Senin, 05 Desember 2011

Sebuah Peristiwa di Bukit Sepah

Mendung masih enggan beranjak. Gelondongan-gelondongan kayu yang entah
jenisnya masih teronggok di atas tanah merah basah, bercampur dengan
bangkai pepohonan yang baru saja tumbang. Bau khas bangkai pohon dan
lapisan dalam tanah pun menyeruak menusuk hidung setiap orang yang
sejak pagi berkerumun di tempat itu. Ibarat paduan suara, isak tangis
tengah membahana memenuhi suasana desa sore ini. Gerimis menambah
basahnya wajah-wajah sembap seluruh warga desa yang sejak siang tak
henti-hentinya menitikkan air mata. Tidak hanya itu, kadang
teriakan-teriakan histeris muncul diantara padunya isak tangis dan
suara tonggeret.

----------------------

Fajar bukanlah waktu bermanja bagi warga desa Sukajaya. Dari tua,
muda, dan anak-anak selalu terlihat menyemarakkan suasana fajar.
Tepatnya, mereka selalu bangun sebelum adzan Subuh, setelah itu mereka
akan memenuhi sebuah surau tua yang ukurannya tidak begitu luas,
bahkan sampai-sampai tidak pernah mampu menampung puluhan warga yang
sembahyang, At-Taqwa, begitu tulisan yang terpampang di dinding surau.
Hawa dingin yang selalu menyelimuti desa setiap fajar tampaknya tidak
pernah menyurutkan warga mengawali masa depannya.

Tidak ada peristiwa luar biasa setiap pagi di desa Sukajaya. Seperti
biasanya, riuh gerak warga desa selalu menyambut sapaan mentari yang
masih malu-malu. Kebanyakan dari mereka akan meninggalkan desa ketika
pagi dan kembali lagi kala senja. Menghambur ke kota terdekat, menjual
hasil hutan non-kayu, sebotol madu hutan. Desa madu, begitulah warga
kota menyebut desa Sukajaya, karena mereka menganggap semua warga di
desa Sukajaya bermata pencaharian sebagai pencari, pengolah, dan
penjual madu hutan, walaupun sebenarnya tidak hanya desa Sukajaya yang
warganya bermata pencahariaan seperi itu, desa-desa sekitar desa
Sukajaya juga mempunyai produk berupa madu hutan. Tampaknya madu hutan
hasil warga desa Sukajaya lebih dikenal oleh warga kota. Manisnya
alami, begitulah ujar salah satu pelanggan yang tinggal di dekat pasar
kota.

Mereka terkenal sebagai orang yang bersahaja dan selalu menjunjung
tinggi sopan santun. Materi modern bukanlah sesuatu yang diutamakan
dalam kehidupannya, kondisi ini terlihat dari rumah yang cukup
sederhana, dibangun dari bahan-bahan hutan di sekitar desa mereka dan
bangunan rumah mereka pun mengikuti penampakan lahan, dengan kata
lain, bangunan rumah mereka tidak pernah mengubah dan menyalahi kontur
lahan. Perabotan pun seadanya, tidak pernah terlihat barang-barang
elektronik dan barang mewah lainnya di dalam rumah mereka. Entah
lantaran listrik tidak pernah masuk ke desa Sukajaya atau lantaran
mereka menolak kemewahan dan modernisme. Tampaknya, penolakan terhadap
kemewahan lebih tepat disematkan kepada warga desa Sukajaya. Menurut
salah satu tetua desa, kemewahan materi hanya akan menjauhkan warga
desa dari nilai-nilai budaya desa Sukajaya.

Desa Sukajaya dengan kota terdekat berjarak sekitar tiga puluh lima
kilometer, jarak yang begitu jauhnya tampaknya tidak pernah
menyurutkan warga desa untuk mengarunginya. Bukan keuntungan yang
dicari, melainkan mereka hanya ingin membantu warga kota memenuhi
kebutuhan hidupnya. Mungkin madu hutan yang mereka jual bukanlah
kebutuhan primer masyarakat, tetapi keinginan saling menolong-lah yang
membuat mereka tetap gigih melakoni kegiatan itu setiap hari.
Kadangkala mereka tidak segan-segan membantu meringankan pekerjaan
warga kota. Seperti yang dilakukan pak Sengon, salah seorang tetua
desa, setiap hari sebelum pulang ke desa Sukajaya, beliau selalu
menyempatkan membantu membersihkan pasar tradisional kota. Beliau
tidak pernah meminta imbalan sepeser pun. Kebersihan akan memakmurkan
masyarakat, begitulah ujar pak Sengon ketika ditanya tentangtujuannya
itu. Memang terkesan aneh aktivitas yang dijalani oleh hampir semua
warga desa Sukajaya. Namun, begitulah kehidupan yang harus dilakoni
mereka.

--------------------

Bangunan berdinding anyaman bambu itu tidak begitu luas, mungkin cuma
cukup menampung sepuluh orang dewasa di dalamnya. Namun, dalam luasnya
yang bisa dibilang sempit, riuh bahagia suara anak-anak selalu
terdengar setiap hari. "Rumah Belajar Sukajaya", tulisan besar yang
ditulis dengan spidol hitam di papan kayu tergantung di atas pintu
masuk rumah kecil itu terbaca. Tampaknya rumah belajar telah menjadi
tempat favorit berkumpulnya anak-anak desa Sukajaya kala orang tua
mereka berkarya. Adalah Kang Jaya, seorang sarjana muda yang baru saja
lulus dari sebuah perguruan tinggi di ibukota, bersama dua orang
rekannya, dia membangun rumah belajar di desa Sukajaya. Seperti halnya
warga desa Sukajaya, dia pun sama sekali tidak mengharapkan imbalan
dari warga desa yang anaknya dititipkan di rumah belajar. Pengabdian,
begitulah ujarnya ketika ditanya tentang tujuan pendirian rumah
belajar itu.

Warga desa Sukajaya dengan ramahnya menerima kang Jaya ketika dia
menjelaskan rencananya sekitar sebulan yang lalu. Akibatnya, warga pun
memberikan sedidang tanah yang letaknya tepat di bawah bukit Sepah,
tidak jauh dari surau tua dan saung desa. Tidak hanya itu, warga desa
pun membantu mendirikan rumah belajar satu-satunya di desa Sukajaya.
Kala itu, hampir semua warga mendatangi tempat itu dan mereka pun
bahu-membahu membangun rumah belajar desa Sukajaya. Tidak hanya orang
dewasa, anak kecil dan orang tua pun antusias membangun dan menerima
kehadiran rumah belajar itu. Pak Sengon pernah berujar bahwa dengan
adanya rumah belajar, warga berharap kehidupan desa Sukajaya menjadi
lebih makmur.

Bukit Sepah yang tidak begitu tinggi, tampaknya telah menjadi tempat
yang sakral bagi warga desa Sukajaya. Menurut pak Sengon, sudah
turun-temurun bukit Sepah disakralkan oleh warga. Alasannya pastinya
memang belum diketahui, bahkan warga desa Sukajaya sendiri, lantaran
memang dalam aturan mengatakan bahwa tidak ada yang boleh bertanya
alasannya. Berdasarkan aturan desa, sekitar bukit hanya diperbolehkan
digunakan sebagai pusat sosial budaya masyarakat, sehingga surau dan
saung desa-lah yang berdiri di tempat itu. Dan sejak sebulan lalu,
akhirnya rumah belajar prakarsa kang Jaya pun diperbolehkan berdiri di
sekitar bukit Sepah. Tiga buah bangunan di bawah bukit Sepah tampaknya
telah mengisi kehidupan sehari-hari warga desa Sukajaya selama ini.
Selain kesakralannya, bukit Sepah terkenal sebagai daerah yang masih
menyimpan kandungan logam mulia dan kayu dari pepohonan yang berumur
ratusan tahun. Sehingga tak jarang peneliti-peneliti pemerintah atau
peneliti dari perguruan tinggi mendatangi bukit Sepah. Tidak ada
larangan bagi mereka untuk menginjakkan kaki di bukit Sepah, selama
mereka sopan di sana, begitulah kata pak Sengon.

Tidak hanya anak kecil, warga dewasa pun sering mendatangi rumah
belajar. Walaupun tidak bisa membedakan abjad, mereka terlihat
antusias membolak-balik halaman buku-buku yang tertata rapi di rak
buku rumah belajar. Kadang terlihat senyum mengembang dari bibir
mereka, kadang pula suara tawa memenuhi ruangan rumah belajar yang
tidak luas itu, dan terkadang terlihat muka serius warga saat
membuka-buka halaman buku. Anak-anak pun terlihat ceria menyemut
berkerumun di sekitar rumah belajar. Terlihat kang Jaya dengan
sabarnya mengajari anak-anak desa mengenal huruf dan angka. Kadang
diselingi jalan-jalan berkeliling desa melihat aktivitas warga desa
dan terkadang masuk ke dalam hutan di bukit Sepah. Lelah tampaknya
tidak pernah menyurutkan kang Jaya bermain-main dengan anak-anak desa,
karena memang niat dan tujuan mensejahterakan warga desa Sukajaya
lebih tinggi daripada remeh-temeh nafsu dunia.

Tidak seperti sekolah formal, rumah belajar desa Sukajaya terkesan
lebih santai, tidak ada seragam yang wajib dikenakan. Mereka hanya
diwajibkan mengenakan apa yang mereka punya, tidak boleh beli.
Membekali anak-anak yang menjadi siswanya dengan pendidikan budaya,
budi pekerti, dan lingkungan tampaknya selaras dengan jalan hidup
warga desa Sukajaya. Inilah yang menjadikan kang Jaya diterima
kehadirannya oleh semua warga desa Sukajaya, bahkan dua minggu yang
lalu, pak Sengon, mewakili tetua desa yang lain, telah memberikan
gelar kehormatan kepada kang Jaya.

---------------------

Resah terlihat menyelimuti setiap warga desa akhir-akhir ini. Tidak
seperti biasanya, sejak lima hari lalu, warga tidak beraktivitas
seperti biasanya. Mereka hanya berdiam dan tidak bepergian ke kota
menjajakan botol madu hutannya, bukan lantaran sebuah keengganan,
tetapi lebih disebabkan oleh kegelisahan dan ketakutan yang menghantui
warga sejak lima hari ini. Tepatnya lima hari yang lalu, tersiar kabar
bahwa bupati telah menerbitkan perizinan perusahaan penambang emas
beroperasi di desa Sukajaya, tepatnya di bukit Sepah. Lima hari yang
lalu, beberapa orang ahli geologi telah diterjunkan meneliti kandungan
emas.

Rencana pemerintah kabupaten itu telah menyebabkan ketidak tenangan
kehidupan warga desa Sukajaya. Tiga hari yang lalu, warga memprotes
rencana bupati. Dengan bersenjatakan tongkat bambu, sapu lidi, dan
sapu ijuk, mereka menghadang buruh-buruh perusahaan penambang emas
yang akan menurunkan alat-alat berat. Perang kecil pun terjadi, namun
sayang, gas air mata melumpuhkan semangat warga. Beberapa warga bahkan
terlihat bergelimpangan tak sadarkan diri. Buruh-buruh itu dengan
mudah dan seenaknya melaju menuju bukit Sepah. Secara fisik, warga
desa telah kalah, tetapi semangat mereka tampaknya tidak akan pernah
padam.

Bising gergaji mesin tidak terkalahkan oleh teriakan-teriakan warga
yang sejak pagi membentengi bukit Sepah. Hanya butuh beberapa menit,
puluhan pohon sudah terlihat tumbang. Warga desa tetap diam, sebagian
berteriak, dan sebagian sisanya menangis pilu. Hujan deras pagi ini
tidak menyurutkan semangat warga memprotes peristiwa itu. Sebagian
bukit sudah gundul, terutama bukit yang menghadap ke tiga bangunan
kebanggan warga desa Sukajaya. Tanah bukit Sepah pun dengan mudahnya
dikeruk, hanya demi logam mulia, mereka melakukan perbuatan yang
tampaknya tidak mulia.

--------------

Siang ini, hujan pun semakin menjadi-jadi disertai kilat, gelegar
halilintar, dan mendung tampaknya telah ikut juga memayungi suasana
desa yang kelam. Tepat setelah adzan Dhuhur berkumandang, tanah merah,
sebuah lapisan dalam tanah yang terkeruk dan beberapa gelondongan kayu
menghunjam ke bawah bersama leleran air hujan, menghantam tiga
bangunan yang disakralkan. Jeritan yang muncul serta-merta mengalahkan
bising gergaji mesin dan alat berat, namun tidak begitu lama, seketika
sudah lenyap begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar