Sudah enam puluh enam tahun, negeri ini menyandang predikat "merdeka". Tujuh huruf yang bermakna kebebasan dari belenggu penjajah yang kala itu adalah Belanda dan atau Jepang nampaknya selalu disambut gegap gempita oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Kemeriahan dan keriuhan penyambutan hari ulang tahun Republik Indonesia nampaknya selalu dihiasi dengan meningkatnya semangat nasionalisme terhadap negeri ini. Rasa-rasanya apabila sebuah rasa nasionalisme masyarakat dibuat sebuah grafik, maka grafik tersebut mungkin akan berbentuk seperti gunung, dengan puncaknya jatuh pada tanggal tujuh belas agustus. Pertanyaannya, kemanakah perginya rasa nasionalisme dalam kurun waktu 364 hari?, mungkin hal tersebut hanyalah sebuah pertanyaan bodoh yang tanpa dasar, mungkin faktanya adalah tidak semua rakyat NKRI kehilangan nafas nasionalisme setiap hari-harinya. Mungkin yang lebih tepatnya adalah jiwa nasionalisme tersebut tersembunyi selama 364 hari oleh hiruk pikuk kehidupan rakyat negeri ini yang diomabang-ambingkan oleh kerasnya hidup di negeri sendiri, nampaknya sebuah kelaziman dan dilema jaman sekarang, memikirkan kelangsungan hidup di masa depan saja susah, apalagi memikirkan nasionalisme.
Jawabannya akan lain manakala nasionalisme ditanyakan kepada para elite pejabat yang duduk di singgasana batu pualam nan elok rupawan. Rasa-rasanya mereka bukanlah menyembunyikan rasa nasionalisme dalam kurun waktu 364 hari, melainkan mereka menyelewengkan rasa nasionalisme dengan tujuan agar nasionalisme itu menguntungkan mereka dan bisa dinikmati oleh mereka dan keluarganya. Sebuah ironi memang yang tengah terjadi di negeri zamrud khatulistiwa.
Rakyat sekarang banyak yang kehilangan semangat nasionalisme itu bisa dikata hal yang lumrah manakala iklim di negeri ini tidak mendorong dan tidak menjamin imaji dan daya pikir rakyat ke arah cinta tanah air. Siapa yang seharusnya menjamin dan mengayomi rasa cinta tanah air rakyat Indonesia?, mungkin jawabannya serta merta mengarah kepada elite pejabat di sana yang seharusnya menjadi sang pamong. Elite pejabat dalam 364 hari bahkan 365 hari sekalipun tidak pernah bertingkah laku dan tidak pernah menunjukkan rasa cinta tanah air. Cinta tanah air hanya akal-akalan yang tertulis dalam setiap slogan dan poster atas nama partai politik. Partailah yang sebenarnya dicintai, bukan NKRI lagi. Sehingga rasa-rasanya lebih menguntungkan menyuarakan "rasa cinta partai" daripada "rasa cinta tanah air". Sebuah ironi memang, dikala rakyat yang merupakan kekuatan sumberdaya manusia terbesar negri ini dimana merupakan kunci kemakmuran negeri dengan jalan cinta tanah air, justru disetir untuk menjauhi kecintaannya pada ibu pertiwi, mereka disetir untuk menjadi rakyat yang harus tunduk pada kehidupan materialistik berbau asing dan mereka harus memilih antara ikut ibu pertiwi atau partai politik nan absurd yang menawarkan kemewahan dunia. Jabatan dan kedudukan telah membuat kalap sebagian masyarakat, mereka berlomba-lomba meraih kedudukan terhormat wakil rakyat, ibarat sebuah pencarian kerja.
Rakyat lain yang tersisih, merasa resah, geli, dan muak melihat aksi-aksi elite disana, mereka pun terpaksa meninggalkan ibu pertiwi hanya lantaran harus memikirkan kehidupan yang semakin tidak jelas ke depannya. Apabila melihat kondisi demi kondisi akhir-akhir ini memang NKRI rasa-rasanya sudah tidak eksis lagi, meskipun data statistik mengungkapkan bahwa republik ini sudah mampu meningkatkan ekonomi dan demokrasinya dalam taraf yang maju pesat. NKRI sudah seperti Yugoslavia dan atau Uni Soviet yang telah pecah menjadi negara-negara kecil berdaulat. Dan, negara-negara kecil berdaulat di NKRI adalah partai politik. Tiga ratus enam puluh lima hari dalam satu tahun rasa-rasanya jarang terdapat bendera merah putih tegak berkibar sepanjang waktu, justru yang terlihat adalah bendera partai politik yang menantang terik mentari sepanjang waktu. Dimanakah ibu pertiwi berada?
Jayalah bangsaku,
Majulah negriku, Indonesia
Biarkan kibar merah putihmu menantang badai, mentari, dan kuning biru hijau merah kain-kain usang
Kepakkan sayap-sayapmu garudaku
Terbanglah tinggi setinggi elang jawa
Jelajahi elipsnya planet hijau biru ini
Jawabannya akan lain manakala nasionalisme ditanyakan kepada para elite pejabat yang duduk di singgasana batu pualam nan elok rupawan. Rasa-rasanya mereka bukanlah menyembunyikan rasa nasionalisme dalam kurun waktu 364 hari, melainkan mereka menyelewengkan rasa nasionalisme dengan tujuan agar nasionalisme itu menguntungkan mereka dan bisa dinikmati oleh mereka dan keluarganya. Sebuah ironi memang yang tengah terjadi di negeri zamrud khatulistiwa.
Rakyat sekarang banyak yang kehilangan semangat nasionalisme itu bisa dikata hal yang lumrah manakala iklim di negeri ini tidak mendorong dan tidak menjamin imaji dan daya pikir rakyat ke arah cinta tanah air. Siapa yang seharusnya menjamin dan mengayomi rasa cinta tanah air rakyat Indonesia?, mungkin jawabannya serta merta mengarah kepada elite pejabat di sana yang seharusnya menjadi sang pamong. Elite pejabat dalam 364 hari bahkan 365 hari sekalipun tidak pernah bertingkah laku dan tidak pernah menunjukkan rasa cinta tanah air. Cinta tanah air hanya akal-akalan yang tertulis dalam setiap slogan dan poster atas nama partai politik. Partailah yang sebenarnya dicintai, bukan NKRI lagi. Sehingga rasa-rasanya lebih menguntungkan menyuarakan "rasa cinta partai" daripada "rasa cinta tanah air". Sebuah ironi memang, dikala rakyat yang merupakan kekuatan sumberdaya manusia terbesar negri ini dimana merupakan kunci kemakmuran negeri dengan jalan cinta tanah air, justru disetir untuk menjauhi kecintaannya pada ibu pertiwi, mereka disetir untuk menjadi rakyat yang harus tunduk pada kehidupan materialistik berbau asing dan mereka harus memilih antara ikut ibu pertiwi atau partai politik nan absurd yang menawarkan kemewahan dunia. Jabatan dan kedudukan telah membuat kalap sebagian masyarakat, mereka berlomba-lomba meraih kedudukan terhormat wakil rakyat, ibarat sebuah pencarian kerja.
Rakyat lain yang tersisih, merasa resah, geli, dan muak melihat aksi-aksi elite disana, mereka pun terpaksa meninggalkan ibu pertiwi hanya lantaran harus memikirkan kehidupan yang semakin tidak jelas ke depannya. Apabila melihat kondisi demi kondisi akhir-akhir ini memang NKRI rasa-rasanya sudah tidak eksis lagi, meskipun data statistik mengungkapkan bahwa republik ini sudah mampu meningkatkan ekonomi dan demokrasinya dalam taraf yang maju pesat. NKRI sudah seperti Yugoslavia dan atau Uni Soviet yang telah pecah menjadi negara-negara kecil berdaulat. Dan, negara-negara kecil berdaulat di NKRI adalah partai politik. Tiga ratus enam puluh lima hari dalam satu tahun rasa-rasanya jarang terdapat bendera merah putih tegak berkibar sepanjang waktu, justru yang terlihat adalah bendera partai politik yang menantang terik mentari sepanjang waktu. Dimanakah ibu pertiwi berada?
Jayalah bangsaku,
Majulah negriku, Indonesia
Biarkan kibar merah putihmu menantang badai, mentari, dan kuning biru hijau merah kain-kain usang
Kepakkan sayap-sayapmu garudaku
Terbanglah tinggi setinggi elang jawa
Jelajahi elipsnya planet hijau biru ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar