Senin, 28 November 2011

Kliwon dan Desa Kluwek

Warga desa memanggilnya dengan Kliwon, sebuah nama yang diambil dari
nama pasaran jawa. Entah apa makna dari nama itu sendiri, belum ada
yang tahu. Mungkin hanya warga tua yang tahu-menahu seluk beluk
sebutan Kliwon dan si Kliwon sendiri, terutama mbah Suket. Terlepas
dari itu semua, selama ini sebagian besar warga desa menghormatinya
sebagai penjaga desa Kluwek dari ancaman gagal panen. Setiap acara
sedekah bumi, warga desa tidak pernah melupakan perihal si Kliwon.
Mereka akan berkumpul di sebuah gubug tua sambil membawa jajanan pasar
dan sajian buatan rumah. Gubug itu berdiri di bawah pohon randu yang
diperkirakan berumur ratusan tahun, dan terletak tepat di samping
kanan sawah mbah Suket.

Mbah Suket sendiri sebenarnya sudah lama meninggal, tetapi namanya
masih dikenang warga desa Kluwek sampai sekarang karena kedermawanan
dan kesederhanaannya. Mbah Suket adalah seorang saudagar kaya yang ada
di desa Kluwek, beliau memiliki tanah yang sangat luas atau dengan
kata lain beliau-lah pemilik desa Kluwek sebenarnya. Bahkan bisa
dibilang, tanah yang menjadi hunian warga desa Kluwek sekarang berasal
dari kedermawanan mbah Suket di masa lampau. Masa lampau berbeda
dengan masa sekarang, karena saat ini mbah Suket hanya meninggalkan
sepetak sawah, sebuah gubug tua, dan si Kliwon.

Selama hidupnya, mbah Suket dikenal sebagai orang yang sangat
sederhana, walaupun beliau berharta tetapi selama hidupnya hanya
tinggal di sebuah gubug. Mbah Suket pun dengan ikhlasnya
membagi-bagikan tanahnya kepada warga desa Kluwek. Entah apa maksud
beliau, belum ada yang tahu sampai ajal menjemputnya. Mbah Suket
meninggal dunia sekitar dua minggu yang lalu. Sepeninggal beliau, si
kliwon nampaknya yang menjadi satu-satunya makhluk penghuni gubug tua
mbah Suket. Sejak mbah Suket memelihara Kliwon sekitar dua tahun lalu,
desa Kluwek selalu terhindar dari gagal panen, meskipun desa-desa
tetangga sering mengalami gagal panen. Gagal panen yang terjadi lebih
sering disebabkan oleh hama tikus daripada bencana alam.

Sejak enam bulan yang lalu, desa Kluwek telah ditetapkan oleh bupati
sebagai salah satu desa percontohan swasembada beras akibat hasil
taninya yang selalu berhasil. Nampaknya keadaan desa yang gemah ripah
loh jinawi tidak menjadikan warganya lupa diri terhadap jasa
pendahulunya. Warga desa Kluwek selalu merasa berhutang budi kepada
mbah Suket. Mereka selalu merasa bahwa mbah Suket-lah yang telah
berjasa menghantarkan warga desa Kluwek menjadi makmur seperti saat
ini. Setiap harinya, warga bergiliran membersihkan halaman gubug tua
dan juga menggarap sepetak sawah peninggalan mbah Suket. Hasil
panennya pun dibagi-bagikan merata ke seluruh warga desa.

Gubug itu sudah berumur puluhan tahun tetapi masih tetap kokoh
berdiri. Gubug tua itu sering dipakai warga petani yang letak sawahnya
tidak begitu jauh dari gubug tua untuk melepas lelah kala siang
menjelang. Setiap siang, gubug tua itu tak ubahnya seperti sebuah
pertunjukan seni dadakan lantaran alunan macapat sampai campursari.
Gubug tua beserta ornamen gunungan wayang dan kotak kayu jati tempat
bermukim si Kliwon dan si Kliwon sendiri tampaknya sudah menjadi
maskot desa Kluwek dan telah membentuk citra desa Kluwek sebagai desa
yang menjunjung nilai-nilai budaya. Pernah suatu ketika, mbah Burik
berujar bahwa gubug tua beserta isinya itu adalah sumber kemakmuran
desa Kluwek, dan beliau pun menyarankan kepada setiap warga desa untuk
menghormati keberadaan gubug tua dan isi di dalamnya. Entah apa maksud
mbah Burik, warga desa hanya manut saja. Mbah Burik merupakan
satu-satunya warga tua yang masih hidup sampai saat ini.

Sebenarnya masalah yang dihadapi warga desa Kluwek saat ini bukanlah
masalah gagal panen lagi seperti halnya desa-desa tetangga, melainkan
pergeseran budaya antara warga tua, dewasa, dan muda. Mereka yang tua
dan dewasa selalu menekankan kesederhanaan dalam hidup disertai
menjalankan nilai-nilai budaya leluhur. Sedangkan warga muda selalu
berorientasi kepada kehidupan yang bersifat materialistik. Pernah
suatu ketika, tepatnya tiga hari yang lalu, Dodo, seorang remaja yang
menginjak dewasa tiba-tiba memaksa kedua orang tuanya untuk menjual
sawahnya. Entah angin apa yang merubah pikiran Dodo, padahal sawah
mereka masih sangat produktif. Dengan segala cara Dodo melancarkan
"teror" kepada kedua orang tuanya, dan sampai saat ini orang tuanya
masih berkeras untuk tidak menjual sawahnya. Tidak hanya satu keluarga
saja yang mengalami keadaan seperti itu, tampaknya terdapat lebih dari
lima keluarga yang mengalami hal serupa. Jika ditelusuri lebih jauh,
ternyata anak dari keluarga yang mengalami masalah pelik tersebut
pernah bekerja di kota tetangga, yang lebih dikenal sebagai kota pusat
industri dan perdagangan. Kehidupan serba instan, sifat konsumtif, dan
hidup bertujuan materi tampaknya yang telah mengubah perangai
pemuda-pemuda itu.

Bukan bencana alam atau isu pemanasan global yang akan mempengaruhi
kemakmuran desa Kluwek yang merupakan desa berbasis pertanian,
berubahnya sumber daya manusia-lah yang menjadi penyebab primernya.
Warga muda desa Kluwek yang sudah pernah mengenyam kehidupan kota
besar sudah tidak peduli dan tidak mau lagi meneruskan perjuangan
orang tua mereka untuk menggarap sawah. Mereka beranggapan bahwa
bertani tidak akan membuat mereka kaya. Yang lebih memprihatinkan
adalah mereka sudah kehilangan nilai-nilai budaya yang diajarkan oleh
pendahulunya.

Nampaknya pertentangan antara warga dewasa dan muda tengah berlangsung
sampai saat ini, dan entah akan dimenangkan oleh siapa. Dua hari yang
lalu, Dodo membuat ulah, merusak gubug tua lambang kemakmuran desa
Kluwek. Namun sayang, usahanya dicegah oleh mbah Burik. Saat itu adu
mulut pun terjadi, kejadian itu menggambarkan betapa warga muda sudah
kehilangan sopan santun dan tata krama. Dia sudah tidak dapat
membedakan mana tindakan yang baik dan yang buruk. Tidak hanya itu,
Toto, warga muda lain dan cucu dari mbah Burik pernah berencana
menangkap Kliwon, namun keberuntungan masih berpihak pada kehidupan
desa Kluwek, mbah Burik mengetahui rencananya.

Kejadian demi kejadian yang jauh dari prediksi warga terus menghantui
warga desa Kluwek. Bahkan tidak sedikit warga yang menangis. Kemarin,
beberapa warga menggelar ritual tolak bala di dekat gubug tua,
tepatnya di bawah pohon randu yang teduh. Mereka berharap perangai
anak-anak mereka yang telah berubah dapat kembali lagi seperti semula.
Selain itu, beberapa warga menggalakkan jaga kampung. Mereka tidak
ingin terdapat kerusakan-kerusakan yang lebih besar di desa Kluwek.
Kegiatan jaga desa tersebut dipusatkan di gubug tua dan dipimpin oleh
mbah Burik sendiri.

Siang ini terlihat beberapa warga muda, termasuk Dodo dan Toto, mereka
mendekati gubug tua meskipun di sana terdapat beberapa warga yang
sedang istirahat. Dengan mengendarai motor baru kreditan, mereka
mencemari suasana desa yang tenang dengan bising knalpot motor mereka.
Meskipun beberapa warga sudah berteriak-teriak menyuruh menghentikan
suara bising itu, mereka tetap melanjutkan aksinya. Seketika bising
melanda tempat itu dan bau asap hasil pembakaran bensin pun merebak
memenuhi udara siang ini.

Warga yang kesal akhirnya pergi meninggalkan gubug tua itu, dan malang
tidak bisa dihindarkan, saat sepi itulah dimanfaatkan mereka untuk
menghabisi lambang kemakmuran desa Kluwek. Dodo dengan mudahnya
mengambil gunungan wayang yang ditempel di dinding gubug tua. Dengan
penuh emosi, dia membakar ornamen gunungan wayang itu. Sedangkan Toto
berusaha meraih kotak tempat si Kliwon bermukim. Sementara, anak muda
lainnya berusaha merusak dinding-dinding kayu gubug tua. Bahkan ada
yang terlihat menumpahkan minyak di sekeliling gubug tua itu.

Tak berapa lama, Toto pun mendapatkan sesuatu yang selama ini
direncanakannya, dia mendapatkan si Kliwon. Dengan kasarnya, dia
meraih si Kliwon yang masih terlelap dari kotak kayunya. Suara
lengkingan tajam Kliwon membahana diantara riuh anarkis pemuda-pemuda
desa. Tidak ada yang mengetahui aksi brutal siang ini lantaran sebuah
kelengahan dari aksi jaga desa. Lengkingan Kliwon saat ini nampaknya
bukan pertanda kesakitan, namun lebih menandakan kesedihan dan
kepedihan yang selama ini dipendam oleh Kliwon.

"Krekkk", Toto berhasil mematahkan kedua tulang sayap si Kliwon.
Setelah itu terlihat Kliwon terkapar hampir-hampir pingsan. Serak jawa
terakhir desa Kluwek telah berakhir masa keemasannya.
Lengkingan-lengkingan khas burung hantu itu menyertai suara-suara kayu
yang terbakar. Setelah melihat api yang menjalar-jalar, Toto dengan
senyum kecil melemparkan Kliwon ke dalamnya. Sebuah lambang kemakmuran
desa yang berhenti berdenyut siang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar