Rabu, 16 November 2011

Animal Welfare dan Kelestarian Biodiversitas Dalam Bayang-Bayang Tayangan Televisi

Manusia tampaknya bisa dan mudah melakukan apa saja tanpa mengindahkan "rasa" makhluk-makhluk lain di sekitarnya. Begitulah kira-kira pemikiran yang dipetik ketika menyaksikan program acara di salah satu televisi swasta nasional. Program acara yang ditempatkan pada jam istirahat siang nampaknya akan menyedot beragam segmen penontonnya, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Apalagi ditambah oleh rasa keingintahuan masyarakat dengan judul yang mungkin asing di telinga mereka.

Tayangan tersebut terlalu mengumbar keperkasaan manusia akan alam sekitar. Di satu sisi, tayangan tersebut terlihat "hebat" dan di sisi lain tayangan tersebut melanggar prinsip-prinsip animal welfare. Namun, nampaknya pembuat acara tersebut tidak terlalu mengambil pusing apa itu animal welfare dan juga apa itu kelestarian, si pembuat hanya memenuhi aspek hibur-menghibur, layaknya sebuah sirkus. Memang di jaman sekarang kalau tidak keuntungan materi, apa lagi yang akan dicari. Keadaan inilah yang menyebabkan terabaikannya prinsip animal welfare dan juga semangat konservasi satwa liar.

Entah apa tujuan tayangan tersebut, apakah hanya aspek hiburan ataukah yang lainnya, nampaknya tayangan tersebut berhasil menggiring opini masyarakat akan animal welfare, konservasi, dan kelestarian keanekaragaman hayati, tentunya penggiringan opini ke arah kiri. Aksi kekerasan terhadap satwa liar yang dikemas secara apik dalam wadah hiburan nampaknya secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat bahwa apa-apa yang dilakukan dalam acara tersebut adalah lazim, wajar, dan menghibur. Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya?,

Kekhawatiran dari dampak acara tersebut adalah semakin tidak pedulinya masyarakat negeri ini akan kelestarian keanekaragaman hayati lantaran masyarakat menganggap biodiversitas patut dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan hibur-menghibur dan kesenangan sesaat. Jika kondisi ini benar-benar terjadi maka negeri yang terkenal sebagai megabiodiversity country akan dengan mudah menjadi negeri yang gersang kerontang tanpa keanekaragaman hayati. Inilah kondisi yang ditakutkan.

Tidak hanya itu, dampak lainnya adalah kekerasan yang dilazimkan terhadap sesama, karena secara tidak langsung, tayangan tersebut mempertontonkan bagaimana satwa harus dieksploitasi dimana jika pengaruh sebagai eksploitator tertanam dalam kalbu maka dengan mudahnya aksi eksploitasi kekerasan diterapkan terhadap sesama. Apalagi tayangan tersebut diputar di waktu ketika banyak anak-anak yang menontonnya. Apa yang akan terjadi?, tinggal menunggu waktu saja.

Pemerintah melalui komisi penyiaran harusnya ikut menyeleksi dan mendampingi tayangan-tayangan yang bermanfaat dan berbobot bagi kelestarian keanekaragaman hayati negeri ini, sehingga dampak kerusakan biodiversitas dan juga dampak kekerasan bisa teredam. Entah, apakah dalam dunia media terdapat etika tentang kekerasan terhadap makhluk non-manusia apa tidak. Pemerintah seharusnya mengetahui bahwa dua dari dua puluh lima titik panas biodiversitas dunia terdapat di Indonesia. Dari pelaksanaan prinsip animal welfare secara sederhana saja sebenarnya bisa mengangkat derajat bangsa Indonesia di kancah internasional. Seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi, "the greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its animal are treated". Inilah yang harus diingat oleh segenap komponen bangsa dan negara.

17/11/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar