Kamis, 08 Desember 2011

Secuil Kisah di Dusun Kukilo

Masih terlihat onggokan tak beraturan dari sejumlah jajanan pasar yang
telah mengering. Beberapa bahkan terlihat berceceran agak masuk ke
rerimbunan hutan. Sunyi, begitulah kesan yang terlihat siang ini,
hanya bunyi gesekan-gesekan dedaunan, ranting, dan batang-batang bambu
yang tertiup angin, kadang disertai dengan kicauan cerukcuk, kutilang,
dan sesekali prenjak. Tidak terlihat gerak-gerik warga siang ini,
bahkan rumah berdinding kayu jati tak jauh dari pohon beringin tempat
onggokan sampah jajanan pasar itu terlihat tutup, tidak ada aktivitas
manusia sama sekali.

-------------------------

Hamparan tanaman singkong yang tidak begitu luas tampaknya telah
menjadi wahana sosialisasi masyarakat dusun Kukilo. Hampir setiap
hari, tidak kenal tanggal merah, mereka selalu berhambur menggarap
kebun singkong peninggalan leluhur, salam sapa dan riuh senda gurau
pun selalu menghiasi gersangnya kebun singkong, dari pagi sampai sore
menjelang. Tidak pernah ada keluh kesah dan ego pribadi, kebun itu
telah dianggap milik bersama yang harus dikelola bersama untuk
kemakmuran dusun. Bertani singkong, merupakan satu-satunya pekerjaan
yang bisa dilakukan oleh hampir semua warga dusun Kukilo, lantaran
tandusnya lahan telah menghalangi tumbuhnya tanaman pangan lainnya.

Meskipun tandus dan miskin sumber air, tidak pernah terdengar keluhan
warga akan kesulitan dan kerasnya hidup di daerah itu. Mereka
beranggapan dengan kondisi seperti itu, dusun Kukilo menjadi lebih
tenteram dan raharja. Dalam bertani, mereka telah menerapkan sistem
pembagian kerja, secara bergilir, mereka akan bergantian menggarap
kebun singkong, mencari air ke dusun tetangga, mengolah hasil panen,
serta menjualnya ke kota terdekat. Tidak ada rasa iri diantara warga
dusun, lantaran anggapan bahwa rejeki sudah diatur oleh Pencipta. Bagi
hasil panen pun dibagikan adil merata melalui musyawarah warga. Adalah
mbah Legi, warga yang dituakan, selalu menjadi pemimpin musyawarah
bagi hasil, bahkan hampir semua musyawarah dusun. Tidak hanya itu,
mbah Legi telah berperan dalam menjaga nilai-nilai tata krama,
tradisi, serta menjadi imam desa dalam kegiatan keagamaan.

Guyub, begitulah kesan yang bisa disematkan untuk kehidupan warga
dusun Kukilo. Tak heran, kala matahari mulai meredup, renyuh tawa
pelepas lelah bekerja selalu menghiasi suasana dusun. Singkong rebus,
singkong goreng, gaplek, gatot, tiwul, dan teh, beberapa jenis
hidangan yang selalu tersaji di beranda setiap rumah dan telah
menemani suasana guyub itu sekian lama. Riuh tawa cengkerama warga
dusun pun tidak pernah berhenti saat gelap menyelimuti dusun, bahkan
semakin menjadi-jadi. Biasanya mereka akan berkumpul di halaman rumah
mbah Legi kala malam, dengan diterangi beberapa lampu teplok, obrolan
demi obrolan akan berlanjut menyusup ke dalam malam yang semakin
larut.

Meskipun mbah Legi sudah wafat sekitar lima bulan lalu, rumah beliau
masih tetap dipadati warga dusun Kukilo setiap malam, bercengkrama
akrab di halaman rumah kecil itu diiringi alunan campursari dari
sebuah radio kuno, sambil sesekali mengenang jasa-jasa mbah Legi.
Rumah kecil itu berdinding kayu jati dan bertipe joglo, dengan
dipayungi oleh kerindangan pohon beringin tua dan beberapa rumpun
bambu, tampak begitu asri dan teduh. Kesan sebagai rumah tua dapat
terlihat dari warna dindingnya yang telah kusam. Secara aturan adat,
rumah mbah Legi ditetapkan sebagai patok dusun, atau dengan kata lain
telah ditetapkan sebagai pembatas antara dusun Kukilo dengan hutan
Singomendem. Warga pun menganggap bahwa semua aktivitas warga harus
dipusatkan di rumah mbah Legi.

Suro dan Lowo, dua orang yang sekarang menghuni rumah peninggalan mbah
Legi. Pakdhe Suro, begitu warga dusun memanggilnya, beliau adalah anak
satu-satunya mbah Legi, dan tampaknya telah dinobatkan oleh warga
dusun sebagai pengganti mbah Legi. Sedangkan mas Lowo, yang merupakan
anak pakdhe Suro dan satu-satunya cucu mbah Legi tampaknya tidak
begitu mewarisi kebijaksanaan kakeknya. Sepeninggal mbah Legi, fungsi
kepemimpinannya telah diambil alih oleh pakdhe Suro, tidak hanya
memimpin dusun Kukilo, beliaupun juga menjadi juru kunci hutan
Singomendem.

Tidak berbeda dengan dusun Kukilo, hutan Singomendem juga mempunyai
kondisi tanah yang tandus dan gersang, sama-sama bertanah kapur. Hanya
pohon-pohon berkayu keras dan semak belukar yang tumbuh di dalam sana.
Namun, hutan itu telah menjadi kebanggaan warga dan sekaligus
dikeramatkan oleh warga dusun Kukilo. Sejarah dikeramatkannya hutan
Singomendem memang belum banyak terungkap, hanya menurut beberapa
warga, hutan Singomendem adalah tempat pertapaan para pendiri dusun
sebelum mereka membangun dusun Kukilo, menurut mereka, keberadaan gua
dan bongkahan batu kali berukuran besar merupakan bukti bahwa tempat
itu adalah tempat pertapaan jaman dulu. Sedangkan beberapa warga
lainnya mengatakan bahwa hutan Singomendem adalah tempat berkumpulnya
arwah leluhur. Sampai sekarang belum ada yang tahu sejarah hutan
Singomendem dan dusun Kukilo sebenarnya.

Hutan Singomendem, tampaknya telah menyandang predikat sebagai hutan
larangan. Berdasarkan aturan tidak tertulis yang dibuat oleh leluhur,
setiap warga dusun Kukilo tidak diperbolehkan mengusik ketenangan dan
kehidupan makhluk hidup di kawasan hutan, atau dengan kata lain tidak
diperbolehkan berburu dan menebang pohon sembarangan. Hanya,
diperbolehkan memanfaatkan dari apa yang hidup di dalam hutan, dan itu
pun harus berdasar pada musyawarah warga. Karena sebagian besar yang
hidup di hutan Singomendem adalah pohon jati, pernah suatu ketika,
beberapa penebang pohon liar dari dusun tetangga nekat masuk ke hutan
dengan niatan untuk menebang jati, akibatnya peristiwa misterius pun
terjadi, beberapa diantaranya serta-merta buta, lainnya pingsan,
kejang, dan akhirnya meninggal dunia. Tidak hanya itu, beberapa
pemburu burung yang nekat masuk ke sana pun dikabarkan mengalami hal
serupa, bahkan ada yang ditemukan tewas dengan luka cakar dan cabikan.
Sesuai tradisi, setelah ada gangguan terhadap hutan Singomendem,
serta-merta warga akan menggelar ritual tolak bala, tepatnya di bawah
pohon beringin tidak jauh dari rumah mbah Legi.

"Siapapun yang berniat jelek di dusun ini dan hutan Singomendem, maka
kejelekan itu akan berbalik", begitu ujar pakdhe Suro.

Musim kemarau panjang tahun ini sama sekali tidak mempengaruhi hasil
panen warga. "Alhamdulillah, dusun tetap raharja, gemah ripah loh
jinawi, masyrakatnya guyub, lantaran warga tetap menjunjung tradisi
adiluhung dan ingat dengan gusti Allah", begitulah ujar pakdhe Suro
ketika ditanya dampak kemarau panjang yang melanda hampir di seluruh
negeri.

Dusun Kukilo memang tipe daerah mandiri dan berdikari, sama sekali
tidak terlihat program-program pemerintah berjalan di wilayah itu,
hanya sebuah tangki air berwarna biru bertuliskan "Proyek Departemen
PU" bertengger tidak jauh dari rumah peninggalan mbah Legi. Menurut
penuturan pakdhe Suro, tangki itu dulunya dilengkapi oleh pipa-pipa
yang mengalirkan air dari pusat penampungan air PDAM di pusat kota
untuk memasok air ke dusun Kukilo, tetapi program pemerintah itu hanya
berjalan dua minggu, pasokan air pun akhirnya terhenti, bahkan sampai
saat ini, tidak pernah ada setetes air pun bantuan pemerintah.
Sehingga, secara bergilir, dengan membawa jeligen-jeligen air, warga
mencari air ke dusun-dusun tetangga untuk ditampung di tempat tangki
air besar itu.

-------------------------

Angin kering yang berhembus siang itu tidak menyurutkan rasa marah mas
Lowo kepada bapaknya, tampaknya akibat larangan pakdhe Suro, mas Lowo
nekat menggebrak-gebrak dinding kayu rumahnya. Menurut warga yang
sedang menggarap kebun singkong, pertikaian siang itu dipicu oleh
niatan mas Lowo yang hendak menebang sebagian pohon jati yang tumbuh
di dalam hutan Singomendem. Entah apa alasan mas Lowo berlaku
demikian, belum ada yang mengetahuinya dengan pasti.

Bukan kali ini saja mas Lowo berbuat kasar kepada bapaknya. Menurut
penuturan warga, sepeninggal kakek dan ibunya, perangai mas Lowo telah
berubah, dia gampang sekali emosi dan melakukan apa saja yang
diinginkannya, suatu ketika dia pernah melubangi tangki air dusun,
lantaran kemauannya tidak dituruti oleh pakdhe Suro, waktu itu dia
meminta sebuah sepeda motor. Entah setan apa yang telah menyebabkan
begitu. Temannya pernah bercerita bahwa kehidupan kota-lah yang telah
mengubahnya. Memang, sejak setahun lalu, mas Lowo pernah bersekolah
dan bekerja di kota yang tidak begitu jauh dari dusun Kukilo. Dia-lah
satu-satunya pemuda dusun yang bersekolah sampai perguruan tinggi kala
itu.

Seminggu yang lalu, dia berhasil menebang dua pohon jati dan akhirnya
menjualnya. Kemarahan warga pun sebenarnya tumpah, tetapi lantaran
mereka masih menghormati keluarga pakdhe Suro, amarah warga pun
teredam. Warga menganggap apa pun makhluk hidup yang hidup di dusun
Kukilo tidak boleh diperlakukan seenaknya, sebatang rumput pun.

------------------------

Setelah terdengar suara pohon tumbang semalam, secara berduyun-duyun
warga mendatangi rumah pakdhe Suro selepas Subuh. Sama sekali tidak
ada yang keluar menghampiri warga dari dalam rumah berdinding kayu
itu, lantaran penghuninya, terkapar lemah tak berdaya. Pakdhe Suro
terlihat terbaring lemah sambil menitikkan air matanya di atas dipan
kayunya. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut
keringnya itu. Hanya sebuah pesan untuk tetap berpegang teguh kepada
nilai-nilai tradisi dan agama.

Setelah mendapat izin dari pakdhe Suro, beberapa warga memasuki hutan
Singomendem, mereka tampaknya menghampiri tempat tumbangnya pohon jati
semalam. Tak berapa lama, mas Keting, salah seorang pemimpin warga
yang memasuki hutan ketika matahari masih merah terlihat tergesa-gesa
mendatangi rumah berdinding kayu bertipe joglo, sambil menggendong
sebuah sosok yang telah dikenali oleh warga yang sejak subuh
berkerumun. Sebuah sosok dengan luka cakaran dan cabikan tajam kuku
tampak tergolek tak berdaya.

"Le, mbah Legi sudah pernah berpesan, jangan sekali-kali mengusik
kehidupan hutan Singomendem", bisik pakdhe Suro ke telinga sesosok
yang tergolek lemah itu.

Senin, 05 Desember 2011

Sebuah Peristiwa di Bukit Sepah

Mendung masih enggan beranjak. Gelondongan-gelondongan kayu yang entah
jenisnya masih teronggok di atas tanah merah basah, bercampur dengan
bangkai pepohonan yang baru saja tumbang. Bau khas bangkai pohon dan
lapisan dalam tanah pun menyeruak menusuk hidung setiap orang yang
sejak pagi berkerumun di tempat itu. Ibarat paduan suara, isak tangis
tengah membahana memenuhi suasana desa sore ini. Gerimis menambah
basahnya wajah-wajah sembap seluruh warga desa yang sejak siang tak
henti-hentinya menitikkan air mata. Tidak hanya itu, kadang
teriakan-teriakan histeris muncul diantara padunya isak tangis dan
suara tonggeret.

----------------------

Fajar bukanlah waktu bermanja bagi warga desa Sukajaya. Dari tua,
muda, dan anak-anak selalu terlihat menyemarakkan suasana fajar.
Tepatnya, mereka selalu bangun sebelum adzan Subuh, setelah itu mereka
akan memenuhi sebuah surau tua yang ukurannya tidak begitu luas,
bahkan sampai-sampai tidak pernah mampu menampung puluhan warga yang
sembahyang, At-Taqwa, begitu tulisan yang terpampang di dinding surau.
Hawa dingin yang selalu menyelimuti desa setiap fajar tampaknya tidak
pernah menyurutkan warga mengawali masa depannya.

Tidak ada peristiwa luar biasa setiap pagi di desa Sukajaya. Seperti
biasanya, riuh gerak warga desa selalu menyambut sapaan mentari yang
masih malu-malu. Kebanyakan dari mereka akan meninggalkan desa ketika
pagi dan kembali lagi kala senja. Menghambur ke kota terdekat, menjual
hasil hutan non-kayu, sebotol madu hutan. Desa madu, begitulah warga
kota menyebut desa Sukajaya, karena mereka menganggap semua warga di
desa Sukajaya bermata pencaharian sebagai pencari, pengolah, dan
penjual madu hutan, walaupun sebenarnya tidak hanya desa Sukajaya yang
warganya bermata pencahariaan seperi itu, desa-desa sekitar desa
Sukajaya juga mempunyai produk berupa madu hutan. Tampaknya madu hutan
hasil warga desa Sukajaya lebih dikenal oleh warga kota. Manisnya
alami, begitulah ujar salah satu pelanggan yang tinggal di dekat pasar
kota.

Mereka terkenal sebagai orang yang bersahaja dan selalu menjunjung
tinggi sopan santun. Materi modern bukanlah sesuatu yang diutamakan
dalam kehidupannya, kondisi ini terlihat dari rumah yang cukup
sederhana, dibangun dari bahan-bahan hutan di sekitar desa mereka dan
bangunan rumah mereka pun mengikuti penampakan lahan, dengan kata
lain, bangunan rumah mereka tidak pernah mengubah dan menyalahi kontur
lahan. Perabotan pun seadanya, tidak pernah terlihat barang-barang
elektronik dan barang mewah lainnya di dalam rumah mereka. Entah
lantaran listrik tidak pernah masuk ke desa Sukajaya atau lantaran
mereka menolak kemewahan dan modernisme. Tampaknya, penolakan terhadap
kemewahan lebih tepat disematkan kepada warga desa Sukajaya. Menurut
salah satu tetua desa, kemewahan materi hanya akan menjauhkan warga
desa dari nilai-nilai budaya desa Sukajaya.

Desa Sukajaya dengan kota terdekat berjarak sekitar tiga puluh lima
kilometer, jarak yang begitu jauhnya tampaknya tidak pernah
menyurutkan warga desa untuk mengarunginya. Bukan keuntungan yang
dicari, melainkan mereka hanya ingin membantu warga kota memenuhi
kebutuhan hidupnya. Mungkin madu hutan yang mereka jual bukanlah
kebutuhan primer masyarakat, tetapi keinginan saling menolong-lah yang
membuat mereka tetap gigih melakoni kegiatan itu setiap hari.
Kadangkala mereka tidak segan-segan membantu meringankan pekerjaan
warga kota. Seperti yang dilakukan pak Sengon, salah seorang tetua
desa, setiap hari sebelum pulang ke desa Sukajaya, beliau selalu
menyempatkan membantu membersihkan pasar tradisional kota. Beliau
tidak pernah meminta imbalan sepeser pun. Kebersihan akan memakmurkan
masyarakat, begitulah ujar pak Sengon ketika ditanya tentangtujuannya
itu. Memang terkesan aneh aktivitas yang dijalani oleh hampir semua
warga desa Sukajaya. Namun, begitulah kehidupan yang harus dilakoni
mereka.

--------------------

Bangunan berdinding anyaman bambu itu tidak begitu luas, mungkin cuma
cukup menampung sepuluh orang dewasa di dalamnya. Namun, dalam luasnya
yang bisa dibilang sempit, riuh bahagia suara anak-anak selalu
terdengar setiap hari. "Rumah Belajar Sukajaya", tulisan besar yang
ditulis dengan spidol hitam di papan kayu tergantung di atas pintu
masuk rumah kecil itu terbaca. Tampaknya rumah belajar telah menjadi
tempat favorit berkumpulnya anak-anak desa Sukajaya kala orang tua
mereka berkarya. Adalah Kang Jaya, seorang sarjana muda yang baru saja
lulus dari sebuah perguruan tinggi di ibukota, bersama dua orang
rekannya, dia membangun rumah belajar di desa Sukajaya. Seperti halnya
warga desa Sukajaya, dia pun sama sekali tidak mengharapkan imbalan
dari warga desa yang anaknya dititipkan di rumah belajar. Pengabdian,
begitulah ujarnya ketika ditanya tentang tujuan pendirian rumah
belajar itu.

Warga desa Sukajaya dengan ramahnya menerima kang Jaya ketika dia
menjelaskan rencananya sekitar sebulan yang lalu. Akibatnya, warga pun
memberikan sedidang tanah yang letaknya tepat di bawah bukit Sepah,
tidak jauh dari surau tua dan saung desa. Tidak hanya itu, warga desa
pun membantu mendirikan rumah belajar satu-satunya di desa Sukajaya.
Kala itu, hampir semua warga mendatangi tempat itu dan mereka pun
bahu-membahu membangun rumah belajar desa Sukajaya. Tidak hanya orang
dewasa, anak kecil dan orang tua pun antusias membangun dan menerima
kehadiran rumah belajar itu. Pak Sengon pernah berujar bahwa dengan
adanya rumah belajar, warga berharap kehidupan desa Sukajaya menjadi
lebih makmur.

Bukit Sepah yang tidak begitu tinggi, tampaknya telah menjadi tempat
yang sakral bagi warga desa Sukajaya. Menurut pak Sengon, sudah
turun-temurun bukit Sepah disakralkan oleh warga. Alasannya pastinya
memang belum diketahui, bahkan warga desa Sukajaya sendiri, lantaran
memang dalam aturan mengatakan bahwa tidak ada yang boleh bertanya
alasannya. Berdasarkan aturan desa, sekitar bukit hanya diperbolehkan
digunakan sebagai pusat sosial budaya masyarakat, sehingga surau dan
saung desa-lah yang berdiri di tempat itu. Dan sejak sebulan lalu,
akhirnya rumah belajar prakarsa kang Jaya pun diperbolehkan berdiri di
sekitar bukit Sepah. Tiga buah bangunan di bawah bukit Sepah tampaknya
telah mengisi kehidupan sehari-hari warga desa Sukajaya selama ini.
Selain kesakralannya, bukit Sepah terkenal sebagai daerah yang masih
menyimpan kandungan logam mulia dan kayu dari pepohonan yang berumur
ratusan tahun. Sehingga tak jarang peneliti-peneliti pemerintah atau
peneliti dari perguruan tinggi mendatangi bukit Sepah. Tidak ada
larangan bagi mereka untuk menginjakkan kaki di bukit Sepah, selama
mereka sopan di sana, begitulah kata pak Sengon.

Tidak hanya anak kecil, warga dewasa pun sering mendatangi rumah
belajar. Walaupun tidak bisa membedakan abjad, mereka terlihat
antusias membolak-balik halaman buku-buku yang tertata rapi di rak
buku rumah belajar. Kadang terlihat senyum mengembang dari bibir
mereka, kadang pula suara tawa memenuhi ruangan rumah belajar yang
tidak luas itu, dan terkadang terlihat muka serius warga saat
membuka-buka halaman buku. Anak-anak pun terlihat ceria menyemut
berkerumun di sekitar rumah belajar. Terlihat kang Jaya dengan
sabarnya mengajari anak-anak desa mengenal huruf dan angka. Kadang
diselingi jalan-jalan berkeliling desa melihat aktivitas warga desa
dan terkadang masuk ke dalam hutan di bukit Sepah. Lelah tampaknya
tidak pernah menyurutkan kang Jaya bermain-main dengan anak-anak desa,
karena memang niat dan tujuan mensejahterakan warga desa Sukajaya
lebih tinggi daripada remeh-temeh nafsu dunia.

Tidak seperti sekolah formal, rumah belajar desa Sukajaya terkesan
lebih santai, tidak ada seragam yang wajib dikenakan. Mereka hanya
diwajibkan mengenakan apa yang mereka punya, tidak boleh beli.
Membekali anak-anak yang menjadi siswanya dengan pendidikan budaya,
budi pekerti, dan lingkungan tampaknya selaras dengan jalan hidup
warga desa Sukajaya. Inilah yang menjadikan kang Jaya diterima
kehadirannya oleh semua warga desa Sukajaya, bahkan dua minggu yang
lalu, pak Sengon, mewakili tetua desa yang lain, telah memberikan
gelar kehormatan kepada kang Jaya.

---------------------

Resah terlihat menyelimuti setiap warga desa akhir-akhir ini. Tidak
seperti biasanya, sejak lima hari lalu, warga tidak beraktivitas
seperti biasanya. Mereka hanya berdiam dan tidak bepergian ke kota
menjajakan botol madu hutannya, bukan lantaran sebuah keengganan,
tetapi lebih disebabkan oleh kegelisahan dan ketakutan yang menghantui
warga sejak lima hari ini. Tepatnya lima hari yang lalu, tersiar kabar
bahwa bupati telah menerbitkan perizinan perusahaan penambang emas
beroperasi di desa Sukajaya, tepatnya di bukit Sepah. Lima hari yang
lalu, beberapa orang ahli geologi telah diterjunkan meneliti kandungan
emas.

Rencana pemerintah kabupaten itu telah menyebabkan ketidak tenangan
kehidupan warga desa Sukajaya. Tiga hari yang lalu, warga memprotes
rencana bupati. Dengan bersenjatakan tongkat bambu, sapu lidi, dan
sapu ijuk, mereka menghadang buruh-buruh perusahaan penambang emas
yang akan menurunkan alat-alat berat. Perang kecil pun terjadi, namun
sayang, gas air mata melumpuhkan semangat warga. Beberapa warga bahkan
terlihat bergelimpangan tak sadarkan diri. Buruh-buruh itu dengan
mudah dan seenaknya melaju menuju bukit Sepah. Secara fisik, warga
desa telah kalah, tetapi semangat mereka tampaknya tidak akan pernah
padam.

Bising gergaji mesin tidak terkalahkan oleh teriakan-teriakan warga
yang sejak pagi membentengi bukit Sepah. Hanya butuh beberapa menit,
puluhan pohon sudah terlihat tumbang. Warga desa tetap diam, sebagian
berteriak, dan sebagian sisanya menangis pilu. Hujan deras pagi ini
tidak menyurutkan semangat warga memprotes peristiwa itu. Sebagian
bukit sudah gundul, terutama bukit yang menghadap ke tiga bangunan
kebanggan warga desa Sukajaya. Tanah bukit Sepah pun dengan mudahnya
dikeruk, hanya demi logam mulia, mereka melakukan perbuatan yang
tampaknya tidak mulia.

--------------

Siang ini, hujan pun semakin menjadi-jadi disertai kilat, gelegar
halilintar, dan mendung tampaknya telah ikut juga memayungi suasana
desa yang kelam. Tepat setelah adzan Dhuhur berkumandang, tanah merah,
sebuah lapisan dalam tanah yang terkeruk dan beberapa gelondongan kayu
menghunjam ke bawah bersama leleran air hujan, menghantam tiga
bangunan yang disakralkan. Jeritan yang muncul serta-merta mengalahkan
bising gergaji mesin dan alat berat, namun tidak begitu lama, seketika
sudah lenyap begitu saja.

Minggu, 04 Desember 2011

Sebuah Kisah Lelaki Renta di Siang Hari

Entah pengaruh pemanasan global atau bukan, udara siang di salah satu
pantai yang letaknya tidak jauh dari ibukota terasa begitu gerah.
Angin memang berhembus, tetapi hanya mengalirkan hawa panas lautan
ibukota. Bau anyir bangkai-bangkai ikan laut yang menggunung bercampur
aroma asin air laut menyesaki hidung setiap orang yang menjejakkan
kaki di daerah itu. Namun, tidak bagi beberapa anak yang belum baligh,
riuh rendah bermain sepak bola diantara jajaran ikan asin yang sedang
dijemur dan gunungan sampah rumah tangga. Beberapa orang yang
tampaknya berkarya sebagai nelayan pun terlihat begitu menikmati
permainan kartunya sambil menunggui perahu-perahu tradisionalnya yang
disandarkan di dermaga sederhana. Terik, gerah, bau anyir, dan
hiruk-pikuk nelayan yang menyapa kehidupan warga setiap siang sudah
menjadi makanan sehari-hari warga yang tinggal di desa Kerapu.

Di tengah-tengah hiruk warga nelayan desa Kerapu, seorang lelaki renta
duduk terdiam sambil bersila di bawah lambaian sebatang nyiur, tidak
jauh dari penjemuran ikan asin. Tidak ada yang peduli dengan apa yang
dilakukan lelaki renta itu, bahkan namanya pun tidak dikenali warga
desa Kerapu. Beberapa warga menganggapnya kurang waras. Bahkan tidak
ada yang berani mendekatinya. Pak Jukung, begitulah namanya dipanggil
oleh warga desa. Mereka menyebut demikian tentu bukan tanpa alasan,
tepatnya sepuluh tahun yang lalu, lelaki tua yang dipanggil dengan
nama pak Jukung diselamatkan seorang warga nelayan dari amukan badai.
Kala itu, dia terbaring tak sadar di dalam jukungnya, terombang-ambing
oleh gelombang laut Jawa. Sejak saat itu, warga desa menganggap pak
Jukung mengalami hilang ingatan, dan tidak hanya itu, omongannya aneh,
lantaran tidak ada warga yang memahami omongannya. Sehingga warga pun
tidak bisa mengorek asal-usulnya, hanya satu yang diketahui warga, pak
Jukung datang dari arah utara.

Dari peristiwa itu, beberapa opini terlontar oleh hampir setiap warga
desa Kerapu. Ada yang bilang bahwa dia salah satu manusia perahu asal
VietNam yang terpisah dari rombongannya ketika badai menghantam laut
Jawa. Warga lain beranggapan bahwa pak Jukung hanyalah seorang nelayan
biasa yang terkena musibah kala itu. Selain itu, warga muda pun tak
mau kalah memberikan pendapatnya, mereka menganggap pak Jukung adalah
korban kejahatan, dengan kata lain percobaan pembunuhan dengan
membiarkannya terapung di atas jukung di tengah laut lepas. Entah
opini mana yang benar, belum ada yang bisa memastikan kebenaran
anggapan-anggapan warga tersebut.

Selama ini sebagian warga memang merasa jengkel kepada pak Jukung
lantaran kebiasaannya yang berbeda dari warga desa lainnya, walaupun
dia tidak pernah merugikan seorang pun. Sikapnya ibarat pertapa, diam
dan bicaranya pun tidak dimengerti oleh warga. Meskipun dikenal
sebagai pribadi yang penuh misterius, dia tak sungkan-sungkan
memberikan senyum ramahnya kepada setiap warga yang ditemui.

Pak Jukung menempati sebuah rumah berdinding anyaman bambu yang
ukurannya tidak begitu luas, sekitar empat kali empat meter. Sudah
sekitar sepuluh tahun rumah itu berdiri, lapuk dan kumuh, begitulah
kesan yang muncul ketika melihatnya. Di kanan-kirinya terlihat
tumpukan bangkai-bangkai ikan yang tampaknya sengaja dibuang oleh
warga di sana. Tidak hanya itu, genangan air laut sisa pasang selalu
terlihat menghiasi lantai rumah pak Jukung, atau dengan kata lain,
pasang air laut sudah sampai ke rumahnya. Rumah kecil itu tampaknya
bukanlah sebuah rumah yang layak huni. Pak Jukung sendiri juga
terkesan merasakan keadaan itu, lantaran dia lebih sering berdiam di
bawah rindangnya pohon waru, nyiur dan sisa mangrove yang letaknya
agak jauh dari rumahnya. Tidak ada belas kasihan dari warga, dalam
kerentaannya, dia dibiarkan hidup seadanya, bahkan setiap hari, pak
Jukung hanya memakan bangkai-bangkai ikan sisa tangkapan nelayan yang
telah membusuk. Dengan tubuh kurus hitam legam namun masih kekar, dia
berjalan menyusuri bibir pantai kala matahari mulai menyapa bumi,
dengan berbekal kantung plastik, dia mengais dan mengumpulkan sampah
yang berserakan di bibir pantai desa Kerapu. Belum ada yang mengetahui
alasan pak Jukung memulung sampah-sampah pantai.

------------------------

Kala terik siang memayungi desa Kerapu, pak Jukung lebih sering
terlihat duduk terdiam sambil mengarahkan pandangannya ke beberapa
batang mangrove yang masih tersisa, dengan ditemani oleh lambaian
nyiur dan rimbun dedaunan pohon waru. Tidak hanya itu, hanya
beralaskan coklatnya pasir pantai, biasanya dia tertidur pulas sampai
adzan Ashar membangunkannya. Selama ini memang tidak pernah ada warga
yang mengusik kebiasaan pak Jukung, entah takut atau mereka
menganggapnya gila. Tiap senja, dia memanjat batang tertinggi pohon
waru dan juga memanjat ranting-ranting rapuh beberapa batang mangrove.
Tersungging senyum bahagia selepas dia menuruni kedua pohon tersebut.

Diumpat dan dicaci, begitulah warna kehidupan pak Jukung selama dia
tinggal di desa Kerapu. Menurut warga desa, pertama kali saat
diselamatkan oleh pak Jangkrik, hampir semua warga desa menolak
kedatangannya, mereka khawatir jika nantinya kehidupan warga desa
Kerapu dipenuhi kesialan. Karena pak Jangkrik-lah, yang merupakan
seorang tetua desa, pak Jukung seperti mendapat perlindungan. Namun,
sejak pak Jangkrik meninggal sekitar empat tahun lalu, dengan bebasnya
warga melontarkan umpatan ketika berjumpa dengan pak Jukung, sampai
saat ini.

Dalam kesendiriannya, biasanya dia berceracau, entah apa maknanya,
tidak ada yang tahu. Matanya terlihat melotot disertai nada bicara
yang meninggi setiap kegiatan memulung sampahnya berakhir, terkesan
seperti orang yang marah, apalagi ketika tongkat kayunya yang
dipukul-pukulkan ke tumpukan sampah plastik. Sering juga dia
berteriak-teriak seperti orang yang kesetanan, sama sekali tidak ada
yang tahu arti teriakannya. Tampaknya memang lebih tepat, dia disebut
sebagai orang gila.

-------------------------

"Oooiiii !", berulang-ulang terdengar teriakan pak Jukung siang ini.
Teriakan yang berbaur dengan deburan ombak dan angin laut terdengar
seperti tangisan pilu seorang yang menunggu orang yang dikasihinya.
Tubuh kurus namun kekar terlihat berdiri diantara pohon waru dan
kelapa, sesekali berlari-lari kecil menghampiri mangrove sambil
berceracau dan berteriak yang tak dipahami oleh siapapun. Benar-benar
aneh, tidak seperti biasanya dia bertingkah. Dari mukanya terlihat
raut kegelisahan. Entah apa yang ada di pikiran pak Jukung siang ini.

Tak berapa lama, dia terlihat mengambil sebuah bangkai ikan dan
kemudian berlari menghampiri sisa mangrove terakhir, dia memanjat dan
diam agak lama di batang teratas mangrove. Terlihat dia menunggui
seonggok anyaman sampah dan ranting di batang teratas mangrove. Entah
apa yang dilakukannya. Tiga orang warga yang tengah memancing di
antara akar mangrove seketika mengetahui aksi pak Jukung. Karena
kebencian yang sudah tertanam dalam hati mereka, serta-merta umpatan
dilontarkan berkali-kali. Seperti biasa, pak Jukung tetap diam dan
sesekali melempar senyum, meskipun dia mendengar dan merasa umpatan
itu diarahakan kepadanya. Entah didasari sebuah niat atau keisengan
belaka, mereka pun mengguncang-guncangkan mangrove dengan
sekuat-kuatnya. "Brukkkk", suara benda jatuh terdengar disambut oleh
suara buih ombak yang pecah. Seketika suara tawa pun berderai disertai
cacian dan makian.

Pak Jukung tersungkur, dia-lah yang terjatuh setelah guncangan
terhadap mangrove yang dipanjatnya, disertai onggokan anyaman sampah
yang ditungguinya. Tidak ada marah dan tidak ada raut muka emosi,
dengan senyum khasnya, spontan dia terbangun dan memeriksa seksama
onggokan yang terjatuh bersamanya. senyum yang tadi mengembang di
bibirnya, tiba-tiba berubah, tangis terpecah, air mata menetes
membasahi mukanya yang bercampur dengan basah lumpur pantai yang
sedari tadi menempel di mukanya. Tangan kanannya memegang sebuah
makhluk mungil yang sekarang sudah menjadi bangkai, tangis pun
bertambah memecah kesunyian suasana pantai. dia berlari ke arah pohon
waru tempat dia berdiam dengan mendekap bangkai makhluk kecil itu.

-----------------------

Lengkingan parau terdengar memecah riuh suara angin laut siang ini,
berulang-ulang, lengkingan itu terdengar menyayat hati. Pak Jukung
dengan sisa tenaganya, berusaha mencari arah sumber suara itu. Raut
mukanya begitu gelisah, kebingungan, seperti mencari sesuatu yang
hilang. Lengkingan itu semakin lama semakin melemah. Kadang hilang,
kadang muncul lagi. Siang ini begitu terik menyilaukan mata, tetapi
tidak untuk pak Jukung, dia tetap berlarian mencari asal suara yang
tampaknya telah dikenalnya.

-------------

Dengan menaiki sebuah perahu kecil, pak Jukung menghampiri KM. Mawar,
sebuah motor diesel yang tengah diam di atas laut tidak jauh dari
bibir pantai. Tak berapa lama, perahu yang dinaikinya telah mendekati
KM. Mawar. Pak Jukung terlihat berbicara dengan nelayan di KM. Mawar,
tetapi disambut oleh sebuah tamparan ke muka pak Jukung oleh salah
seorang nelayan. Tampaknya cekcok tengah terjadi di sana. Entah
masalah apa yang sedang terjadi di sana. Terlihat pak Jukung berusaha
meraih seekor burung berwarna coklat putih yang tersangkut di mata
kail yang dipegang oleh salah seorang nelayan di KM. Mawar. Tampaknya,
mereka adalah nelayan yang sering menangkapi burung-burung laut dengan
mata kail, dan siang ini sepertinya tak sengaja si burung elang bondol
tersangkut kail mereka. Cekcok pun terlihat masih berlangsung.
"Byuuurrrr", suara benda tercebur terdengar sampai bibir pantai. Suara
itu berasal dari pak Jukung yang tercebur ke dalam laut yang sedang
bergelombang. Dia tampaknya kalah dari cekcok tersebut, dan salah
seorang dari nelayan di KM. Mawar mendorongnya sampai terjatuh ke
laut. Bunyi kecipak air laut yang menandakan sebuah kepayahan seorang
anak manusia seketika memenuhi suasana siang ini. Lima menit
berselang, suasana sunyi khas pantai kembali menyapa desa Kerapu.

----------

Senja ini, tak terlihat lelaki renta memanjat pohon waru dan mangrove.
Hanya terlihat seekor elang bodol betina yang lemah dengan luka sobek
di dadanya terikat di bawah pohon waru.

Jumat, 02 Desember 2011

Pak Kalong dan Si Oto, Sebuah Kisah

Seperti tengah malam sebelum-sebelumnya, suasana sekitar tugu Kujang
memang selalu terkesan sunyi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan
pribadi dan angkutan masal dengan shift malam. Kadang sesekali
terlihat gerombol orang yang mencari penghidupan di saat lelap
merangkul mimpi sebagian besar manusia. Pusat kota Bogor di kala malam
memang tidak seaktif saat matahari bersinar penuh, hawa dingin dan
kelip redup lampu-lampu kota tampaknya telah menidurkan sebagian besar
penghuninya. Namun, tidak untuk pak Kalong, dengan sorot mata yang
masih fokus, dia terduduk diam di pinggiran trotoar di seberang simbol
kebanggan warga Bogor, sambil terus memandang ke arah rerimbunan pohon
di area Kebun Raya Bogor. Belum ada yang tahu apa yang dilakukannya
setiap malam di tempat itu. Beberapa sopir angkot berujar bahwa pak
Kalong mengalami gangguan kejiwaan, sedangkan yang lain bercerita
bahwa pak Kalong sedang menunggu kekasihnya yang menurut mereka telah
menjadi penunggu salah satu pohon besar di dalam Kebun Raya Bogor,
entah apa maksudnya. Tubuhnya diam tak bergerak dan hanya kepalanya
yang bergerak mencari-cari sesuatu di atas pohon, begitulah kesan yang
tertangkap ketika melihat sosoknya setiap malam. Dia akan beranjak
ketika adzan Subuh mulai berkumandang.

Tampaknya tidak ada yang tahu jati diri pak Kalong, beberapa warga
hanya mengenal pak Kalong sebagai seorang tukang cukur yang sering
mangkal di sekitar pagar Kebun Raya Bogor. Beberapa orang yang menjadi
pelanggannya sering melontarkan pujian bahwa pak Kalong adalah tukang
cukur terbaik di Bogor. Kalong, sebenarnya bukan nama sebenarnya,
warga yang kebetulan pernah berinteraksi dengannya-lah yang
memanggilnya dengan sebutan pak Kalong. Mereka menganggap nama Kalong
sangat cocok disematkan pada lelaki paruh baya bertubuh kurus itu,
lantaran kebiasaan hidupnya yang dinilai berbeda dengan sebagian besar
orang. Tidak pernah tidur ketika malam menjelang, padahal sebenarnya
dia juga tidak tidur sepanjang siang karena pelanggannya yang datang
silih berganti. Anggapan warga yang dialamatkan kepada pak Kalong
nampaknya didukung oleh kebiasaan pak Kalong yang selalu menghindar
dari sengatan mentari, baik pagi, siang ataupun sore. Rasa-rasanya
keadaan itu bukanlah keunggulan yang wajib dibesar-besarkan, tetapi
keadaan itu tampaknya telah menyiksa pak Kalong sampai saat ini.
Secara fisik, dapat terlihat jika pak Kalong bukanlah tipe orang yang
suka mengumbar kata-kata. Dia hanya berbicara seperlunya kepada
pelanggannya dan orang-orang yang dijumpainya, meskipun begitu, mereka
tetap menganggap pak Kalong sebagai pribadi yang ramah dan dermawan.
Pernah suatu ketika, pak Kalong harus memberikan seluruh
penghasilannya hari itu kepada seorang bapak tua yang mengaku tersesat
dalam hiruk kota hujan, tidak hanya itu, akhirnya pak Kalong pun
mengantarkannya sampai ke rumah asal bapak tua.

Meskipun banyak warga yang menyukainya, banyak pula warga yang
membencinya. Dengan tampilannya yang terkesan lusuh, kaos berlogo
golkar kumal dengan celana pendek bermotif loreng tentara selalu
dikenakannya tiap hari. Alasannya mungkin sepele, dia tidak memiliki
pakaian yang layak dikenakan setiap hari. Tidak hanya itu, bau badan
yang keluar dari tubuh kurus itu pun telah menyebabkan dia dijauhi
oleh orang lain, bahkan rekan kerjanya sendiri. Senyum ramah
rasa-rasanya tidak pernah absen dari wajah pak Kalong, walaupun
sikapnya yang pendiam lebih mendominasi sikap hidupnya. Pujian dan
makian tampaknya telah dijadikan makanan sehari-hari, tidak ada kesan
bahagia, marah, atau sedih, dia hanya diam dan tersenyum.

------------------------

Malam semakin larut, tidak ada perubahan gerak-gerik, hanya kepalanya
beserta bola matanya yang terus bergerak mencari-cari sesuatu. Dengan
bersila, dia biasanya menembangkan lagu-lagu kenangan dan terkadang
juga lagu-lagu Sunda. Seringkali beberapa preman yang kebetulan lewat
tempat itu mengasarinya, bahkan meminta uang penghasilannya. Tidak
hanya itu, terkadang beberapa sopir angkot pun berlaku demikian.
Dengan sukarela, pak Kalong selalu menuruti kemauan siapapun yang
meminta sesuatu darinya, karena dari penuturan pak Jambu, salah satu
rekan kerja dan sahabat dekatnya, ikhlas adalah prinsip hidup pak
Kalong.

Siulan-siulan panjang dan beberapa teriakan panggilan selalu
mengiringi kebiasaan anehnya. "Oto, Oto, Oto", tiga kali panggilan
selalu terdengar setiap satu jam sekali. Kebiasaan itu semakin
menjadi-jadi sejak satu minggu yang lalu, walaupun terjaga setiap
malam mungkin sudah mendarah daging sejak dia masih muda. Kadang
teriakan panggilan itu terkesan pilu dan menyayat hati, dan biasanya
diselingi dengan tangisan. Oto, nama yang selalu dipanggilnya tiap
malam tampaknya sebuah nama yang sangat berarti baginya, entah teman,
saudara, keluarga, atau barangkali kekasih.

-----------------------

Pinggiran atau tepatnya bawah pagar taman kebun prakarsa Reinward itu
tampaknya telah menjadi rumah tinggal bagi pak Kalong dan pak Jambu.
Hanya bermodalkan tikar, bangku kayu yang dibuat alakadarnya, dan
peralatan cukur sederhana, kehidupan mereka pun bisa berlangsung
sampai sekarang. Jika ditanya tentang keluarga atau sanak saudara,
serta merta mereka akan mengalihkan pembicaraan, terkesan enggan untuk
mengisahkannya, sehingga tidak ada yang mengetahui asal muasal mereka
berdua. Mereka tampaknya korban derasnya perkembangan kota hujan,
meskipun begitu tidak pernah terdengar keluhan dari mulut mereka
berdua, bahkan raut kelelahan pun terlihat tersembunyi dalam
keramahannya. Meskipun sudah hidup bersama dan berkawan dekat, pak
Kalong dan pak Jambu mempunyai kebiasaan yang sangat berbeda. Pak
Jambu lebih bersikap layaknya orang-orang kebanyakan.

Menurut pak Jambu, Oto adalah kawan dekat pak Kalong selain pak Jambu
sendiri, sejak dia tinggal di tempat itu, si Oto biasanya keluar saat
malam hari. Namun, untuk detil kisahnya, pak Jambu enggan
menceritakannya. Hanya menurut penuturannya, sudah seminggu ini pak
Kalong tidak menjumpai Oto. Biasanya si Oto akan menemui pak Kalong
setiap tengah malam, tentunya setelah pak Kalong menembangkan sebuah
lagu. Selama seminggu inilah pak Kalong semakin dihinggapi kecemasan,
walaupun kadang kecemasan itu tertimbun oleh kerutan-kerutan wajahnya
yang bersahaja.

Oto biasanya akan muncul diantara pohon angsana, tanpa suara, dia akan
menyambut tembang-tembang yang dilontarkan oleh pak Kalong. Kira-kira
begitulah kehidupan pak Kalong sehari-hari sebelum dia kehilangan si
Oto. Bertemu Oto adalah kebahagiaan pak Kalong yang tidak akan
tergantikan oleh apapun, bahkan sekarung emas. Tampaknya tidak ada
yang peduli dengan kehidupan Oto, bahkan pak Kalong sendiri, mereka
adalah bagian dari ornamen sebuah kota.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga malam, masih terlihat pak Kalong
bersila seperti seorang pertapa, hanya terlihat wajah pak Kalong yang
sudah basah oleh air mata. Udara dingin semakin menusuk tulang,
bahkan angin pertanda akan turunnya hujan pun sudah berhembus, tetapi
pak Kalong masih tidak beranjak. Dia masih setia menunggu kehadiran si
Oto di penghujung malam, mungkin dia beranggapan si Oto malam ini akan
keluar sebelum kumandang adzan Subuh.

-----------------------

Hari jum'at menjadi hari pelesir bagi pak Kalong. Biasanya dia akan
berkunjung ke pasar Kebon Kembang, seperti biasanya, dia akan
membelanjakan uangnya untuk membeli kebutuhan pekerjaannya dan
terkadang hanya berjalan-jalan menyusuri riuh kios-kios pedagang
pasar. Biasanya, pak Kalong akan berangkat dengan berjalan kaki
sebelum matahari menampakkan wajahnya. Dia pun akan mengenakan pakaian
terbaiknya, baju lengan panjang bermotif kotak-kotak kusam, dan celana
hitam yang telah memudar, serta topi dan kacamata hitam untuk
menghindari kambuhnya penyakit akibat sengatan matahari. Namun, ada
yang berbeda di hari Jum'at ini, kecemasan dan kegelisahan tampaknya
telah mempengaruhi rutinitas pelesiran Jum'at, pak Kalong terlihat
masih tertidur di atas tikar lusuhnya, meskipun mentari sudah menyapa
badannya yang sebenarnya tidak mampu menerima sapuan hangat mentari.
Capek dan kelelahan setelah kegiatan malamnya tampaknya menjadikan
tubuhnya terbaring tidak mengindahkan sapaan mentari dan geliat pagi
kota hujan.

Bukan pak Kalong namanya jika semangatnya padam begitu saja, sekitar
pukul delapan pagi, dia melangkahkan kaki menuju pasar Kebon Kembang.
Di Jum'at ini, dia hanya menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan
menyusuri gang-gang sempit diantara kios-kios pedagang, terkesan tidak
ada tujuan. Setelah menelusuri hampir sebagian gang pasar, tak berapa
lama dia berhenti di depan kios penjual burung dan perlengkapannya.
Tiba-tiba terdiam kaku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dengan
langkah berat dia berusaha mendekati sebuah sangkar burung yang berisi
beberapa ekor burung. Tidak sampai tiga langkah, dia terjatuh dan
terlihat mengerang. Pemilik kios tampaknya merasa kebingungan melihat
peristiwa siang ini, terlihat dia memanggil-manggil orang yang
kebetulan lewat depan kiosnya. Akhirnya beberapa pembeli, pengunjung,
dan pedagang pasar lainnya menghampirinya, mengerubutinya seolah-olah
ingin tahu apa yang tengah terjadi. Tanpa menolong.

Tidak ada seorangpun yang membantunya berdiri ataupun menenangkannya.
Pak Kalong terus mengerang dan menangis pilu sambil menunjuk-nunjuk
sangkar burung di depannya, kadang diikuti sesak napas. Kumpulan orang
yang mengerubutinya mungkin menganggapnya sebagai orang yang sudah
kehilangan kewarasannya. Dia tetap mengarahkan telunjuknya ke arah
sangkar burung itu, terlihat matanya melotot hampir-hampir bola
matanya keluar dan sesekali diikuti kekejangan.

Tidak ada pertolongan sama sekali, bahkan pemilik kios burung berusaha
mencari petugas keamanan untuk mengusir pak Kalong. Kekejangan demi
kekjangan menjalari tubuh kurus berbalut baju lengan panjang
kotak-kotak kusam dan celana hitam pudar. Keringat telah menggenangi
lantai pasar Kebon Kembang tempat dia terbaring jatuh. Tak berapa
lama, mata yang tadinya sempat hampir copot bola matanya serta-merta
terpejam. Tidak hanya itu, tubuh yang mengejang dengan tiba-tiba
berubah melemas, bahkan bisa dibilang kesadarannya telah melayang
pergi. Tidak ada tindakan sama sekali dari orang-orang di sekitarnya.
Entah apa yang menyebabkan peristiwa yang menghebohkan siang ini,
belum ada yang tahu, bahkan belum ada yang melontarkan opininya.
Sangkar yang ditunjuk oleh pak Kalong berisi seekor burung celepuk
reban dan dua ekor burung gagak. Sangkar itu tidak begitu luas,
idealnya hanya untuk dihuni oleh satu ekor burung. Si burung celepuk
reban dengan tubuh mungilnya terlihat kepayahan, terinjak-injak oleh
dua ekor gagak dan terlihat luka-luka bekas patukan, sayapnya pun
terlihat terkulai lemah. Tampaknya dua makhluk di pasar Kebon Kembang
siang ini, lelaki paruh baya dan seekor celepuk reban, tengah merejan
menunggu hidup dan matinya.

Rabu, 30 November 2011

Kisah Si Kucing Belang Si Kucing Malang (rev)

Tidak seperti beberapa bulan yang lalu, saat ini jalan Rojokoyo dusun
Kesemek terlihat sepi. Jika beberapa bulan yang lalu masih dijumpai
makhluk-makhluk berkaki empat berseliweran di pinggir-pinggir jalan,
maka saat ini terlihat begitu berbeda, hampir tidak akan dijumpai
makhluk-makhluk itu. Jalan Rojokoyo hanyalah sebuah jalan kecil yang
lebarnya cuma cukup untuk dilewati satu mobil, meskipun sempit, jalan
itu sudah beraspal, tidak seperti jalan kampung kebanyakan. Jalan
Rojokoyo sebelumnya pernah dikenal sebagai jalan kucing dan juga jalan
pensiunan, lantaran sebagian besar warga yang tinggal di kanan kiri
jalan Rojokoyo telah berusia lanjut dan mereka sangat menghargai
kucing. Tampaknya segala macam kucing pernah hidup di sana.

------------------

Kucing di seberang jalan Rojokoyo itu secara fisik terlihat lemah
dengan jalan gontai, tampak rambut-rambut kucingnya sudah tidak
berbekas lagi, lebih mirip dengan seekor tikus got. Entah berapa
umurnya, mungkin sudah tua, tubuhnya kecil kurus seukuran anak kucing
umur lima bulan. Meskipun begitu, si kucing yang berwarna abu-abu
berpola belang itu sudah lama malang-melintang di dusun Kesemek,
terutama sekitar jalan Rojokoyo. Tidak ada yang tahu asal-muasal
kucing belang itu. Bahkan kakek nenek yang tinggal di ujung jalan
Rojokoyo pun tidak mengetahui secara pasti asalnya. Pasangan kakek
nenek itu pernah bercerita bahwa si kucing belang itu sudah hidup di
dusun Kesemek sejak mereka masih belia.

Si belang adalah maskot warga dusun yang tinggal di samping kanan kiri
jalan Rojokoyo, lantaran beberapa warga dusun menganggapnya mempunyai
kelebihan dibanding kucing-kucing lainnya. Pernah suatu hari, tepatnya
setahun yang lalu, musibah selalu silih berganti menimpa si belang,
diantaranya berulang kali keserempet sepeda motor, mobil, bus, dan
hampir terlindas truk pengangkut pasir di jalan raya antar kota yang
letaknya tidak jauh dari jalan rojokoyo, kurang lebih berjarak sekitar
satu kilometer. Walaupun musibah berulangkali menyapanya, si belang
tetap saja masih lincah berlarian seperti biasanya. Ajaib memang,
namun itulah kelebihan yang diberikan Pencipta untuk si belang. Kakek
nenek yang tinggal di ujung jalan rojokoyo tempat si belang tinggal
sering memanggil si belang dengan sebutan "Mbah" lantaran menurut
pasangan tua itu, si belang atau Mbah mereka anggap telah berumur
sangat tua, bahkan lebih tua dari mereka, selain itu keajaiban si
belang-lah yang telaah menjadi alasan lainnya.

Sudah sejak puluhan tahun lampau, warga dusun di sekitar jalan
Rojokoyo mempunyai toleransi yang sangat tinggi terhadap kucing-kucing
jalanan, sehingga setiap hari selalu terlihat kucing baru yang
menghuni jalan Rojokoyo. Entah dari mana asal-muasal kucing-kucing
yang selalu berdatangan itu, misteri itu belum terungkap sampai saat
ini. Namun, beredar beragam kabar dari penghuni sekitar jalan
Rojokoyo. Salah satu cerita berasal dari nenek pemilik warung nasi di
dekat pertigaan jalan Rojokoyo, beliau berujar bahwa si belang-lah
yang selalu membawa kucing-kucing baru datang ke jalan Rojokoyo.
Cerita ini pun belum tentu benar. Kisah lain berasal dari kakek yang
menghuni rumah tua gaya Eropa yang letaknya tidak jauh dari gapura
jalan Rojokoyo, menurut beliau, jalan Rojokoyo di masa lampau adalah
sebuah kerajaan para kucing. Meskipun kebenaran cerita masih menjadi
tanda tanya, warga dusun tidak pernah meributkannya. Mereka tetap
menerima kehadiran kucing-kucing itu, dan mereka pun menganggap bahwa
semakin banyak kucing akan menambah pundi-pundi rejeki mereka.

Toleransi tampaknya telah menjadi cerita lama, saat ini, banyak warga
tua telah meninggal dunia, terutama dalam bulan ini, sehingga menjadi
bulan berkabung warga dusun Kesemek. Sekarang ini hanya tersisa tiga
orang warga tua. Seiring berkurangnya warga tua, berkurang pula
kesahajaan di dusun Kesemek. Keadaan ini diperparah dengan kehadiran
warga baru yang notabene tidak mempunyai ikatan apapun dengan dusun
Kesemek. Tepatnya dua minggu ini, banyak warga baru yang datang dan
tinggal di sekitar jalan Rojokoyo. Menurut desas-desus yang beredar,
mereka memilih tinggal di sana akibat harga rumah yang sangat murah.
Mereka menempati rumah-rumah tua yang sudah ditinggalkan penghuninya.

----------------------

Si belang, kucing yang dulunya pernah menjadi maskot kampung jalan
Rojokoyo, sekarang telah menjadi sampah dusun Kesemek. Hampir semua
warga baru di jalan Rojokoyo memperlakukan si belang dengan tidak
wajar, tidak ada yang berani mencegahnya, tiga orang warga tua
sekalipun. Dua hari yang lalu, penghuni rumah samping perempatan
menendang si belang dari lantai dua lantaran mereka menganggap si
belang mencuri daging ayam yang baru dimasaknya. Tidak hanya itu,
kemarin, penghuni rumah dekat warung nasi nenek yang tinggalnya dekat
pertigaan jalan Rojokoyo, seenaknya menendang si belang sampai jatuh
di tengah jalan Rojokoyo, dan malangnya sebuah sepeda motor melaju
kencang dan akhirnya menyerempet si belang, bulu yang bertebaran
memenuhi aspal jalan tidak menyebabkan nyawanya melayang. Tak hanya
itu, si pemilik rumah tersebut pagi tadi terlihat sempat menyiramkan
air panas ke tubuh si belang. Dan seorang pemilik rumah lain bahkan
sempat memukul punggung si belang dengan tongkat kasti, tidak hanya
sekali tetapi berulang kali, terlihat si belang hanya meringkukkan
tubuhnya tanpa mengerang, entah sakit atau tidak, tidak ada yang tahu.
Bagi si belang, peristiwa itu mungkin dianggapnya sebagai konsekuensi
atas perubahan jaman yang harus ikhlas dijalani. Seiring kejadian yang
menimpa si belang, kucing-kucing lainnya yang pernah merasakan
kedamaian di jalan Rojokoyo serta-merta menghilang dengan sendirinya.
Keadaan ini telah membuat nenek yang mempunyai warung nasi jatuh sakit
lantaran selalu memendam kepedihan dan kesedihan atas peristiwa yang
tengah terjadi di dusunnya itu, sehingga sejak kemarin si nenek dibawa
ke panti jompo yang letaknya agak jauh dari rumahnya.

Seperti yang pernah dikatakan oleh warga tua, si belang nampaknya
benar-benar memiliki kelebihan. Walaupun penganiayaan demi
penganiayaan menjadi makanan sehari-hari si belang, dia terlihat masih
bertahan hidup, hanya terlihat bagaikan seekor tikus got. Tampaknya
seiring hilangnya warga asli, kedigdayaan si kucing belang juga mulai
meredup.

Selasa, 29 November 2011

Kisah Gunung Munyuk dan Desa Kluthuk

Seperti biasanya, alunan merdu siter mengiringi riuh suara hewan-hewan
malam. Sebuah siter tua nampaknya telah menemani kesendirian lelaki
tua yang tinggal tidak jauh dari gunung Munyuk, lebih tepat sebagai
bukit kapur daripada sebuah gunung. Setiap malam selepas Isya, lelaki
tua itu duduk di bawah pohon kapuk yang tidak jauh dari gubugnya.
Dengan mengenakan sarung lusuh dan bertelanjang dada, beliau bersandar
pada batang pohon kapuk favoritnya, beralaskan tikar kusut dan tak
berapa lama terdengarlah alunan siter dari petikan lincah jari-jemari
tua. Itulah rutinitas mbah Kuncung setiap malam setelah waktu Isya.
Warga desa Kluthuk memanggilnya dengan nama mbah Kuncung lantaran
tidak ada yang tahu-menahu asal-usul beliau. Nama itu tampaknya
diambil dari gaya rambut yang kuncung.

Merdu suara siter petikan mbah Kuncung selalu dinanti-nantikan
sebagian warga desa Kluthuk yang tinggal tidak jauh dari gubug tempat
mbah Kuncung tinggal. Warga desa menghormati mbah Kuncung sebagai
tetua desa dan juga sebagai satu-satunya seniman di desa Kluthuk.
Seringkali setiap ada acara pernikahan atau sunatan, mbah Kuncung
diundang untuk mempertunjukkan kebolehannya. Setiap selesai
mempertontonkan aksinya, mbah Kuncung tidak pernah meminta imbalan
sepeser pun, hanya hidanganan pengisi perut yang mungkin dimintanya,
keadaan seperti inilah yang menjadikan warga desa menaruh hormat
kepada mbah Kuncung dan menganggapnya sebagai seniman sejati.

Mbah Kuncung adalah pribadi yang tertutup, sehingga tidak banyak yang
mengetahui riwayat beliau. Beliau pun hanya berbicara seperlunya
kepada warga desa yang ditemuinya, meskipun begitu, warga tetap
menganggap mbah Kuncung sebagai tetua desa yang wajib dihormati. Hanya
ada dua orang yang pernah dekat dengan mbah Kuncung, mereka adalah
mbah Waru dan dhé Pahing. Namun sayang, mereka sudah meninggal sekitar
lima bulan yang lalu akibat musibah longsor yang menimpa rumah mereka.
Longsor yang patut disebut sebagai musibah, bukan bencana, lantaran
akibat aksi liar penambang-penambang batu kapur. Mbah Kuncung, mbah
Waru, dan dhé Pahing selalu bersenda gurau di atas gunung Munyuk
ketika siang sambil mendendangkan tembang-tembang macapat, dan kala
malam, mereka akan bercengkerama di bawah pohon kapuk sambil menghisap
rokok klobot buatan sendiri, dan tak ketinggalan petikan siter mbah
Kuncung. "Tiga serangkai", itulah sebutan warga desa bagi mereka.
Ketiganya dianggap sebagai penjaga desa dari kemungkinan bencana yang
melanda, karena keseharian mereka yang selalu naik-turun gunung
Munyuk, kadang mereka mencari sumber-sumber air baru diantara
keringnya gunung Munyuk, dan kadang mereka juga mengusir
penambang-penambang batu kapur yang datang dari desa sebelah.

Meskipun dua kawan dekatnya sudah tiada, mbah Kuncung tetap
melaksanakan tugas hariannya, mencari sumber air dan mengusir
penambang-penambang batu kapur. Setiap siang hari, beliau seakan
ditelan oleh gersangnya gunung Munyuk, dan kala malam, beliau akan
berkisah lewat petikan siternya. Sejak empat bulan lalu, mbah Kuncung
dekat dengan Kacung dan Gendhuk, sebenarnya sudah sejak lama mbah
Kuncung dekat dengan mereka tetapi warga menganggapnya kedekatan itu
menjadi-jadi sejak dua orang kawan karibnya meninggal dunia. Setiap
sore, mbah Kuncung akan menyempatkan menemui Kacung dan Gendhuk di
lereng gunug Munyuk yang tidak begitu jauh dengan gubug Mbah Kuncung.
Mbah Kuncung selalu membagi rejeki hariannya kepada Kacung dan
Gendhuk. Rejeki yang sebenarnya berasal dari derma warga desa, sering
berupa singkong, ubi, dan gula jawa. Terkadang juga, Kacung dan
Gendhuk mendatangi gubug mbah Kuncung, dan kadang pula, gubug mbah
Kuncung dijadikan hunian Kacung dan Gendhuk.

Tidak ada yang tahu alasan mbah Kuncung berkawan dengan Kacung dan
Gendhuk. Warga desa beranggapan, Kacung dan Gendhuk adalah titisan
mbah Waru dan dhé Pahing. Namun pendapat lain dari warga desa
mengatakan bahwa Kacung dan Gendhuk bukanlah jelmaan mbah Waru dan dhé
Pahing lantaran Kacung dan Gendhuk telah menghuni gunung Munyuk sejak
berpuluh tahun yang lalu. Nampaknya pendapat tersebut akan terus
bertentangan selama yang bersangkutan belum memberikan penjelasan, dan
akan menjadi sejarah tersendiri bagi desa Kluthuk.

---------------

Rumah berdinding papan kayu jati lapuk itu berlokasi tepat di bawah
dinding gunung Munyuk, atau tepatnya tebing gunung Munyuk. Rumah itu
berukuran tiga kali empat meter, dan lebih tepat disebut sebagai
sebuah gubug. Gubug tua itu telah dihuni mbah Kuncung selama puluhan
tahun, bahkan semenjak desa Kluthuk berdiri. Di dalamnya hanya
berisikan sejumlah singkong dan ubi, sama sekali tidak ada perabot
layaknya rumah, hanya selembar tikar kusut. Mbah Kuncung biasanya
lebih memilih tidur di bawah pohon kapuk favorit beralaskan tikar
kusutnya ketika si Kacung dan Gendhuk menggunakan rumahnya untuk
melepas lelah setelah berkegiatan sehari penuh. Memang mbah Kuncung
tidak pernah melarang siapapun yang ingin melepas lelah di gubugnya.
Kadang terlihat mbah Kuncung bercakap-cakap dengan Kacung dan Gendhuk.
Dari kejadian inilah, sebagian warga yang tidak begitu mengenal mbah
Kuncung menyebutnya sebagai orang yang kurang waras, sedangkan warga
yang telah mengenal beliau hanya menganggapnya sebagai orang yang
mempunyai kelebihan atau lebih tepatnya mempunyai indera keenam.
Kadang juga terlihat mbah Kuncung ditemani Kacung dan Gendhuk kala
memainkan siternya.

Menurut penuturan warga desa Kluthuk, mbah Kuncung adalah salah satu
pendiri desa Kluthuk. Sebenarnya kondisi desa Kluthuk sangat sulit
digunakan untuk hidup, lantaran begitu kering dan gersangnya. Sejauh
mata memandang hanya terlihat bukit-bukit kapur, yang kadang-kadang
ditumbuhi semak dan pohon jati. Namun, karena keuletan mbah Kuncung
dan pendiri desa lainnya memanfaatkan gersangnya gunung Munyuk, maka
banyak warga yang sebelumnya belum punya hunian berduyun-duyun datang
dan tinggal di tempat yang sekarang dinamakan desa Kluthuk. Mbah
Kuncung pernah membuat peraturan untuk warga dan warga pun dengan
ikhlas mematuhi aturan itu. Secara garis besar, aturan itu berisikan
larangan merusak bukit karst, walaupun sedikit dan larangan berburu
hewan-hewan penghuni gunung Munyuk, serta untuk kehidupan sehari-hari,
warga hanya diperbolehkan untuk bercocok tanam dan beternak. Dari
aturan tersebut, warga telah menganggap gunung Munyuk adalah rumah
besar mereka.

Namun sayang, sekitar satu tahun lalu, beberapa warga yang nakal
mengeruk kekayaan tersembunyi bukit karst secara diam-diam, dan
akibatnya sekitar lima bulan lalu, longsorannya menimbun rumah mbah
Waru dan dhé Pahing, serta dua rumah warga lainnya.
Penambang-penambang ilegal itu pun akhirnya berurusan dengan pihak
berwajib.

Nampaknya, warga desa juga harus berterima kasih kepada Kacung dan
Gendhuk, karena merekalah yang telah menghijaukan gunung Munyuk dan
akibatnya sumber air pun masih mudah diperoleh. Setiap acara sedekah
desa, memang sebagian warga memberikan seserahannya kepada Kacung dan
Gendhuk, karena warga desa menghormatinya sebagai penyelamat kehidupan
gunung Munyuk. Namun, sebagian warga lain yang tinggal agak jauh dari
gunung Munyuk justru menganggap Kacung dan Gendhuk adalah perusak
lahan kebunnya. Mereka dianggap suka mencabut pohon singkong yang
belum saatnya dipanen. Pernah suatu hari, warga desa yang tinggal agak
jauh dari gunung Munyuk berusaha menembak Kacung dan Gendhuk, tetapi
usaha ini digagalkan oleh dhé Bejo, salah seorang warga yang tidak
sengaja berada di tempat konflik itu.

-------------------

Konflik tampaknya sedang menyelimuti desa Kluthuk, terdapat dua
kelompok warga yang berseberangan. Kelompok warga yang mempertahankan
nilai-nilai budaya lokal besrta kearifan lokal tinggal di sekitar
gunung Munyuk, mereka dengan sekuat tenaga berupaya membuat gunung
Munyuk tetap lestari, sedangkan kelompok lain tinggal agak jauh dari
gunung Munyuk, mereka adalah kelompok warga yang telah meninggalkan
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Seringkali kedua kelompok warga
itu saling perang mulut. Seperti yang terjadi lima hari yang lalu,
beberapa warga berencana menambang kapur gunung Munyuk, tetapi usaha
tersebut berhasil dihalau oleh warga yang tinggal sekitar gunung
Munyuk. Warga desa Kluthuk benar-benar sudah terpecah menjadi dua
bagian. Kelompok warga desa yang tinggal jauh dari gunung Munyuk
tampaknya memiliki pandangan bahwa gunung Munyuk dapat diuangkan.

Masalah yang lebih pelik lagi nampaknya telah menghantui warga desa
Kluthuk, terutama warga desa yang tinggal dekat dengan gunung Munyuk.
Tiga hari yang lalu, salah satu perusahaan semen terbesar berencana
membangun cabang pabriknya di desa Kluthuk, lantaran desa Kluthuk
memiliki sumber bahan baku semen yang berkualitas. Peristiwa ini
serta-merta diprotes oleh warga desa yang tinggal dekat dengan gunung
Munyuk. Aksi protes saat itu dipimpin oleh mbah Kuncung dan dhé Bejo.
Protes demi protes dilancarkan oleh warga desa sampai hari ini, bahkan
sejak kemarin, suasana desa semakin mencekam lantaran bentrok antara
warga yang kontra dengan yang pro pembangunan pabrik semen. Tampaknya
bentrok demi bentrok itu lebih bersifat adu domba. Tak dipungkiri
lagi, sejak rencana penambangan batu kapur bergulir, perusahaan semen
itu banyak menggelontorkan uang untuk mereka, dengan alasan tanggung
jawab sosial. Mereka yang menerima uang diharapkan untuk mendukung
keberhasilan proyek mereka.

Sejak kejadian itu, warga desa nyaris kehilangan kehidupannya yang
bersahaja karena segenap tenaga dan pikiran dikerahkan untuk upaya
penyelamatan gunung Munyuk, apalagi setelah mbah Kuncung terbaring
sakit sejak kemarin sore, tentunya setelah berpanas-panasan membuat
pagar betis mengamankan gunung munyuk bersama warga desa lainnya.
Sampai siang ini, mbah Kuncung pun masih terbaring lemah di dalam
gubugnya, hanya ditemani oleh Kacung dan Gendhuk. Beliau tidak bisa
memimpin aksi siang ini. Siang ini nampaknya akan menjadi aksi protes
penghabisan menentang penambangan batu kapur dan pembangunan pabrik
semen setelah tersiar kabar bahwa pemerintah kabupaten mengesahkan
rencana perusahaan semen itu.

Pagi tadi sudah terlihat delapan truk pengangkut pasir yang diparkir
tidak jauh dari gunung Munyuk. Warga yang sejak pagi membuat pagar
betis berteriak-teriak histeris meminta para penambang menjauhi gunung
Munyuk. Bagi mereka, gunung Munyuk ibarat rumah, gunung Munyuk telah
mengisi sendi-sendi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi warga desa
Kluthuk. Dengan dikawal warga yang pro penambangan, para penambang
mendorong pagar betis, beberapa warga jatuh tersungkur, terinjak-injak
oleh puluhan penambang dan warga desa yang pro. Merah darah dan bunyi
tulang yang patah pun tidak terelakkan lagi.

Bahan peledak temuan Alfred Nobel pun akhirnya berhasil dipasang di
setiap sudut dan celah gunung Munyuk. Hening siang yang biasanya
menghiasi desa Kluthuk tiba-tiba pecah oleh jeritan dan tangisan
warga. Siang ini benar-benar telah menjadi hari hidup mati bagi warga
desa Kluthuk.

Terlihat dari kejauhan beberapa mobil mewah dengan orang-orang
berpenampilan parlente dan baju dinas tiba di desa Munyuk. Mereka
rasa-rasanya ingin melihat calyon uang yang akan memenuhi saku mereka.
Salah seorang dari mereka yang berbaju batik dan berpeci hitam
terlihat menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah gunung Munyuk sambil
berbincang dengan orang yang berpenampilan parlente, sesekali
diselingi dengan tawa kepuasan.

"Daaarrrrrr", "Gluduk gluduk", terdengar bunyi bahan peledak dan
runtuhan batu-batu kapur dari gunung Munyuk. Serta-merta warga desa
yang sejak pagi tadi membuat pagar betis lari kalang kabut berusaha
menyelamatkan diri dari runtuhan batu-batu kapur. Suasana siang ini
terlihat sangat memilukan, satu sama lain berusaha menghindar sambil
menyelamatkan sanak saudaranya.

Tidak begitu lama, bentang gunung Munyuk yang sebelumnya terlihat
kokoh menjulang tinggi seketika berubah menjadi begitu rapuh. Runtuhan
itu pun mengubur beberapa lahan kebun dan rumah warga. Tidak ada
korban jiwa dalam peristiwa itu, hanya korban luka-luka dan patah
tulang. Namun, nasib mbah Kuncung bersama Kacung dan Gendhuk belum
diketahui oleh warga setelah reruntuhan batu kapur terlihat menimbun
lokasi gubug mbah Kuncung. Timbunan reruntuhan itu terlalu hebat dan
mustahil ada nyawa yang selamat dari timbunan itu. Tampaknya siang ini
benar-benar menjadi hari akhir kehidupan sosial budaya warga desa
Kluthuk serta juga telah menjadi titik akhir takdir mbah Kuncung dan
dua ekor monyet ekor panjang yang selama ini menjadi bagian hidup
beliau. Setelah hari ini rasa-rasanya tidak akan pernah terlihat lagi
kekokohan gunung munyuk, kesahajaan kehidupan warga desa dan juga
tidak akan ada lagi seniman sejati, serta tidak akan terlihat lagi dua
ekor monyet ekor panjang yang telah menghijaukan bukit karst. Entah
belum diketahui masa depan mereka dengan pasti.

Senin, 28 November 2011

Kliwon dan Desa Kluwek

Warga desa memanggilnya dengan Kliwon, sebuah nama yang diambil dari
nama pasaran jawa. Entah apa makna dari nama itu sendiri, belum ada
yang tahu. Mungkin hanya warga tua yang tahu-menahu seluk beluk
sebutan Kliwon dan si Kliwon sendiri, terutama mbah Suket. Terlepas
dari itu semua, selama ini sebagian besar warga desa menghormatinya
sebagai penjaga desa Kluwek dari ancaman gagal panen. Setiap acara
sedekah bumi, warga desa tidak pernah melupakan perihal si Kliwon.
Mereka akan berkumpul di sebuah gubug tua sambil membawa jajanan pasar
dan sajian buatan rumah. Gubug itu berdiri di bawah pohon randu yang
diperkirakan berumur ratusan tahun, dan terletak tepat di samping
kanan sawah mbah Suket.

Mbah Suket sendiri sebenarnya sudah lama meninggal, tetapi namanya
masih dikenang warga desa Kluwek sampai sekarang karena kedermawanan
dan kesederhanaannya. Mbah Suket adalah seorang saudagar kaya yang ada
di desa Kluwek, beliau memiliki tanah yang sangat luas atau dengan
kata lain beliau-lah pemilik desa Kluwek sebenarnya. Bahkan bisa
dibilang, tanah yang menjadi hunian warga desa Kluwek sekarang berasal
dari kedermawanan mbah Suket di masa lampau. Masa lampau berbeda
dengan masa sekarang, karena saat ini mbah Suket hanya meninggalkan
sepetak sawah, sebuah gubug tua, dan si Kliwon.

Selama hidupnya, mbah Suket dikenal sebagai orang yang sangat
sederhana, walaupun beliau berharta tetapi selama hidupnya hanya
tinggal di sebuah gubug. Mbah Suket pun dengan ikhlasnya
membagi-bagikan tanahnya kepada warga desa Kluwek. Entah apa maksud
beliau, belum ada yang tahu sampai ajal menjemputnya. Mbah Suket
meninggal dunia sekitar dua minggu yang lalu. Sepeninggal beliau, si
kliwon nampaknya yang menjadi satu-satunya makhluk penghuni gubug tua
mbah Suket. Sejak mbah Suket memelihara Kliwon sekitar dua tahun lalu,
desa Kluwek selalu terhindar dari gagal panen, meskipun desa-desa
tetangga sering mengalami gagal panen. Gagal panen yang terjadi lebih
sering disebabkan oleh hama tikus daripada bencana alam.

Sejak enam bulan yang lalu, desa Kluwek telah ditetapkan oleh bupati
sebagai salah satu desa percontohan swasembada beras akibat hasil
taninya yang selalu berhasil. Nampaknya keadaan desa yang gemah ripah
loh jinawi tidak menjadikan warganya lupa diri terhadap jasa
pendahulunya. Warga desa Kluwek selalu merasa berhutang budi kepada
mbah Suket. Mereka selalu merasa bahwa mbah Suket-lah yang telah
berjasa menghantarkan warga desa Kluwek menjadi makmur seperti saat
ini. Setiap harinya, warga bergiliran membersihkan halaman gubug tua
dan juga menggarap sepetak sawah peninggalan mbah Suket. Hasil
panennya pun dibagi-bagikan merata ke seluruh warga desa.

Gubug itu sudah berumur puluhan tahun tetapi masih tetap kokoh
berdiri. Gubug tua itu sering dipakai warga petani yang letak sawahnya
tidak begitu jauh dari gubug tua untuk melepas lelah kala siang
menjelang. Setiap siang, gubug tua itu tak ubahnya seperti sebuah
pertunjukan seni dadakan lantaran alunan macapat sampai campursari.
Gubug tua beserta ornamen gunungan wayang dan kotak kayu jati tempat
bermukim si Kliwon dan si Kliwon sendiri tampaknya sudah menjadi
maskot desa Kluwek dan telah membentuk citra desa Kluwek sebagai desa
yang menjunjung nilai-nilai budaya. Pernah suatu ketika, mbah Burik
berujar bahwa gubug tua beserta isinya itu adalah sumber kemakmuran
desa Kluwek, dan beliau pun menyarankan kepada setiap warga desa untuk
menghormati keberadaan gubug tua dan isi di dalamnya. Entah apa maksud
mbah Burik, warga desa hanya manut saja. Mbah Burik merupakan
satu-satunya warga tua yang masih hidup sampai saat ini.

Sebenarnya masalah yang dihadapi warga desa Kluwek saat ini bukanlah
masalah gagal panen lagi seperti halnya desa-desa tetangga, melainkan
pergeseran budaya antara warga tua, dewasa, dan muda. Mereka yang tua
dan dewasa selalu menekankan kesederhanaan dalam hidup disertai
menjalankan nilai-nilai budaya leluhur. Sedangkan warga muda selalu
berorientasi kepada kehidupan yang bersifat materialistik. Pernah
suatu ketika, tepatnya tiga hari yang lalu, Dodo, seorang remaja yang
menginjak dewasa tiba-tiba memaksa kedua orang tuanya untuk menjual
sawahnya. Entah angin apa yang merubah pikiran Dodo, padahal sawah
mereka masih sangat produktif. Dengan segala cara Dodo melancarkan
"teror" kepada kedua orang tuanya, dan sampai saat ini orang tuanya
masih berkeras untuk tidak menjual sawahnya. Tidak hanya satu keluarga
saja yang mengalami keadaan seperti itu, tampaknya terdapat lebih dari
lima keluarga yang mengalami hal serupa. Jika ditelusuri lebih jauh,
ternyata anak dari keluarga yang mengalami masalah pelik tersebut
pernah bekerja di kota tetangga, yang lebih dikenal sebagai kota pusat
industri dan perdagangan. Kehidupan serba instan, sifat konsumtif, dan
hidup bertujuan materi tampaknya yang telah mengubah perangai
pemuda-pemuda itu.

Bukan bencana alam atau isu pemanasan global yang akan mempengaruhi
kemakmuran desa Kluwek yang merupakan desa berbasis pertanian,
berubahnya sumber daya manusia-lah yang menjadi penyebab primernya.
Warga muda desa Kluwek yang sudah pernah mengenyam kehidupan kota
besar sudah tidak peduli dan tidak mau lagi meneruskan perjuangan
orang tua mereka untuk menggarap sawah. Mereka beranggapan bahwa
bertani tidak akan membuat mereka kaya. Yang lebih memprihatinkan
adalah mereka sudah kehilangan nilai-nilai budaya yang diajarkan oleh
pendahulunya.

Nampaknya pertentangan antara warga dewasa dan muda tengah berlangsung
sampai saat ini, dan entah akan dimenangkan oleh siapa. Dua hari yang
lalu, Dodo membuat ulah, merusak gubug tua lambang kemakmuran desa
Kluwek. Namun sayang, usahanya dicegah oleh mbah Burik. Saat itu adu
mulut pun terjadi, kejadian itu menggambarkan betapa warga muda sudah
kehilangan sopan santun dan tata krama. Dia sudah tidak dapat
membedakan mana tindakan yang baik dan yang buruk. Tidak hanya itu,
Toto, warga muda lain dan cucu dari mbah Burik pernah berencana
menangkap Kliwon, namun keberuntungan masih berpihak pada kehidupan
desa Kluwek, mbah Burik mengetahui rencananya.

Kejadian demi kejadian yang jauh dari prediksi warga terus menghantui
warga desa Kluwek. Bahkan tidak sedikit warga yang menangis. Kemarin,
beberapa warga menggelar ritual tolak bala di dekat gubug tua,
tepatnya di bawah pohon randu yang teduh. Mereka berharap perangai
anak-anak mereka yang telah berubah dapat kembali lagi seperti semula.
Selain itu, beberapa warga menggalakkan jaga kampung. Mereka tidak
ingin terdapat kerusakan-kerusakan yang lebih besar di desa Kluwek.
Kegiatan jaga desa tersebut dipusatkan di gubug tua dan dipimpin oleh
mbah Burik sendiri.

Siang ini terlihat beberapa warga muda, termasuk Dodo dan Toto, mereka
mendekati gubug tua meskipun di sana terdapat beberapa warga yang
sedang istirahat. Dengan mengendarai motor baru kreditan, mereka
mencemari suasana desa yang tenang dengan bising knalpot motor mereka.
Meskipun beberapa warga sudah berteriak-teriak menyuruh menghentikan
suara bising itu, mereka tetap melanjutkan aksinya. Seketika bising
melanda tempat itu dan bau asap hasil pembakaran bensin pun merebak
memenuhi udara siang ini.

Warga yang kesal akhirnya pergi meninggalkan gubug tua itu, dan malang
tidak bisa dihindarkan, saat sepi itulah dimanfaatkan mereka untuk
menghabisi lambang kemakmuran desa Kluwek. Dodo dengan mudahnya
mengambil gunungan wayang yang ditempel di dinding gubug tua. Dengan
penuh emosi, dia membakar ornamen gunungan wayang itu. Sedangkan Toto
berusaha meraih kotak tempat si Kliwon bermukim. Sementara, anak muda
lainnya berusaha merusak dinding-dinding kayu gubug tua. Bahkan ada
yang terlihat menumpahkan minyak di sekeliling gubug tua itu.

Tak berapa lama, Toto pun mendapatkan sesuatu yang selama ini
direncanakannya, dia mendapatkan si Kliwon. Dengan kasarnya, dia
meraih si Kliwon yang masih terlelap dari kotak kayunya. Suara
lengkingan tajam Kliwon membahana diantara riuh anarkis pemuda-pemuda
desa. Tidak ada yang mengetahui aksi brutal siang ini lantaran sebuah
kelengahan dari aksi jaga desa. Lengkingan Kliwon saat ini nampaknya
bukan pertanda kesakitan, namun lebih menandakan kesedihan dan
kepedihan yang selama ini dipendam oleh Kliwon.

"Krekkk", Toto berhasil mematahkan kedua tulang sayap si Kliwon.
Setelah itu terlihat Kliwon terkapar hampir-hampir pingsan. Serak jawa
terakhir desa Kluwek telah berakhir masa keemasannya.
Lengkingan-lengkingan khas burung hantu itu menyertai suara-suara kayu
yang terbakar. Setelah melihat api yang menjalar-jalar, Toto dengan
senyum kecil melemparkan Kliwon ke dalamnya. Sebuah lambang kemakmuran
desa yang berhenti berdenyut siang ini.