Kamis, 08 Desember 2011

Secuil Kisah di Dusun Kukilo

Masih terlihat onggokan tak beraturan dari sejumlah jajanan pasar yang
telah mengering. Beberapa bahkan terlihat berceceran agak masuk ke
rerimbunan hutan. Sunyi, begitulah kesan yang terlihat siang ini,
hanya bunyi gesekan-gesekan dedaunan, ranting, dan batang-batang bambu
yang tertiup angin, kadang disertai dengan kicauan cerukcuk, kutilang,
dan sesekali prenjak. Tidak terlihat gerak-gerik warga siang ini,
bahkan rumah berdinding kayu jati tak jauh dari pohon beringin tempat
onggokan sampah jajanan pasar itu terlihat tutup, tidak ada aktivitas
manusia sama sekali.

-------------------------

Hamparan tanaman singkong yang tidak begitu luas tampaknya telah
menjadi wahana sosialisasi masyarakat dusun Kukilo. Hampir setiap
hari, tidak kenal tanggal merah, mereka selalu berhambur menggarap
kebun singkong peninggalan leluhur, salam sapa dan riuh senda gurau
pun selalu menghiasi gersangnya kebun singkong, dari pagi sampai sore
menjelang. Tidak pernah ada keluh kesah dan ego pribadi, kebun itu
telah dianggap milik bersama yang harus dikelola bersama untuk
kemakmuran dusun. Bertani singkong, merupakan satu-satunya pekerjaan
yang bisa dilakukan oleh hampir semua warga dusun Kukilo, lantaran
tandusnya lahan telah menghalangi tumbuhnya tanaman pangan lainnya.

Meskipun tandus dan miskin sumber air, tidak pernah terdengar keluhan
warga akan kesulitan dan kerasnya hidup di daerah itu. Mereka
beranggapan dengan kondisi seperti itu, dusun Kukilo menjadi lebih
tenteram dan raharja. Dalam bertani, mereka telah menerapkan sistem
pembagian kerja, secara bergilir, mereka akan bergantian menggarap
kebun singkong, mencari air ke dusun tetangga, mengolah hasil panen,
serta menjualnya ke kota terdekat. Tidak ada rasa iri diantara warga
dusun, lantaran anggapan bahwa rejeki sudah diatur oleh Pencipta. Bagi
hasil panen pun dibagikan adil merata melalui musyawarah warga. Adalah
mbah Legi, warga yang dituakan, selalu menjadi pemimpin musyawarah
bagi hasil, bahkan hampir semua musyawarah dusun. Tidak hanya itu,
mbah Legi telah berperan dalam menjaga nilai-nilai tata krama,
tradisi, serta menjadi imam desa dalam kegiatan keagamaan.

Guyub, begitulah kesan yang bisa disematkan untuk kehidupan warga
dusun Kukilo. Tak heran, kala matahari mulai meredup, renyuh tawa
pelepas lelah bekerja selalu menghiasi suasana dusun. Singkong rebus,
singkong goreng, gaplek, gatot, tiwul, dan teh, beberapa jenis
hidangan yang selalu tersaji di beranda setiap rumah dan telah
menemani suasana guyub itu sekian lama. Riuh tawa cengkerama warga
dusun pun tidak pernah berhenti saat gelap menyelimuti dusun, bahkan
semakin menjadi-jadi. Biasanya mereka akan berkumpul di halaman rumah
mbah Legi kala malam, dengan diterangi beberapa lampu teplok, obrolan
demi obrolan akan berlanjut menyusup ke dalam malam yang semakin
larut.

Meskipun mbah Legi sudah wafat sekitar lima bulan lalu, rumah beliau
masih tetap dipadati warga dusun Kukilo setiap malam, bercengkrama
akrab di halaman rumah kecil itu diiringi alunan campursari dari
sebuah radio kuno, sambil sesekali mengenang jasa-jasa mbah Legi.
Rumah kecil itu berdinding kayu jati dan bertipe joglo, dengan
dipayungi oleh kerindangan pohon beringin tua dan beberapa rumpun
bambu, tampak begitu asri dan teduh. Kesan sebagai rumah tua dapat
terlihat dari warna dindingnya yang telah kusam. Secara aturan adat,
rumah mbah Legi ditetapkan sebagai patok dusun, atau dengan kata lain
telah ditetapkan sebagai pembatas antara dusun Kukilo dengan hutan
Singomendem. Warga pun menganggap bahwa semua aktivitas warga harus
dipusatkan di rumah mbah Legi.

Suro dan Lowo, dua orang yang sekarang menghuni rumah peninggalan mbah
Legi. Pakdhe Suro, begitu warga dusun memanggilnya, beliau adalah anak
satu-satunya mbah Legi, dan tampaknya telah dinobatkan oleh warga
dusun sebagai pengganti mbah Legi. Sedangkan mas Lowo, yang merupakan
anak pakdhe Suro dan satu-satunya cucu mbah Legi tampaknya tidak
begitu mewarisi kebijaksanaan kakeknya. Sepeninggal mbah Legi, fungsi
kepemimpinannya telah diambil alih oleh pakdhe Suro, tidak hanya
memimpin dusun Kukilo, beliaupun juga menjadi juru kunci hutan
Singomendem.

Tidak berbeda dengan dusun Kukilo, hutan Singomendem juga mempunyai
kondisi tanah yang tandus dan gersang, sama-sama bertanah kapur. Hanya
pohon-pohon berkayu keras dan semak belukar yang tumbuh di dalam sana.
Namun, hutan itu telah menjadi kebanggaan warga dan sekaligus
dikeramatkan oleh warga dusun Kukilo. Sejarah dikeramatkannya hutan
Singomendem memang belum banyak terungkap, hanya menurut beberapa
warga, hutan Singomendem adalah tempat pertapaan para pendiri dusun
sebelum mereka membangun dusun Kukilo, menurut mereka, keberadaan gua
dan bongkahan batu kali berukuran besar merupakan bukti bahwa tempat
itu adalah tempat pertapaan jaman dulu. Sedangkan beberapa warga
lainnya mengatakan bahwa hutan Singomendem adalah tempat berkumpulnya
arwah leluhur. Sampai sekarang belum ada yang tahu sejarah hutan
Singomendem dan dusun Kukilo sebenarnya.

Hutan Singomendem, tampaknya telah menyandang predikat sebagai hutan
larangan. Berdasarkan aturan tidak tertulis yang dibuat oleh leluhur,
setiap warga dusun Kukilo tidak diperbolehkan mengusik ketenangan dan
kehidupan makhluk hidup di kawasan hutan, atau dengan kata lain tidak
diperbolehkan berburu dan menebang pohon sembarangan. Hanya,
diperbolehkan memanfaatkan dari apa yang hidup di dalam hutan, dan itu
pun harus berdasar pada musyawarah warga. Karena sebagian besar yang
hidup di hutan Singomendem adalah pohon jati, pernah suatu ketika,
beberapa penebang pohon liar dari dusun tetangga nekat masuk ke hutan
dengan niatan untuk menebang jati, akibatnya peristiwa misterius pun
terjadi, beberapa diantaranya serta-merta buta, lainnya pingsan,
kejang, dan akhirnya meninggal dunia. Tidak hanya itu, beberapa
pemburu burung yang nekat masuk ke sana pun dikabarkan mengalami hal
serupa, bahkan ada yang ditemukan tewas dengan luka cakar dan cabikan.
Sesuai tradisi, setelah ada gangguan terhadap hutan Singomendem,
serta-merta warga akan menggelar ritual tolak bala, tepatnya di bawah
pohon beringin tidak jauh dari rumah mbah Legi.

"Siapapun yang berniat jelek di dusun ini dan hutan Singomendem, maka
kejelekan itu akan berbalik", begitu ujar pakdhe Suro.

Musim kemarau panjang tahun ini sama sekali tidak mempengaruhi hasil
panen warga. "Alhamdulillah, dusun tetap raharja, gemah ripah loh
jinawi, masyrakatnya guyub, lantaran warga tetap menjunjung tradisi
adiluhung dan ingat dengan gusti Allah", begitulah ujar pakdhe Suro
ketika ditanya dampak kemarau panjang yang melanda hampir di seluruh
negeri.

Dusun Kukilo memang tipe daerah mandiri dan berdikari, sama sekali
tidak terlihat program-program pemerintah berjalan di wilayah itu,
hanya sebuah tangki air berwarna biru bertuliskan "Proyek Departemen
PU" bertengger tidak jauh dari rumah peninggalan mbah Legi. Menurut
penuturan pakdhe Suro, tangki itu dulunya dilengkapi oleh pipa-pipa
yang mengalirkan air dari pusat penampungan air PDAM di pusat kota
untuk memasok air ke dusun Kukilo, tetapi program pemerintah itu hanya
berjalan dua minggu, pasokan air pun akhirnya terhenti, bahkan sampai
saat ini, tidak pernah ada setetes air pun bantuan pemerintah.
Sehingga, secara bergilir, dengan membawa jeligen-jeligen air, warga
mencari air ke dusun-dusun tetangga untuk ditampung di tempat tangki
air besar itu.

-------------------------

Angin kering yang berhembus siang itu tidak menyurutkan rasa marah mas
Lowo kepada bapaknya, tampaknya akibat larangan pakdhe Suro, mas Lowo
nekat menggebrak-gebrak dinding kayu rumahnya. Menurut warga yang
sedang menggarap kebun singkong, pertikaian siang itu dipicu oleh
niatan mas Lowo yang hendak menebang sebagian pohon jati yang tumbuh
di dalam hutan Singomendem. Entah apa alasan mas Lowo berlaku
demikian, belum ada yang mengetahuinya dengan pasti.

Bukan kali ini saja mas Lowo berbuat kasar kepada bapaknya. Menurut
penuturan warga, sepeninggal kakek dan ibunya, perangai mas Lowo telah
berubah, dia gampang sekali emosi dan melakukan apa saja yang
diinginkannya, suatu ketika dia pernah melubangi tangki air dusun,
lantaran kemauannya tidak dituruti oleh pakdhe Suro, waktu itu dia
meminta sebuah sepeda motor. Entah setan apa yang telah menyebabkan
begitu. Temannya pernah bercerita bahwa kehidupan kota-lah yang telah
mengubahnya. Memang, sejak setahun lalu, mas Lowo pernah bersekolah
dan bekerja di kota yang tidak begitu jauh dari dusun Kukilo. Dia-lah
satu-satunya pemuda dusun yang bersekolah sampai perguruan tinggi kala
itu.

Seminggu yang lalu, dia berhasil menebang dua pohon jati dan akhirnya
menjualnya. Kemarahan warga pun sebenarnya tumpah, tetapi lantaran
mereka masih menghormati keluarga pakdhe Suro, amarah warga pun
teredam. Warga menganggap apa pun makhluk hidup yang hidup di dusun
Kukilo tidak boleh diperlakukan seenaknya, sebatang rumput pun.

------------------------

Setelah terdengar suara pohon tumbang semalam, secara berduyun-duyun
warga mendatangi rumah pakdhe Suro selepas Subuh. Sama sekali tidak
ada yang keluar menghampiri warga dari dalam rumah berdinding kayu
itu, lantaran penghuninya, terkapar lemah tak berdaya. Pakdhe Suro
terlihat terbaring lemah sambil menitikkan air matanya di atas dipan
kayunya. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut
keringnya itu. Hanya sebuah pesan untuk tetap berpegang teguh kepada
nilai-nilai tradisi dan agama.

Setelah mendapat izin dari pakdhe Suro, beberapa warga memasuki hutan
Singomendem, mereka tampaknya menghampiri tempat tumbangnya pohon jati
semalam. Tak berapa lama, mas Keting, salah seorang pemimpin warga
yang memasuki hutan ketika matahari masih merah terlihat tergesa-gesa
mendatangi rumah berdinding kayu bertipe joglo, sambil menggendong
sebuah sosok yang telah dikenali oleh warga yang sejak subuh
berkerumun. Sebuah sosok dengan luka cakaran dan cabikan tajam kuku
tampak tergolek tak berdaya.

"Le, mbah Legi sudah pernah berpesan, jangan sekali-kali mengusik
kehidupan hutan Singomendem", bisik pakdhe Suro ke telinga sesosok
yang tergolek lemah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar