Jumat, 02 Desember 2011

Pak Kalong dan Si Oto, Sebuah Kisah

Seperti tengah malam sebelum-sebelumnya, suasana sekitar tugu Kujang
memang selalu terkesan sunyi, hanya sesekali terdengar deru kendaraan
pribadi dan angkutan masal dengan shift malam. Kadang sesekali
terlihat gerombol orang yang mencari penghidupan di saat lelap
merangkul mimpi sebagian besar manusia. Pusat kota Bogor di kala malam
memang tidak seaktif saat matahari bersinar penuh, hawa dingin dan
kelip redup lampu-lampu kota tampaknya telah menidurkan sebagian besar
penghuninya. Namun, tidak untuk pak Kalong, dengan sorot mata yang
masih fokus, dia terduduk diam di pinggiran trotoar di seberang simbol
kebanggan warga Bogor, sambil terus memandang ke arah rerimbunan pohon
di area Kebun Raya Bogor. Belum ada yang tahu apa yang dilakukannya
setiap malam di tempat itu. Beberapa sopir angkot berujar bahwa pak
Kalong mengalami gangguan kejiwaan, sedangkan yang lain bercerita
bahwa pak Kalong sedang menunggu kekasihnya yang menurut mereka telah
menjadi penunggu salah satu pohon besar di dalam Kebun Raya Bogor,
entah apa maksudnya. Tubuhnya diam tak bergerak dan hanya kepalanya
yang bergerak mencari-cari sesuatu di atas pohon, begitulah kesan yang
tertangkap ketika melihat sosoknya setiap malam. Dia akan beranjak
ketika adzan Subuh mulai berkumandang.

Tampaknya tidak ada yang tahu jati diri pak Kalong, beberapa warga
hanya mengenal pak Kalong sebagai seorang tukang cukur yang sering
mangkal di sekitar pagar Kebun Raya Bogor. Beberapa orang yang menjadi
pelanggannya sering melontarkan pujian bahwa pak Kalong adalah tukang
cukur terbaik di Bogor. Kalong, sebenarnya bukan nama sebenarnya,
warga yang kebetulan pernah berinteraksi dengannya-lah yang
memanggilnya dengan sebutan pak Kalong. Mereka menganggap nama Kalong
sangat cocok disematkan pada lelaki paruh baya bertubuh kurus itu,
lantaran kebiasaan hidupnya yang dinilai berbeda dengan sebagian besar
orang. Tidak pernah tidur ketika malam menjelang, padahal sebenarnya
dia juga tidak tidur sepanjang siang karena pelanggannya yang datang
silih berganti. Anggapan warga yang dialamatkan kepada pak Kalong
nampaknya didukung oleh kebiasaan pak Kalong yang selalu menghindar
dari sengatan mentari, baik pagi, siang ataupun sore. Rasa-rasanya
keadaan itu bukanlah keunggulan yang wajib dibesar-besarkan, tetapi
keadaan itu tampaknya telah menyiksa pak Kalong sampai saat ini.
Secara fisik, dapat terlihat jika pak Kalong bukanlah tipe orang yang
suka mengumbar kata-kata. Dia hanya berbicara seperlunya kepada
pelanggannya dan orang-orang yang dijumpainya, meskipun begitu, mereka
tetap menganggap pak Kalong sebagai pribadi yang ramah dan dermawan.
Pernah suatu ketika, pak Kalong harus memberikan seluruh
penghasilannya hari itu kepada seorang bapak tua yang mengaku tersesat
dalam hiruk kota hujan, tidak hanya itu, akhirnya pak Kalong pun
mengantarkannya sampai ke rumah asal bapak tua.

Meskipun banyak warga yang menyukainya, banyak pula warga yang
membencinya. Dengan tampilannya yang terkesan lusuh, kaos berlogo
golkar kumal dengan celana pendek bermotif loreng tentara selalu
dikenakannya tiap hari. Alasannya mungkin sepele, dia tidak memiliki
pakaian yang layak dikenakan setiap hari. Tidak hanya itu, bau badan
yang keluar dari tubuh kurus itu pun telah menyebabkan dia dijauhi
oleh orang lain, bahkan rekan kerjanya sendiri. Senyum ramah
rasa-rasanya tidak pernah absen dari wajah pak Kalong, walaupun
sikapnya yang pendiam lebih mendominasi sikap hidupnya. Pujian dan
makian tampaknya telah dijadikan makanan sehari-hari, tidak ada kesan
bahagia, marah, atau sedih, dia hanya diam dan tersenyum.

------------------------

Malam semakin larut, tidak ada perubahan gerak-gerik, hanya kepalanya
beserta bola matanya yang terus bergerak mencari-cari sesuatu. Dengan
bersila, dia biasanya menembangkan lagu-lagu kenangan dan terkadang
juga lagu-lagu Sunda. Seringkali beberapa preman yang kebetulan lewat
tempat itu mengasarinya, bahkan meminta uang penghasilannya. Tidak
hanya itu, terkadang beberapa sopir angkot pun berlaku demikian.
Dengan sukarela, pak Kalong selalu menuruti kemauan siapapun yang
meminta sesuatu darinya, karena dari penuturan pak Jambu, salah satu
rekan kerja dan sahabat dekatnya, ikhlas adalah prinsip hidup pak
Kalong.

Siulan-siulan panjang dan beberapa teriakan panggilan selalu
mengiringi kebiasaan anehnya. "Oto, Oto, Oto", tiga kali panggilan
selalu terdengar setiap satu jam sekali. Kebiasaan itu semakin
menjadi-jadi sejak satu minggu yang lalu, walaupun terjaga setiap
malam mungkin sudah mendarah daging sejak dia masih muda. Kadang
teriakan panggilan itu terkesan pilu dan menyayat hati, dan biasanya
diselingi dengan tangisan. Oto, nama yang selalu dipanggilnya tiap
malam tampaknya sebuah nama yang sangat berarti baginya, entah teman,
saudara, keluarga, atau barangkali kekasih.

-----------------------

Pinggiran atau tepatnya bawah pagar taman kebun prakarsa Reinward itu
tampaknya telah menjadi rumah tinggal bagi pak Kalong dan pak Jambu.
Hanya bermodalkan tikar, bangku kayu yang dibuat alakadarnya, dan
peralatan cukur sederhana, kehidupan mereka pun bisa berlangsung
sampai sekarang. Jika ditanya tentang keluarga atau sanak saudara,
serta merta mereka akan mengalihkan pembicaraan, terkesan enggan untuk
mengisahkannya, sehingga tidak ada yang mengetahui asal muasal mereka
berdua. Mereka tampaknya korban derasnya perkembangan kota hujan,
meskipun begitu tidak pernah terdengar keluhan dari mulut mereka
berdua, bahkan raut kelelahan pun terlihat tersembunyi dalam
keramahannya. Meskipun sudah hidup bersama dan berkawan dekat, pak
Kalong dan pak Jambu mempunyai kebiasaan yang sangat berbeda. Pak
Jambu lebih bersikap layaknya orang-orang kebanyakan.

Menurut pak Jambu, Oto adalah kawan dekat pak Kalong selain pak Jambu
sendiri, sejak dia tinggal di tempat itu, si Oto biasanya keluar saat
malam hari. Namun, untuk detil kisahnya, pak Jambu enggan
menceritakannya. Hanya menurut penuturannya, sudah seminggu ini pak
Kalong tidak menjumpai Oto. Biasanya si Oto akan menemui pak Kalong
setiap tengah malam, tentunya setelah pak Kalong menembangkan sebuah
lagu. Selama seminggu inilah pak Kalong semakin dihinggapi kecemasan,
walaupun kadang kecemasan itu tertimbun oleh kerutan-kerutan wajahnya
yang bersahaja.

Oto biasanya akan muncul diantara pohon angsana, tanpa suara, dia akan
menyambut tembang-tembang yang dilontarkan oleh pak Kalong. Kira-kira
begitulah kehidupan pak Kalong sehari-hari sebelum dia kehilangan si
Oto. Bertemu Oto adalah kebahagiaan pak Kalong yang tidak akan
tergantikan oleh apapun, bahkan sekarung emas. Tampaknya tidak ada
yang peduli dengan kehidupan Oto, bahkan pak Kalong sendiri, mereka
adalah bagian dari ornamen sebuah kota.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga malam, masih terlihat pak Kalong
bersila seperti seorang pertapa, hanya terlihat wajah pak Kalong yang
sudah basah oleh air mata. Udara dingin semakin menusuk tulang,
bahkan angin pertanda akan turunnya hujan pun sudah berhembus, tetapi
pak Kalong masih tidak beranjak. Dia masih setia menunggu kehadiran si
Oto di penghujung malam, mungkin dia beranggapan si Oto malam ini akan
keluar sebelum kumandang adzan Subuh.

-----------------------

Hari jum'at menjadi hari pelesir bagi pak Kalong. Biasanya dia akan
berkunjung ke pasar Kebon Kembang, seperti biasanya, dia akan
membelanjakan uangnya untuk membeli kebutuhan pekerjaannya dan
terkadang hanya berjalan-jalan menyusuri riuh kios-kios pedagang
pasar. Biasanya, pak Kalong akan berangkat dengan berjalan kaki
sebelum matahari menampakkan wajahnya. Dia pun akan mengenakan pakaian
terbaiknya, baju lengan panjang bermotif kotak-kotak kusam, dan celana
hitam yang telah memudar, serta topi dan kacamata hitam untuk
menghindari kambuhnya penyakit akibat sengatan matahari. Namun, ada
yang berbeda di hari Jum'at ini, kecemasan dan kegelisahan tampaknya
telah mempengaruhi rutinitas pelesiran Jum'at, pak Kalong terlihat
masih tertidur di atas tikar lusuhnya, meskipun mentari sudah menyapa
badannya yang sebenarnya tidak mampu menerima sapuan hangat mentari.
Capek dan kelelahan setelah kegiatan malamnya tampaknya menjadikan
tubuhnya terbaring tidak mengindahkan sapaan mentari dan geliat pagi
kota hujan.

Bukan pak Kalong namanya jika semangatnya padam begitu saja, sekitar
pukul delapan pagi, dia melangkahkan kaki menuju pasar Kebon Kembang.
Di Jum'at ini, dia hanya menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan
menyusuri gang-gang sempit diantara kios-kios pedagang, terkesan tidak
ada tujuan. Setelah menelusuri hampir sebagian gang pasar, tak berapa
lama dia berhenti di depan kios penjual burung dan perlengkapannya.
Tiba-tiba terdiam kaku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dengan
langkah berat dia berusaha mendekati sebuah sangkar burung yang berisi
beberapa ekor burung. Tidak sampai tiga langkah, dia terjatuh dan
terlihat mengerang. Pemilik kios tampaknya merasa kebingungan melihat
peristiwa siang ini, terlihat dia memanggil-manggil orang yang
kebetulan lewat depan kiosnya. Akhirnya beberapa pembeli, pengunjung,
dan pedagang pasar lainnya menghampirinya, mengerubutinya seolah-olah
ingin tahu apa yang tengah terjadi. Tanpa menolong.

Tidak ada seorangpun yang membantunya berdiri ataupun menenangkannya.
Pak Kalong terus mengerang dan menangis pilu sambil menunjuk-nunjuk
sangkar burung di depannya, kadang diikuti sesak napas. Kumpulan orang
yang mengerubutinya mungkin menganggapnya sebagai orang yang sudah
kehilangan kewarasannya. Dia tetap mengarahkan telunjuknya ke arah
sangkar burung itu, terlihat matanya melotot hampir-hampir bola
matanya keluar dan sesekali diikuti kekejangan.

Tidak ada pertolongan sama sekali, bahkan pemilik kios burung berusaha
mencari petugas keamanan untuk mengusir pak Kalong. Kekejangan demi
kekjangan menjalari tubuh kurus berbalut baju lengan panjang
kotak-kotak kusam dan celana hitam pudar. Keringat telah menggenangi
lantai pasar Kebon Kembang tempat dia terbaring jatuh. Tak berapa
lama, mata yang tadinya sempat hampir copot bola matanya serta-merta
terpejam. Tidak hanya itu, tubuh yang mengejang dengan tiba-tiba
berubah melemas, bahkan bisa dibilang kesadarannya telah melayang
pergi. Tidak ada tindakan sama sekali dari orang-orang di sekitarnya.
Entah apa yang menyebabkan peristiwa yang menghebohkan siang ini,
belum ada yang tahu, bahkan belum ada yang melontarkan opininya.
Sangkar yang ditunjuk oleh pak Kalong berisi seekor burung celepuk
reban dan dua ekor burung gagak. Sangkar itu tidak begitu luas,
idealnya hanya untuk dihuni oleh satu ekor burung. Si burung celepuk
reban dengan tubuh mungilnya terlihat kepayahan, terinjak-injak oleh
dua ekor gagak dan terlihat luka-luka bekas patukan, sayapnya pun
terlihat terkulai lemah. Tampaknya dua makhluk di pasar Kebon Kembang
siang ini, lelaki paruh baya dan seekor celepuk reban, tengah merejan
menunggu hidup dan matinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar