Selasa, 29 November 2011

Kisah Gunung Munyuk dan Desa Kluthuk

Seperti biasanya, alunan merdu siter mengiringi riuh suara hewan-hewan
malam. Sebuah siter tua nampaknya telah menemani kesendirian lelaki
tua yang tinggal tidak jauh dari gunung Munyuk, lebih tepat sebagai
bukit kapur daripada sebuah gunung. Setiap malam selepas Isya, lelaki
tua itu duduk di bawah pohon kapuk yang tidak jauh dari gubugnya.
Dengan mengenakan sarung lusuh dan bertelanjang dada, beliau bersandar
pada batang pohon kapuk favoritnya, beralaskan tikar kusut dan tak
berapa lama terdengarlah alunan siter dari petikan lincah jari-jemari
tua. Itulah rutinitas mbah Kuncung setiap malam setelah waktu Isya.
Warga desa Kluthuk memanggilnya dengan nama mbah Kuncung lantaran
tidak ada yang tahu-menahu asal-usul beliau. Nama itu tampaknya
diambil dari gaya rambut yang kuncung.

Merdu suara siter petikan mbah Kuncung selalu dinanti-nantikan
sebagian warga desa Kluthuk yang tinggal tidak jauh dari gubug tempat
mbah Kuncung tinggal. Warga desa menghormati mbah Kuncung sebagai
tetua desa dan juga sebagai satu-satunya seniman di desa Kluthuk.
Seringkali setiap ada acara pernikahan atau sunatan, mbah Kuncung
diundang untuk mempertunjukkan kebolehannya. Setiap selesai
mempertontonkan aksinya, mbah Kuncung tidak pernah meminta imbalan
sepeser pun, hanya hidanganan pengisi perut yang mungkin dimintanya,
keadaan seperti inilah yang menjadikan warga desa menaruh hormat
kepada mbah Kuncung dan menganggapnya sebagai seniman sejati.

Mbah Kuncung adalah pribadi yang tertutup, sehingga tidak banyak yang
mengetahui riwayat beliau. Beliau pun hanya berbicara seperlunya
kepada warga desa yang ditemuinya, meskipun begitu, warga tetap
menganggap mbah Kuncung sebagai tetua desa yang wajib dihormati. Hanya
ada dua orang yang pernah dekat dengan mbah Kuncung, mereka adalah
mbah Waru dan dhé Pahing. Namun sayang, mereka sudah meninggal sekitar
lima bulan yang lalu akibat musibah longsor yang menimpa rumah mereka.
Longsor yang patut disebut sebagai musibah, bukan bencana, lantaran
akibat aksi liar penambang-penambang batu kapur. Mbah Kuncung, mbah
Waru, dan dhé Pahing selalu bersenda gurau di atas gunung Munyuk
ketika siang sambil mendendangkan tembang-tembang macapat, dan kala
malam, mereka akan bercengkerama di bawah pohon kapuk sambil menghisap
rokok klobot buatan sendiri, dan tak ketinggalan petikan siter mbah
Kuncung. "Tiga serangkai", itulah sebutan warga desa bagi mereka.
Ketiganya dianggap sebagai penjaga desa dari kemungkinan bencana yang
melanda, karena keseharian mereka yang selalu naik-turun gunung
Munyuk, kadang mereka mencari sumber-sumber air baru diantara
keringnya gunung Munyuk, dan kadang mereka juga mengusir
penambang-penambang batu kapur yang datang dari desa sebelah.

Meskipun dua kawan dekatnya sudah tiada, mbah Kuncung tetap
melaksanakan tugas hariannya, mencari sumber air dan mengusir
penambang-penambang batu kapur. Setiap siang hari, beliau seakan
ditelan oleh gersangnya gunung Munyuk, dan kala malam, beliau akan
berkisah lewat petikan siternya. Sejak empat bulan lalu, mbah Kuncung
dekat dengan Kacung dan Gendhuk, sebenarnya sudah sejak lama mbah
Kuncung dekat dengan mereka tetapi warga menganggapnya kedekatan itu
menjadi-jadi sejak dua orang kawan karibnya meninggal dunia. Setiap
sore, mbah Kuncung akan menyempatkan menemui Kacung dan Gendhuk di
lereng gunug Munyuk yang tidak begitu jauh dengan gubug Mbah Kuncung.
Mbah Kuncung selalu membagi rejeki hariannya kepada Kacung dan
Gendhuk. Rejeki yang sebenarnya berasal dari derma warga desa, sering
berupa singkong, ubi, dan gula jawa. Terkadang juga, Kacung dan
Gendhuk mendatangi gubug mbah Kuncung, dan kadang pula, gubug mbah
Kuncung dijadikan hunian Kacung dan Gendhuk.

Tidak ada yang tahu alasan mbah Kuncung berkawan dengan Kacung dan
Gendhuk. Warga desa beranggapan, Kacung dan Gendhuk adalah titisan
mbah Waru dan dhé Pahing. Namun pendapat lain dari warga desa
mengatakan bahwa Kacung dan Gendhuk bukanlah jelmaan mbah Waru dan dhé
Pahing lantaran Kacung dan Gendhuk telah menghuni gunung Munyuk sejak
berpuluh tahun yang lalu. Nampaknya pendapat tersebut akan terus
bertentangan selama yang bersangkutan belum memberikan penjelasan, dan
akan menjadi sejarah tersendiri bagi desa Kluthuk.

---------------

Rumah berdinding papan kayu jati lapuk itu berlokasi tepat di bawah
dinding gunung Munyuk, atau tepatnya tebing gunung Munyuk. Rumah itu
berukuran tiga kali empat meter, dan lebih tepat disebut sebagai
sebuah gubug. Gubug tua itu telah dihuni mbah Kuncung selama puluhan
tahun, bahkan semenjak desa Kluthuk berdiri. Di dalamnya hanya
berisikan sejumlah singkong dan ubi, sama sekali tidak ada perabot
layaknya rumah, hanya selembar tikar kusut. Mbah Kuncung biasanya
lebih memilih tidur di bawah pohon kapuk favorit beralaskan tikar
kusutnya ketika si Kacung dan Gendhuk menggunakan rumahnya untuk
melepas lelah setelah berkegiatan sehari penuh. Memang mbah Kuncung
tidak pernah melarang siapapun yang ingin melepas lelah di gubugnya.
Kadang terlihat mbah Kuncung bercakap-cakap dengan Kacung dan Gendhuk.
Dari kejadian inilah, sebagian warga yang tidak begitu mengenal mbah
Kuncung menyebutnya sebagai orang yang kurang waras, sedangkan warga
yang telah mengenal beliau hanya menganggapnya sebagai orang yang
mempunyai kelebihan atau lebih tepatnya mempunyai indera keenam.
Kadang juga terlihat mbah Kuncung ditemani Kacung dan Gendhuk kala
memainkan siternya.

Menurut penuturan warga desa Kluthuk, mbah Kuncung adalah salah satu
pendiri desa Kluthuk. Sebenarnya kondisi desa Kluthuk sangat sulit
digunakan untuk hidup, lantaran begitu kering dan gersangnya. Sejauh
mata memandang hanya terlihat bukit-bukit kapur, yang kadang-kadang
ditumbuhi semak dan pohon jati. Namun, karena keuletan mbah Kuncung
dan pendiri desa lainnya memanfaatkan gersangnya gunung Munyuk, maka
banyak warga yang sebelumnya belum punya hunian berduyun-duyun datang
dan tinggal di tempat yang sekarang dinamakan desa Kluthuk. Mbah
Kuncung pernah membuat peraturan untuk warga dan warga pun dengan
ikhlas mematuhi aturan itu. Secara garis besar, aturan itu berisikan
larangan merusak bukit karst, walaupun sedikit dan larangan berburu
hewan-hewan penghuni gunung Munyuk, serta untuk kehidupan sehari-hari,
warga hanya diperbolehkan untuk bercocok tanam dan beternak. Dari
aturan tersebut, warga telah menganggap gunung Munyuk adalah rumah
besar mereka.

Namun sayang, sekitar satu tahun lalu, beberapa warga yang nakal
mengeruk kekayaan tersembunyi bukit karst secara diam-diam, dan
akibatnya sekitar lima bulan lalu, longsorannya menimbun rumah mbah
Waru dan dhé Pahing, serta dua rumah warga lainnya.
Penambang-penambang ilegal itu pun akhirnya berurusan dengan pihak
berwajib.

Nampaknya, warga desa juga harus berterima kasih kepada Kacung dan
Gendhuk, karena merekalah yang telah menghijaukan gunung Munyuk dan
akibatnya sumber air pun masih mudah diperoleh. Setiap acara sedekah
desa, memang sebagian warga memberikan seserahannya kepada Kacung dan
Gendhuk, karena warga desa menghormatinya sebagai penyelamat kehidupan
gunung Munyuk. Namun, sebagian warga lain yang tinggal agak jauh dari
gunung Munyuk justru menganggap Kacung dan Gendhuk adalah perusak
lahan kebunnya. Mereka dianggap suka mencabut pohon singkong yang
belum saatnya dipanen. Pernah suatu hari, warga desa yang tinggal agak
jauh dari gunung Munyuk berusaha menembak Kacung dan Gendhuk, tetapi
usaha ini digagalkan oleh dhé Bejo, salah seorang warga yang tidak
sengaja berada di tempat konflik itu.

-------------------

Konflik tampaknya sedang menyelimuti desa Kluthuk, terdapat dua
kelompok warga yang berseberangan. Kelompok warga yang mempertahankan
nilai-nilai budaya lokal besrta kearifan lokal tinggal di sekitar
gunung Munyuk, mereka dengan sekuat tenaga berupaya membuat gunung
Munyuk tetap lestari, sedangkan kelompok lain tinggal agak jauh dari
gunung Munyuk, mereka adalah kelompok warga yang telah meninggalkan
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Seringkali kedua kelompok warga
itu saling perang mulut. Seperti yang terjadi lima hari yang lalu,
beberapa warga berencana menambang kapur gunung Munyuk, tetapi usaha
tersebut berhasil dihalau oleh warga yang tinggal sekitar gunung
Munyuk. Warga desa Kluthuk benar-benar sudah terpecah menjadi dua
bagian. Kelompok warga desa yang tinggal jauh dari gunung Munyuk
tampaknya memiliki pandangan bahwa gunung Munyuk dapat diuangkan.

Masalah yang lebih pelik lagi nampaknya telah menghantui warga desa
Kluthuk, terutama warga desa yang tinggal dekat dengan gunung Munyuk.
Tiga hari yang lalu, salah satu perusahaan semen terbesar berencana
membangun cabang pabriknya di desa Kluthuk, lantaran desa Kluthuk
memiliki sumber bahan baku semen yang berkualitas. Peristiwa ini
serta-merta diprotes oleh warga desa yang tinggal dekat dengan gunung
Munyuk. Aksi protes saat itu dipimpin oleh mbah Kuncung dan dhé Bejo.
Protes demi protes dilancarkan oleh warga desa sampai hari ini, bahkan
sejak kemarin, suasana desa semakin mencekam lantaran bentrok antara
warga yang kontra dengan yang pro pembangunan pabrik semen. Tampaknya
bentrok demi bentrok itu lebih bersifat adu domba. Tak dipungkiri
lagi, sejak rencana penambangan batu kapur bergulir, perusahaan semen
itu banyak menggelontorkan uang untuk mereka, dengan alasan tanggung
jawab sosial. Mereka yang menerima uang diharapkan untuk mendukung
keberhasilan proyek mereka.

Sejak kejadian itu, warga desa nyaris kehilangan kehidupannya yang
bersahaja karena segenap tenaga dan pikiran dikerahkan untuk upaya
penyelamatan gunung Munyuk, apalagi setelah mbah Kuncung terbaring
sakit sejak kemarin sore, tentunya setelah berpanas-panasan membuat
pagar betis mengamankan gunung munyuk bersama warga desa lainnya.
Sampai siang ini, mbah Kuncung pun masih terbaring lemah di dalam
gubugnya, hanya ditemani oleh Kacung dan Gendhuk. Beliau tidak bisa
memimpin aksi siang ini. Siang ini nampaknya akan menjadi aksi protes
penghabisan menentang penambangan batu kapur dan pembangunan pabrik
semen setelah tersiar kabar bahwa pemerintah kabupaten mengesahkan
rencana perusahaan semen itu.

Pagi tadi sudah terlihat delapan truk pengangkut pasir yang diparkir
tidak jauh dari gunung Munyuk. Warga yang sejak pagi membuat pagar
betis berteriak-teriak histeris meminta para penambang menjauhi gunung
Munyuk. Bagi mereka, gunung Munyuk ibarat rumah, gunung Munyuk telah
mengisi sendi-sendi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi warga desa
Kluthuk. Dengan dikawal warga yang pro penambangan, para penambang
mendorong pagar betis, beberapa warga jatuh tersungkur, terinjak-injak
oleh puluhan penambang dan warga desa yang pro. Merah darah dan bunyi
tulang yang patah pun tidak terelakkan lagi.

Bahan peledak temuan Alfred Nobel pun akhirnya berhasil dipasang di
setiap sudut dan celah gunung Munyuk. Hening siang yang biasanya
menghiasi desa Kluthuk tiba-tiba pecah oleh jeritan dan tangisan
warga. Siang ini benar-benar telah menjadi hari hidup mati bagi warga
desa Kluthuk.

Terlihat dari kejauhan beberapa mobil mewah dengan orang-orang
berpenampilan parlente dan baju dinas tiba di desa Munyuk. Mereka
rasa-rasanya ingin melihat calyon uang yang akan memenuhi saku mereka.
Salah seorang dari mereka yang berbaju batik dan berpeci hitam
terlihat menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah gunung Munyuk sambil
berbincang dengan orang yang berpenampilan parlente, sesekali
diselingi dengan tawa kepuasan.

"Daaarrrrrr", "Gluduk gluduk", terdengar bunyi bahan peledak dan
runtuhan batu-batu kapur dari gunung Munyuk. Serta-merta warga desa
yang sejak pagi tadi membuat pagar betis lari kalang kabut berusaha
menyelamatkan diri dari runtuhan batu-batu kapur. Suasana siang ini
terlihat sangat memilukan, satu sama lain berusaha menghindar sambil
menyelamatkan sanak saudaranya.

Tidak begitu lama, bentang gunung Munyuk yang sebelumnya terlihat
kokoh menjulang tinggi seketika berubah menjadi begitu rapuh. Runtuhan
itu pun mengubur beberapa lahan kebun dan rumah warga. Tidak ada
korban jiwa dalam peristiwa itu, hanya korban luka-luka dan patah
tulang. Namun, nasib mbah Kuncung bersama Kacung dan Gendhuk belum
diketahui oleh warga setelah reruntuhan batu kapur terlihat menimbun
lokasi gubug mbah Kuncung. Timbunan reruntuhan itu terlalu hebat dan
mustahil ada nyawa yang selamat dari timbunan itu. Tampaknya siang ini
benar-benar menjadi hari akhir kehidupan sosial budaya warga desa
Kluthuk serta juga telah menjadi titik akhir takdir mbah Kuncung dan
dua ekor monyet ekor panjang yang selama ini menjadi bagian hidup
beliau. Setelah hari ini rasa-rasanya tidak akan pernah terlihat lagi
kekokohan gunung munyuk, kesahajaan kehidupan warga desa dan juga
tidak akan ada lagi seniman sejati, serta tidak akan terlihat lagi dua
ekor monyet ekor panjang yang telah menghijaukan bukit karst. Entah
belum diketahui masa depan mereka dengan pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar