"