Kamis, 18 Agustus 2011

Untuk Negriku 8

Satu hari yang lalu tepatnya hari rabu tanggal tujuh belas agustus tahun dua ribu sebelas, semangat cinta tanah air mayoritas rakyat Indonesia seperti bangkit kembali setelah sekian waktu terlelap dikarenakan iklim yang menjauhkan rakyat dari semangat cinta tanah air, walaupun cuma satu atau beberapa hari. Namun, rasa-rasanya apa yang disebut dengan "cinta tanah air" hanyalah milik "rakyat kecil", sedangkan yang namanya "rakyat besar" enggan berkecimpung di dalam yang namanya "cinta tanah air". Nampaknya "cinta tanah air" telah dianggap sebagai sesuatu yang non-materialistik dimana tidak memberikan keuntungan sepeser pun bagi "rakyat besar", sehingga berefek pada dijauhinya apa-apa yang berhubungan dengan "cinta tanah air". Apabila "cinta tanah air" memberikan untung materi, barulah dilirik oleh mereka para "rakyat besar".

Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI hanyalah urusan rakyat kecil, sedangkan bagi rakyat besar, NKRI hanyalah tempat mengeruk laba sebesar-besarnya. Mereka para rakyat besar pun dengan mudahnya membeli "tanah air-tanah air" lain dengan materi, sehingga terkesan tidak usah melanggengkan NKRI, toh semakin rusak negara bangsa ini, semakin kaya mereka para rakyat besar.

Materialistik dan sesuatu yang berbau asing nampaknya telah mengubah cara pandang rakyat besar atau rakyat-rakyat beduit yang hidup mewah tanpa sedikitpun terkena segarnya angin pagi. Materi telah menggantikan semangat nasionalisme dan cinta sesama bagi negara bangsa ini. Terlihat dari kehidupan di kota-kota besar negri ini dimana nampaknya dianggap sebagai sebuah wilayah tersendiri yang terpisah dari negara kesatuan republik Indonesia, terutama pada rakyat besar. Atau bahkan mungkin mereka hanya tahu bahwa kota besar mereka adalah negara merdeka dengan mall sebagai pusat peradaban. Inilah sebuah ironi rakyat besar yang hidup di kota besar apalagi ibu kota. Konsumerisme materialistik rasa-rasanya telah mengakar pada rakyat besar bahkan elite penguasa negara bangsa ini, yang kemudian menjalar ke pelosok-pelosok kehidupan rakyat-rakyat negri ini lainnya. Tak heran, segala cara dihalalkan untuk mencapai tingkatan "rakyat besar" yang bebas dari imaji "cinta tanah air".

Konsumerisme materialistik nampaknya telah menggerogoti dasar-dasar pondasi negara bangsa ini, layaknya sebuah kolonialisme, atau nampaknya bisa disebut sebagai neo-kolonialisme. Inilah yang menjadikan negara bangsa ini terkesan hanya jalan di tempat setelah tahun empat lima sampai sekarang ini, tahun dua ribu sebelas. Inilah kita bangsa Indonesia sebenarnya belum terbebas atau dengan kata lain belum merdeka penuh, dan negara bangsa ini belumlah berdaulat. Memang secara fisik negara bangsa ini sudah merdeka, namun belumlah merdeka secara mental. Mental yang terjajah menjadikan bangsa ini tidak bisa mandiri, sebuah karya fenomenal tidak akan pernah terbentuk manakala materialistik konsumerisme merasuki sendi-sendi jiwa rakyat bangsa Indonesia. Nampaknya dewasa ini, sang pemerintah hanya melihat kemerdekaan secara fisik sudah cukup untuk negri ini, karena merdeka secara fisik saja dapat disetir oleh golongan rakyat besar untuk meraup keuntungan materi. Sedangkan, kemerdekaan mental itu urusan terakhir, biar dipikir oleh pemerintah periode berikutnya. Pembangunan negri ini setelah merdeka tahun empat lima seharusnya dipikirkan secara matang bagaimana menyeimbangkan antara fisik dan mental sehingga apa yang disebut MDGs (Millenium Development Goals) dapat terwujud secara penuh bahkan lebih dari penuh dimana kondisi ini akan memeratakan kemakmuran tanpa ada unsur materialistik konsumerisme berlebih-lebihan, dimana kemakmuran akan menumbuhkan iklim "cinta tanah air". Segenap dan seluruh rakyat dengan semangat cinta tanah air akan menjadikan negara bangsa ini tangguh, baik di darat, laut, dan udara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar