Minggu, 04 Desember 2011

Sebuah Kisah Lelaki Renta di Siang Hari

Entah pengaruh pemanasan global atau bukan, udara siang di salah satu
pantai yang letaknya tidak jauh dari ibukota terasa begitu gerah.
Angin memang berhembus, tetapi hanya mengalirkan hawa panas lautan
ibukota. Bau anyir bangkai-bangkai ikan laut yang menggunung bercampur
aroma asin air laut menyesaki hidung setiap orang yang menjejakkan
kaki di daerah itu. Namun, tidak bagi beberapa anak yang belum baligh,
riuh rendah bermain sepak bola diantara jajaran ikan asin yang sedang
dijemur dan gunungan sampah rumah tangga. Beberapa orang yang
tampaknya berkarya sebagai nelayan pun terlihat begitu menikmati
permainan kartunya sambil menunggui perahu-perahu tradisionalnya yang
disandarkan di dermaga sederhana. Terik, gerah, bau anyir, dan
hiruk-pikuk nelayan yang menyapa kehidupan warga setiap siang sudah
menjadi makanan sehari-hari warga yang tinggal di desa Kerapu.

Di tengah-tengah hiruk warga nelayan desa Kerapu, seorang lelaki renta
duduk terdiam sambil bersila di bawah lambaian sebatang nyiur, tidak
jauh dari penjemuran ikan asin. Tidak ada yang peduli dengan apa yang
dilakukan lelaki renta itu, bahkan namanya pun tidak dikenali warga
desa Kerapu. Beberapa warga menganggapnya kurang waras. Bahkan tidak
ada yang berani mendekatinya. Pak Jukung, begitulah namanya dipanggil
oleh warga desa. Mereka menyebut demikian tentu bukan tanpa alasan,
tepatnya sepuluh tahun yang lalu, lelaki tua yang dipanggil dengan
nama pak Jukung diselamatkan seorang warga nelayan dari amukan badai.
Kala itu, dia terbaring tak sadar di dalam jukungnya, terombang-ambing
oleh gelombang laut Jawa. Sejak saat itu, warga desa menganggap pak
Jukung mengalami hilang ingatan, dan tidak hanya itu, omongannya aneh,
lantaran tidak ada warga yang memahami omongannya. Sehingga warga pun
tidak bisa mengorek asal-usulnya, hanya satu yang diketahui warga, pak
Jukung datang dari arah utara.

Dari peristiwa itu, beberapa opini terlontar oleh hampir setiap warga
desa Kerapu. Ada yang bilang bahwa dia salah satu manusia perahu asal
VietNam yang terpisah dari rombongannya ketika badai menghantam laut
Jawa. Warga lain beranggapan bahwa pak Jukung hanyalah seorang nelayan
biasa yang terkena musibah kala itu. Selain itu, warga muda pun tak
mau kalah memberikan pendapatnya, mereka menganggap pak Jukung adalah
korban kejahatan, dengan kata lain percobaan pembunuhan dengan
membiarkannya terapung di atas jukung di tengah laut lepas. Entah
opini mana yang benar, belum ada yang bisa memastikan kebenaran
anggapan-anggapan warga tersebut.

Selama ini sebagian warga memang merasa jengkel kepada pak Jukung
lantaran kebiasaannya yang berbeda dari warga desa lainnya, walaupun
dia tidak pernah merugikan seorang pun. Sikapnya ibarat pertapa, diam
dan bicaranya pun tidak dimengerti oleh warga. Meskipun dikenal
sebagai pribadi yang penuh misterius, dia tak sungkan-sungkan
memberikan senyum ramahnya kepada setiap warga yang ditemui.

Pak Jukung menempati sebuah rumah berdinding anyaman bambu yang
ukurannya tidak begitu luas, sekitar empat kali empat meter. Sudah
sekitar sepuluh tahun rumah itu berdiri, lapuk dan kumuh, begitulah
kesan yang muncul ketika melihatnya. Di kanan-kirinya terlihat
tumpukan bangkai-bangkai ikan yang tampaknya sengaja dibuang oleh
warga di sana. Tidak hanya itu, genangan air laut sisa pasang selalu
terlihat menghiasi lantai rumah pak Jukung, atau dengan kata lain,
pasang air laut sudah sampai ke rumahnya. Rumah kecil itu tampaknya
bukanlah sebuah rumah yang layak huni. Pak Jukung sendiri juga
terkesan merasakan keadaan itu, lantaran dia lebih sering berdiam di
bawah rindangnya pohon waru, nyiur dan sisa mangrove yang letaknya
agak jauh dari rumahnya. Tidak ada belas kasihan dari warga, dalam
kerentaannya, dia dibiarkan hidup seadanya, bahkan setiap hari, pak
Jukung hanya memakan bangkai-bangkai ikan sisa tangkapan nelayan yang
telah membusuk. Dengan tubuh kurus hitam legam namun masih kekar, dia
berjalan menyusuri bibir pantai kala matahari mulai menyapa bumi,
dengan berbekal kantung plastik, dia mengais dan mengumpulkan sampah
yang berserakan di bibir pantai desa Kerapu. Belum ada yang mengetahui
alasan pak Jukung memulung sampah-sampah pantai.

------------------------

Kala terik siang memayungi desa Kerapu, pak Jukung lebih sering
terlihat duduk terdiam sambil mengarahkan pandangannya ke beberapa
batang mangrove yang masih tersisa, dengan ditemani oleh lambaian
nyiur dan rimbun dedaunan pohon waru. Tidak hanya itu, hanya
beralaskan coklatnya pasir pantai, biasanya dia tertidur pulas sampai
adzan Ashar membangunkannya. Selama ini memang tidak pernah ada warga
yang mengusik kebiasaan pak Jukung, entah takut atau mereka
menganggapnya gila. Tiap senja, dia memanjat batang tertinggi pohon
waru dan juga memanjat ranting-ranting rapuh beberapa batang mangrove.
Tersungging senyum bahagia selepas dia menuruni kedua pohon tersebut.

Diumpat dan dicaci, begitulah warna kehidupan pak Jukung selama dia
tinggal di desa Kerapu. Menurut warga desa, pertama kali saat
diselamatkan oleh pak Jangkrik, hampir semua warga desa menolak
kedatangannya, mereka khawatir jika nantinya kehidupan warga desa
Kerapu dipenuhi kesialan. Karena pak Jangkrik-lah, yang merupakan
seorang tetua desa, pak Jukung seperti mendapat perlindungan. Namun,
sejak pak Jangkrik meninggal sekitar empat tahun lalu, dengan bebasnya
warga melontarkan umpatan ketika berjumpa dengan pak Jukung, sampai
saat ini.

Dalam kesendiriannya, biasanya dia berceracau, entah apa maknanya,
tidak ada yang tahu. Matanya terlihat melotot disertai nada bicara
yang meninggi setiap kegiatan memulung sampahnya berakhir, terkesan
seperti orang yang marah, apalagi ketika tongkat kayunya yang
dipukul-pukulkan ke tumpukan sampah plastik. Sering juga dia
berteriak-teriak seperti orang yang kesetanan, sama sekali tidak ada
yang tahu arti teriakannya. Tampaknya memang lebih tepat, dia disebut
sebagai orang gila.

-------------------------

"Oooiiii !", berulang-ulang terdengar teriakan pak Jukung siang ini.
Teriakan yang berbaur dengan deburan ombak dan angin laut terdengar
seperti tangisan pilu seorang yang menunggu orang yang dikasihinya.
Tubuh kurus namun kekar terlihat berdiri diantara pohon waru dan
kelapa, sesekali berlari-lari kecil menghampiri mangrove sambil
berceracau dan berteriak yang tak dipahami oleh siapapun. Benar-benar
aneh, tidak seperti biasanya dia bertingkah. Dari mukanya terlihat
raut kegelisahan. Entah apa yang ada di pikiran pak Jukung siang ini.

Tak berapa lama, dia terlihat mengambil sebuah bangkai ikan dan
kemudian berlari menghampiri sisa mangrove terakhir, dia memanjat dan
diam agak lama di batang teratas mangrove. Terlihat dia menunggui
seonggok anyaman sampah dan ranting di batang teratas mangrove. Entah
apa yang dilakukannya. Tiga orang warga yang tengah memancing di
antara akar mangrove seketika mengetahui aksi pak Jukung. Karena
kebencian yang sudah tertanam dalam hati mereka, serta-merta umpatan
dilontarkan berkali-kali. Seperti biasa, pak Jukung tetap diam dan
sesekali melempar senyum, meskipun dia mendengar dan merasa umpatan
itu diarahakan kepadanya. Entah didasari sebuah niat atau keisengan
belaka, mereka pun mengguncang-guncangkan mangrove dengan
sekuat-kuatnya. "Brukkkk", suara benda jatuh terdengar disambut oleh
suara buih ombak yang pecah. Seketika suara tawa pun berderai disertai
cacian dan makian.

Pak Jukung tersungkur, dia-lah yang terjatuh setelah guncangan
terhadap mangrove yang dipanjatnya, disertai onggokan anyaman sampah
yang ditungguinya. Tidak ada marah dan tidak ada raut muka emosi,
dengan senyum khasnya, spontan dia terbangun dan memeriksa seksama
onggokan yang terjatuh bersamanya. senyum yang tadi mengembang di
bibirnya, tiba-tiba berubah, tangis terpecah, air mata menetes
membasahi mukanya yang bercampur dengan basah lumpur pantai yang
sedari tadi menempel di mukanya. Tangan kanannya memegang sebuah
makhluk mungil yang sekarang sudah menjadi bangkai, tangis pun
bertambah memecah kesunyian suasana pantai. dia berlari ke arah pohon
waru tempat dia berdiam dengan mendekap bangkai makhluk kecil itu.

-----------------------

Lengkingan parau terdengar memecah riuh suara angin laut siang ini,
berulang-ulang, lengkingan itu terdengar menyayat hati. Pak Jukung
dengan sisa tenaganya, berusaha mencari arah sumber suara itu. Raut
mukanya begitu gelisah, kebingungan, seperti mencari sesuatu yang
hilang. Lengkingan itu semakin lama semakin melemah. Kadang hilang,
kadang muncul lagi. Siang ini begitu terik menyilaukan mata, tetapi
tidak untuk pak Jukung, dia tetap berlarian mencari asal suara yang
tampaknya telah dikenalnya.

-------------

Dengan menaiki sebuah perahu kecil, pak Jukung menghampiri KM. Mawar,
sebuah motor diesel yang tengah diam di atas laut tidak jauh dari
bibir pantai. Tak berapa lama, perahu yang dinaikinya telah mendekati
KM. Mawar. Pak Jukung terlihat berbicara dengan nelayan di KM. Mawar,
tetapi disambut oleh sebuah tamparan ke muka pak Jukung oleh salah
seorang nelayan. Tampaknya cekcok tengah terjadi di sana. Entah
masalah apa yang sedang terjadi di sana. Terlihat pak Jukung berusaha
meraih seekor burung berwarna coklat putih yang tersangkut di mata
kail yang dipegang oleh salah seorang nelayan di KM. Mawar. Tampaknya,
mereka adalah nelayan yang sering menangkapi burung-burung laut dengan
mata kail, dan siang ini sepertinya tak sengaja si burung elang bondol
tersangkut kail mereka. Cekcok pun terlihat masih berlangsung.
"Byuuurrrr", suara benda tercebur terdengar sampai bibir pantai. Suara
itu berasal dari pak Jukung yang tercebur ke dalam laut yang sedang
bergelombang. Dia tampaknya kalah dari cekcok tersebut, dan salah
seorang dari nelayan di KM. Mawar mendorongnya sampai terjatuh ke
laut. Bunyi kecipak air laut yang menandakan sebuah kepayahan seorang
anak manusia seketika memenuhi suasana siang ini. Lima menit
berselang, suasana sunyi khas pantai kembali menyapa desa Kerapu.

----------

Senja ini, tak terlihat lelaki renta memanjat pohon waru dan mangrove.
Hanya terlihat seekor elang bodol betina yang lemah dengan luka sobek
di dadanya terikat di bawah pohon waru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar