Sabtu, 19 November 2011

Menyikapi Konflik Antara Manusia dengan Satwa Liar

Daftar panjang konflik antara manusia dengan satwa liar di negeri ini nampaknya telah menjadikan keprihatinan tersendiri bagi segenap bangsa Indonesia. Akar konflik yang diduga penyebabnya berasal dari permasalahan ekonomi telah membuat konflik tersebut berlarut-larut bahkan pihak pemerintah pun terkesan setengah-setengah dalam menyikapinya. Meskipun tidak semua akar konflik disebut berasal dari permasalahan ekonomi, tetapi nampaknya tetap akan berujung pada titik "ekonomi", dimana kejadian ini lebih banyak dilakukan oleh masyarakat lokal atau masyarakat sekitar kawasan konservasi.

"Satwa liar adalah hama", begitulah pernyataan yang sering terlontar oleh masyarakat-masyarakat sekitar kawasan konservasi yang mempunyai kepentingan terhadap kawasan tersebut. Tidak saja masyarakat lokal yang menganggapnya sebagai hama, industri-industri pengguna kawasan hutan pun menganggapnya sebagai hama yang sangat mengganggu. Jika masyarakat lokal berkonflik dengan cara-cara lokal, maka industri-industri tersebut berkonflik secara membabi buta, dan keduanya termasuk perbuatan yang sadis, sebuah perbuatan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi konsumtif akan melahirkan pergeseran kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan konservasi kemungkinan dapat menjadi penyebab utama perilaku-perilaku sadis terhadap satwa liar. Namun, nampaknya tidak sesederhana ini penyebabnya. Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah yang "salah arah" mungkin menduduki peringkat pertama penyebab konflik antara masyarakat dengan satwa liar. Industri-industri pengguna hutan, seperti perkebunan sawit, HPH, ataupun pertambangan yang begitu mudah perizinannya merupakan kesalahan dari kebijakan pemerintah. Mereka begitu mudahnya melakukan usaha di dalam kawasan yang seharusnya wajib menjadi kawasan konservasi. Sampai tulisan ini dibuat, masalah pembantaian terhadap orangutan kalimantan oleh sebuah perusahaan sawit di Kalimantan Timur masih belum jelas arahnya.

Industri sawit dan perkebunan lainnya di dalam kawasan konservasi nampaknya secara langsung dan atau tidak langsung telah mempengaruhi pola hidup masyarakat lokal, dan juga mengubah kehidupan biodiversitas wilayah tersebut. Sehingga keberadaan satwa liar dengan mudahnya dianggap dan diperlakukan sebagai "hama" yang mengganggu profit industri/perusahaan tersebut maupun mengganggu kelancaran rejeki masyarakat lokal. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, maka tinggal menunggu waktu, terganggunya kesehatan ekosistem, dan akhirnya bencana yang lebih besar akan terjadi.

Industri/perusahaan perkebunan maupun pertambangan di dalam kawasan hutan nampaknya berteriak "gembira" kala konflik tersebut menjadi besar. Umumnya industri/perusahaan tersebut menyebabkan habitat satwa liar terfragmentasi, dan inilah yang sebenarnya membuat satwa liar merasa tidak nyaman, lantaran pergerakan dan sumber pakan yang terbatas. Keadaan inilah yang menyebabkan satwa lebih memilih untuk keluar habitatnya yang semakin kecil.

Mengurai masalah konflik antara manusia dengan satwa liar nampaknya bukan semudah membalikkan telapak tangan. Peraturan tentang kehutanan sudah ada dan penegak hukum pun sudah ada, tetapi masalah tersebut masih sangat susah untuk diuraikan. Nampaknya jika ditelisik lebih jauh, kemauan pemerintah yang masih setengah hati untuk menyelamatkan biodiversitas negeri ini. Pemerintah lebih mengutamakan dan mengejar kemakmuran dalam bidang ekonomi, dan mengabaikan kelestarian keanekaragaman hayati. Inilah masalahnya, keanekaragaman hayati masih merupakan masalah remeh-temeh bagi tingkat elite pemerintah. Satu hal yang harus dilakukan, kemauan keras, penyadaran masyarakat akan betapa pentingnya kelestarian biodiversitas, penerapan AMDAL, dan penegakan hukum yang sebenar-benarnya akan membantu terurainya masalah konflik tersebut.

19/11/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar