Minggu, 22 Januari 2012

Kisah dari Bawah Pohon Waru

Mata lelaki tua berambut berombak itu masih saja menatap lautan lepas,
entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Setiap hari, bahkan setiap
waktu, lelaki tua dengan kulit terbakar matahari selalu saja berdiam
sambil bersila menghadap laut Jawa. Di bawah pohon waru yang teduh,
mulutnya terlihat komat-kamit seperti merapal kalimat, entah doa,
entah mantra, tidak ada yang tahu.

Sebagian besar warga dusun Têkek mengenalnya sebagai lelaki tua yang
ramah, lantaran selalu saja terlihat sebuah senyum manakala berpapasan
dengan warga dusun. Namun, sayangnya warga dusun tidak ada yang
mengetahui nama dan asal-usulnya. Warga hanya memanggilnya dengan nama
mbah Layar, karena jubah kumal yang dikenakannya selalu berkelebatan
layaknya sebuah layar jung yang diterpa angin laut. Jika diterka,
kemungkinan usia mbah Layar sudah berkepala enam atau tujuh, lantaran
gurata-guratan di wajahnya yang bisa dibilang tidak sedikit lagi.
Tetapi tidak ada yang tahu pasti, sebab sampai saat ini, belum ada
seorang warga yang pernah bercakap-cakap dengan mbah Layar.

"Mbah Layar itu baik orangnya, tetapi bahasanya itu lho yang tidak
kita mengerti", begitulah ujar pakdhe Êntung kala ditanya perihal
keberadaan mbah Layar di dusun Têkek.

Selain itu, beberapa warga dusun yang tinggal tidak jauh dari bibir
pantai berujar bahwa mbah Layar tak ubahnya sebagai seorang wali.
Menurut mereka, mbah Layar bisa mendatangkan dan menolak angin badai.
Pernah suatu ketika, angin ribut yang datang dari utara hampir
memporak-porandakan dusun Têkek, tetapi dengan "kekuatan" mbah Layar,
angin ribut itu pun akhirnya luluh. Entah kekuatan apa yang dimaksud.
Tak hanya itu, beberapa waktu lalu, ketika musim hujan tak kunjung
tiba, mbah Layar terlihat di luar kebiasaannya, waktu itu mbah Layar
menghilang pergi entah kemana, dan sekembalinya, hujan pun datang,
kekeringan pun tidak jadi menghantui dusun Têkek. Meskipun banyak
warga yang mempercayai kekuatan gaib mbah Layar, salah seorang tokoh
agama di dusun Têkek tetap menghimbau warga dusun agar tidak
berlebihan menyikapi fenomena tersebut.

"Aneh memang, tetapi kalau sudah kuasa gusti Allah, ya terjadi",
begitulah ujar Lik Randhu, salah seorang tokoh agama dusun Têkek, dan
merupakan santri almarhum mbah Watu yang juga dianggap sebagai wali
oleh warga dusun Têkek.

------------------

Seperti pagi sebelumnya, udara sejuk pagi cepat berganti menjadi
terik, lantaran bentang alam dusun Têkek yang berada di tepian laut
jawa. Namun, terik bukanlah halangan bagi warga dusun untuk berkarya
menggarap sumberdaya alam dusun Têkek. Sebagian besar warga dusun
berkarya sebagai nelayan, sedangkan sisanya berkarya sebagai pencari
buah mangrove dan sisa lainnya berkarya sebagai buruh di pasar yang
tidak begitu jauh dari dusun Têkek.

Bergantinya waktu menjadi siang, semakin sunyi suasana perkampungan
dusun Têkek, suasana riuh beralih ke bibir pantai, berpuluh-puluh
perahu dan jukung nelayan bersandar ke pantai setelah semalaman
mengarungi laut. Istri-istri dan anak-anak nelayan riang menyambut
sang kepala keluarga yang tiba dengan sejumlah rejeki di perahu dan
jukungnya. Beberapa tengkulak pun tak ketinggalan menunggu datangnya
rejeki yang sebentar lagi menghampiri kantungnya. Namun, akhir-akhir
ini, para tengkulak sudah tidak mendapat tempat di hati warga nelayan
dusun Têkek. Lantaran sebagian besar nelayan dusun Têkek sudah tidak
menjual hasil tangkapannya ke tengkulak. Entah apa sebabnya. Menurut
pakdhe Êntung, hasil tangkapan ikan menurun akhir-akhir ini lantaran
cuaca yang sedang tidak bersahabat, sehingga nelayan enggan menjual
hasil tangkapan yang bisa dibilang tidak terlalu banyak ke para
tengkulak, para nelayan pun beranggapan kalau para tengkulak justru
menyulitkan kehidupan mereka. Entah apa maksudnya pakdhe Êntung
tersebut.

Terik pun semakin menjadi-jadi. Namun, semilir angin laut meredam
terik siang. Beberapa anak yang belum genap sepuluh tahun riuh
memainkan bola dari buah kelapa tak jauh dari bibir pantai tempat
perahu-perahu nelayan tertambat. Beberapa anak yang lain tengah
terlihat bersiap memacu jukung kecilnya melaju ke arah pulau karang
yang tak begitu jauh jaraknya dari garis pantai. Tak hanya itu, di
sela-sela waktu rehatnya, kebanyakan nelayan dusun Têkek menghabiskan
waktunya dengan memperbaiki jaring dan juga membuat jaring baru.

Hembusan angin laut yang kadang-kadang kuat dan kadang-kadang lembut
menyapu rimbunnya pepohonan waru yang tumbuh berjajar bagaikan benteng
pemisah antara pantai dengan perkampungan dan berpuluh-puluh tegakan
pohon kelapa yang kokoh menjulang tinggi menantang langit. Beberapa
rumpun mangrove yang tumbuh di sisi kiri dusun Têkek pun terlihat
ramai kala hari beranjak sore, lantaran beberapa warga menghabiskan
waktunya dengan memancing di sela-sela akar mangrove. Gesekan-gesekan
dedaunan dan riak-riak ombak yang terpecah menghantam akar-akar
mangrove dan lambung-lambung perahu nelayan telah menciptakan alunan
khas yang merdu.

Hembus angin laut perlahan-lahan menyapa sesosok tua di bawah
rindangnya pohon waru. Jubah lusuh berwarna putih kusam pun
berkelebatan, diiringi ceracau yang memang sampai saat ini belum
dimengerti oleh warga dusun. Entah merapal mantra, entah berdoa,
ataukah mengutuki nasib, entah, tidak ada yang tahu. Sekilas sesosok
tua di bawah pohon waru seperti seorang pertapa dan juga seorang kyai
jaman dulu.

"Brakk", suara hantaman sebuah benda. Bola dari kelapa yang sejak tadi
dimainkan anak-anak dusun Têkek hilang kendali dan melesat menghantam
gubug sesosok tua itu. Atap dari papan terlihat bolong dan berserakan
akibat hantaman itu. Selang beberapa detik, lelaki tua itu menghampiri
sumber suara, dan tak lama kelapa itu sudah ada digenggamannya. Dengan
senyum ramah, tangannya menyerahkannya kepada segerombolan anak-anak
yang sejak tadi memainkan kelapa tersebut, sambil mengelus lembut
rambut salah satu anak, ceracau mulai dilontarkan diiringi dengan
senyuman ramah, dan tak berapa lama dia kembali ke gubugnya.

Meskipun mereka menganggapnya sebagai seorang yang aneh, anak-anak
tetap menganggapnya sebagai orang yang ramah, bahkan lebih ramah dari
lik Randhu, seorang tokoh agama setempat. Pernah suatu ketika, lelaki
tua itu memberikan sejumlah emas kepada keluarga-keluarga yang tengah
dirundung kemalangan. Tidak ada yang tahu dari mana sumber emasnya,
padahal setiap harinya dia hanya menghabiskan waktu di bawah pohon
waru tua, tak jauh dari gubugnya. Dari kejadian itulah, warga semakin
percaya bahwa lelaki tua itu adalah seorang wali.

Meskipun warga menganggapnya sebagai seorang yang mempunyai kelebihan,
warga masih segan menghampirinya atau sekedar bercakap dengannya,
sebagian besar warga beranggapan jika lebih baik membiarkannya dalam
aktivitasnya, warga pun menganggap lelaki tua itu sedang melaksanakan
lelaku tapa brata.

Setiap hari, bergiliran warga dusun mengirimkan makanan kepadanya.
Bahkan ketika ada acara hajatan, tak lupa warga mengundangnya. Pernah
suatu ketika lik Randhu mempersilakan untuk menginap di ruangan kamar
kosong samping surau dusun, tetapi dengan sopannya lelaki tua itu
menolaknya, dia lebih memilih tinggal di gubugnya, tentunya dengan
bahasa yang juga tidak terlalu dipahami oleh lik Randhu.

Lik Randhu sendiri juga menganggapnya sebagai orang yang dikaruniai
kelebihan ilmu oleh gusti Allah. Selalu saja dan sering lelaki itu
dipersilakan untuk menjadi imam di surau dusun. "Hafalannya bagus dan
bacaannya bagus", begitulah ujar lik Randhu, "tetapi ya itu, beliau
masih misterius", tambahnya lagi.

Misterius, begitulah status yang dilekatkan warga dusun Têkek kepada
lelaki tua itu, lantaran kadang-kadang dia ada di lingkungan dusun,
dan kadang menghilang dengan sendirinya. Pakdhe Êntung pernah berujar
bahwa bahasa sosok lelaki tua itu tak lain adalah bahasa sansekerta,
tetapi pakdhe Êntung belum bisa memastikannya, lantaran terdapat
perbedaan dari bahasa sansekerta yang pernah dipelajarinya. Namun,
warga dusun tidak mau ambil pusing, karena mereka menganggap lelaki
tua itu tetaplah sebagai seorang wali.

--------------------

Seperti sore sebelumnya, mbah Layar terlihat menaiki jukung kecilnya
menuju tengah laut Jawa. Tidak ada yang tahu persis tujuannya. Namun,
beberapa nelayan yang pernah berpapasan dengannya di tengah laut
merasa bahwa mbah Layar benar-benar mempunyai kelebihan, lantaran di
tengah laut itu, mbah Layar terlihat asyik bercengkerama dengan
puluhan lumba-lumba yang hidup di laut Jawa. Mas Piyik, salah seorang
nelayan menganggapnya mampu bercakap-cakap dengan binatang. Bahkan ada
yang menganggap bahwa bahasa aneh mbah Layar tak lain adalah bahasa
yang hanya dimengerti oleh hewan. Namun, entahlah, tidak ada yang tahu
kebenarannya.

Lumba-lumba merupakan hewan buruan para nelayan dusun Têkek, tetapi
semenjak mbah Layar hadir di dusun Têkek, kegiatan tersebut pun
berangsur-angsur menghilang. Entah, warga merasa menghormati mbah
Layar atau karena sebab lain, entahlah.

Mbah Layar memang hadir di tengah-tengah kehidupan warga dusun Têkek
sekitar dua puluh tahun lalu, tidak ada yang tahu darimana asalnya.
Pakdhe Randhu pernah berujar bahwa sebelum kedatangan mbah Layar,
hujan deras disertai angin ribut dan badai terjadi hampir satu minggu
penuh, bahkan kadang-kadang disertai tsunami kecil, kondisi saat itu
benar-benar membuat warga dusun mengalami musim "kelaparan", lantaran
mereka tidak bisa mencari rejeki di lautan. Setelah hampir tujuh hari,
cuaca pun berangsur-angsur membaik, dan anehnya, tiba-tiba tak jauh
dari garis pantai dan beberapa pohon waru yang membatasi pantai dengan
pemukiman berdiri sebuah gubug dari papan dan batang-batang kayu, yang
waktu itu dianggap warga sebagai gubugnya orang gila. Namun, ketika
dari dalam gubug itu keluar sesosok lelaki berjubah putih, maka warga
pun menganggapnya sebagai seorang wali.

Tidak ada yang tahu darimana datangnya mbah Layar. Beberapa warga
beranggapan bahwa, mbah Layar kemungkinan dari pulau seberang yang
terjebak badai waktu itu dan akhirnya terdampar di dusun Têkek. Beda
lagi dengan yang diujarkan pakdhe Randhu, pakdhe Randhu beranggapan
bahwa mbah Layar adalah titisan wali jaman dulu yang diutus untuk
memperbaiki kehidupan jaman sekarang. Entah dugaan mana yang benar,
tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti.

----------------

Biasanya mbah Layar hanya menghabiskan waktu bercengkerama dengan
sahabatnya di laut lepas sana sekitar habis ashar sampai sebelum
maghrib. Namun, hari ini, sampai habis sholat isya, belum terlihat
batang hidung mbah Layar, padahal mbah Layar tidak pernah melewatkan
sholat berjamaah di surau dusun Têkek. Beberapa warga pun
menganggapnya sebagai sebuah pertanda bahwa akan terjadi sesuatu di
dusun Têkek, sebagian beranggapan bahwa bencana besar akan terjadi.
Namun, anggapan itu segera dibantah oleh lik Randhu. Lik Randhu
beranggapan bahwa mbah Layar kemungkinan punya kepentingan lain.

Tak berapa lama seusai sholat isya, warga pun berbondong-bondong
menuju gubug mbah Layar, dan sebagian menuju bibir pantai sambil
membawa obor. Setengah jam berlalu, tak juga terlihat batang hidung
mbah Layar. Warga yang mencoba masuk dan melihat sekeliling ruangan
dalam gubug mbah Layar menjumpai dua buah benda, sebuah kitab Al-Quran
dan sebuah gulungan kertas usang, yang mungkin usianya hampir sama
dengan umur kehadiran mbah Layar di dusun Têkek. Hanya dua benda itu,
tak ada lainnya, hanya ruangan kosong beralasakan dedaunan kering.

Sekitar pukul sembilan malam, terdengar teriakan warga yang sejak tadi
berkerumun di bibir pantai. Tak berapa lama, semua warga dusun
berdatangan ke arah suara tersebut. Sesosok mayat lelaki tua beserta
bangkai tiga ekor lumba-lumba terhanyut ke garis pantai. Dengan cahaya
obor yang semakin tak karuan lantaran angin darat sedang
kencang-kencangnya berhembus, sekilas terlihat senyum di wajah mayat
lelaki tua itu. Warga pun mengenalinya, mayat mbah Layar yang tengah
dikerumuni warga tersebut. Serta-merta mayat mbah Layar tersebut
dibawa ke tepi oleh warga dusun.

Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi malam ini. Beberapa warga
menduganya akibat dari badai yang mungkin sedang berkecamuk di tengah
lautan sana. Namun, dari bangkai tiga ekor lumba-lumba yang juga ikut
terhanyut ke garis pantai, mas Piyik berkesimpulan bahwa kematian mbah
Layar adalah tidak wajar, alias mbah Layar dibunuh oleh pemburu
lumba-lumba, lantaran terlihat dari fisik bangkai lumba-lumba yang
seperti tertusuk oleh benda tajam. Selain itu, mas piyik juga
mengungkapkan bahwa selama ini, banyak kapal nelayan dari daerah lain
yang berniat untuk berburu lumba-lumba, dan mereka pun tahu bahwa
puluhan lumba-lumba akan berkumpul di sekitar jukung mbah Layar
manakala mbah Layar menghampirinya. "Mungkin saat inilah dianggap
waktu yang tepat untuk memburu lumba-lumba itu", ujarnya lagi, "dan,
mbah Layar tampaknya dengan sekuat tenaga telah berupaya melindungi
kawan-kawannya itu, tetapi takdir berbicara lain", tambahnya lagi.

Rasa penasaran benar-benar menghantui warga dusun Têkek malam ini.
Serta-merta lik Randhu membuka gulungan kertas usang peninggalan mbah
Layar. Betapa kagetnya lik Randhu dan pakdhe Êntung yang melihat isi
gulungan kertas itu, lantaran kertas itu berisikan tulisan beraksara
sansekerta bercampur aksara Khmer disertai dengan huruf Arab. Dan
betapa kagetnya lik Randhu ketika dibacanya tulisan Arab yang mungkin
dipahaminya, isi surat itu merujuk pada almarhum mbah Watu, gurunya.

Serta-merta air mata menetes dari kedua mata lik Randhu. Dengan suara
lirih, lik Randhu berujar bahwa mbah Layar sebenarnya datang ke dusun
Têkek dengan tujuan untuk berguru kepada mbah Watu, beliau datang dari
utara, dari daerah yang dulunya dikenal dengan nama Champa.

Senin, 16 Januari 2012

Mempertanyakan Ulang KeIndonesiaan Kita

"Eh, dimana itu, bagus ya, luar negeri sepertinya ya"

Sebuah pertanyaan retoris terlontar dari seorang karyawan sebuah
tempat keramaian di dekat ibukota negara. Entah basa-basi menunggu jam
istirahat usai ataukah benar-benar terheran-heran melihat tayangan
televisi siang yang kebetulan saat itu menayangkan program acara anak,
dimana stasiun televisi tersebut menyajikan aktivitas anak-anak dari
daerah Indonesia bagian timur. Selain itu, tim kreatif tayangan
tersebut juga membalutnya dengan keindahan alam Indonesia bagian
timur, yang begitu menakjubkan.

"Ah, itu kan orang-orang pedalaman, lihat saja", salah seorang
karyawan menimpalinya dengan santainya sambil menghembuskan asap
rokoknya.

"Emang itu di Indonesia?"

"Tau deh, kayaknya sih iya, orang pedalaman pokoknya"

"Ada juga yang seperti itu ya"

Sebuah percakapan singkat siang itu sebenarnya terkesan biasa-biasa
saja. Namun, jika ditelisik lebih jauh, tampaknya dua orang karyawan
tersebut dapat jadi mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia
terutama yang tinggal dan menggantungkan hidupnya pada hiruk-pikuk
kota. Mereka berdua dapat jadi sebuah contoh betapa masyarakat
Indonesia belum dan sepertinya juga tidak yakin akan "Indonesia",
sebuah wilayah negara bangsa. Entahlah, sengaja ataukah
ketidaksengajaan, ataukah memang tidak tahu-menahu tentang Indonesia.
Rasa-rasanya mereka adalah sebuah sampel dimana masyarakat negeri ini
hanya mengenal negara Jakarta, negara Surabaya, negara Bandung, dan
lain sebagainya. Entahlah, berapa persen yang mengenal negeri yang
bernama Indonesia ini.

Apatah kondisi seperti ini dapat "menenggelamkan" NKRI dalam rawa-rawa bermetan.

Ketidaktahuan dan ketidaksadaran jika mereka hidup dalam sebuah ceruk
besar yang bernama Indonesia tampaknya telah menjangkiti sebagian
masyarakat muda negeri ini. Sikap tersebut akan menjadi sebuah
karakter masyarakat muda negeri ini dan akhirnya menimbulkan sebuah
rasa ketidakpedulian. Rupa-rupanya kondisi yang demikian itu
kemungkinan muncul akibat mereka terlalu "mengelu-elukan" kehidupan
kota, kehidupan yang serba ada, kehidupan yang menelikung kenyataan di
luar sana. Entahlah.

Umumnya juga, mereka akan merasa alam negeri ini hanya sebatas tempat
mereka hidup dan tinggal. Eksotisme alam dan budaya masyarakat
Indonesia lainnya biasanya dianggap bukan kepunyaan negeri ini.
Tampaknya hanya tersisa sebuah anggapan bahwa negeri ini haruslah
berisikan jalan raya dengan deretan mobil dan kendaraan lainnya yang
antre menyeberang di sebuah perempatan, dengan kanan kiri berhias
bangunan-bangunan bertingkat gaya baru, serta kesibukan karyawan
kantoran dan pekerja yang tidak lupa menenteng sebuah "Blackberry".

Entah, Indonesia yang bagaimanakah yang ada di dalam benak setiap
masyarakat. Sungguh miris jikalau dalam imaji warga negaranya,
Indonesia justru menjelma menjadi ceruk-ceruk kecil. Apatah hilangnya
kesadaran toleransi juga akan muncul akibat kondisi ini, entahlah.

Negeri ini kaya akan budaya, seni, tradisi, bentang alam,
keanekaragaman hayati, kearifan lokal, tradisi, dan keanekaragaman
kehidupan sosial. Itulah yang harus tertanam dalam imaji setiap anak
bangsa.

Namun, entahlah, tidak gampang rasanya. Betapa banyak anak-anak muda
yang di sekolahnya hanya diajarkan ilmu teori dalam text book, hanya
mengejar nilai bagus, dan mengejar masuk ke dalam sekolah dan
perguruan tinggi top nasional juga internasional, serta mengejar masuk
menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan top.

Entahlah, keIndonesiaan kita tampaknya perlu dipertanyakan ulang.

Sabtu, 07 Januari 2012

Rejeki yang Tercaci

Pagi tadi,
Telapak telapak kecil masih bercumbu mesra dengan serasah serasah basah
Riuh menghambur, rumput menghijau pun tak lupa disalami
Riang yang membuncah, tak ubahnya sebuah pesta pora
Senandung parau tak henti hentinya memuja jernih berbulir
Lantaran mereka hidup dalam bayangnya
Sebuah titipan ilahi

Siang ini,
Beribu pasang kaki indah kompak menggerutu, mengutuki masa
Jijik memandang tetesan rembesan bulir bulir jernih
Sebuah anggapan kemalangan rupanya
Tak lupa umpatan beradu, betapa menggelitik hati
Sayup angin pun tertawa
Sayangnya, celoteh mereka pun tak henti henti
Masih mencaci tetesan yang menjadi genangan

Lantas, siapa yang menggali kubangan?

Sore nanti,
Entahlah, tidak bisa ditebak begitu saja
Lantaran hipokrisi masih terwarisi

Bintaro, 8 jan 2012

Kamis, 29 Desember 2011

Suara Untuk Keanekaragaman Hayati

Indonesia di mata dunia dikenal sebagai megabiodiversity country,
lantaran Indonesia merupakan negara yang menjadi tempat
terkonsentrasinya keanekaragaman hayati dunia. Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi
keanekaragaman hayati benua Asia (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
pulau-pulau disekitarnya), benua Australia (Papua dan pulau-pulau
disekitarnya) dan wilayah peralihan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan
Nusa Tenggara) sehingga Indonesia dikatakan sebagai salah satu kawasan
pusat keragaman hayati yang terkaya di dunia. Indonesia mempunyai
25.000 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga dunia),
515 spesies mamalia (12% dari jumlah mamalia di dunia), 1500 spesies
burung, 600 spesies reptilia dan 270 spesies amfibi.

Selain itu, adanya keanekaragaman hayati yang berlimpah juga telah
memberi warna tersendiri bagi perkembangan budaya di seluruh
Nusantara, dimana budaya-budaya yang hidup dan tumbuh telah melukiskan
dengan baik keadaan alam Nusantara yang begitu luar biasa. Indonesia,
sebuah negara dan wilayah yang merupakan salah satu contoh terbaik
dari kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Negara-negara lain
ataupun kawasan-kawasan lain juga tak kalah menariknya dengan
Indonesia diantaranya adalah kawasan Asia Tenggara yang lain, India,
Afrika dan kawasan Amerika Latin, wilayah-wilayah tersebut telah
memberi corak kehidupan bagi planet bumi. Keadaan ini tampaknya lebih
disebabkan oleh kawasan-kawasan tersebut mempunyai iklim yang sama
yaitu tropis dan sebagian kecil subtropis, dimana daerah tropis adalah
daerah yang mempunyai kekayaan hayati tebesar dan sebagai penopang
kehidupan semua makhluk hidup di planet bumi. Kawasan tropis identik
dengan hutan rimba yang lebat, fauna-fauna yang eksotik, wilayah yang
hangat sepanjang tahun, pemandangan alam yang menakjubkan dan budaya
yang menawan.

Akhir-akhir ini, isu lingkungan terbesar adalah hilangnya
keanekaragaman hayati, terutama di negara-negara tropis yang mempunyai
keanekaragaman hayati terbesar. Kerusakan dan hilangnya keanekaragaman
hayati sudah mencapai tingkat yang membahayakan dengan perkiraan
apabila penebangan hutan terjadi terus menerus maka sekitar 5 – 10 %
spesies yang ada di dunia akan punah setiap sepuluh sampai 30 tahun
mendatang. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kerusakan
keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia, yaitu adanya pembalakan
liar, pembangunan besar-besaran/mega proyek seperti pembuatan jalan
raya atau pemukiman yang menembus hutan ataupun kawasan konservasi,
pembangunan bendungan/waduk secara besar-besaran yang mengambil
sebagian atau seluruh kawasan konservasi dan kegiatan pertambangan di
kawasan konservasi, serta adanya perkebunan yang menggantikan
heterogenitas tanaman hutan.
Selain itu, penyebab kerusakan keanekaragaman hayati yang tak kalah
hebatnya adalah kepentingan ekonomi dimana terjadi peningkatan
kegiatan industri yang selama ini cenderung tidak ramah lingkungan.
Selama ini, tampaknya mayoritas kegiatan ekonomi yang telah terjadi di
Indonesia dan juga dunia adalah kegiatan ekonomi yang hanya mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya dengan cara eksploitasi alam dan
lingkungan melalui peningkatan industrialisasi yang masif, tidak ramah
lingkungan, kehidupan sosial dan budaya. Dengan hadirnya kemajuan
"teknologi" untuk mendukung kegiatan ekonomi negara, maka eksploitasi
alam pun semakin meningkat misalnya adalah upaya untuk menggantikan
keanekaragaman menjadi keseragaman dan monokultur pada sektor
kehutanan, perikanan, pertanian dan peternakan. Misalnya adalah
melalui penerapan revolusi hijau dalam bidang pertanian, revolusi
putih dalam bidang perusahaan peternakan (perusahaan susu) dan
revolusi biru dalam bidang perikanan.

Kerusakan sumberdaya hayati di planet bumi yang telah ditunjukkan
terutama negara-negara di kawasan tropis, terutama Indonesia akan
terus berlanjut apabila belum ada kesadaran dari semua pihak, baik
masyarakat, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dan pelaku industri.
Untuk menghentikan kerusakan alam ini setidaknya diperlukan semangat
individu-individu yang punya idealisme tinggi untuk menyelamatkan alam
atau dalam kata lain diperlukan suara-suara baru yang menyuarakan
ketidakadilan dan ketidakpedulian sebagian besar umat manusia terhadap
planet bumi.

Apabila populasi masyarakat bumi saat ini semakin meningkat, maka tak
diragukan lagi bahwa laju kerusakan alam dan sumberdaya hayati bumi
akan meningkat pula dengan tajam, karena kecenderungan manusia yang
selalu berpikian materi tanpa berpikiran koservasi. Kondisi seperti
ini haruslah diimbangi dengan munculnya individu-individu yang berani
"bersuara" untuk planet bumi. Menyuarakan saja kadang tidak cukup
berdampak, lantaran wajah planet bumi yang sudah semakin parah, maka
diperlukan suatu langkah "lain" untuk merubah kondisi seperti ini,
salah satu cara yang mungkin bisa diterapkan adalah dengan melakukan
kajian atau riset yang mendalam tentang keanekaragaman hayati,
kekayaan alam, dampak perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan,
serta memberikan pemahaman kepada masyarakat umum atau peningkatan
public awarenes mengenai alam, lingkungan dan keanekaragaman hayati,
dan juga edukasi. Kajian seperti ini tampaknya tidak hanya menjadi
ranah ilmuwan dalam lembaga riset, tetapi sangat bisa dilakukan oleh
setiap individu yang punya kepedulian.

Dengan riset atau kajian, tampaknya akan mudah diperoleh kebenaran
yang mungkin bisa digunakan untuk membantu pemerintah dalam merubah
dan atau membuat kebijakan mengenai alam, keanekaragaman hayati,
lingkungan, dan sosial-budaya. Sedangkan edukasi dan peningkatan
public awareness lebih bertujuan untuk menata hati masyarakat dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam kelestarian keanekaragaman
hayati, yang selama ini hidup bersinggungan dengan alam dan
lingkungan, langsung atau tidak langsung. Apabila hal ini dilakukan,
maka masa depan planet bumi akan lebih baik. Kita harus selalu
berpikiran bahwa kekayaan alam yang ada di planet bumi ini adalah
titipan untuk generasi masa depan, bukanlah warisan.

Selasa, 27 Desember 2011

Akhir Kisah Dusun Bathok

Tak pernah sepi, begitulah sepotong kalimat yang selalu terlontar oleh
siapa saja ketika menginjakkan kaki di dusun Bathok. Jauh dari
hiruk-pikuk kehidupan glamor kota besar, tidak menghalangi kemeriahan
suasana dusun Bathok setiap hari. Sebuah dusun yang tidak begitu luas
dan hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Laut Jawa, hutan
mangrove, dan hutan jati, adalah tiga titik yang merupakan pembatas
dusun dari dusun-dusun sekitar, bahkan bisa dibilang bahwa dusun
Bathok merupakan tipe wilayah yang terisolir dari wilayah sekitar.
Hanya terdengar gesekan dedaunan dan lantang suara warga ketika siang,
serta hanya terpancar kelip kunang-kunang dan redup cahaya teplok kala
gelap menjelang, lantaran listrik belum dikenal warga.

Riuh tawa anak-anak selalu mengiringi waktu di dusun Bathok,
menghambur menyesaki setiap sudut dusun. "Mereka adalah rejeki, jadi
biarkan langkah mereka menjejaki setiap jengkal tanah dusun, biar
rejeki itu mengaliri dusun Bathok", begitulah ujar mbah Sukun,
satu-satunya tetua dusun yang sudah berumur hampir sembilan puluh
tahun.

Hampir semua warga dusun Bathok lebih memilih berkarya di dusunnya
sendiri, lantaran anggapan bahwa dusun Bathok lebih memberikan
keselamatan bagi mereka, walaupun pada akhirnya mereka harus rela
menerima kehidupan yang sederhana. Petani kopra, petani singkong,
nelayan, peternak kambing, dan pencari kayu bakar, lima mata
pencaharian yang telah dilakoni warga dusun Bathok selama puluhan
tahun. Tidak pernah terdengar keluhan warga. Mereka merasa, dusun
Bathok sebagai ibu, dan mbah Konyik sebagai bapak. Dua sosok itulah
yang selalu memanjakan seluruh warga dusun. Menurut mereka, kehidupan
kota di luar dusun sangatlah kurang beradab. Hilangnya separuh hutan
jati di dusun Bathok adalah ulah masyarakat kota, begitulah anggapan
mereka.

Walaupun sama sekali tidak ada bangunan sekolah formal di dusun
Bathok, warga dusun tetap mengerti tentang baca dan tulis, bahkan bisa
dibilang semua warganya paham betul perihal membaca dan menulis, baik
huruf latin maupun huruf arab. Inilah yang dianggap aneh oleh
orang-orang kota atau dusun tetangga, bahkan ada yang menganggap
mereka mewarisi ilmu laduni. Namun, anggapan tersebut tampaknya tidak
selalu benar, lantaran warga dusun mempunyai tradisi pamong, dimana
warga dewasa ataupun tua yang lebih pandai akan mengasuh warga muda
dalam segala hal atau lebih tepatnya mereka akan menurunkan ilmu
pengetahuannya kepada warga muda.

---------------------

Dusun Bathok, sebuah wilayah dataran rendah di tepi laut Jawa dianggap
oleh sebagian warga kota dan dusun tetangga sebagai wilayah yang
menyimpan misteri, bahkan ada anggapan bahwa warga dusun Bathok adalah
orang-orang yang aneh, lantaran mereka jarang berinteraksi dengan
warga dusun sekitar dan bahasanya pun dianggap berbeda dengan bahasa
jawa yang lazim digunakan oleh warga di kota yang menaungi dusun
Bathok. Sampai saat ini pun belum ada yang tahu sejarah dan seluk
beluk dusun Bathok. Beberapa anggapan yang pernah dipercaya warga
dusun sekitar ialah mereka, warga dusun Bathok bukan orang asli
wilayah itu, mereka berasal dari daerah lain yang kemudian membangun
sebuah dusun di tengah-tengah hutan mangrove dan rimbunnya hutan jati,
tidak ada yang tahu dari mana asal mereka, hanya anggapan bahwa mereka
berasal dari negeri seberang. Sedangkan anggapan lain yang juga
dipercaya warga adalah warga dusun Bathok sebenarnya adalah
orang-orang buangan sejak jaman Majapahit, lantaran mereka dianggap
memberontak kala itu, mereka diisolasi di tengah-tengah hutan jati
dengan harapan mereka tidak akan bisa keluar dari hutan itu. Namun,
anggapan-anggapan seperti itu nampaknya hanya menjadi bumbu-bumbu
kehidupan yang menghiasi suasana dusun-dusun sekitar dusun Bathok dan
juga dusun Bathok sendiri.

Meskipun penuh misteri, warga dusun Bathok dikenal dengan jiwa
sosialnya yang tinggi. Pernah suatu ketika dusun tetangga mengalami
musim paceklik, dengan serta merta warga dusun Bathok membagikan hasil
buminya ke seluruh dusun yang dilanda paceklik, dan sampai sekarang
pun mereka masih suka membagikan sebagian hasil buminya ke wilayah
yang kekurangan, tidak tanggung-tanggung, beberapa ekor kambing pun
pernah disumbangkan untuk membantu dusun Cemong, dusun yang terkenal
karena ketandusannya. Selain itu, mereka sering menyumbangkan dana
untuk pembangunan masjid di dusun Kesemek, salah satu tetangga dusun.
Walaupun banyak anggapan bahwa warga dusun Bathok sama sekali tidak
mengenal uang.

Setiap bulan purnama, warga dusun Bathok akan berkumpul di sekitar
rumah gebyok tempat tinggal mbah Sukun. Rumah mbah Sukun, begitulah
warga menamainya, terletak agak jauh dari rumah-rumah warga lainnya.
Tidak ada yang tahu usia rumah mbah Sukun, mungkin puluhan dan atau
ratusan tahun. Tepat di tengah-tengah hutan jati, rumah mbah Sukun
berdiri kokoh. Meskipun lokasinya yang jauh dari pemukiman sebagian
besar warga, setiap hari selalu ramai dikunjungi oleh warga, dan
puncaknya terjadi kala malam dengan bulan penuh. Malam purnama
dianggap sebagai malam yang penuh berkah. Menghambur riuh, sambil
menikmati sajian panganan dari hasil bumi, begitulah suasana setiap
malam purnama. Lagu-lagu dolanan yang keluar dari mulut-mulut mungil
serasa tidak mau kalah dengan celoteh guyon-guyonan orang dewasa.

Hampir seluruh warga dusun Bathok yang menyesaki rumah gebyok mbah
Sukun kala malam bulan penuh selalu menunggu wejangan dari mbah Sukun.
Biasanya wejangan itu keluar menjelang tengah malam. Tidak hanya itu,
mereka juga selalu berharap melihat kemunculan mbah Konyik.
Bulan-bulan sebelumnya, mbah Konyik selalu menampakkan diri sebelum
wejangan dilontarkan oleh mbah Sukun. Di atas batu kali, di bawah
pohon beringin di sela-sela rerimbunan hutan jati itulah mbah Konyik
selalu merebahkan tubuhnya kala malam purnama. Menurut anggapan warga,
jika mbah Konyik menampakkan dirinya saat malam purnama, maka
kesejahteraan dan kemakmuran akan menghampiri dusun Bathok selama satu
bulan penuh.

Mbah Sukun, di usianya yang renta tidak pernah bosan berujar
mengingatkan warganya untuk selalu guyub rukun, murah senyum,
menghormati alam, tradisi lokal, dan selalu ikhlas. Beliau bertubuh
kurus namun tinggi, berkulit sawo matang, berambut panjang dengan uban
hampir mendominasi helai rambutnya, dan anehnya, di wajahnya tidak
memperlihatkan kerut-kerut ketuaan. Beliaulah satu-satunya tetua dusun
yang masih hidup sampai sekarang. Mbah Sukun dianggap sebagai orang
yang mempunyai kelebihan dan beliau juga merupakan keturunan leluhur
yang membangun dusun Bathok. Rumah gebyok di tengah hutan merupakan
satu-satunya harta yang dimiliki mbah Sukun. Namun, mbah Sukun pernah
berujar bahwa harta yang tak ternilai bagi beliau adalah ketentraman
dusun Bathok. Rumah beliau juga diperuntukkan untuk semua warga, atau
dengan kata lain, mbah Sukun membuka pintu bagi semua warga yang ingin
menggunakan rumah gebyoknya untuk kepentingan umum dusun Bathok.

-----------------------------

Mbah Konyik dianggap warga sebagai bapak dusun, atau dengan kata lain
beliau dianggap sebagai penjaga lingkungan dusun Bathok. Gelegar
suaranya setiap senja selalu dinanti oleh setiap warga dusun. Suara
yang biasanya dianggap ancaman oleh orang umum itu dianggap oleh warga
dusun sebagai pertanda dan pengingat. Sebuah pertanda tentang
kemakmuran dan kesejahteraan, dan pengingat untuk menghentikan segala
aktivitas di kebun dan ladang untuk bersegera menghadap Sang Pencipta.
Tampaknya tidak ada satu warga pun yang mengetahui riwayat mbah
Konyik, kecuali mbah Sukun. Ada anggapan bahwa mbah Konyik sebenarnya
adalah saudara mbah Sukun, lantaran berbeda fisik, mbah Konyik
mengalah dan memilih hidup di dalam hutan jati. Namun, kabar tersebut
tampaknya hanya menjadi cerita pemanis dusun saja karena mbah Sukun
pun tidak pernah membenarkan cerita perihal mbah Konyik. Hanya mbah
Sukun pernah berujar bahwa mbah Konyik-lah yang sebenarnya mempunyai
wilayah yang sekarang bernama dusun Bathok.

Sudah berpuluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun lalu, setiap tanggal
satu penanggalan Jawa, warga dusun selalu memberikan sesajen berupa
daging kambing kepada mbah Konyik. Mbah Sukun mengungkapkan bahwa
sesajen yang diberikan warga lebih merupakan wujud menghargai dan
menghormati keberadaan mbah Konyik, tidak ada maksud lainnya.

---------------------

Sudah dua hari ini, warga tidak mendengar suara khas mbah Konyik kala
senja menjelang. Tidak ada yang tahu kemana mbah Konyik berada. Hampir
semua warga merasa khawatir kalau-kalau mbah Konyik tidak menampakkan
diri lagi di dusun Bathok, hal ini diyakini sebagai pertanda buruk
bagi dusun. Mereka juga resah lantaran sejak pagi ini, warga dusun
belum menjumpai mbah Sukun. Biasanya mbah Sukun tidak pernah
melewatkan menjadi imam warga di langgar kecil tak jauh dari rumah
gebyok mbah Sukun setiap subuh, langgar Al-Ikhlas namanya. Pak Blarak,
salah satu warga berujar bahwa kondisi kesehatan mbah Sukun sebenarnya
agak terganggu sejak satu minggu ini. Namun, warga menganggap sakit
yang diderita mbah Sukun hanyalah masuk angin biasa lantaran mbah
Sukun akhir-akhir ini sering keluar malam, bahkan beliau sering tidak
tidur kala malam, entah apa yang dilakukan mbah Sukun, seorang warga
pun tidak ada yang mengetahuinya sampai hari ini.

Beberapa warga sudah pernah menanyakan alasan kegiatan mbah Sukun
setiap malam, bahkan mereka juga sempat melarang mbah Sukun melakukan
hal itu. Namun, mbah Sukun hanya bungkam dan tetap saja beliau
melakukannya setiap malam. Beberapa warga meyakini bahwa apa-apa yang
dilakukan mbah Sukun mempunyai makna bagi kehidupan dusun Bathok.
Sejak keanehan itu muncul, sekitar satu minggu lalu, warga selalu
berusaha meringankan sakit yang diderita mbah Sukun, mereka secara
bergiliran memasak makanan dan meramu jamu untuk mbah Sukun.

Hari ini, keresahan benar-benar melanda kehidupan warga dusun Bathok.
Beberapa warga merasa tidak nyaman kala meladang lantaran mereka
memikirkan keselamatan mbah Sukun. Bahkan, kondisi hari ini
benar-benar kontras, berbeda dengan hari kemarin. Riuh suara anak-anak
yang berpadu dengan angin laut tidak terdengar hari ini, entah kenapa,
tetapi tampaknya lebih dikarenakan adanya perintah larangan dari orang
tua mereka untuk tidak keluar rumah sebelum mbah Sukun kembali ke
dusun. Warga benar-benar merasa bahwa sebuah keburukan akan melanda
dusun Bathok.

-------------

Beberapa warga dewasa terlihat memadati halaman rumah mbah Sukun. Pak
Blarak-lah yang mengumpulkan mereka. Dengan lantang, pak Blarak
memerintahkan kepada segenap warga dusun untuk mencari mbah Sukun,
beliau juga berujar bahwa beliau tidak akan pulang sebelum mbah Sukun
ketemu. Kejadian seperti ini nampaknya baru pertama kali terjadi.
Pencarian tersebut akan diawali setelah waktu ashar.

-------------------

Sahut-sahutan kicau burung wiwik beserta suara bedug dan adzan maghrib
dari langgar-langgar dusun tetangga menemani rombongan pak Blarak kala
menyusuri gelapnya hutan jati. Tak henti-hentinya mereka melontarkan
panggilan-panggilan kepada mbah Sukun, dan sesekali untuk mbah Konyik.
Pandangan mata yang diterangi obor pun dilemparkan jauh ke celah-celah
antara pohon jati dan semak-semak. Gelap semakin memayungi hutan jati,
hasil belum juga didapat, hanya suara-suara marah monyet-monyet ekor
panjang yang merasa terganggu.

Dengan komando pak Blarak, rombongan kecil itu masuk jauh ke arah
barat daya hutan jati. Entah apa yang sedang dituju pak Blarak, belum
ada yang tahu. Setiap orang dalam rombongan hanya melontarkan
suara-suara panggilan. Arah barat daya merupakan salah satu perbatasan
dusun Bathok dengan dusun Gedhebog, sebuah dusun yang konon dihuni
oleh kelompok penebang hutan dan pemburu. Warga dusun Gedhebog
terkenal sadis dan kejam dalam memperlakukan siapa saja yang
menghalangi aksinya. Konon, mereka adalah orang-orang suruhan salah
satu perusahaan perkebunan.

---------------

Suara rintihan itu semakin jelas, tampaknya berasal dari sebuah tanah
lapang yang membatasi hutan jati dusun Bathok dengan dusun Gedhebog.
Rombongan warga pun bersegera menuju tempat itu.

----------------

Pancaran beberapa obor cukup menerangi apa yang terjadi di tempat itu.
Noda-noda merah terlukis diantara hijaunya rumput dan dedaunan kering.
Tak hanya itu, rambut-rambut berwarna hitam, coklat, dan kemerahan
bertebaran di sekitar sesosok renta yang terbaring lemas. Bukan hanya
terbaring lemas, tetapi tubuh itu telah kehilangan ruhnya, beberapa
luka terlihat menembus perut dan dadanya. Seketika pembawa obor
bersimpuh mengelilingi sosok renta itu.

--------------------------

Sudah dipastikan tidak akan ada lagi wejangan-wejangan bijak yang
keluar kala malam bulan penuh, serta juga tidak akan ada lagi yang
namanya bapak dusun, yang menampakkan diri di sebuah batu kali, di
atas pohon beringin tua sebelum wejangan dilontarkan kala malam
purnama. Dan suara-suara khas kala senja pun tidak akan pernah muncul
lagi. Misteri dusun Bathok pun tidak akan bisa ditelusuri jejaknya
lantaran seorang renta pembawanya telah tiada bersama seekor harimau
jawa terakhir.

Sabtu, 24 Desember 2011

sendu daun

selembar daun
terlepas dari tangkai
jatuh
entah hijau entah kuning
sudah tidak bermakna lagi
bagi mereka,
yang terdiam dalam teduhnya kubah emas

meskipun itu daun terakhir

sepotong langit biru,
menunggu habis dilumat pekat jaman
lantaran biru dianggap antimodern

oh, hipokrisi yang melingkar

hanya angka yang hadir dalam kepala
lantaran angka merujuk khazanah
yang patut dilahap

cicitan kukila pun dianggap ancaman

sendu, terdengar bak gemuruh angin gunung
lantaran rimba tak bisa memberontak

gersang pun akhirnya melanda


bintaro, 24 desember 2011

Rabu, 14 Desember 2011

Sebuah Pesan Save Our Wildlife dari Pinggiran Jakarta

"Dok, bisa menangani monyet ga?", tanya seorang pemilik seekor monyet
ekor panjang di depan pintu masuk sebuah klinik hewan.

"Saya coba ya bu, silakan bu!"

Ibu pemilik monyet tersebut terlihat mengeluarkan seekor monyet ekor
panjang dengan kondisi kepayahan dari dalam sebuah tas. Serta-merta
ibu tersebut menyebutkan namanya, "Nyet namanya dok". Sekilas terlihat
bahwa monyet ekor panjang tersebut masih berusia muda, kira-kira
berumur enam bulan-an.

"Kalau boleh tahu keluhan si Nyet apa ya bu?"

"Begini dok, sejak kemarin si Nyet kok batuk-batuk, napasnya kelihatan
sesak dan nafsu makannya langsung menurun, lemas juga dok."

"Saya periksa dulu ya bu, o ya, kalau boleh tahu apakah di rumah ada
yang lain selain si Nyet?"

"Ada tiga ekor lagi dok, tapi yang lemas cuma si Nyet."

-------------------

"Begini ya bu, kalau kondisinya seperti ini, saya takutnya si Nyet
terserang tuberculosis, dan penyakit ini bisa menular ke manusia."

"Terus saya harus bagaimana ya dok?, di rumah ada anak kecil juga."

"Sebaiknya ibu periksakan ke rumah sakit hewan untuk memastikan
kemungkinan tuberculosis, dan satu hal lagi bu, si Nyet-Nyet kan
termasuk satwa liar jadi sebaiknya ibu tidak memelihara satwa liar
lagi, karena ada resiko penularan penyakit ke manusia."

"Terus bagaimana ya dok?"

"Kalau mau, ibu bisa menghubungi Pusat Penyelamatan Satwa yang
terdekat, nanti saya carikan alamatnya."

----------------

Sebuah obrolan di siang hari antara pemilik satwa liar di sebuah
klinik hewan di pinggiran Jakarta yang menggambarkan betapa masyarakat
kota besar masih menganggap satwa liar sebagai pet animal. Satwa liar
menurut mereka, telah disamakan dengan hewan-hewan kesayangan domestik
lainnya, entah alasan apa yang mendasarinya, beberapa mengatakan bahwa
mereka sayang terhadap satwa liar. Inilah anggapan yang harus
diluruskan, sayang terhadap satwa liar bukanlah berarti memeliharanya
dalam sangkar atau dirantai. Sayang terhadap hewan adalah memberikan
hak hewan dalam prinsip animal welfare. Terdapat perbedaan antara
kesejahteraan hewan domestik dan satwa liar. Jelas, satwa liar dalam
kodratnya tidak diperuntukkan untuk dielus atau disangkarkan seperti
anjing atau kucing, mereka akan merasa bahagia jika dibiarkan dan
dijaga kelesetariannya di habitatnya. Jadi sayang terhadap satwa liar
harus ditunjukkan dengan menjaga kelestariannya. Selain itu, beberapa
zoonosis telah dilaporkan terdapat pada satwa liar, jadi semakin dekat
jarak manusia dengan satwa liar, maka kemungkinan penyakit baru akan
muncul lebih besar, bahkan bisa menjadi wabah dan juga pandemi. Contoh
saja SARS dan flu burung yang telah menggemparkan dunia internasional.

Sudah saatnya berkata "Stop Memelihara dan Memperdagangkan Satwa
Liar", serta saatnya berujar "Lestarikan Satwa Liar beserta Habitatnya
Mulai Sekarang"