Minggu, 30 Oktober 2011

Balada Psittacula alexandri alexandri di Kampus Hijau

"Masbro, sudah hampir siang ini."

"Memangnya ada apa dengan siang, ada yang anehkah dengan yang namanya siang?"

"Ah masbro, begini masbro, jika siang kan jadi panas di sini, ndak nyaman lagi masbro, lagian belum ada sesuatupun yang masuk ke perut."

"O gitu tho, nanti dulu Jo, kita tunggu mereka beranjak dari bawah sana."

"Ah, kelamaan, si Bo, Dul, Plut, dan Cuk sudah dari tadi meninggalkan tempat ini, ayolah masbro."

Sebuah percakapan antara dua ekor Psittacula alexandri alexandri di sebuah petak hutan sengon sebuah lingkungan perguruan tinggi yang berjuluk kampus hijau. Semenjak maraknya pembangunan gedung-gedung kuliah baru yang terkesan tidak ramah lingkungan telah menjadikan larinya keriuhan cericit-cericit makhluk-makhluk bersayap kala pagi menjelang. Nampaknya sebagian besar penghuninya sudah menghilang. Sebenarnya belum ada yang tahu, hilang karena ngungsi atau hilang karena ditelan bumi alias menghadap Sang Pencipta.

"Jo, merasa ada yang aneh ndak akhir-akhir ini?", tanya masbro setengah berbisik.

"Akhir-akhir ini, bagaimana tho maksudnya masbro?, ndak mudeng saya ini."

"Itu lho Jo, sejak penghidupan kita dibabat habis-habisan."

"Oh, itu tho maksudnya, ya jelas masbro, berubah tiga ratus derajat celcius, eh ndak pakai celcius ding."

"Di sini, di hutan ini pun tinggal kita saja Jo."

"Ah, masbro berlebihan, masih ada yang lain juga masbro."

"Bukannya melebih-lebihkan, kenyataannya benar kan Jo, coba dimana sekarang bapakmu, dimana sekarang makmu, dimana adikmu?", terlontar pernyataan retoris dari paruh Masbro.

"Benar juga masbro, saya jadi sedih kalau mengingatnya."

"Saya bingung Jo", ujar Masbro sembari air matanya merembes dari kelopak matanya.

"Tenang masbro, bila bingung pegangan saya saja ya", Bejo menimpali mencoba menghibur kawan karibnya.

Sudah hampir tiga jam dua ekor Psittacula alexandri alexandri belum beranjak dari strata tengah pohon sengon tua. Nampaknya kejadian ini membuat dua sosok manusia yang sejak pagi buta berada di bawah sengon tersebut merasa terheran-heran. Mereka terlihat tak henti-hentinya berusaha menangkap rahasia di balik anehnya kejadian pagi menjelang siang itu.

"Masbro, mereka kok aneh ya?", tanya Bejo sembari menunjuk-nunjuk ke arah dua sosok manusia di bawah sana.

"Aneh bagaimana tho, kamu itu yang aneh, lha wong tiap minggu ketemu mereka kok bilang aneh", jawab Masbro dengan nada sedikit sewot.

"Santai masbro, maksud saya begini lho, kok mereka betah berlama-lama nungguin kita berdua, atau jangan-jangan...."

"Jangan-jangan apa Jo?"

"Ah, ndak kok masbro."

"Kamu ini lho kebiasaan, kalau ngomong mesti kok ndak pernah dilanjutin, bikin penasaran saja Jo."

"Kapan kita perginya dari sini masbro, cuaca sudah semakin terik, dan perut sudah mulai berkicau nih."

"Pokoknya saya mau menunggu mereka dahulu, jika mereka pergi, saya pun akan beranjak, kalau kamu mau pergi, silakan pergi duluan saja Jo."

"Ah, masbro juga ikut-ikutan aneh, kalau begitu sayapun mau ikut-ikutan aneh alias mengikuti masbro."

"Dasar kamu Jo."

Cuaca sudah semakin terik, dua sosok manusia yang dari tadi menatap keanehan dua makhluk di pohon sengon tiba-tiba terlihat mengemasi barang-barangnya.

"Plek sudah semakin siang, sudah cukuplah kita di sini, nanti sore dilanjut lagi."

"Oke Thel, mengko sore yo, jam piro enaknya?"

"Biasalah, habis ashar, kalau ndak hujan."

"Siap pakboss, eh ngomong-ngomong itu si Psittacula alexandri alexandri betah banget nangkring di sengon hampir tiga jam", tanya Gaplek sambil memindahkan sisa-sisa puntung rokoknya dari kantong plastik ke kantong sakunya.

"Lha mbuh yo, mungkin dia stress akibat perubahan habitat, atau mungkin juga punya kelainan perilaku", jawab Gathel sambil menikmati batang rokoknya terakhir.

"Mesakke yo, populasinya juga menurun drastis, menurutmu sebagian besar mereka pindahe kemana ya?"

"Yo jelas kasihan, kalau dipikir seandainya kampungmu digusur apa yang akan terjadi?, kalau pindah masih belum jelas Plek, kalaupun pindah, mau pindah kemana lagi, dimana-mana pohon sudah berubah menjadi tembok."

"O iyo Thel, kemarin ada yang ngomong kalau ada yang menemukan juvenilnya mati di lokasi penebangan sengon-sengon."

"Wah dimana itu?, jumlahe sing mati piro?"

"Yo ndak ngerti Thel, tapi kemungkinan di sini", jawab Gaplek sambil menunjuk bangkai-bangkai pohon sengon yang tak jauh dari tongkrongan mereka.

"Miris juga ya, sing penting nanti bikin tulisan tentang kondisi ini."

"Sipp pakbos, eh, ngomong-ngomong binokulerku sudah kamu masukin tas?"

"Iki wes tak masukke tas."

Tak sampai lima menit, kedua sosok manusia itu pun sudah menghilang meninggalkan sepetak hutan sengon yang sunyi.

"Dengar sendiri kan Jo, mereka itu ikut prihatin atas kondisi yang menimpa kita.", ujar Masbro setengah berbisik.

"Iya masbro, mudah-mudahan sore nanti kita bisa bertemu dengan mereka lagi."

"Apabila ndak hujan ya."

"Sekarang saatnya kita pergi dari pohon tua ini", ujar Bejo sambil meregangkan sayapnya satu persatu.

Kesunyian yang selama pagi ini menyelimuti petak hutan sengon itu tiba-tiba berubah menjadi riuh oleh beberapa sosok manusia. Mereka terlihat berbeda dari sosok manusia yang baru saja beranjak dari tempat itu. Dari beberapa bertambah lagi menjadi beberapa, diantara mereka ada yang terlihat lusuh dan ada juga yang tampak rapi parlente.

"Bentar Jo, mereka datang lagi", ucap Masbro.

"Ayo Masbro, jangan sampai kita menangis seperti kemarin lagi."

Masbro terdiam ketika suara bising bercampur parau terdengar.

"Masbro ayo kita pergi, nyali saya teramat kecil melihat ini", teriak Bejo yang seolah tenggelam dalam bunyi bising itu.

Kombinasi suara bising, parau, dan gemuruh pohon tumbang telah menghiasi irama siang yang belum terik itu. Satu tumbang, disusul yang lain, tak lebih dari sepuluh menit. Nampaknya sebuah ciri pekerja yang profesional. Bau bangkai pohon tumbang, semak-semak, dan bau keringat sosok-sosok manusia pekerja telah ikut meramaikan sayatan-sayatan di hati dua ekor Psittacula alexandri alexandri dan makhluk-makhluk hutan lainnya.

"Masbro, ayo lekas pergi", bujuk Bejo sambil menggoyang-goyangkan tubuh kawannya yang masih mematung.

Tak disangka-sangka suara gemuruh semakin menjadi-jadi, guncangan demi guncangan memainkan tubuh ringkih mereka.

"Brakkkkk", pohon sengon tempat bertengger kedua Psittacula itu akhirnya tumbang juga.

"Masbrooo", teriak Bejo yang berhasil terbang menghindari tumbangnya sengon terakhir. "Masbroo, masbrooo", teriakan pilu penyesalan Bejo lantaran gagal mengajak kawannya untuk meninggalkan sengon tua terakhir.

"Apa salah kami, kenapa kalian mengusik penghidupan kami", teriakan Bejo yang terdengar sebagai suara cerecetan panjang betet jawa. Sambil terbang berputar-berputar di atas tempat pembantaian itu, teriakan itu terus dilontarkan Bejo.

"Min, lihat ada burung hijau terbang muter-muter", kata salah seorang pekerja sambil mematikan gergaji mesinnya.

"Itu namanya betet, Plak, itu satu ekor sudah mati ketindihan pohon yang kau tumbangkan, dia sepertinya mau menengok bangkai kawannya", ujar salah satu pekerja yang tengah asyik menikmati hisapan terakhir rokoknya.

"Mana bangkainya Min?"

"Sudah, bereskan saja pekerjaan kau, biar cepat selesai pembangunan gedung barunya."

Suara bising dan parau gergaji mesin masih meramaikan suasana tengah hari yang semakin terik.

"Gusti Allah mboten nate sare, siapa yang salah akan salah dan benar akan benar.", ucap Bejo sambil terbang meninggalkan tempat itu.

31/10/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar