Rabu, 30 November 2011

Kisah Si Kucing Belang Si Kucing Malang (rev)

Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, saat ini jalan Rojokoyo dusun
Kesemek terlihat sepi. Jika beberapa bulan yang lalu masih dijumpai
makhluk-makhluk berkaki empat berseliweran di pinggir-pinggir jalan,
maka saat ini terlihat begitu berbeda, hampir tidak akan dijumpai
makhluk-makhluk itu. Jalan Rojokoyo hanyalah sebuah jalan kecil yang
lebarnya cuma cukup untuk dilewati satu mobil, meskipun sempit, jalan
itu sudah beraspal, tidak seperti jalan kampung kebanyakan. Jalan
Rojokoyo sebelumnya pernah dikenal sebagai jalan kucing dan juga jalan
pensiunan, lantaran sebagian besar warga yang tinggal di kanan kiri
jalan Rojokoyo telah berusia lanjut dan mereka sangat menghargai
kucing. Tampaknya segala macam kucing pernah hidup di sana.

------------------

Kucing di seberang jalan Rojokoyo itu secara fisik terlihat lemah
dengan jalan gontai, tampak rambut-rambut kucingnya sudah tidak
berbekas lagi, lebih mirip dengan seekor tikus got. Entah berapa
umurnya, mungkin sudah tua, tubuhnya kecil kurus seukuran anak kucing
umur lima bulan. Meskipun begitu, si kucing yang berwarna abu-abu
berpola belang itu sudah lama malang-melintang di dusun Kesemek,
terutama sekitar jalan Rojokoyo. Tidak ada yang tahu asal-muasal
kucing belang itu. Bahkan kakek nenek yang tinggal di ujung jalan
Rojokoyo pun tidak mengetahui secara pasti asalnya. Pasangan kakek
nenek itu pernah bercerita bahwa si kucing belang itu sudah hidup di
dusun Kesemek sejak mereka masih belia.

Si belang adalah maskot warga dusun yang tinggal di samping kanan kiri
jalan Rojokoyo, lantaran beberapa warga dusun menganggapnya mempunyai
kelebihan dibanding kucing-kucing lainnya. Pernah suatu hari, tepatnya
setahun yang lalu, musibah selalu silih berganti menimpa si belang,
diantaranya berulang kali keserempet sepeda motor, mobil, bus, dan
hampir terlindas truk pengangkut pasir di jalan raya antar kota yang
letaknya tidak jauh dari jalan rojokoyo, kurang lebih berjarak sekitar
satu kilometer. Walaupun musibah berulangkali menyapanya, si belang
tetap saja masih lincah berlarian seperti biasanya. Ajaib memang,
namun itulah kelebihan yang diberikan Pencipta untuk si belang. Kakek
nenek yang tinggal di ujung jalan rojokoyo tempat si belang tinggal
sering memanggil si belang dengan sebutan "Mbah" lantaran menurut
pasangan tua itu, si belang atau Mbah mereka anggap telah berumur
sangat tua, bahkan lebih tua dari mereka, selain itu keajaiban si
belang-lah yang telaah menjadi alasan lainnya.

Sudah sejak puluhan tahun lampau, warga dusun di sekitar jalan
Rojokoyo mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap kucing-kucing
jalanan, sehingga setiap hari selalu terlihat kucing baru yang
menghuni jalan Rojokoyo. Entah dari mana asal-muasal kucing-kucing
yang selalu berdatangan itu, misteri itu belum terungkap sampai saat
ini. Namun, beredar beragam kabar dari penghuni sekitar jalan
Rojokoyo. Salah satu cerita berasal dari nenek pemilik warung nasi di
dekat pertigaan jalan Rojokoyo, beliau berujar bahwa si belang-lah
yang selalu membawa kucing-kucing baru datang ke jalan Rojokoyo.
Cerita ini pun belum tentu benar. Kisah lain berasal dari kakek yang
menghuni rumah tua gaya Eropa yang letaknya tidak jauh dari gapura
jalan Rojokoyo, menurut beliau, jalan Rojokoyo di masa lampau adalah
sebuah kerajaan para kucing. Meskipun kebenaran cerita masih menjadi
tanda tanya, warga dusun tidak pernah meributkannya. Mereka tetap
menerima kehadiran kucing-kucing itu, dan mereka pun menganggap bahwa
semakin banyak kucing akan menambah pundi-pundi rejeki mereka.

Toleransi tampaknya telah menjadi cerita lama, saat ini, banyak warga
tua telah meninggal dunia, terutama dalam bulan ini, sehingga menjadi
bulan berkabung warga dusun Kesemek. Sekarang ini hanya tersisa tiga
orang warga tua. Seiring berkurangnya warga tua, berkurang pula
kesahajaan di dusun Kesemek. Keadaan ini diperparah dengan kehadiran
warga baru yang notabene tidak mempunyai ikatan apapun dengan dusun
Kesemek. Tepatnya dua minggu ini, banyak warga baru yang datang dan
tinggal di sekitar jalan Rojokoyo. Menurut desas-desus yang beredar,
mereka memilih tinggal di sana akibat harga rumah yang sangat murah.
Mereka menempati rumah-rumah tua yang sudah ditinggalkan penghuninya.

----------------------

Si belang, kucing yang dulunya pernah menjadi maskot kampung jalan
Rojokoyo, sekarang telah menjadi sampah dusun Kesemek. Hampir semua
warga baru di jalan Rojokoyo memperlakukan si belang dengan tidak
wajar, tidak ada yang berani mencegahnya, tiga orang warga tua
sekalipun. Dua hari yang lalu, penghuni rumah samping perempatan
menendang si belang dari lantai dua lantaran mereka menganggap si
belang mencuri daging ayam yang baru dimasaknya. Tidak hanya itu,
kemarin, penghuni rumah dekat warung nasi nenek yang tinggalnya dekat
pertigaan jalan Rojokoyo, seenaknya menendang si belang sampai jatuh
di tengah jalan Rojokoyo, dan malangnya sebuah sepeda motor melaju
kencang dan akhirnya menyerempet si belang, bulu yang bertebaran
memenuhi aspal jalan tidak menyebabkan nyawanya melayang. Tak hanya
itu, si pemilik rumah tersebut pagi tadi terlihat sempat menyiramkan
air panas ke tubuh si belang. Dan seorang pemilik rumah lain bahkan
sempat memukul punggung si belang dengan tongkat kasti, tidak hanya
sekali tetapi berulang kali, terlihat si belang hanya meringkukkan
tubuhnya tanpa mengerang, entah sakit atau tidak, tidak ada yang tahu.
Bagi si belang, peristiwa itu mungkin dianggapnya sebagai konsekuensi
atas perubahan jaman yang harus ikhlas dijalani. Seiring kejadian yang
menimpa si belang, kucing-kucing lainnya yang pernah merasakan
kedamaian di jalan Rojokoyo serta-merta menghilang dengan sendirinya.
Keadaan ini telah membuat nenek yang mempunyai warung nasi jatuh sakit
lantaran selalu memendam kepedihan dan kesedihan atas peristiwa yang
tengah terjadi di dusunnya itu, sehingga sejak kemarin si nenek dibawa
ke panti jompo yang letaknya agak jauh dari rumahnya.

Seperti yang pernah dikatakan oleh warga tua, si belang nampaknya
benar-benar memiliki kelebihan. Walaupun penganiayaan demi
penganiayaan menjadi makanan sehari-hari si belang, dia terlihat masih
bertahan hidup, hanya terlihat bagaikan seekor tikus got. Tampaknya
seiring hilangnya warga asli, kedigdayaan si kucing belang juga mulai
meredup.

Selasa, 29 November 2011

Kisah Gunung Munyuk dan Desa Kluthuk

Seperti biasanya, alunan merdu siter mengiringi riuh suara hewan-hewan
malam. Sebuah siter tua nampaknya telah menemani kesendirian lelaki
tua yang tinggal tidak jauh dari gunung Munyuk, lebih tepat sebagai
bukit kapur daripada sebuah gunung. Setiap malam selepas Isya, lelaki
tua itu duduk di bawah pohon kapuk yang tidak jauh dari gubugnya.
Dengan mengenakan sarung lusuh dan bertelanjang dada, beliau bersandar
pada batang pohon kapuk favoritnya, beralaskan tikar kusut dan tak
berapa lama terdengarlah alunan siter dari petikan lincah jari-jemari
tua. Itulah rutinitas mbah Kuncung setiap malam setelah waktu Isya.
Warga desa Kluthuk memanggilnya dengan nama mbah Kuncung lantaran
tidak ada yang tahu-menahu asal-usul beliau. Nama itu tampaknya
diambil dari gaya rambut yang kuncung.

Merdu suara siter petikan mbah Kuncung selalu dinanti-nantikan
sebagian warga desa Kluthuk yang tinggal tidak jauh dari gubug tempat
mbah Kuncung tinggal. Warga desa menghormati mbah Kuncung sebagai
tetua desa dan juga sebagai satu-satunya seniman di desa Kluthuk.
Seringkali setiap ada acara pernikahan atau sunatan, mbah Kuncung
diundang untuk mempertunjukkan kebolehannya. Setiap selesai
mempertontonkan aksinya, mbah Kuncung tidak pernah meminta imbalan
sepeser pun, hanya hidanganan pengisi perut yang mungkin dimintanya,
keadaan seperti inilah yang menjadikan warga desa menaruh hormat
kepada mbah Kuncung dan menganggapnya sebagai seniman sejati.

Mbah Kuncung adalah pribadi yang tertutup, sehingga tidak banyak yang
mengetahui riwayat beliau. Beliau pun hanya berbicara seperlunya
kepada warga desa yang ditemuinya, meskipun begitu, warga tetap
menganggap mbah Kuncung sebagai tetua desa yang wajib dihormati. Hanya
ada dua orang yang pernah dekat dengan mbah Kuncung, mereka adalah
mbah Waru dan dhé Pahing. Namun sayang, mereka sudah meninggal sekitar
lima bulan yang lalu akibat musibah longsor yang menimpa rumah mereka.
Longsor yang patut disebut sebagai musibah, bukan bencana, lantaran
akibat aksi liar penambang-penambang batu kapur. Mbah Kuncung, mbah
Waru, dan dhé Pahing selalu bersenda gurau di atas gunung Munyuk
ketika siang sambil mendendangkan tembang-tembang macapat, dan kala
malam, mereka akan bercengkerama di bawah pohon kapuk sambil menghisap
rokok klobot buatan sendiri, dan tak ketinggalan petikan siter mbah
Kuncung. "Tiga serangkai", itulah sebutan warga desa bagi mereka.
Ketiganya dianggap sebagai penjaga desa dari kemungkinan bencana yang
melanda, karena keseharian mereka yang selalu naik-turun gunung
Munyuk, kadang mereka mencari sumber-sumber air baru diantara
keringnya gunung Munyuk, dan kadang mereka juga mengusir
penambang-penambang batu kapur yang datang dari desa sebelah.

Meskipun dua kawan dekatnya sudah tiada, mbah Kuncung tetap
melaksanakan tugas hariannya, mencari sumber air dan mengusir
penambang-penambang batu kapur. Setiap siang hari, beliau seakan
ditelan oleh gersangnya gunung Munyuk, dan kala malam, beliau akan
berkisah lewat petikan siternya. Sejak empat bulan lalu, mbah Kuncung
dekat dengan Kacung dan Gendhuk, sebenarnya sudah sejak lama mbah
Kuncung dekat dengan mereka tetapi warga menganggapnya kedekatan itu
menjadi-jadi sejak dua orang kawan karibnya meninggal dunia. Setiap
sore, mbah Kuncung akan menyempatkan menemui Kacung dan Gendhuk di
lereng gunug Munyuk yang tidak begitu jauh dengan gubug Mbah Kuncung.
Mbah Kuncung selalu membagi rejeki hariannya kepada Kacung dan
Gendhuk. Rejeki yang sebenarnya berasal dari derma warga desa, sering
berupa singkong, ubi, dan gula jawa. Terkadang juga, Kacung dan
Gendhuk mendatangi gubug mbah Kuncung, dan kadang pula, gubug mbah
Kuncung dijadikan hunian Kacung dan Gendhuk.

Tidak ada yang tahu alasan mbah Kuncung berkawan dengan Kacung dan
Gendhuk. Warga desa beranggapan, Kacung dan Gendhuk adalah titisan
mbah Waru dan dhé Pahing. Namun pendapat lain dari warga desa
mengatakan bahwa Kacung dan Gendhuk bukanlah jelmaan mbah Waru dan dhé
Pahing lantaran Kacung dan Gendhuk telah menghuni gunung Munyuk sejak
berpuluh tahun yang lalu. Nampaknya pendapat tersebut akan terus
bertentangan selama yang bersangkutan belum memberikan penjelasan, dan
akan menjadi sejarah tersendiri bagi desa Kluthuk.

---------------

Rumah berdinding papan kayu jati lapuk itu berlokasi tepat di bawah
dinding gunung Munyuk, atau tepatnya tebing gunung Munyuk. Rumah itu
berukuran tiga kali empat meter, dan lebih tepat disebut sebagai
sebuah gubug. Gubug tua itu telah dihuni mbah Kuncung selama puluhan
tahun, bahkan semenjak desa Kluthuk berdiri. Di dalamnya hanya
berisikan sejumlah singkong dan ubi, sama sekali tidak ada perabot
layaknya rumah, hanya selembar tikar kusut. Mbah Kuncung biasanya
lebih memilih tidur di bawah pohon kapuk favorit beralaskan tikar
kusutnya ketika si Kacung dan Gendhuk menggunakan rumahnya untuk
melepas lelah setelah berkegiatan sehari penuh. Memang mbah Kuncung
tidak pernah melarang siapapun yang ingin melepas lelah di gubugnya.
Kadang terlihat mbah Kuncung bercakap-cakap dengan Kacung dan Gendhuk.
Dari kejadian inilah, sebagian warga yang tidak begitu mengenal mbah
Kuncung menyebutnya sebagai orang yang kurang waras, sedangkan warga
yang telah mengenal beliau hanya menganggapnya sebagai orang yang
mempunyai kelebihan atau lebih tepatnya mempunyai indera keenam.
Kadang juga terlihat mbah Kuncung ditemani Kacung dan Gendhuk kala
memainkan siternya.

Menurut penuturan warga desa Kluthuk, mbah Kuncung adalah salah satu
pendiri desa Kluthuk. Sebenarnya kondisi desa Kluthuk sangat sulit
digunakan untuk hidup, lantaran begitu kering dan gersangnya. Sejauh
mata memandang hanya terlihat bukit-bukit kapur, yang kadang-kadang
ditumbuhi semak dan pohon jati. Namun, karena keuletan mbah Kuncung
dan pendiri desa lainnya memanfaatkan gersangnya gunung Munyuk, maka
banyak warga yang sebelumnya belum punya hunian berduyun-duyun datang
dan tinggal di tempat yang sekarang dinamakan desa Kluthuk. Mbah
Kuncung pernah membuat peraturan untuk warga dan warga pun dengan
ikhlas mematuhi aturan itu. Secara garis besar, aturan itu berisikan
larangan merusak bukit karst, walaupun sedikit dan larangan berburu
hewan-hewan penghuni gunung Munyuk, serta untuk kehidupan sehari-hari,
warga hanya diperbolehkan untuk bercocok tanam dan beternak. Dari
aturan tersebut, warga telah menganggap gunung Munyuk adalah rumah
besar mereka.

Namun sayang, sekitar satu tahun lalu, beberapa warga yang nakal
mengeruk kekayaan tersembunyi bukit karst secara diam-diam, dan
akibatnya sekitar lima bulan lalu, longsorannya menimbun rumah mbah
Waru dan dhé Pahing, serta dua rumah warga lainnya.
Penambang-penambang ilegal itu pun akhirnya berurusan dengan pihak
berwajib.

Nampaknya, warga desa juga harus berterima kasih kepada Kacung dan
Gendhuk, karena merekalah yang telah menghijaukan gunung Munyuk dan
akibatnya sumber air pun masih mudah diperoleh. Setiap acara sedekah
desa, memang sebagian warga memberikan seserahannya kepada Kacung dan
Gendhuk, karena warga desa menghormatinya sebagai penyelamat kehidupan
gunung Munyuk. Namun, sebagian warga lain yang tinggal agak jauh dari
gunung Munyuk justru menganggap Kacung dan Gendhuk adalah perusak
lahan kebunnya. Mereka dianggap suka mencabut pohon singkong yang
belum saatnya dipanen. Pernah suatu hari, warga desa yang tinggal agak
jauh dari gunung Munyuk berusaha menembak Kacung dan Gendhuk, tetapi
usaha ini digagalkan oleh dhé Bejo, salah seorang warga yang tidak
sengaja berada di tempat konflik itu.

-------------------

Konflik tampaknya sedang menyelimuti desa Kluthuk, terdapat dua
kelompok warga yang berseberangan. Kelompok warga yang mempertahankan
nilai-nilai budaya lokal besrta kearifan lokal tinggal di sekitar
gunung Munyuk, mereka dengan sekuat tenaga berupaya membuat gunung
Munyuk tetap lestari, sedangkan kelompok lain tinggal agak jauh dari
gunung Munyuk, mereka adalah kelompok warga yang telah meninggalkan
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Seringkali kedua kelompok warga
itu saling perang mulut. Seperti yang terjadi lima hari yang lalu,
beberapa warga berencana menambang kapur gunung Munyuk, tetapi usaha
tersebut berhasil dihalau oleh warga yang tinggal sekitar gunung
Munyuk. Warga desa Kluthuk benar-benar sudah terpecah menjadi dua
bagian. Kelompok warga desa yang tinggal jauh dari gunung Munyuk
tampaknya memiliki pandangan bahwa gunung Munyuk dapat diuangkan.

Masalah yang lebih pelik lagi nampaknya telah menghantui warga desa
Kluthuk, terutama warga desa yang tinggal dekat dengan gunung Munyuk.
Tiga hari yang lalu, salah satu perusahaan semen terbesar berencana
membangun cabang pabriknya di desa Kluthuk, lantaran desa Kluthuk
memiliki sumber bahan baku semen yang berkualitas. Peristiwa ini
serta-merta diprotes oleh warga desa yang tinggal dekat dengan gunung
Munyuk. Aksi protes saat itu dipimpin oleh mbah Kuncung dan dhé Bejo.
Protes demi protes dilancarkan oleh warga desa sampai hari ini, bahkan
sejak kemarin, suasana desa semakin mencekam lantaran bentrok antara
warga yang kontra dengan yang pro pembangunan pabrik semen. Tampaknya
bentrok demi bentrok itu lebih bersifat adu domba. Tak dipungkiri
lagi, sejak rencana penambangan batu kapur bergulir, perusahaan semen
itu banyak menggelontorkan uang untuk mereka, dengan alasan tanggung
jawab sosial. Mereka yang menerima uang diharapkan untuk mendukung
keberhasilan proyek mereka.

Sejak kejadian itu, warga desa nyaris kehilangan kehidupannya yang
bersahaja karena segenap tenaga dan pikiran dikerahkan untuk upaya
penyelamatan gunung Munyuk, apalagi setelah mbah Kuncung terbaring
sakit sejak kemarin sore, tentunya setelah berpanas-panasan membuat
pagar betis mengamankan gunung munyuk bersama warga desa lainnya.
Sampai siang ini, mbah Kuncung pun masih terbaring lemah di dalam
gubugnya, hanya ditemani oleh Kacung dan Gendhuk. Beliau tidak bisa
memimpin aksi siang ini. Siang ini nampaknya akan menjadi aksi protes
penghabisan menentang penambangan batu kapur dan pembangunan pabrik
semen setelah tersiar kabar bahwa pemerintah kabupaten mengesahkan
rencana perusahaan semen itu.

Pagi tadi sudah terlihat delapan truk pengangkut pasir yang diparkir
tidak jauh dari gunung Munyuk. Warga yang sejak pagi membuat pagar
betis berteriak-teriak histeris meminta para penambang menjauhi gunung
Munyuk. Bagi mereka, gunung Munyuk ibarat rumah, gunung Munyuk telah
mengisi sendi-sendi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi warga desa
Kluthuk. Dengan dikawal warga yang pro penambangan, para penambang
mendorong pagar betis, beberapa warga jatuh tersungkur, terinjak-injak
oleh puluhan penambang dan warga desa yang pro. Merah darah dan bunyi
tulang yang patah pun tidak terelakkan lagi.

Bahan peledak temuan Alfred Nobel pun akhirnya berhasil dipasang di
setiap sudut dan celah gunung Munyuk. Hening siang yang biasanya
menghiasi desa Kluthuk tiba-tiba pecah oleh jeritan dan tangisan
warga. Siang ini benar-benar telah menjadi hari hidup mati bagi warga
desa Kluthuk.

Terlihat dari kejauhan beberapa mobil mewah dengan orang-orang
berpenampilan parlente dan baju dinas tiba di desa Munyuk. Mereka
rasa-rasanya ingin melihat calyon uang yang akan memenuhi saku mereka.
Salah seorang dari mereka yang berbaju batik dan berpeci hitam
terlihat menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah gunung Munyuk sambil
berbincang dengan orang yang berpenampilan parlente, sesekali
diselingi dengan tawa kepuasan.

"Daaarrrrrr", "Gluduk gluduk", terdengar bunyi bahan peledak dan
runtuhan batu-batu kapur dari gunung Munyuk. Serta-merta warga desa
yang sejak pagi tadi membuat pagar betis lari kalang kabut berusaha
menyelamatkan diri dari runtuhan batu-batu kapur. Suasana siang ini
terlihat sangat memilukan, satu sama lain berusaha menghindar sambil
menyelamatkan sanak saudaranya.

Tidak begitu lama, bentang gunung Munyuk yang sebelumnya terlihat
kokoh menjulang tinggi seketika berubah menjadi begitu rapuh. Runtuhan
itu pun mengubur beberapa lahan kebun dan rumah warga. Tidak ada
korban jiwa dalam peristiwa itu, hanya korban luka-luka dan patah
tulang. Namun, nasib mbah Kuncung bersama Kacung dan Gendhuk belum
diketahui oleh warga setelah reruntuhan batu kapur terlihat menimbun
lokasi gubug mbah Kuncung. Timbunan reruntuhan itu terlalu hebat dan
mustahil ada nyawa yang selamat dari timbunan itu. Tampaknya siang ini
benar-benar menjadi hari akhir kehidupan sosial budaya warga desa
Kluthuk serta juga telah menjadi titik akhir takdir mbah Kuncung dan
dua ekor monyet ekor panjang yang selama ini menjadi bagian hidup
beliau. Setelah hari ini rasa-rasanya tidak akan pernah terlihat lagi
kekokohan gunung munyuk, kesahajaan kehidupan warga desa dan juga
tidak akan ada lagi seniman sejati, serta tidak akan terlihat lagi dua
ekor monyet ekor panjang yang telah menghijaukan bukit karst. Entah
belum diketahui masa depan mereka dengan pasti.

Senin, 28 November 2011

Kliwon dan Desa Kluwek

Warga desa memanggilnya dengan Kliwon, sebuah nama yang diambil dari
nama pasaran jawa. Entah apa makna dari nama itu sendiri, belum ada
yang tahu. Mungkin hanya warga tua yang tahu-menahu seluk beluk
sebutan Kliwon dan si Kliwon sendiri, terutama mbah Suket. Terlepas
dari itu semua, selama ini sebagian besar warga desa menghormatinya
sebagai penjaga desa Kluwek dari ancaman gagal panen. Setiap acara
sedekah bumi, warga desa tidak pernah melupakan perihal si Kliwon.
Mereka akan berkumpul di sebuah gubug tua sambil membawa jajanan pasar
dan sajian buatan rumah. Gubug itu berdiri di bawah pohon randu yang
diperkirakan berumur ratusan tahun, dan terletak tepat di samping
kanan sawah mbah Suket.

Mbah Suket sendiri sebenarnya sudah lama meninggal, tetapi namanya
masih dikenang warga desa Kluwek sampai sekarang karena kedermawanan
dan kesederhanaannya. Mbah Suket adalah seorang saudagar kaya yang ada
di desa Kluwek, beliau memiliki tanah yang sangat luas atau dengan
kata lain beliau-lah pemilik desa Kluwek sebenarnya. Bahkan bisa
dibilang, tanah yang menjadi hunian warga desa Kluwek sekarang berasal
dari kedermawanan mbah Suket di masa lampau. Masa lampau berbeda
dengan masa sekarang, karena saat ini mbah Suket hanya meninggalkan
sepetak sawah, sebuah gubug tua, dan si Kliwon.

Selama hidupnya, mbah Suket dikenal sebagai orang yang sangat
sederhana, walaupun beliau berharta tetapi selama hidupnya hanya
tinggal di sebuah gubug. Mbah Suket pun dengan ikhlasnya
membagi-bagikan tanahnya kepada warga desa Kluwek. Entah apa maksud
beliau, belum ada yang tahu sampai ajal menjemputnya. Mbah Suket
meninggal dunia sekitar dua minggu yang lalu. Sepeninggal beliau, si
kliwon nampaknya yang menjadi satu-satunya makhluk penghuni gubug tua
mbah Suket. Sejak mbah Suket memelihara Kliwon sekitar dua tahun lalu,
desa Kluwek selalu terhindar dari gagal panen, meskipun desa-desa
tetangga sering mengalami gagal panen. Gagal panen yang terjadi lebih
sering disebabkan oleh hama tikus daripada bencana alam.

Sejak enam bulan yang lalu, desa Kluwek telah ditetapkan oleh bupati
sebagai salah satu desa percontohan swasembada beras akibat hasil
taninya yang selalu berhasil. Nampaknya keadaan desa yang gemah ripah
loh jinawi tidak menjadikan warganya lupa diri terhadap jasa
pendahulunya. Warga desa Kluwek selalu merasa berhutang budi kepada
mbah Suket. Mereka selalu merasa bahwa mbah Suket-lah yang telah
berjasa menghantarkan warga desa Kluwek menjadi makmur seperti saat
ini. Setiap harinya, warga bergiliran membersihkan halaman gubug tua
dan juga menggarap sepetak sawah peninggalan mbah Suket. Hasil
panennya pun dibagi-bagikan merata ke seluruh warga desa.

Gubug itu sudah berumur puluhan tahun tetapi masih tetap kokoh
berdiri. Gubug tua itu sering dipakai warga petani yang letak sawahnya
tidak begitu jauh dari gubug tua untuk melepas lelah kala siang
menjelang. Setiap siang, gubug tua itu tak ubahnya seperti sebuah
pertunjukan seni dadakan lantaran alunan macapat sampai campursari.
Gubug tua beserta ornamen gunungan wayang dan kotak kayu jati tempat
bermukim si Kliwon dan si Kliwon sendiri tampaknya sudah menjadi
maskot desa Kluwek dan telah membentuk citra desa Kluwek sebagai desa
yang menjunjung nilai-nilai budaya. Pernah suatu ketika, mbah Burik
berujar bahwa gubug tua beserta isinya itu adalah sumber kemakmuran
desa Kluwek, dan beliau pun menyarankan kepada setiap warga desa untuk
menghormati keberadaan gubug tua dan isi di dalamnya. Entah apa maksud
mbah Burik, warga desa hanya manut saja. Mbah Burik merupakan
satu-satunya warga tua yang masih hidup sampai saat ini.

Sebenarnya masalah yang dihadapi warga desa Kluwek saat ini bukanlah
masalah gagal panen lagi seperti halnya desa-desa tetangga, melainkan
pergeseran budaya antara warga tua, dewasa, dan muda. Mereka yang tua
dan dewasa selalu menekankan kesederhanaan dalam hidup disertai
menjalankan nilai-nilai budaya leluhur. Sedangkan warga muda selalu
berorientasi kepada kehidupan yang bersifat materialistik. Pernah
suatu ketika, tepatnya tiga hari yang lalu, Dodo, seorang remaja yang
menginjak dewasa tiba-tiba memaksa kedua orang tuanya untuk menjual
sawahnya. Entah angin apa yang merubah pikiran Dodo, padahal sawah
mereka masih sangat produktif. Dengan segala cara Dodo melancarkan
"teror" kepada kedua orang tuanya, dan sampai saat ini orang tuanya
masih berkeras untuk tidak menjual sawahnya. Tidak hanya satu keluarga
saja yang mengalami keadaan seperti itu, tampaknya terdapat lebih dari
lima keluarga yang mengalami hal serupa. Jika ditelusuri lebih jauh,
ternyata anak dari keluarga yang mengalami masalah pelik tersebut
pernah bekerja di kota tetangga, yang lebih dikenal sebagai kota pusat
industri dan perdagangan. Kehidupan serba instan, sifat konsumtif, dan
hidup bertujuan materi tampaknya yang telah mengubah perangai
pemuda-pemuda itu.

Bukan bencana alam atau isu pemanasan global yang akan mempengaruhi
kemakmuran desa Kluwek yang merupakan desa berbasis pertanian,
berubahnya sumber daya manusia-lah yang menjadi penyebab primernya.
Warga muda desa Kluwek yang sudah pernah mengenyam kehidupan kota
besar sudah tidak peduli dan tidak mau lagi meneruskan perjuangan
orang tua mereka untuk menggarap sawah. Mereka beranggapan bahwa
bertani tidak akan membuat mereka kaya. Yang lebih memprihatinkan
adalah mereka sudah kehilangan nilai-nilai budaya yang diajarkan oleh
pendahulunya.

Nampaknya pertentangan antara warga dewasa dan muda tengah berlangsung
sampai saat ini, dan entah akan dimenangkan oleh siapa. Dua hari yang
lalu, Dodo membuat ulah, merusak gubug tua lambang kemakmuran desa
Kluwek. Namun sayang, usahanya dicegah oleh mbah Burik. Saat itu adu
mulut pun terjadi, kejadian itu menggambarkan betapa warga muda sudah
kehilangan sopan santun dan tata krama. Dia sudah tidak dapat
membedakan mana tindakan yang baik dan yang buruk. Tidak hanya itu,
Toto, warga muda lain dan cucu dari mbah Burik pernah berencana
menangkap Kliwon, namun keberuntungan masih berpihak pada kehidupan
desa Kluwek, mbah Burik mengetahui rencananya.

Kejadian demi kejadian yang jauh dari prediksi warga terus menghantui
warga desa Kluwek. Bahkan tidak sedikit warga yang menangis. Kemarin,
beberapa warga menggelar ritual tolak bala di dekat gubug tua,
tepatnya di bawah pohon randu yang teduh. Mereka berharap perangai
anak-anak mereka yang telah berubah dapat kembali lagi seperti semula.
Selain itu, beberapa warga menggalakkan jaga kampung. Mereka tidak
ingin terdapat kerusakan-kerusakan yang lebih besar di desa Kluwek.
Kegiatan jaga desa tersebut dipusatkan di gubug tua dan dipimpin oleh
mbah Burik sendiri.

Siang ini terlihat beberapa warga muda, termasuk Dodo dan Toto, mereka
mendekati gubug tua meskipun di sana terdapat beberapa warga yang
sedang istirahat. Dengan mengendarai motor baru kreditan, mereka
mencemari suasana desa yang tenang dengan bising knalpot motor mereka.
Meskipun beberapa warga sudah berteriak-teriak menyuruh menghentikan
suara bising itu, mereka tetap melanjutkan aksinya. Seketika bising
melanda tempat itu dan bau asap hasil pembakaran bensin pun merebak
memenuhi udara siang ini.

Warga yang kesal akhirnya pergi meninggalkan gubug tua itu, dan malang
tidak bisa dihindarkan, saat sepi itulah dimanfaatkan mereka untuk
menghabisi lambang kemakmuran desa Kluwek. Dodo dengan mudahnya
mengambil gunungan wayang yang ditempel di dinding gubug tua. Dengan
penuh emosi, dia membakar ornamen gunungan wayang itu. Sedangkan Toto
berusaha meraih kotak tempat si Kliwon bermukim. Sementara, anak muda
lainnya berusaha merusak dinding-dinding kayu gubug tua. Bahkan ada
yang terlihat menumpahkan minyak di sekeliling gubug tua itu.

Tak berapa lama, Toto pun mendapatkan sesuatu yang selama ini
direncanakannya, dia mendapatkan si Kliwon. Dengan kasarnya, dia
meraih si Kliwon yang masih terlelap dari kotak kayunya. Suara
lengkingan tajam Kliwon membahana diantara riuh anarkis pemuda-pemuda
desa. Tidak ada yang mengetahui aksi brutal siang ini lantaran sebuah
kelengahan dari aksi jaga desa. Lengkingan Kliwon saat ini nampaknya
bukan pertanda kesakitan, namun lebih menandakan kesedihan dan
kepedihan yang selama ini dipendam oleh Kliwon.

"Krekkk", Toto berhasil mematahkan kedua tulang sayap si Kliwon.
Setelah itu terlihat Kliwon terkapar hampir-hampir pingsan. Serak jawa
terakhir desa Kluwek telah berakhir masa keemasannya.
Lengkingan-lengkingan khas burung hantu itu menyertai suara-suara kayu
yang terbakar. Setelah melihat api yang menjalar-jalar, Toto dengan
senyum kecil melemparkan Kliwon ke dalamnya. Sebuah lambang kemakmuran
desa yang berhenti berdenyut siang ini.

Minggu, 27 November 2011

Celah Malam

lantaran kelip bercelah
gelap dicaci

bukankah tergolek sebuah titipan
diantara sudut celahnya

riang menjejak imaji
namun, hanya satu dua menjadi langkah siang

kala lelap menelikung gelap
gelap tidak pernah berang
sabar menuntun lelahnya akal malam
sembari menebas rintihan angkuh raga
mengajarkan ikhlas ruhani
menerima konstelasi peristiwa ilahi

terpapar kisah terjaga dan berkafan


bintaro, 28 november 2011

Kamis, 24 November 2011

Secarik Kertas Bergambar Elips

Sudah hampir satu bulan ini wanita tua itu tinggal di sudut pinggir lapangan samping balai desa Kemiri. Dengan berbekal kain-kain lusuh, pinggir lapangan yang ditumbuhi semak dan ilalang disulapnya menjadi hunian sangat sangat sederhana sekali. Tidak ada yang mengetahui seluk beluk wanita tua itu, bahkan namanya pun tidak ada yang tahu-menahu. Desas-desus yang beredar dari warga RT. 1 mengatakan bahwa wanita tua itu adalah orang gila dari desa sebelah, dia diusir anaknya sejak sebulan yang lalu gara-gara mengamuk merusak rumah anaknya. Beredar lagi isu yang lain, tepatnya warga yang tinggal di sekitar gedung balai desa, mereka mengatakan bahwa wanita tua itu sedang menyempurnakan ilmu hitamnya. Entah berita mana yang benar, belum ada yang bisa memastikan kebenaran desas-desus tersebut.

Setiap hari, dia selalu diam menundukkan kepalanya, bahkan terlihat seperti seorang pertapa. Tidak ada seorang pun yang berani mengusik aktifitas hariannya, bahkan mendekatinya pun membuat merinding. Aneh memang, ketika matahari bersinar, dia terlihat berdiam semedi, sedangkan kala bulan menyembul, dia berdiri di tengah-tengah lapangan yang dibiarkan tidak terawat itu. Berdiri sambil menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit, dan kadang-kadang meronta-ronta sampai menjerit histeris, seperti itulah yang diungkapkan pak Todi yang rumahnya tidak jauh dari lapangan tempat wanita tua misterius itu berdiam. Entah apa yang sedang dilakukan wanita tua misterius itu, tidak ada yang peduli, namun tingkah anehnya nampaknya sudah mulai mengusik ketentraman warga desa Kemiri. Pernah suatu hari, sekitar tiga hari yang lalu, pak Jono, ketua RT, berinisiatif untuk memindahkan wanita tua itu ke rumah sakit jiwa, tetapi sampai saat ini belum ada realisasinya.
Nampaknya warga desa Kemiri benar-benar tidak memiliki keberanian untuk melaksanakan usul pak RT.

Malam sebelumnya, tingkah wanita tua misterius itu benar-benar meresahkan warga desa Kemiri. Jeritan, rontaan, lengkinga, dan lolongannya kadang-kadang terdengar memilukan dan kadang-kadang membuat kesal warga. Namun, anehnya setiap wanita itu mengeluarkan tingkah anehnya, listrik di desa Kemiri selalu padam. Itulah mengapa warga desa mengaitkannya dengan praktek ilmu hitam yang dilakukan wanita tua itu, dan kejadian itulah yang membuat warga desa lebih memilih berdiam di dalam rumah sehabis Isya lantaran dia biasanya berulah setiap habis waktu Isya.

Sebuah kisah misteri telah membayangi kehidupan desa Kemiri. Hampir sebagian besar warga tidak bernyali melewati lapangan itu, siang hari sekalipun, bahkan sejak sebulan ini, aktifitas karang taruna yang berpusat di balai desa pun ditiadakan dengan alasan yang belum jelas. Mereka nampaknya tidak mau mengambil resiko atas kondisi yang sedang terjadi di desa Kemiri, sebuah resiko trauma mental. Kejadian itu benar-benar telah mempengaruhi mental hampir sebagian besar warga desa.

Tidak ada yang berani mendeskripsikan wajah wanita tua misterius penunggu sudut pinggir lapangan desa. Terlalu mengerikan, begitulah ujar pemuda-pemuda desa Kemiri. Jika dilihat sekilas, nampaknya dia hanya berbaju dari beberapa lembaran kain kumal, tubuhnya kurus, tinggal tulang belulang dibalut kulit, matanya cekung tetapi sorot matanya masih tajam, dan rambutnya acak-acakan diselingi oleh uban yang terlihat mengkilap ketika terkena sinar matahari siang, begitulah sedikit yang bisa diuraikan oleh warga yang memberanikan diri melewati lapangan desa Kemiri.

Tidak ada yang mengetahui apa yang menjadi pengganjal perut wanita tua misterius itu, lantaran dia hanya diam saja di pinggir lapangan desa sejak sebulan yang lalu. Ada yang bilang bahwa dia hanya memakan dagingnya sendiri dan ada pula yang mengatakan bahwa dia hanya memakan serangga dan hewan-hewan kecil yang setiap hari mengunjungi semak-semak dan ilalang di lapangan desa. Kebenaran yang masih belum teruji nampaknya mulai menghinggapi kehidupan warga desa Kemiri. Sepertinya luka-luka di kedua kaki wanita itu dijadikan anggapan bahwa wanita tua itu bersifat kanibal, sebagian warga menganggap si wanita tua itu makan dagingnya sendiri, dan mereka pun begitu percaya dengan hipotesis yang dilontarkan sendiri.

Malam ini, tepat pukul sebelas lewat dua puluh tiga menit, suara jerit dan lolongan panjang wanita tua penghuni lapangan desa membahana menyelimuti dinginnya udara malam ini, kemudian tak berapa lama, hanya sekitar satu menit, listrik desa Kemiri pun padam, seperti biasanya. Suasana desa nampak hening, hanya terdengar suara-suara mengerikan yang keluar dari mulut wanita tua misterius.

Lima belas menit sudah, suara-suara mengerikan itu masih menemani heningnya suasana desa Kemiri. Tiba-tiba suara kentongan dari gardu poskamling yang letaknya memang agak jauh dari lapangan menyeruak diantara lolongan panjang mengerikan wanita tua misterius itu. Bunyi kentongan itu menandakan sebuah perintah supsya warga desa untuk berkumpul di gardu poskamling tempat kentongan berada. Nampaknya bunyi kentongan malam ini semakin lama semakin kuat, dan terdengar ikut serta mengiringi suara aneh wanita tua yang masih belum berhenti. Bunyi yang menguat dan tidak berhenti nampaknya menandakan belum ada warga desa yang menyambangi asal bunyi itu.

Tak berapa lama, beberapa warga desa pun memberanikan nyalinya untuk berkumpul di gardu poskamling, tetapi nampaknya ada sebuah kejadian yang serta-merta membuat mereka tercengang, tidak bergerak sedikitpun, lantaran ketakutan yang menjadi-jadi, begitu pula dengan pak Jono, si penabuh kentongan, nampaknya ketakutan yang begitu besarnya menyebabkan pukulan kentongan menjadi semakin kuat tak terarah. Warga lain yang sedang beniat bergabung juga mengalami hal serupa, mereka tercengang di depan pintu rumahnya sendiri ketika akan beranjak ke poskamling, ketakutan yang luar biasa mengakibatkan mereka tidak bisa menggerakkan anggota badan mereka. Mereka seperti tersihir oleh pentas monolog yang diperankan oleh wanita tua misterius tengah malam ini.

Wanita itu tetap menjerit, meronta, melengking, dan melolong. Diantara rontaannya terdengar permohonannya dalam tangis kepada benda aneh yang mengeluarkan kilau cahaya yang malam ini menyinari lapangan desa Kemiri. Kilau cahaya itulah yang nampaknya membuat tercengangnya warga desa yang hendak bergabung dengan si pemukul kentongan. Sangat terang sekali kilau cahaya itu, tepat seukuran lapangan desa Kemiri, tepat di bawahnya berdiri wanita tua misterius.

"Kembaaaaalikaaaaaaaaan", begitulah ucapan wanita tua itu seperti yang tertangkap oleh telinga-telinga warga desa yang masih kaku badannya. Tangisan, jeritan, dan rontaan menghiasi malam yang hampir beranjak menuju subuh. Tetap saja benda bundar sumber cahaya seukuran lapangan desa tidak bergeming melihat tingkah wanita tua itu. Tak berapa lama kilau cahaya yang terang akhirnya perlahan meredup, dan tanpa disadari oleh puluhan mata warga desa, benda aneh itu pun melesat jauh ke angkasa, dan menghilang dalam gelapnya langit.

Wanita tua itu terkapar lemas tepat di tengah-tengah lapangan, nampaknya semua energinya habis untuk melancarkan aksi anehnya malam ini. Tak hanya wanita itu yang lemas, puluhan warga desa yang tak sengaja menyaksikan kejadian malam ini pun terlihat lemas, bahkan ada yang terlihat menangis, sebuah tangisan yang menandakan ketakutan hebat. Hanya beberapa warga saja yang bernyali mendekati tubuh wanita tua itu, tiba-tiba wanita itu bergumam, "sekarang giliran kalian, jaga anak-anak kalian, dia akan datang di sini".

Tidak ada yang tahu maksud wanita tua itu, seiring berkumandangnya adzan subuh, tubuh wanita itu mengejang, dan akhirnya melemas, terbaring di tengah-tengah lapangan desa Kemiri. Siang pun beranjak, jenazah wanita tua itu pun dikuburkan alakadarnya di pemakaman desa sebelah, semua peninggalan si wanita pun di bakar warga dengan alasan membuang sial dan mencegah malapetaka bagi desa Kemiri. Hanya secarik kertas lusuh berisi gambar sebuah benda elips lonjong, bintang, dan gambaran manusia yang disimpan oleh pak Jono. Nampaknya kertas itu menjadi sebuah pesan misterius yang tentunya belum bisa terungkap.

Sabtu, 19 November 2011

Menyikapi Konflik Antara Manusia dengan Satwa Liar

Daftar panjang konflik antara manusia dengan satwa liar di negeri ini nampaknya telah menjadikan keprihatinan tersendiri bagi segenap bangsa Indonesia. Akar konflik yang diduga penyebabnya berasal dari permasalahan ekonomi telah membuat konflik tersebut berlarut-larut bahkan pihak pemerintah pun terkesan setengah-setengah dalam menyikapinya. Meskipun tidak semua akar konflik disebut berasal dari permasalahan ekonomi, tetapi nampaknya tetap akan berujung pada titik "ekonomi", dimana kejadian ini lebih banyak dilakukan oleh masyarakat lokal atau masyarakat sekitar kawasan konservasi.

"Satwa liar adalah hama", begitulah pernyataan yang sering terlontar oleh masyarakat-masyarakat sekitar kawasan konservasi yang mempunyai kepentingan terhadap kawasan tersebut. Tidak saja masyarakat lokal yang menganggapnya sebagai hama, industri-industri pengguna kawasan hutan pun menganggapnya sebagai hama yang sangat mengganggu. Jika masyarakat lokal berkonflik dengan cara-cara lokal, maka industri-industri tersebut berkonflik secara membabi buta, dan keduanya termasuk perbuatan yang sadis, sebuah perbuatan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi konsumtif akan melahirkan pergeseran kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan konservasi kemungkinan dapat menjadi penyebab utama perilaku-perilaku sadis terhadap satwa liar. Namun, nampaknya tidak sesederhana ini penyebabnya. Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah yang "salah arah" mungkin menduduki peringkat pertama penyebab konflik antara masyarakat dengan satwa liar. Industri-industri pengguna hutan, seperti perkebunan sawit, HPH, ataupun pertambangan yang begitu mudah perizinannya merupakan kesalahan dari kebijakan pemerintah. Mereka begitu mudahnya melakukan usaha di dalam kawasan yang seharusnya wajib menjadi kawasan konservasi. Sampai tulisan ini dibuat, masalah pembantaian terhadap orangutan kalimantan oleh sebuah perusahaan sawit di Kalimantan Timur masih belum jelas arahnya.

Industri sawit dan perkebunan lainnya di dalam kawasan konservasi nampaknya secara langsung dan atau tidak langsung telah mempengaruhi pola hidup masyarakat lokal, dan juga mengubah kehidupan biodiversitas wilayah tersebut. Sehingga keberadaan satwa liar dengan mudahnya dianggap dan diperlakukan sebagai "hama" yang mengganggu profit industri/perusahaan tersebut maupun mengganggu kelancaran rejeki masyarakat lokal. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka tinggal menunggu waktu, terganggunya kesehatan ekosistem, dan akhirnya bencana yang lebih besar akan terjadi.

Industri/perusahaan perkebunan maupun pertambangan di dalam kawasan hutan nampaknya berteriak "gembira" kala konflik tersebut menjadi besar. Umumnya industri/perusahaan tersebut menyebabkan habitat satwa liar terfragmentasi, dan inilah yang sebenarnya membuat satwa liar merasa tidak nyaman, lantaran pergerakan dan sumber pakan yang terbatas. Keadaan inilah yang menyebabkan satwa lebih memilih untuk keluar habitatnya yang semakin kecil.

Mengurai masalah konflik antara manusia dengan satwa liar nampaknya bukan semudah membalikkan telapak tangan. Peraturan tentang kehutanan sudah ada dan penegak hukum pun sudah ada, tetapi masalah tersebut masih sangat susah untuk diuraikan. Nampaknya jika ditelisik lebih jauh, kemauan pemerintah yang masih setengah hati untuk menyelamatkan biodiversitas negeri ini. Pemerintah lebih mengutamakan dan mengejar kemakmuran dalam bidang ekonomi, dan mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayati. Inilah masalahnya, keanekaragaman hayati masih merupakan masalah remeh-temeh bagi tingkat elite pemerintah. Satu hal yang harus dilakukan, kemauan keras, penyadaran masyarakat akan betapa pentingnya kelestarian biodiversitas, penerapan AMDAL, dan penegakan hukum yang sebenar-benarnya akan membantu terurainya masalah konflik tersebut.

19/11/11

Kamis, 17 November 2011

Biodiversitas di Negeri Ini (sebuah opini pagi singkat)

Apakah Indonesia gagal melindungi titipan keanekaragaman hayati yang berlimpah?

Sebuah pertanyaan yang sering terbersit di benak akhir-akhir ini. Kerusakan, ketidakpedulian, dan eksploitasi berlebihan terhadap keanekaragaman hayati nampaknya sedang menjadi "trend" saat ini. Lantas siapa pelakunya?, susah untuk menjawabnya karena bukti-bukti di lapangan dengan mudah lenyap seketika, sehingga seakan-akan tidak ada yang patut dipersalahkan, dan biasanya kesalahan akan ditimpakan pada alam, seperti bencana alam.

Sebuah ironi dari negeri yang mewarisi harta berharga bumi ini. Belum dan nampaknya tidak terlihat kejelasan nasib biodiversitas di negeri ini. Pemerintah belum sepenuh hati mengakui hak "alam", dan masyarakat dengan alasan himpitan ekonomi menjadikan konsumen terdepan akan hak "alam". Benar-benar miris.

Derajat kemakmuran negeri yang didasarkan pada kehartaan telah menjadikan segala hal tentang keanekaragaman hayati patut untuk dihitung secara angka-angka. Akhirnya semua keanekaragaman hayati harus diubah secepatnya menjadi lembaran-lembaran berangka agar kemakmuran negeri ini bertambah banyak. Lantas jika sudah begini, maka masyarakat lokal pun juga akan ikut menggadaikan tradisi pelestarian yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Mereka sudah merasa terdesak kepentingan materi yang notabene secara tidak langsung diajarkan oleh pemerintah.

Kerusakan biodiversitas yang akhirnya akan menyebabkan suatu krisis. Krisis tersebut akan berdampak pada kehidupan manusia secara luas. Bencana alam dan kepunahan jenis yang akan mengganggu ekosistem bumi ini. Inilah negeri pecahan surga, kata orang-orang dahulu, dua dari dua puluh lima biodiversity hotspot ada di negeri ini. Jadi pelestarian sebenar-benarnya diperlukan untuk sebuah ekosistem bumi yang sehat. Memang dalam peningkatan kemakmuran masyarakat, pembangunan fisik dan ekonomi tidak boleh diabaikan, tetapi negeri ini besar karena alamnya, budaya lokalnya, dan tradisinya, jadi alangkah bijak apabila pemerintah melakukan pembangunan fisik dan ekonomi yang selaras dengan kelestarian biodiversitas, serta kearifan budaya dan tradisi lokal.

18/11/11

Rabu, 16 November 2011

Animal Welfare dan Kelestarian Biodiversitas Dalam Bayang-Bayang Tayangan Televisi

Manusia tampaknya bisa dan mudah melakukan apa saja tanpa mengindahkan "rasa" makhluk-makhluk lain di sekitarnya. Begitulah kira-kira pemikiran yang dipetik ketika menyaksikan program acara di salah satu televisi swasta nasional. Program acara yang ditempatkan pada jam istirahat siang nampaknya akan menyedot beragam segmen penontonnya, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Apalagi ditambah oleh rasa keingintahuan masyarakat dengan judul yang mungkin asing di telinga mereka.

Tayangan tersebut terlalu mengumbar keperkasaan manusia akan alam sekitar. Di satu sisi, tayangan tersebut terlihat "hebat" dan di sisi lain tayangan tersebut melanggar prinsip-prinsip animal welfare. Namun, nampaknya pembuat acara tersebut tidak terlalu mengambil pusing apa itu animal welfare dan juga apa itu kelestarian, si pembuat hanya memenuhi aspek hibur-menghibur, layaknya sebuah sirkus. Memang di jaman sekarang kalau tidak keuntungan materi, apa lagi yang akan dicari. Keadaan inilah yang menyebabkan terabaikannya prinsip animal welfare dan juga semangat konservasi satwa liar.

Entah apa tujuan tayangan tersebut, apakah hanya aspek hiburan ataukah yang lainnya, nampaknya tayangan tersebut berhasil menggiring opini masyarakat akan animal welfare, konservasi, dan kelestarian keanekaragaman hayati, tentunya penggiringan opini ke arah kiri. Aksi kekerasan terhadap satwa liar yang dikemas secara apik dalam wadah hiburan nampaknya secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat bahwa apa-apa yang dilakukan dalam acara tersebut adalah lazim, wajar, dan menghibur. Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya?,

Kekhawatiran dari dampak acara tersebut adalah semakin tidak pedulinya masyarakat negeri ini akan kelestarian keanekaragaman hayati lantaran masyarakat menganggap biodiversitas patut dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan hibur-menghibur dan kesenangan sesaat. Jika kondisi ini benar-benar terjadi maka negeri yang terkenal sebagai megabiodiversity country akan dengan mudah menjadi negeri yang gersang kerontang tanpa keanekaragaman hayati. Inilah kondisi yang ditakutkan.

Tidak hanya itu, dampak lainnya adalah kekerasan yang dilazimkan terhadap sesama, karena secara tidak langsung, tayangan tersebut mempertontonkan bagaimana satwa harus dieksploitasi dimana jika pengaruh sebagai eksploitator tertanam dalam kalbu maka dengan mudahnya aksi eksploitasi kekerasan diterapkan terhadap sesama. Apalagi tayangan tersebut diputar di waktu ketika banyak anak-anak yang menontonnya. Apa yang akan terjadi?, tinggal menunggu waktu saja.

Pemerintah melalui komisi penyiaran harusnya ikut menyeleksi dan mendampingi tayangan-tayangan yang bermanfaat dan berbobot bagi kelestarian keanekaragaman hayati negeri ini, sehingga dampak kerusakan biodiversitas dan juga dampak kekerasan bisa teredam. Entah, apakah dalam dunia media terdapat etika tentang kekerasan terhadap makhluk non-manusia apa tidak. Pemerintah seharusnya mengetahui bahwa dua dari dua puluh lima titik panas biodiversitas dunia terdapat di Indonesia. Dari pelaksanaan prinsip animal welfare secara sederhana saja sebenarnya bisa mengangkat derajat bangsa Indonesia di kancah internasional. Seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi, "the greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animal are treated". Inilah yang harus diingat oleh segenap komponen bangsa dan negara.

17/11/11

Kamis, 10 November 2011

Antara Indonesia, ASEAN, Komunitas ASEAN, dan Masyarakat

Tahun 2011 menjadi tahun yang amat penting bagi Indonesia di dalam lingkup kawasan Asia Tenggara. Sejak awal tahun ini, secara bergilir, Indonesia menjadi ketua ASEAN atau lebih tepatnya Indonesia menjadi pemimpin perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara tersebut. Tema yang diusung oleh pemerintah pun bukan main-main, tema "ASEAN community in a global community of nations". Sebuah tema yang besar dan berarti untuk kemajuan bangsa-bangsa Asia Tenggara, sebuah komunitas bangsa-bangsa Asia Tenggara. Logonya pun rupanya menyimpan beragam makna, entahlah, sebuah gunungan wayang. Apabila ditilik dalam sebuah pertunjukan wayang, gunungan mempunyai beranekaragam makna, baik makna yang tersurat maupun tersirat. Terlepas dari hal tersebut, salah satu makna dari gunungan tersebut adalah yang mengawali dan mengakhiri, serta gunungan menggambarkan bervariasinya sifat-sifat kehidupan manusia. Dari logo yang diusung pemerintah Indonesia tersebut, semoga saja Indonesia
menjadi negara yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, mengawali dan mengakhiri, namun tahun ini bukanlah akhir dari ASEAN. Tak hanya itu, Indonesia adalah gambaran masyarakat budaya Asia Tenggara.
Kepemimpinan Indonesia untuk ASEAN diharapkan dapat meningkatkan kemajuan masyarakat rakyat bangsa-bangsa ASEAN. Kemajuan harus dirasakan dalam tingkatan masyarakat, bukan tingkatan elite. Saat ini, sampai detik tulisan ini dibuat, nampaknya Indonesia terlihat berhasil dalam penyelenggaraan pertemuan-pertemuan elite ASEAN yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Kesuksesan tersebut memang membawa dampak yang besar bagi negara Indonesia, tetapi rasanya hanya masih dalam tataran membangun image.
Apalagi di bulan November ini, Indonesia dipercaya menjadi penyelenggara SEA Games ke-26, tepatnya di Jakarta dan Palembang. Nampaknya lengkap sudah arti sebuah kepemimpinan dimana semua aktivitas di kawasan Asia Tenggara terpusat di Indonesia. Terlepas dari hal tersebut, apakah pemerintah hanya ingin membangun citra ataukah membangun masyarakat ASEAN dengan hati, belum bisa terjawab. Nama ASEAN juga nampaknya belum begitu familiar di telinga masyarakat yang menjadi masyarakat negara pemimpin ASEAN, sehingga kepemimpinan tersebut rasa-rasanya belum menyentuh "hati" masyarakat rakyat. Jika dirunut, Indonesia dalam momen ini harus berani mengangkat isu komunitas ASEAN tahun 2015. Komunitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai masyarakat, maka tak bisa disepelekan peran masyarakat dalam terbentuknya Komunitas ASEAN 2015 nanti. Sudah sepatutnya pemerintah selaku pemegang legal kepemimpinan ASEAN mengedepankan peran serta masyarakat-rakyat
Indonesia dan Asia Tenggara, sehingga tercipta interaksi yang lebih solid untuk mewujudkan ASEAN Community.
Rasa-rasanya komunitas ASEAN harus dipupuk dari dasar unity in diversity. ASEAN mempunyai keanekaragaman kehidupan sosial-budaya-lingkungan yang tidak dipunyai oleh kawasan lain di belahan bumi manapun. Inilah yang harus digali oleh Indonesia sebagai pemimpin yang tinggal kurang dari dua bulan, lantaran Indonesia adalah cerminan masyarakat Asia Tenggara, dan Indonesia sudah sejak lama mempunyai pengalaman menyatukan keanekaragaman.

Rabu, 09 November 2011

Jas Merah, Secuil Opini

Selama masih ada kehidupan, manusia tak akan pernah terlepas dari sejarah, karena "waktu lalu, kemarin, dan waktu sebelum detik ini" adalah sejarah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, ataupun pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Definisi tersebut mungkin dapat dipahami jika sejarah adalah fakta. Fakta masa lalu, lantas mengapa sejarah seringkali didebat?, adakah yang salah dengan sebuah fakta atau apakah sejarah itu hanyalah kebohongan orang perorang yang ingin dianggap superior?, apabila begitu maka bukankah sejarah adalah non-fakta?, entahlah. Nampaknya benar menurut orang, sejarah adalah milik penguasa. Siapa yang salah dan siapa yang benar bisa saling berganti. Namun, itulah kehidupan, tidak ada yang tahu persis kehidupan tokoh-tokoh di masa lampau, kecuali pelakunya dan Sang Pencipta. Sejarah telah menjadi
kisah heroisme yang menghibur, utamanya bagi yang terhibur.

Peristiwa masa lampau memang tak bisa terpisah dari apa yang namanya pertentangan antara protagonis dan antagonis. Semangat heroisme protagonis telah disetting sedemikian rupa sehingga timbul pembenaran terhadap "perang" yang telah terjadi. "Perang" lebih ditonjolkan daripada semangat kemanusiaan itu sendiri. "Perang" dalam sejarah seringkali dihiasi dengan bumbu-bumbu pengkhianatan dan pemerasan, dimana dampak yang luas adalah kesengsaraan, kesedihan, dan keterpinggiran. Entah dampak dari sejarah yang notabene lebih banyak disorot sebagai "pertentangan" atau "perang" sebagai suatu karma dari hidup dan kehidupan manusia atau kebetulan belaka, belum ada yang tahu persis. Nampaknya apa yang diujarkan oleh Soe Hok Gie ada benarnya, "sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemerasan sejarah tidak pernah ada?, apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?". Itulah hidup dan kehidupan, manusia berpikir, bertindak, dan
bertahan hidup. Bertindak adalah buah dari berpikir, dan bertahan hidup terjadi lantaran berbagai kepentingan eksternal merongrong eksistensinya sebagai manusia.

Sejarah memang tak pernah terlepas dari hal yang telah disebutkan di atas, entah negatif dan atau positif, karena hal-hal itulah yang biasanya lebih "menghibur" dan "menarik". Kemanusiaan, lingkungan, dan sosial-budaya-religi rupa-rupanya hanyalah dalih yang dilontarkan untuk menghiasi sejarah yang negatif. Nampaknya, dasar dari adanya itu semua adalah "kepentingan" yang berujung untuk memperoleh kekuasaan, yang akhirnya adalah sebuah materi atau lebih tepatnya harta atau kekayaan atau lebih sederhananya bisa disebut sebagai uang. Kekuasaan materi, bisa disebut begitu, telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan vital lainnya, masa lampau dan atau masa sebelum detik ini. Apabila apa yang telah terjadi di masa lampau adalah begitu adanya, maka apa yang diungkapkan Voltaire ada benarnya, "apabila kita bicara uang, maka semua orang sama agamanya". Ataukah apa yang diujarkan oleh Soekarno ada benarnya, "dalam sebuah revolusi, bapak makan anak itu hal yang
lumrah".

Rasa-rasanya sejarah harus diberi makna secara holistik, lebih mendalam, bukan hanya superficial saja. Tentunya bukan hanya penghakiman sesaat siapa salah dan siapa benar. Menengok ke belakang untuk menapak ke depan, maka seharusnyalah kita menerapkan apa yang diungkapkan Soekarno, "Jasmerah", jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah pemaknaan yang akan menghantarkan kehidupan ke arah yang lebih beradab, manusiawi, tingginya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, alam, lingkungan, sosial-budaya-agama.