Selasa, 30 Agustus 2011

Untuk Negriku 10

"dok, saya penyayang hewan lho",

sebuah pernyataan yang dengan spontan terlontar dari seorang wanita pemilik kucing di dalam sebuah klinik hewan di pinggiran Jakarta.

"Selain si Kitty, punya apa lagi mbak di rumah?".

"Kucing saya di rumah ada delapan ekor dok, ada empat anjing, ehmmm, saya juga pelihara elang dan harimau".

"O ya, itu di rumah semua ya mbak?".

"Yang harimau sudah gak lagi dok soalnya ketahuan petugas, disita deh akhirnya".

"ooo, gitu ya".

"Iya dok, kalo ada gajah atau badak, pengen dipelihara juga".


Itulah sebuah percakapan basa-basi dari seorang pemilik hewan kaya raya yang terekam, dimana dalam pernyataannya tersebut, si wanita tersebut entah ingin menunjukkan betapa besar rasa sayangnya kepada hewan ataukah sebuah pernyataan yang ingin memamerkan betapa tinggi kedudukan sosialnya di masyarakat kala memelihara satwa liar yang notabene masuk kriteria dilindungi baik oleh peraturan Indonesia maupun dunia internasional. Nampaknya pernyataan tersebut lebih memperlihatkan kepada sebuah keangkuhan masyarakat berduit di kota-kota besar, sebuah keangkuhan dan kesewenang-wenangan terhadap hidupan liar. Seolah-olah hidupan liar adalah harta yang menunjukkan kemewahan tersendiri, dan orang-orang berduit "wajib" memeliharanya di halaman rumah mereka agar mereka dipandang sebagai orang yang terpandang. Hidupan liar jelas-jelas tidak memerlukan kasih sayang layaknya anjing dan kucing rumahan yang setiap saat dibelai atau dikandangkan, hidupan liar membutuhkan sebuah kasih sayang yang benar-benar datang dari kalbu dimana dengan keikhlasan menyayangi untuk tidak merusak habitat dan tidak memeliharanya. 

Masyarakat kelas atas perkotaan nampaknya merupakan kelompok masyarakat yang bisa dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang tidak peduli dengan kelestaian hidupan liar negeri ini. Rasa-rasanya mereka tidak pernah tahu asal harimau sumatera, gajah sumatera, atau elang jawa, dan lain-lain, serta bagaimana habitatnya, bagaimana statusnya di alam. Gengsi, pamor, dan status sosial adalah incaran mereka. Hidupan liar hanyalah sebagai komoditi untuk mencapai kondisi tersebut. Dan akhirnya terjadi kongkalikong dengan petugas pemerintah yang seharusnya dengan kejujuran dan dedikasinya mampu menebas keberadaan pemelihara hidupan liar di perkotaan. Inilah sebuah rasa kasih sayang yang absurd terhadap hidupan liar. Inilah sulitnya mengubah gaya hidup masyarakat kelas atas perkotaan yang sudah terjejali oleh sikap angkuh dan mementingkan diri sendiri. Sebuah ironi keanekaragaman hayati negeri ini. 

Ditilik dari sudut pandang manapun, memeliharahidupan liar adalah SALAH BESAR, misalnya dari sudut pandang medis, hidupan liar yang dipelihara di halaman rumah akan mendekatkan penyakit baru kepada masyarakat perkotaan, dan ketika sudah menjadi wabah, siapa yang patut disalahkan?, si satwa kah atau si manusia kah?. Dari sudut pandang kelestarian alam, pemelihara hidupan liar adalah penyumbang rusaknya keanekaragaman hayati bumi ini. Sudah saatnya bersama-sama kita sebagai masyarakat negara megabiodiversitas Indonesia bersatu untuk meneriakkan "STOP MEMELIHARA SATWA LIAR".

Untuk Negriku 9

Akhir-akhir ini tayangan televisi yang mengumbar keperkasaan manusia sering diputar pada jam-jam istirahat di sela-sela tayangan khusus anak dimana mayoritas penontonnya adalah anak-anak. Tayangan tersebut menggambarkan bagaimana manusia berkuasa terhadap alam, dalam hal ini adalah hewan atau lebih tepatnya satwa liar. Tayangan yang mempertontonkan "kekuasaan" yang berlebihan manusia akan satwa tanpa melihat aspek kenyamanan hewan dalam prinsip animal welfare. Dari tayangan ini dapat ditarik kesimpulan awal bahwa satwa dan atau satwa liar "dapat" dan "lazim" diperlakukan seperti tayangan tersebut. 

Jam tayang di siang hari ketika banyak anak-anak kecil menonton menjadikan tayangan tersebut terkesan seperti "cuci otak" anak-anak generasi penerus bangsa dalam memperlakukan satwa dan atau satwa liar yang merupakan unsur biodiversitas negeri ini. Apa yang terjadi ketika daya pikir anak-anak yang polos menangkap sebuah tayangan yang seolah-olah telah dilazimkan tersebut. Dengan mudahnya mereka akan berpikiran "eksploitasi" terhadap keanekaragaman hayati ketika dewasa, dan tidak hanya itu saja, kemungkinan pengaruh terburuknya adalah perubahan perilaku dan moral menjadi generasi penerus bangsa yang mengijinkan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. 

Inilah bencana yang akan menimpa negara bangsa ini ketika tayangan kekerasan tehadap alam disahkan dan dilazimkan begitu saja. Bencana yang datang ketika keanekaragaman hayati sudah menunjukkan titik nol bahkan minus, serta hilangnya keramah-tamahan bangsa ini karena tergantikan oleh kekerasan-kekerasan dan kesewenang-wenangan. Nampaknya semua unsur negara bangsa ini harus belajar dari ungkapan Gandhi, "The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animals are treated"

Minggu, 21 Agustus 2011

Tebak-Tebakan dari Sketsa Burung


Silakan diisi bagian-bagian tubuh burung yang telah ditampilkan di atas !!!!!!!!





Jawabannya silakan dicari di :


Mackinnon J. 1990. Field Guide To The Birds Of Java And Bali. Yogyakarta : Gajah Mada University press.

atau

Mackinnon J, Phillips K, Balen BV. 2007. Burung-Burung Di Sumatera, Jawa, Bali Dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak Dan Brunei Darusssalam). Puslitbang Biologi – LIPI & BirdLife International-Indonesia Programme.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Peranan Medik Konservasi dan Avian Medicine Terhadap Konservasi Burung Liar

            Kegiatan konservasi terhadap burung liar di Indonesia diperlukan untuk mempertahankan kelestarian keanekaragaman burung di Indonesia, karena burung liar merupakan salah satu penyusun keanekaragaman hayati di Indonesia. Selain itu, konservasi terhadap burung liar diperlukan karena menurut Setio dan Takandjandji (2006), keberadaan satwa burung di Indonesia sedang mengalami penurunan populasi. Menurut Lack (1954, 1966) dan Newton (1998) diacu dalam Sutherland (2004), sebagian besar burung secara alami dibatasi oleh beberapa variabel, diantaranya adalah kemampuan untuk memperoleh pakan, bersarang, predasi, kompetisi, serta penyakit. Penyakit parasitik hanya mempunyai pengaruh kecil terhadap sebagian besar burung, tetapi dapat menyebabkan kematian pada kondisi tertentu. Pengetahuan terhadap penyakit berguna sehingga efek penyakit terhadap daya tahan dan breeding suatu spesies burung dapat diketahui, penyakit dapat diatasi, serta adanya penyakit baru dapat dihilangkan melalui tindakan karantina. Pemeriksaan kesehatan terhadap burung-burung liar dan burung-burung liar di penangkaran merupakan suatu langkah untuk mencegah transmisi penyakit dari penangkaran ke populasi liar, dan sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, maka fasilitas penangkaran secara in situ harus diusahakan hanya untuk satu spesies.

            Burung-burung di penangkaran yang ditujukan untuk reintroduksi harus dijaga terhadap kontak dengan burung-burung di penangkaran lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan penyakit yang dibawa dari populasi di penangkaran (Greenwood 1996 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Manajemen penayakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik yang dapat mengancam burung di lapangan (Jones dan Duffy 1993 diacu dalam Sutherland et al. 2004). Adanya kemungkinan penyakit pada burung liar dan juga satwa liar lainnya, maka kegiatan konservasi juga harus didukung oleh kegiatan medik konservasi. Menurut Aguirre dan Gόmez (2009), medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul yang menghubungkan antara kesehatan manusia dan ksehatan hewan dengan kesehatan ekosistem dan perubahan lingkungan global. Serta medik konservasi menurut UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang satwa liar.

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), teknik-teknik yang dapat dikembangkan untuk manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas habitat, penyediaan sarang-sarang buatan dan penyediaan pakan, atau pengendalian predator dan patogen. Tahapan pertama dalam pelaksanaan manajemen konservasi burung-burung yang terancam punah adalah pengetahuan tentang sejarah hidup, ekologi, distribusi, serta jumlah spesies burung yang diperhatikan. Selain itu juga diperlukan suatu penelitian tentang sejumlah kecil pasangan burung sehingga dapat diketahui tentang diet, kebutuhan habitat, dan keberhasilan persarangan. Tahapan kedua dalam manajemen konservasi burung terancam punah adalah melakukan diagnosa terhadap penurunan populasi dan tindakan-tindakan perbaikan populasi. Beberapa pendekatan yang dilakukan adalah penyusunan pengetahuan yang diperlukan dalam penilaian tentang distribusi sebelumnya dan kecenderungan populasi selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan informasi tentang mortalitas, produktivitas, penyebab kegagalan breeding, struktur umur, pertahanan hidup di habitat yang berbeda, pengaruh cuaca, serta faktor-faktor lain yang berkaitan. Selain itu juga diperlukan tinjauan beberapa perubahan ekologi yang mempengaruhi spesies, khususnya yang disebabkan oleh tindakan manusia. Pengamatan pasangan burung-burung di alam, monitoring tingkah laku di alam, pencegahan maslah-masalah yang mempengaruhi seperti penyelamatan telur dan burung-burung muda dari sarang yang rusak merupakan salah satu langkah yang dapat diambil dalam manajemen konservasi. Kegiatan manajemen konservasi juga meliputi keterangan tentang faktor-faktor lain seperti pakan, cuaca, dan parasit. 

Menurut Jones diacu dalam Sutherland et al. (2004), tahap ketiga adalah manajemen intensif, fokus dari tahap ketiga adalah menghasilkan produktivitas yang maksimal dan daya tahan setiap individu yang maksimal. Manajemen intensif juga melibatkan sistem penangkaran dan pelepas liaran, translokasi, serta manipulasi terhadap telur dan anakan. Manajemen intensif membutuhkan perhatian yang besar dari avian pediatrician, dokter hewan, ahli reintroduksi, dan personel-personel berpengalaman yang dapat membantu. Tahap keempat adalah manajemen populasi, pendekatan-pendekatan khusus dalam manajemen populasi adalah perlindungan terhadap aktivitas merugikan manusia, penyediaan habitat atau melindungi sarang, pemberian pakan suplemen, pengendalian predator dan penyakit, translokasi ke kawasan yang sesuai. Tahap kelima adalah monitoring, tahap ini merupakan tahap yang penting untuk memantau populasi yang diperhatikan selama konservasi. Monitoring ini dapat dilakukan selama restorasi atau setelah restorasi, sehingga pengaruh dari manajemen konservasi dapat dievaluasi. 

Menurut Newton (1998) diacu dalam Sutherland et al. (2004), penyakit parasit parasit pada burung merupakan bagian penting yang dapat membatasi populasi pada sebagian besar jenis burung. Menurut Sutherland et al. (2004), pengetahuan tentang profil penyakit pada suatu spesies burung bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan efek penyakit terhadap daya tahan dan kemampuan breeding suatu spesies, mengetahui bahwa penyakit dapat menyebabkan kegagalan kemampuan breeding dan kemampuan daya tahan hidup, serta adanya penyakit baru dapat dicegah melalui tindakan karantina.

Menurut Joyner et al. (1992), Gilardi et al. (1995) diacu dalam Sutherland et al. (2004), survei penyakit dan pengetahuan tentang survei yang sama terhadap spesies terkait dapat menyediakan suatu indikator yang berguna dalam manajemen konservasi burung terancam punah. Hasil yang dapat diperoleh adalah dapat mengetahui keberadaan penyakit yang sedang terjadi, mengetahui pengaruh penyakit yang sedang terjadi terhadap produktivitas dan daya tahan hidup burung, dan mengetahui langkah-langkah untuk mengurangi dampak penyakit pada burung. 

Menurut Sutherland et al. (2004), pemeriksaan kesehatan pada burung-burung liar dan burung-burung di penangkaran memungkinkan tindakan yang akan diambil untuk mencegah penyebaran penyakit dari penangkaran ke alam atau dari satu spesies ke spesies lainnya. Fasilitas penangkaran secara in-situ idealnya hanya mempunyai spesies tunggal dan apabila spesies lainnya terletak dalam satu kawasan maka spesies-spesies tersebut harus diperiksa untuk mencegah penyebaran penyakit ke spesies yang diutamakan. Menurut Greenwood (1996) diacu dalam Sutherland et al. (2004), burung-burung untuk tujuan reintroduksi harus dicegah terhadap adanya kontak dengan burung-burung lain di penangkaran karena burung-burung di penangkaran mempunyai kemungkinan untuk menyebarkan penyakit ke populasi burung reintroduksi. Perhatian terhadap adanya resiko penyakit yang dapat disebarkan ke alam melalui tindakan restocking dari burung di penangkaran harus ditetapkan untuk mengatasi penyakit pada populasi yang ada. Menurut Jones and Duffy (1993) diacu dalam Sutherland et al. (2004), manajemen penyakit dapat menurunkan mortalitas dan beberapa penyakit parasitik dapat diatasi di lapangan, khususnya pencegahan pada sarang. 

Menurut Ritchie et al. (1994), pelayanan dokter hewan terhadap penangkar burung adalah penyelenggaraan pemeriksaan terhadap burung-burung baru, penyelenggaraan pemeriksaan burung-burung yang sudah ada, membantu dalam pembuatan dan pemeliharaan sistem pencatatan, membuat program pencegahan penyakit, memberikan saran dalam hal penangkaran, penyediaan perawatan darurat untuk burung-burung di kandang/penangkaran, memberikan tindakan yang tepat untuk mengatasi wabah penyakit, mengevaluasi kegagalan reproduksi, serta membantu dalam hal inkubasi dan masalah-masalah pediatrik pada burung. Dokter hewan dan pegawainya harus mempunyai kesadaran tentang biosekuriti terhadap resiko-resiko potensial, hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit melalui vektor mekanik antara individu pasien dan fasilitas penangkaran. Dokter hewan harus mengunjungi satu penangkaran dalam satu hari, sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum memasuki fasilitas rumah sakit. Apabila dibutuhkan handling burung dari kandang maka langkah yang harus diperhatikan adalah memindahkan burung dari enclosure dengan meminimalkan gangguan.

Kamis, 18 Agustus 2011

Untuk Negriku 8

Satu hari yang lalu tepatnya hari rabu tanggal tujuh belas agustus tahun dua ribu sebelas, semangat cinta tanah air mayoritas rakyat Indonesia seperti bangkit kembali setelah sekian waktu terlelap dikarenakan iklim yang menjauhkan rakyat dari semangat cinta tanah air, walaupun cuma satu atau beberapa hari. Namun, rasa-rasanya apa yang disebut dengan "cinta tanah air" hanyalah milik "rakyat kecil", sedangkan yang namanya "rakyat besar" enggan berkecimpung di dalam yang namanya "cinta tanah air". Nampaknya "cinta tanah air" telah dianggap sebagai sesuatu yang non-materialistik dimana tidak memberikan keuntungan sepeser pun bagi "rakyat besar", sehingga berefek pada dijauhinya apa-apa yang berhubungan dengan "cinta tanah air". Apabila "cinta tanah air" memberikan untung materi, barulah dilirik oleh mereka para "rakyat besar".

Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI hanyalah urusan rakyat kecil, sedangkan bagi rakyat besar, NKRI hanyalah tempat mengeruk laba sebesar-besarnya. Mereka para rakyat besar pun dengan mudahnya membeli "tanah air-tanah air" lain dengan materi, sehingga terkesan tidak usah melanggengkan NKRI, toh semakin rusak negara bangsa ini, semakin kaya mereka para rakyat besar.

Materialistik dan sesuatu yang berbau asing nampaknya telah mengubah cara pandang rakyat besar atau rakyat-rakyat beduit yang hidup mewah tanpa sedikitpun terkena segarnya angin pagi. Materi telah menggantikan semangat nasionalisme dan cinta sesama bagi negara bangsa ini. Terlihat dari kehidupan di kota-kota besar negri ini dimana nampaknya dianggap sebagai sebuah wilayah tersendiri yang terpisah dari negara kesatuan republik Indonesia, terutama pada rakyat besar. Atau bahkan mungkin mereka hanya tahu bahwa kota besar mereka adalah negara merdeka dengan mall sebagai pusat peradaban. Inilah sebuah ironi rakyat besar yang hidup di kota besar apalagi ibu kota. Konsumerisme materialistik rasa-rasanya telah mengakar pada rakyat besar bahkan elite penguasa negara bangsa ini, yang kemudian menjalar ke pelosok-pelosok kehidupan rakyat-rakyat negri ini lainnya. Tak heran, segala cara dihalalkan untuk mencapai tingkatan "rakyat besar" yang bebas dari imaji "cinta tanah air".

Konsumerisme materialistik nampaknya telah menggerogoti dasar-dasar pondasi negara bangsa ini, layaknya sebuah kolonialisme, atau nampaknya bisa disebut sebagai neo-kolonialisme. Inilah yang menjadikan negara bangsa ini terkesan hanya jalan di tempat setelah tahun empat lima sampai sekarang ini, tahun dua ribu sebelas. Inilah kita bangsa Indonesia sebenarnya belum terbebas atau dengan kata lain belum merdeka penuh, dan negara bangsa ini belumlah berdaulat. Memang secara fisik negara bangsa ini sudah merdeka, namun belumlah merdeka secara mental. Mental yang terjajah menjadikan bangsa ini tidak bisa mandiri, sebuah karya fenomenal tidak akan pernah terbentuk manakala materialistik konsumerisme merasuki sendi-sendi jiwa rakyat bangsa Indonesia. Nampaknya dewasa ini, sang pemerintah hanya melihat kemerdekaan secara fisik sudah cukup untuk negri ini, karena merdeka secara fisik saja dapat disetir oleh golongan rakyat besar untuk meraup keuntungan materi. Sedangkan, kemerdekaan mental itu urusan terakhir, biar dipikir oleh pemerintah periode berikutnya. Pembangunan negri ini setelah merdeka tahun empat lima seharusnya dipikirkan secara matang bagaimana menyeimbangkan antara fisik dan mental sehingga apa yang disebut MDGs (Millenium Development Goals) dapat terwujud secara penuh bahkan lebih dari penuh dimana kondisi ini akan memeratakan kemakmuran tanpa ada unsur materialistik konsumerisme berlebih-lebihan, dimana kemakmuran akan menumbuhkan iklim "cinta tanah air". Segenap dan seluruh rakyat dengan semangat cinta tanah air akan menjadikan negara bangsa ini tangguh, baik di darat, laut, dan udara.

Selasa, 16 Agustus 2011

Untuk Negriku 7

Sudah enam puluh enam tahun, negeri ini menyandang predikat "merdeka". Tujuh huruf yang bermakna kebebasan dari belenggu penjajah yang kala itu adalah Belanda dan atau Jepang nampaknya selalu disambut gegap gempita oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Kemeriahan dan keriuhan penyambutan hari ulang tahun Republik Indonesia nampaknya selalu dihiasi dengan meningkatnya semangat nasionalisme terhadap negeri ini. Rasa-rasanya apabila sebuah rasa nasionalisme masyarakat dibuat sebuah grafik, maka grafik tersebut mungkin akan berbentuk seperti gunung, dengan puncaknya jatuh pada tanggal tujuh belas agustus. Pertanyaannya, kemanakah perginya rasa nasionalisme dalam kurun waktu 364 hari?, mungkin hal tersebut hanyalah sebuah pertanyaan bodoh yang tanpa dasar, mungkin faktanya adalah tidak semua rakyat NKRI kehilangan nafas nasionalisme setiap hari-harinya. Mungkin yang lebih tepatnya adalah jiwa nasionalisme tersebut tersembunyi selama 364 hari oleh hiruk pikuk kehidupan rakyat negeri ini yang diomabang-ambingkan oleh kerasnya hidup di negeri sendiri, nampaknya sebuah kelaziman dan dilema jaman sekarang, memikirkan kelangsungan hidup di masa depan saja susah, apalagi memikirkan nasionalisme.


Jawabannya akan lain manakala nasionalisme ditanyakan kepada para elite pejabat yang duduk di singgasana batu pualam nan elok rupawan. Rasa-rasanya mereka bukanlah menyembunyikan rasa nasionalisme dalam kurun waktu 364 hari, melainkan mereka menyelewengkan rasa nasionalisme dengan tujuan agar nasionalisme itu menguntungkan mereka dan bisa dinikmati oleh mereka dan keluarganya. Sebuah ironi memang yang tengah terjadi di negeri zamrud khatulistiwa.

Rakyat sekarang banyak yang kehilangan semangat nasionalisme itu bisa dikata hal yang lumrah manakala iklim di negeri ini tidak mendorong dan tidak menjamin imaji dan daya pikir rakyat ke arah cinta tanah air. Siapa yang seharusnya menjamin dan mengayomi rasa cinta tanah air rakyat Indonesia?, mungkin jawabannya serta merta mengarah kepada elite pejabat di sana yang seharusnya menjadi sang pamong. Elite pejabat dalam 364 hari bahkan 365 hari sekalipun tidak pernah bertingkah laku dan tidak pernah menunjukkan rasa cinta tanah air. Cinta tanah air hanya akal-akalan yang tertulis dalam setiap slogan dan poster atas nama partai politik. Partailah yang sebenarnya dicintai, bukan NKRI lagi. Sehingga rasa-rasanya lebih menguntungkan menyuarakan "rasa cinta partai" daripada "rasa cinta tanah air". Sebuah ironi memang, dikala rakyat yang merupakan kekuatan sumberdaya manusia terbesar negri ini dimana merupakan kunci kemakmuran negeri dengan jalan cinta tanah air, justru disetir untuk menjauhi kecintaannya pada ibu pertiwi, mereka disetir untuk menjadi rakyat yang harus tunduk pada kehidupan materialistik berbau asing dan mereka harus memilih antara ikut ibu pertiwi atau partai politik nan absurd yang menawarkan kemewahan dunia. Jabatan dan kedudukan telah membuat kalap sebagian masyarakat, mereka berlomba-lomba meraih kedudukan terhormat wakil rakyat, ibarat sebuah pencarian kerja. 


Rakyat lain yang tersisih, merasa resah, geli, dan muak melihat aksi-aksi elite disana, mereka pun terpaksa meninggalkan ibu pertiwi hanya lantaran harus memikirkan kehidupan yang semakin tidak jelas ke depannya. Apabila melihat kondisi demi kondisi akhir-akhir ini memang NKRI rasa-rasanya sudah tidak eksis lagi, meskipun data statistik mengungkapkan bahwa republik ini sudah mampu meningkatkan ekonomi dan demokrasinya dalam taraf yang maju pesat. NKRI sudah seperti Yugoslavia dan atau Uni Soviet yang telah pecah menjadi negara-negara kecil berdaulat. Dan, negara-negara kecil berdaulat di NKRI adalah partai politik. Tiga ratus enam puluh lima hari dalam satu tahun rasa-rasanya jarang terdapat bendera merah putih tegak berkibar sepanjang waktu, justru yang terlihat adalah bendera partai politik yang menantang terik mentari sepanjang waktu. Dimanakah ibu pertiwi berada?


Jayalah bangsaku,
Majulah negriku, Indonesia
Biarkan kibar merah putihmu menantang badai, mentari, dan kuning biru hijau merah kain-kain usang
Kepakkan sayap-sayapmu garudaku
Terbanglah tinggi setinggi elang jawa 
Jelajahi elipsnya planet hijau biru ini

Senin, 15 Agustus 2011

Konservasi dan Tantangan Penyakit pada Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)

Menurut Alikodra (1987), Salah satu tolok ukur yang dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan program pelestarian dam adalah kondisi populasi (densitas) dan penyebaran suatu spesies yang dilestarikan. Jalak bali mempunyai sifat-sifat biologis yang sangat peka terhadap adanya gangguan. Jalak bali mudah mengalami stress dalam keadaan lingkungan yang tidak wajar, sehingga kemampuan berkembangbiak sering berjalan tidak normal. Burung jalak bali juga menghendaki tempat bersarang khusus di dalam lubang-lubang pada batang pohon, padahal burung jalak bali tidak mampu membuat lubang tempat sarang tersebut. Sejak tahun 1978 nampak bahwa jumlah lubang tempat sarang secara alam sudah tidak sesuai lagi dengan yang diperlukan oleh jalak bali, sehingga dibuat lubang-lubang buatan pada pohon yang memungkinkan untuk tempat bersarang burung jalak bali.

Menurut van Balen et al. (2000), konversi habitat dan penangkapan di alam yang berlebihan untuk tujuan perdagangan satwa kesayangan menyebabkan jalak bali merupakan satwa yang berada dalam ancaman kepunahan sejak tahun 1980. Ancaman kepunahan ini disebabkan oleh ukuran populasi yang terlalu kecil, habitat yang sempit dan terbatas, penangkapan secara ilegal, dan berkurangnya habitat alami. Menurut Thohari et al. (1991), burung jalak bali telah ditetapkan oleh IUCN sejak tahun 1966 dan dicatat dalam Red Data Book sebagai salah satu jenis satwa langka yang terancam punah. Pemerintah Indonesia mulai menetapkan jalak bali sebagai satwa yang dilindungi melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970. Selain itu, sejak tahun 1978 jalak bali juga dimasukkan ke dalam appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang menetapkan pelarangan perdagangan jalak bali secara internasional.

Langkah konservasi terhadap burung jalak bali dapat dilakukan secara in-situ dan ek-situ. Konservasi ek-situ dapat dilakukan melalui penangkaran. Menurut Setio dan Takandjandji (2006), dasar hukum kegiatan penangkaran sebagai upaya konservasi ek-situ antara lain adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemeritah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Kegiatan penangkaran dapat dilakukan oleh lembaga konservasi pemerintah atau swasta. Menurut Gepak (1986) dalam Thohari et al. (1991), proyek penangkaran jalak bali di Kebun Binatang Surabaya sejak tahun 1980 dilaporkan telah berhasil mengembangbiakkan jalak bali. Selain itu, pada tahun 1987 pemerintah Indonesia telah menerima sumbangan jalak bali hasil penangkaran para kolektor burung dan kebun binatang-kebun binatang di Amerika Serikat sebanyak 40 ekor yang bertujuan untuk dijadikan bibit dalam program penangkaran ataupun untuk keperluah restocking populasi ke habitat aslinya.

Menurut anonim (2009), penangkaran merupakan suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwa liar dan tumbuhan alam, dengan tujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya dapat dipertahankan. Prinsip kebijakan penangkaran jenis satwa liar adalah :
-          Mengupayakan jenis-jenis langka menjadi tidak langka dan pemanfaatannya berazaskan kelestarian
-          Upaya pelestarian jenis perlu dilakukan di dalam kawasan konservasi maupun di luar habitat alaminya. Di luar habitat alami dapat berbentuk penangkaran, baik di kebun binatang maupun lokasi lainnya yang ditangani secara intensif
-          Peliaran kembali satwa hasil penangkaran ke habitat alaminya ditujukan untuk meningkatkan populasi sesuai dengan daya dukung habitatnya tanpa mengakibatkan adanya polusi genetik ataupun sifat-sifat yang menyimpang dari sifat aslinya.
Menurut Thohari et al. (1991), masalah utama yang menjadi bahan perdebatan dan pertanyaan dalam kaitan dengan upaya peliaran kembali atau pemulihan populasi (restocking) dan redistribusi jalak bali hasil penangkaran ke habitat aslinya di alam terutama menyangkut aspek genetiknya, karena terdapat asumsi bahwa jalak bali hasil penangkaran diduga telah mengalami perubahan genetik, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kemurnian jalak bali di habitat alaminya.

Penyakit pada Jalak Bali
Menurut McCallum Dobson (2006) diacu dalam Crooks dan Sanjayan (2006), fragmentasi habitat inang dapat meningkatkan jarak rata-rata parasit untuk berpindah antara kelahiran dan kesuksesan kolonisasi satwa. Kondisi dimana populasi inang berubah menjadi kawasan kecil dan terfragmentasi akan menyebabkan peningkatan keberhasilan penyebaran penyakit dan akan menyebabkan peningkatan prevalensi terhadap beberapa parasit dan patogen lain.
Menurut Thompson (2001), penyakit utama yang terjadi pada populasi di penangkaran adalah atoxoplasmosis, hemochromatosis, dan chlamydia. Atoxoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan parasit koksidia yang menginfeksi sistem limfoid dan epitel intestinal pada burung-burung penyanyi. Infeksi pada burung berasal dari tertelannya ookista yang bersporulasi dan mempunyai efek infeksi yang berat dan kematian pada burung-burung muda antara umur 3 dan 8 minggu. Infeksi atoxoplasma pada burung dewasa cenderung bersifat asimptomatik dan sering tidak terjadi pengeluaran ookista kecuali burung mengalami stress (ketika burung dipindahkan antar kebun binatang). Sampai saat ini dipercaya bahwa indukan yang mengandung atoxoplasma akan menyebarkan ke anakan, sehingga anakan akan terinfeksi.
Menurut Thompson (2001), dua macam obat yang sekarang digunakan secara rutin untuk mengatasi tahapan hidup atoxoplasmosis yang berbeda pada jalak bali adalah sulfachlorpyrazine dan toltrazuril. Hemochromatosis atau gangguan penyimpanan zat besi menyebabkan akumulasi zat besi yang berlebihan, hal ini dapat mengakibatkan peradangan pada berbagai organ tubuh burung. Penyebab dari hemochromatosis pada burung belum diketahui secara pasti. Namun, hemochromatosis merupakan penyakit yang umum terjadi pada beberapa jenis burung jalak. Beberapa peneliti menyatakan bahwa hemochromatosis merupakan penyakit yang berkaitan dengan diet karena hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan konsumsi zat besi dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Selain itu pemberian buah jeruk memberikan ketersediaan asam askorbat yang dapat meningkatkan absorpsi zat besi.

Upaya Penangkaran Untuk Konservasi Satwa Liar


Indonesia merupakan negara megabiodiversitas, nampaknya kalimat tersebut sering terdengar manakala kita membaca berita-berita tentang lingkungan hidup. Namun, kebesaran biodiversitas negri ini nampaknya selalu saja diimbangi dengan laju pengrusakannya, bahkan laju pengrusakannya terasa lebih besar dan berat bagi keanekaragaman hayati negri ini. Apa yang bisa dilakukan untuk mengerem laju penurunan biodiversitas tersebut, rasa-rasanya yang diperlukan adalah upaya penyadaran semua pihak yang terkait baik pemerintah sampai masyarakat, penegakan hukum lingkungan, serta upaya penangkaran yang merupakan bagian dari upaya konservasi. Jika dilihat dari berita-berita akhir-akhir ini, makhluk yang paling rentan terhadap penurunan populasi dan spesies adalah satwa liar. Upaya untuk meningkatkan populasi dan spesies harus diusahakan secepat mungkin sebelum terlambat, sebelum muncul kepunahan. Jangan sampai peristiwa punahnya harimau jawa terjadi pada satwa-satwa liar yang lainnya. Peningkatan populasi dan jenis dengan penangkaran rasa-rasanya bisa ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Penangkaran satwa liar membutuhkan suatu tatacara dan peraturan yang berlaku supaya dapat mencapai keberhasilan penangkaran. Keberhasilan penangkaran tersebut pada umumnya dilihat dari keberhasilan menghsilkan anakan. Pengelolaan penangkaran juga berkaitan erat dengan penerapan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) di dalam penangkaran. Menurut UU. No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Prinsip kesejahteraan hewan tersebut meliputi bebas dari rasa lapar dan haus (freedom from hunger and thirst), bebas dari ketidaknyamanan (freedom from discomfort), bebas dari sakit dan kesakitan (freedom from pain, injury, and disease), bebas dari rasa takut dan ketakutan (freedom from fear and distress), serta bebas mengekspresikan tingkah laku alaminya (freedom to express normal behavior). Penerapan kesejahteraan hewan di penangkaran satwa liar dapat diterapkan mulai dari perkandangan sampai dengan perawatan satwa liar. Misanlnya dalam penangkaran burung menurut Girling (2003), saran dari Wildlife and Countryside Act 1981 adalah kandang burung harus mempunyai ukuran yang cukup besar sehingga dapat digunakan untuk peregangan sayap. 

            Tatacara dan peraturan dalam pengelolaan penangkaran dapat dibuat dalam bentuk SOP (Standar Operational Procedure) yang dapat dikeluarkan oleh institusi lain yang berwenang atau institusi pengelola dengan mempertimbangkan peraturan yang ada dan saran-saran dari para ahli, misalnya Dinas Peternakan, dokter hewan, ahli burung (ornithologist) untuk penangkaran burung, ahli ekologi, dan ahli konservasi, serta ahli kehutanan. Menurut Setio dan Takandjandji (2006), penerapan SOP dalam kegiatan pemeliharaan burung dimaksudkan supaya burung yang dipelihara dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Selain itu, manfaat lainnya adalah terciptanya lingkungan hidup yang sehat dan bersih dari sumber penyakit (terutama zoonosis). SOP yang dibuat dapat meliputi tatacara pengadaan dan pengiriman burung, penerimaan dan karantina burung, adaptasi dan penempatan burung, pengelolaan pakan dan obat-obatan, pengelolaan kebersihan/sanitasi kandang dan lingkungan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, pengelolaan reproduksi dan pembesaran anak, serta pengelolaan sistem pencatatan kejadian dan perkembangan burung (recording).

Cerecet Terakhir Sang Betet

Aku terlahir sebagai seekor betet, tepatnya betet biasa atau yang oleh orang pintar sering dipanggil dengan Psittacula alexandrii. Tubuhku berukuran tidak besar dan tidak pula kecil, serta warna buluku hijau dengan pipi berwarna pink. Bila dilihat-lihat sekilas, diriku memang mirip dengan burung lovebird yang yang harganya mahalnya minta ampun nan dipelihara oleh orang-orang berkantung tebal. Sebenrnya kami memang sama-sama dari keluarga burung berparuh bengkok, tapi yang membedakan adalah sebuah nasib. Nasib si burung lovebird adalah di sangkar nan elite dan nasibku tidak begitu jelas di alam. 

Aku dan sesamaku tak tahu apakah kami ini dilindungi atau tidak. Sekilas yang pernah kami dengar dari obrolan orang-orang pintar, kami merupakan salah satu satwa endemik di pulau Jawa yang terpadat di negri ini, sebuah negri yang lupa akan kekayaan alamnya sendiri. Memang jika diakui, kami keluarga betet masih kalah jauh cantiknya dengan burung-burung paruh bengkok lainnya yang endemik di bagian timur sana. Nasib telah mengubah hidup kami sebagai seekor burung terancam keberadaannya di tanah warisan moyang kami. Kami di sini hanya hidup dalam dua kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok kami ini rasa-rasanya merupakan sisa-sisa kehidupan para betet yang pernah menghuni tanah ini. Dahulu kala memang ada kelompok-kelompok yang banyak saat hutan di tanah ini masih luas nan asri, tetapi sejak area pepohonan hijau tinggal secuil maka tinggal secuil pula jumlah kami serta tinggal secuil pula jiwa kami. Kami di sini hidup terasing di sebuah hutan kecil di tengah-tengah bangunan yang dipakai oleh calon-calon ilmuwan melengkapi ilmunya. Hutan sengon yang luasnya Cuma beberapa meter saja inilah kami melepaskan semua beban hidup saat malam tiba dan merawat keturunan yang mungkin terakhir. 

            Kami sebenarnya merasa bosan hanya hidup berputar-putar di sekitar hutan sengon yang dikelilingi oleh gedung-gedung gudang kepintaran dan pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin memusuhi kami. Sesekali kami bergantian keluar melintasi pagar gedung-gedung gudang kepintaran untuk melihat riuhnya kehidupan manusia yang semakin lupa akan hijau-birunya lingkungannya. Sebenarnya sih bisa dikatakan dari sejak gedung gudang ilmu itu berdiri sampai saat ini, kehidupan kami tidak pernah terusik. Tetapi hanya sekali dua kali terusik oleh pemburu liar dan oleh pikiran-pikiran nakal para ilmuwan. Jika memandang gunung di seberang sana, kami sering mengkhayal, mengandai-andai di sana masih banyak saudara-saudara kami yang hidup tanpa gurauan manusia. Namun, khayalan kami dengan serta merta terhenti setelah telinga kami yang tidak berdaun mendengar obrolan para manusia yang sering nongkrong di hutan ini untuk menanti atraksi kami. Menurut obrolan mereka, gunung seberang sudah gersang. Gersang gara-gara tapak-tapak hitam manusia.

            Jika kami pikir-pikir, benar juga apa kata mereka, pantaslah tempat hidupku sekarang ini menjadi panas bukan main saat siang, tidak seperti cerita-cerita kakek nenekku yang menurut mereka daerah hidup kami di sini dulunya sejuk. Jika gunung seberang sudah gersang, berarti sudah tidak menghijau lagi dan menandakan bahwa kehidupan makhluk-makhluk seperti kami di sana menjadi lebih menderita daeripada di sini. Biar bagimanapun kami masih merasa beruntung hidup di sini. Kami dan keluarga satwa lain yang hidup di hutan sengon ini selalu berharap supaya hutan tempat tinggal kami ini tidak lagi disulap menjadi gedung atau ladang yang lebih modern, karena kami tak tahu lagi harus tinggal dimana. 

            Di hutan ini kami hidup bersama burung-burung lain, satwa-satwa lain dan manusia-manusia yang sering nongkrong di sini seminggu sekali atau dua kali seminggu. Kami sering resah jika memikirkan masa depan, kami takut akan kepunahan generasi kami. Sejujurnya kami punya keinginan kuat keluar dari hutan sengon yang tinggal secuil ini, kami ingin mencari tempat yang layak dan mencari kawan-kawan sejenis. Namun, keinginan hanya tinggal keinginan absurd, karena nyali kami tidak sebesar burung elang ular bido yang berani terbang tinggi dan berani mengarungi luasnya daratan. Nyali selalu menciut manakala memikirkan nasib kami yang tinggal beberapa ekor ini.

            Mungkin ini adalah nasib yang harus kami jalani. Setiap hari selalu menanti-nanti kabar dari burung-burung lain yang bernyali besar, kabar tentang pengalamannya menemukan tempat-tempat yang cocok. Aku iri mendengar itu, jika kukerahkan kelompokku bertualang mencari tempat baru, maka kami takut akan sesuatu hal yang akan menimpa kami, jika ada bencana maka habislah kelompok kami, mungkin habis pula betet di tanah jawa ini. Biarlah rasa iri ini kami pendam saja. Kami selalu mencoba menikmati indahnya tempat ini dan kami selalu bersyukur masih punya kawan-kawan sejenis meskipun bisa dihitung dengan jari. Setiap pagi kami selalu saling menyapa dengan suara “cerecetan” khas kami, saling menghitung jumlah kelompok karena siapa tahu ada yang hilang satu. Siang hari kami mengarungi luasnya bangunan-bangunan berilmu yang masih terlihat hijau untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dan sore harinya kami bercerecet lagi mengumpulkan kelompok dan saling bercerita tentang pengalaman yang terjadi seharian ini. Selepas maghrib adalah saatnya kami bersiap-siap melepas lelah di lubang-lubang pohon sengon yang sengaja kami buat.

            Seminggu sekali kami menyombongkan aksi-aksi kami supaya disaksikan oleh beberapa orang sang “penikmat” burung yang sering “nongkrong” di hutan sengon ini. Kepala mereka selalu melihat ke atas, di lehernya dikalungkan sebuah benda dengan bentuk seperti dua buah tabung yang saling merekat, dan di tangannnya memegang buku serta alat tulis. Kehadiran mereka selalu kami nantikan. Dilihat dari gerak-geriknya, pastilah mereka bukan manusia-manusia jahat dan serakah. Mereka adalah tamu-tamu terhormat kami. Kami rela seharian tidak mencari makan hanya untuk ditonton mereka. Mereka adalah manusia yang menyatu dengan alam karena jika dilihat dari tampangnya bisa terlihat bahwa manusia-manusia itu adalah manusia yang sederhana, bijak, polos dan bersahaja. Lewat obrolan mereka tentang alam, sudah membuat hati kami gembira setengah mati dan kami selalu antusias mendengarkan cerita-cerita mereka. Dan sebagai imbalannya, kami tak segan-segan memamerkan keunikan tubuh kami pada mereka, nampaknya tak hanya kami saja yang memberi imbalan atas kehadiran “sang penikmat”, burung-burung yang lain juga saling berebutan memamerkan keelokan dan keunikannya masing-masing. Si wiwik lurik memamerkan suaranya yang memilukan dan kuanggap itu suara terjelek di sini. Si kutilang tanpa sungkan-sungkan memperagakan akrobatnya, dan kami anggap si kutilang adalah makhluk yang tidak punya rasa malu, seperti halnya burung gereja. Sekian kisah kami di hutan sengon yang tinggal secuil ini, dan semoga hutan sengon ini dengan keanekaragaman makhluknya tidak menjadi kenangan manusia-manusia pintar yang menimba ilmu di sini.

Minggu, 14 Agustus 2011

Sekilas Kondisi Burung Liar di Indonesia

Kebaradaan satwa burung di Indonesia semakin hari semakin menurun populasinya. Hal ini disebabkan oleh perburuan liar sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Selain itu, penurunan kualitas habitat sebagai akibat dari aktivitas manusia, lemahnya pengamanan, pengawasan, penerapan sanksi hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi juga turut mengakibatkan penurunan populasi burung di alam. Walaupun telah berstatus dilindungi (termasuk oleh pemerintah daerah dimana habitat dan jenis burung berada), namun perburuan liar masih tetap berjalan hingga saat ini (Setio & Takandjandji 2006).

Pemanfaatan keanekaragaman jenis satwa liar secara tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis burung air termasuk salah satu yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Awal pemanfaatan dari jenis-jenis burung tersebut adalah hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan protein bagi masyarakat setempat. Namun, dalam perkembangannya ternyata jenis-jenis burung tersebut tidak saja dimanfaatkan untuk kebutuhan protein tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada masyarakat kota untuk menambah sumber pendapatan, sehingga pengeksploitasian jenis-jenis burung tersebut secara terus-menerus tanpa adanya pengendalian dikhawatirkan akan mengancam kepunahan (Iskandar & Karlina 2004). Selain itu, pemanfaatan burung terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah masyarakat penghobi burung kicauan dengan jumlah uang yang beredar
sebanyak Rp 7 triliun (Moehayat 2008).

Menurut MacKinnon (1990), perdagangan burung secara keseluruhan mempunyai nilai penting dalam perdagangan dan sampai skala tertentu akan menghabiskan populasi burung liar. Nilai penting burung dalam perekonomian di Pulau Jawa adalah sabagai hama pertanian (pipit, bondol dan manyar sebagai hama padi), jenis burung yang menguntungkan (elang), bahan makanan (mandar, ayam hutan, puyuh dan punai), serta perdagangan burung piaraan (perkutut, kucica hutan, beo, kutilang dan jalak) dan pada tahun 1980 terdapat lebih dari 340.000 burung secara ilegal diekspor dari Indonesia dimana jenis-jenis ekspor yang disukai adalah bondol, pipit benggala, gelatik, perkutut, beo, dan serindit. Menurut anonim (2002), perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangutan, penyu, beberapa jenis burung, harimau sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut maka harganya semakin mahal.

Perdagangan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan populasi suatu jenis burung, disamping akibat menghilangnya habitat dan degradasi habitat. Perusakan habitat dan eksploitasi spesies secara berlebihan menyebabkan Indonesia mempunyai daftar spesies fauna terancam punah terpanjang di dunia (Lambert 1993; Sumardja 1998 diacu dalam Widodo 2007).

Sebuah Keraguan Lestarinya Biodiversitas di Kampus Hijau


Kampus IPB atau yang sering disebut kampus hijau menyimpan keanekaragaman hayati yang bervariasi diantaranya adalah satwa burung. Dimana menurut Dono (2003), keberadaan burung dapat dijadikan alat indikator/alat bantu untuk menentukan skala prioritas dalam penanganan permasalahan lingkungan karena burung mempunyai atribut yang mendukung, hidup di seluruh habitat di dunia, relatif mudah diidentifikasi, peka terhadap perubahan lingkungan, data penyebarannya relatif cukup diketahui dan terdokumentasi dengan baik serta taksonominya cukup lengkap. Daftar dibawah ini memuat jenis-jenis burung yang dijumpai pada saat kegiatan birdwatching di area kampus IPB Dramaga selama kurun waktu 2006 - 2008, terdapat kemungkinan daftar yang dijumpai tersebut hanya sebagian atau dengan kata lain sebenarnya masih ada jenis yang belum terident dan belum masuk ke list. 
Mengingat jenis-jenis burung liar yang beragam tersebut, tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan, apakah keanekaragaman spesies burung tersebut masih lestari sampai saat ini????, masihkah mereka dapat dijumpai dengan mudah di waktu sekarang ini???, timbul keraguan jawaban akan pertanyaan tersebut mengingat masa sekarang pastilah berbeda dengan masa ketika tahun 2008, 2007, 2006, atau tahun-tahun sebelumnya. Masa sekarang nampaknya masa-masa pembangunan fisik bagi si "kampus hijau", sebuah pembangunan yang nampaknya akan menggeser lahan-lahan hijau habitat satwa burung. Apabila terjadi penurunan spesies atau jumlah maka dapat diambil kesimpulan singkat bahwa si "kampus hijau" tidak bisa menjaga dan mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati yang merupakan anugerah-Nya. Sungguh miris jika kondisi tersebut benar-benar terjadi, satwa liar penghuninya (burung liar) ibarat peribahasa, "tikus mati di lumbung padi", satwa liar "terdesak" di dalam lingkungan yang berisi manusia-manusia cerdas yang berpikiran "hijau". Semoga hal tersebut tidak terjadi, dan semoga keanekaragam hayati di kampus hijau dapat lestari.

Daftar List Burung yang dijumpai di Kampus IPB Darmaga, Bogor (2006 – 2008)
  • Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga)
  • Kapinis rumah (Apus affinis)
  • Walet linchi (Collocalia linchi)
  • Kowak malam kelabu (Nycticorax nycticorax)
  • Gemak loreng (Turnix suscitator)
  • Walet-palem asia (Cypsiurus balasiensis)
  • Kareo padi (Amaurornis phoenicurus)
  • Punai gading (Treron vernans)
  • Tekukur biasa (Streptopelia chinensis)
  • Delimukan zamrud (Chalcophaps indica)
  • Betet biasa (Psittacula alexandri)
  • Bubut alang-alang (Centropus bengalensis)
  • Wiwik lurik (Cacomantis sonneratii)
  • Wiwik kelabu (Cacomantis merulinus)
  • Wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis)
  • Serak jawa (Tyto alba)
  • Raja udang meninting (Alcedo meninting)
  • Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris)
  • Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis)
  • Cekakak sungai (Todirhampus chloris)
  • Caladi tilik (Picoides moluccensis)
  • Layang-layang batu (Hirundo tahitica)
  • Layang-layang loreng (Hirundo striolata)
  • Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus)
  • Kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis)
  • Kekep babi (Artamus leucorhynchus)
  • Cipoh kacat (Aegithina tiphia)
  • Srigunting hitam (Dicrurus macrocercus)
  • Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus)
  • Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster)
  • Gagak hutan (Corvus enca)
  • Cinenen pisang (Orthotomus sutorius)
  • Cinenen jawa (Orthotomus sepium)
  • Prenjak jawa (Prinia familiaris)
  • Cabai jawa (Dicaeum trochileum)
  • Bentet kelabu (Lanius schach)
  • Pelanduk semak (malacocincla sepiarium)
  • Remetuk laut (Gerygone sulphurea)
  • Kipasan belang (Rhipidura javanica)
  • Burung madu kelapa (Anthreptes malacensis)
  • Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis)
  • Pijantung kecil (Arachnothera longirostra)
  • Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus)
  • Burung gereja erasia (Passer montanus)
  • Bondol jawa (Lonchura leucogastroides)
  • Bondol peking (Lonchura punctulata)
  • Elang-ular bido (Spilornis cheela)
  • Pelanduk topi hitam (Pellorneum capistratum)
  • Cikrak kutub (Philloscopus borealis)
  • Celepuk reban (Otus lempiji)
  • Paruh-kodok jawa (Batrachostomus javensis)