Minggu, 30 Oktober 2011

Balada Si Bapak Tua Kumal

"Maaf pak, yang tidak berkepentingan dilarang masuk."

"Saya ingin bertemu bapak presiden, pak."

"Mohon jangan memegang pagar pak dan jangan menempelkan bagian tubuh ke pagar."

"Lho, kenapa pak, apa bapak ini yang bernama presiden?"

Sebuah percakapan tengah terjadi di depan pagar istana presiden antara penjaga istana yang berpakaian hitam dan seorang bapak kumal. Seorang tua yang berpeci lusuh, berkaos oblong kumal, bercelana panjang sobek-sobek, dan bertelanjang kaki.

"Lho kok diam pak, apakah bapak yang bernama presiden?, wah beruntunglah saya bertemu pak presiden Republik Endonesa."

"Husss, ngawur sampeyan ini, sudah pergi sana."

"Kok ngawur gimana tho."

"Pak, saya ini bukan presiden, tapi saya bisa membuat nyawa bapak melayang."

"Wuih, sudah seperti malaikat maut saja bapak ini."

"Rupanya bapak ini mau makar ya!"

"Bukan pak, saya ndak mau bakar, uang saja ndak punya, apalagi korek api."

"Dasar gendheng kamu, sudah pergi sana, daripada saya tembak."

Dor dor dor, bunyi tembakan peringatan dari penjaga setelah berbincang dengan si bapak kumal. Tak berapa lama, seperti tanpa perintah lagi, si bapak kumal berjalan perlahan meninggalkan pagar istana yang putih bersih. Berjalan menghilang diantara keramaian jalan raya siang yang tidak terlalu cerah.

"Ada apa, apa yang telah terjadi?, ada yang makar kah?, atau separatis kah?, mana orangnya pak?"

"Tenang pak, cuma kecoa busuk, sudah pergi dia."

Beberapa waktu kemudian, iring-iringan mobil presiden melaju kencang bersiap memasuki pintu gerbang istana presiden yang terlihat rapi di bawah redupnya sinar mentari siang itu. Di dalam iring-iringan itu pun terdapat pula menteri-menteri kabinet presiden, anggota DPR, pejabat-pejabat pemerintahan lainnya, serta para pemburu berita.

Tidak sampai lima menit, presiden Republik Endonesa beserta jajarannya sudah berdiri tepat di depan istana yang eksotik itu, mereka rupanya bersiap untuk berfoto bersama. Memang siang itu adalah hari jamuan presiden untuk punggawa-punggawanya yang telah berhasil menghantarkan sang presiden menjadi populer, lantaran sering mengisi cover depan media cetak dan berita utama media elektronik di Endonesa.

"Pak, pak presiden Endonesa, saya ingin bertemu bapak", si bapak kumal tiba-tiba menyembul diantara kerumunan wartawan dan petugas keamanan sambil menggerakkan langkahnya menuju tempat berdirinya presiden Republik Endonesa.

"Lho, kamu lagi, kamu lagi, dasar kecoa busuk, bagaimana kamu bisa masuk?, jangan-jangan kamu punya ilmu gaib?"

"Eh, si bapak, ketemu lagi ya pak, saya tadi lewat gerbang sana pak, lha wong tadi dibuka kok, jadi saya langsung masuk saja."

"Pak presiden maaf atas keteledoran kami pak, kami akan meringkus pengacau satu ini, bila bapak mengijinkan, akan kami masukkan saja ke sel tahanan."

"Benar pak presiden, hukumannya biar seumur hidup saja pak", ujar menteri pertahanan.

"Menurut hemat saya, sebaiknya jangan seumur hidup pak, kasihan dia sudah tua, kita adili dulu, kalau terbukti bersalah baru hukum sampai jera", menteri hukum dan HAM tiba-tiba menimpali.

"Sebentar dulu pak, jangan buru-buru dulu, siapa tahu bapak tua ini punya gangguan kesehatan, ya siapa tahu ada sedikit gangguan jiwa", menteri kesehatan yang berdiri tepat di belakang presiden tidak mau kalah berujar.

"Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas ketidaknyamanan ini, untuk proses selanjutnya kami menunggu instruksi bapak presiden."

Puluhan wartawan dan wartawati dari berbagai media cetak dan elektronik masih terus menyoroti kejadian yang sedang terjadi siang itu. Sebuah perdebatan itu pun nampaknya akan menjadi headline di media mereka masing-masing.

"Mohon bapak-bapak tenang sejenak, untuk masalah ini, mohon bapak tua ini jangan dikasari, kasihan bapak tua ini sudah tua", tiba-tiba Presiden Republik Endonesa memecah perdebatan yang tengah terjadi diantara para punggawanya.

Tiba-tiba tepuk tangan membahana dari para punggawa presiden, wartawan dan juga tamu undangan.

"Baiklah, bapak tua, apa maksud kedatangan bapak ke sini?"

"Sebelumnya, maaf lho pak presiden, bukan maksud saya mengganggu waktu bapak, saya hanya ingin bertemu bapak."

"Lantas, jika sudah bertemu saya apa yang akan bapak lakukan selanjutnya?"

"Begini lho pak presiden, saya mau cerita, mohon didengarkan ya pak, syukur-syukur diberi penjelasan dan dibantu, saya kan cuma petani, hidup di dusun jauh dari sini, hidup kami selama kepemimpinan bapak kok ndak pernah makmur atau sejahtera ya pak, hasil panen dan ternak kami anjlok harganya, akhirnya kami ndak bisa nyekolahkan anak, dan berobat kala sakit pun kami ndak bisa, kesannya dipersulit gitu lho pak, kenapa ya pak?"

"Oh, itu masalahnya, maaf sebelumnya, saya sedang sibuk bapak, setelah ini saya harus menerima kunjungan duta besar Indonesia, pertanyaan bapak biarlah dijawab menteri-menteri saya."

"Kok gitu pak, bapak kan sering muncul di tivi, katanya berhasil mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat?, saya ingin sekali mendengar jawaban bapak"

"Bapak ini kok ngeyel ya, menteri itu ya perpanjangan suara saya pak, sudah ya, pak menteri pertanian mohon dijawab pertanyaan bapak tua ini!"

Presiden Republik Endonesa langsung masuk ke dalam istana dengan muka kusut diikuti oleh beberapa punggawanya. Di luar bangunan istana masih tersisa beberapa menteri dan anggota dewan yang masih haus jepretan-jepretan wartawan.

"Pak menteri pertanian, tolong dijawab dong!"

"Oh, oh iya iya, begini ya pak, untuk masalah itu harus kita tinjau mengenai daerah bapak terlebih dahulu ya pak, terus kita pelajari dahulu. Kalau untuk kesejahteraan, biarkan dijawab oleh pak menteri kesejahteraan rakyat, sudah saya pergi dulu ya maklum mau menerima kunjungan importir daging sapi dan kentang."

"Begini ya pak, untuk masalah kesejahteraan di daerah bapak biar kami kaji terlebih dahulu, sudah ya pak, saya mau rapat dahulu, kalau masalah kesehatan biar dijawab menteri kesehatan."

"Maaf ya pak, saya sedang sibuk.", ujar menteri kesehatan.

"Saya juga sedang sibuk, sudah ya, tanya saja ke anggota dewan yang pernah bapak pilih!", ucap menteri pendidikan yang terkesan menghindar.

"Oh, dasar!, pak anggota dewan mohon bantu saya, saya dulu yang memilih bapak, apakah bapak bisa menjawab dan menuntaskan masalah kami para rakyat rendahan?"

"Oh, saya sudah lupa tuh kalau bapak pernah memilih saya, saya ini masih sibuk rapat sana-sini pak tua, jadi jangan ganggu saya ya pak, sudah mendingan bapak pulang sana, nih uang cukup buat ongkos pulang dan beli sandal jepit", kata salah satu bapak anggota dewan sambil mengeluarkan uang sepuluh ribu dari saku celananya.

"????, inilah negeriku, rakyat dibiarkan berjalan sendiri-sendiri", pikir si bapak kumal.

"Hei, kecoa busuk, sudah pulang sana, cepat sana pergi, kalau tidak, mati kau!"

"????????????????"


26/10/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar