Senin, 16 Januari 2012

Mempertanyakan Ulang KeIndonesiaan Kita

"Eh, dimana itu, bagus ya, luar negeri sepertinya ya"

Sebuah pertanyaan retoris terlontar dari seorang karyawan sebuah
tempat keramaian di dekat ibukota negara. Entah basa-basi menunggu jam
istirahat usai ataukah benar-benar terheran-heran melihat tayangan
televisi siang yang kebetulan saat itu menayangkan program acara anak,
dimana stasiun televisi tersebut menyajikan aktivitas anak-anak dari
daerah Indonesia bagian timur. Selain itu, tim kreatif tayangan
tersebut juga membalutnya dengan keindahan alam Indonesia bagian
timur, yang begitu menakjubkan.

"Ah, itu kan orang-orang pedalaman, lihat saja", salah seorang
karyawan menimpalinya dengan santainya sambil menghembuskan asap
rokoknya.

"Emang itu di Indonesia?"

"Tau deh, kayaknya sih iya, orang pedalaman pokoknya"

"Ada juga yang seperti itu ya"

Sebuah percakapan singkat siang itu sebenarnya terkesan biasa-biasa
saja. Namun, jika ditelisik lebih jauh, tampaknya dua orang karyawan
tersebut dapat jadi mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia
terutama yang tinggal dan menggantungkan hidupnya pada hiruk-pikuk
kota. Mereka berdua dapat jadi sebuah contoh betapa masyarakat
Indonesia belum dan sepertinya juga tidak yakin akan "Indonesia",
sebuah wilayah negara bangsa. Entahlah, sengaja ataukah
ketidaksengajaan, ataukah memang tidak tahu-menahu tentang Indonesia.
Rasa-rasanya mereka adalah sebuah sampel dimana masyarakat negeri ini
hanya mengenal negara Jakarta, negara Surabaya, negara Bandung, dan
lain sebagainya. Entahlah, berapa persen yang mengenal negeri yang
bernama Indonesia ini.

Apatah kondisi seperti ini dapat "menenggelamkan" NKRI dalam rawa-rawa bermetan.

Ketidaktahuan dan ketidaksadaran jika mereka hidup dalam sebuah ceruk
besar yang bernama Indonesia tampaknya telah menjangkiti sebagian
masyarakat muda negeri ini. Sikap tersebut akan menjadi sebuah
karakter masyarakat muda negeri ini dan akhirnya menimbulkan sebuah
rasa ketidakpedulian. Rupa-rupanya kondisi yang demikian itu
kemungkinan muncul akibat mereka terlalu "mengelu-elukan" kehidupan
kota, kehidupan yang serba ada, kehidupan yang menelikung kenyataan di
luar sana. Entahlah.

Umumnya juga, mereka akan merasa alam negeri ini hanya sebatas tempat
mereka hidup dan tinggal. Eksotisme alam dan budaya masyarakat
Indonesia lainnya biasanya dianggap bukan kepunyaan negeri ini.
Tampaknya hanya tersisa sebuah anggapan bahwa negeri ini haruslah
berisikan jalan raya dengan deretan mobil dan kendaraan lainnya yang
antre menyeberang di sebuah perempatan, dengan kanan kiri berhias
bangunan-bangunan bertingkat gaya baru, serta kesibukan karyawan
kantoran dan pekerja yang tidak lupa menenteng sebuah "Blackberry".

Entah, Indonesia yang bagaimanakah yang ada di dalam benak setiap
masyarakat. Sungguh miris jikalau dalam imaji warga negaranya,
Indonesia justru menjelma menjadi ceruk-ceruk kecil. Apatah hilangnya
kesadaran toleransi juga akan muncul akibat kondisi ini, entahlah.

Negeri ini kaya akan budaya, seni, tradisi, bentang alam,
keanekaragaman hayati, kearifan lokal, tradisi, dan keanekaragaman
kehidupan sosial. Itulah yang harus tertanam dalam imaji setiap anak
bangsa.

Namun, entahlah, tidak gampang rasanya. Betapa banyak anak-anak muda
yang di sekolahnya hanya diajarkan ilmu teori dalam text book, hanya
mengejar nilai bagus, dan mengejar masuk ke dalam sekolah dan
perguruan tinggi top nasional juga internasional, serta mengejar masuk
menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan top.

Entahlah, keIndonesiaan kita tampaknya perlu dipertanyakan ulang.

Sabtu, 07 Januari 2012

Rejeki yang Tercaci

Pagi tadi,
Telapak telapak kecil masih bercumbu mesra dengan serasah serasah basah
Riuh menghambur, rumput menghijau pun tak lupa disalami
Riang yang membuncah, tak ubahnya sebuah pesta pora
Senandung parau tak henti hentinya memuja jernih berbulir
Lantaran mereka hidup dalam bayangnya
Sebuah titipan ilahi

Siang ini,
Beribu pasang kaki indah kompak menggerutu, mengutuki masa
Jijik memandang tetesan rembesan bulir bulir jernih
Sebuah anggapan kemalangan rupanya
Tak lupa umpatan beradu, betapa menggelitik hati
Sayup angin pun tertawa
Sayangnya, celoteh mereka pun tak henti henti
Masih mencaci tetesan yang menjadi genangan

Lantas, siapa yang menggali kubangan?

Sore nanti,
Entahlah, tidak bisa ditebak begitu saja
Lantaran hipokrisi masih terwarisi

Bintaro, 8 jan 2012

Kamis, 29 Desember 2011

Suara Untuk Keanekaragaman Hayati

Indonesia di mata dunia dikenal sebagai megabiodiversity country,
lantaran Indonesia merupakan negara yang menjadi tempat
terkonsentrasinya keanekaragaman hayati dunia. Indonesia merupakan
negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi
keanekaragaman hayati benua Asia (Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
pulau-pulau disekitarnya), benua Australia (Papua dan pulau-pulau
disekitarnya) dan wilayah peralihan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan
Nusa Tenggara) sehingga Indonesia dikatakan sebagai salah satu kawasan
pusat keragaman hayati yang terkaya di dunia. Indonesia mempunyai
25.000 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga dunia),
515 spesies mamalia (12% dari jumlah mamalia di dunia), 1500 spesies
burung, 600 spesies reptilia dan 270 spesies amfibi.

Selain itu, adanya keanekaragaman hayati yang berlimpah juga telah
memberi warna tersendiri bagi perkembangan budaya di seluruh
Nusantara, dimana budaya-budaya yang hidup dan tumbuh telah melukiskan
dengan baik keadaan alam Nusantara yang begitu luar biasa. Indonesia,
sebuah negara dan wilayah yang merupakan salah satu contoh terbaik
dari kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Negara-negara lain
ataupun kawasan-kawasan lain juga tak kalah menariknya dengan
Indonesia diantaranya adalah kawasan Asia Tenggara yang lain, India,
Afrika dan kawasan Amerika Latin, wilayah-wilayah tersebut telah
memberi corak kehidupan bagi planet bumi. Keadaan ini tampaknya lebih
disebabkan oleh kawasan-kawasan tersebut mempunyai iklim yang sama
yaitu tropis dan sebagian kecil subtropis, dimana daerah tropis adalah
daerah yang mempunyai kekayaan hayati tebesar dan sebagai penopang
kehidupan semua makhluk hidup di planet bumi. Kawasan tropis identik
dengan hutan rimba yang lebat, fauna-fauna yang eksotik, wilayah yang
hangat sepanjang tahun, pemandangan alam yang menakjubkan dan budaya
yang menawan.

Akhir-akhir ini, isu lingkungan terbesar adalah hilangnya
keanekaragaman hayati, terutama di negara-negara tropis yang mempunyai
keanekaragaman hayati terbesar. Kerusakan dan hilangnya keanekaragaman
hayati sudah mencapai tingkat yang membahayakan dengan perkiraan
apabila penebangan hutan terjadi terus menerus maka sekitar 5 – 10 %
spesies yang ada di dunia akan punah setiap sepuluh sampai 30 tahun
mendatang. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kerusakan
keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia, yaitu adanya pembalakan
liar, pembangunan besar-besaran/mega proyek seperti pembuatan jalan
raya atau pemukiman yang menembus hutan ataupun kawasan konservasi,
pembangunan bendungan/waduk secara besar-besaran yang mengambil
sebagian atau seluruh kawasan konservasi dan kegiatan pertambangan di
kawasan konservasi, serta adanya perkebunan yang menggantikan
heterogenitas tanaman hutan.
Selain itu, penyebab kerusakan keanekaragaman hayati yang tak kalah
hebatnya adalah kepentingan ekonomi dimana terjadi peningkatan
kegiatan industri yang selama ini cenderung tidak ramah lingkungan.
Selama ini, tampaknya mayoritas kegiatan ekonomi yang telah terjadi di
Indonesia dan juga dunia adalah kegiatan ekonomi yang hanya mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya dengan cara eksploitasi alam dan
lingkungan melalui peningkatan industrialisasi yang masif, tidak ramah
lingkungan, kehidupan sosial dan budaya. Dengan hadirnya kemajuan
"teknologi" untuk mendukung kegiatan ekonomi negara, maka eksploitasi
alam pun semakin meningkat misalnya adalah upaya untuk menggantikan
keanekaragaman menjadi keseragaman dan monokultur pada sektor
kehutanan, perikanan, pertanian dan peternakan. Misalnya adalah
melalui penerapan revolusi hijau dalam bidang pertanian, revolusi
putih dalam bidang perusahaan peternakan (perusahaan susu) dan
revolusi biru dalam bidang perikanan.

Kerusakan sumberdaya hayati di planet bumi yang telah ditunjukkan
terutama negara-negara di kawasan tropis, terutama Indonesia akan
terus berlanjut apabila belum ada kesadaran dari semua pihak, baik
masyarakat, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, dan pelaku industri.
Untuk menghentikan kerusakan alam ini setidaknya diperlukan semangat
individu-individu yang punya idealisme tinggi untuk menyelamatkan alam
atau dalam kata lain diperlukan suara-suara baru yang menyuarakan
ketidakadilan dan ketidakpedulian sebagian besar umat manusia terhadap
planet bumi.

Apabila populasi masyarakat bumi saat ini semakin meningkat, maka tak
diragukan lagi bahwa laju kerusakan alam dan sumberdaya hayati bumi
akan meningkat pula dengan tajam, karena kecenderungan manusia yang
selalu berpikian materi tanpa berpikiran koservasi. Kondisi seperti
ini haruslah diimbangi dengan munculnya individu-individu yang berani
"bersuara" untuk planet bumi. Menyuarakan saja kadang tidak cukup
berdampak, lantaran wajah planet bumi yang sudah semakin parah, maka
diperlukan suatu langkah "lain" untuk merubah kondisi seperti ini,
salah satu cara yang mungkin bisa diterapkan adalah dengan melakukan
kajian atau riset yang mendalam tentang keanekaragaman hayati,
kekayaan alam, dampak perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan,
serta memberikan pemahaman kepada masyarakat umum atau peningkatan
public awarenes mengenai alam, lingkungan dan keanekaragaman hayati,
dan juga edukasi. Kajian seperti ini tampaknya tidak hanya menjadi
ranah ilmuwan dalam lembaga riset, tetapi sangat bisa dilakukan oleh
setiap individu yang punya kepedulian.

Dengan riset atau kajian, tampaknya akan mudah diperoleh kebenaran
yang mungkin bisa digunakan untuk membantu pemerintah dalam merubah
dan atau membuat kebijakan mengenai alam, keanekaragaman hayati,
lingkungan, dan sosial-budaya. Sedangkan edukasi dan peningkatan
public awareness lebih bertujuan untuk menata hati masyarakat dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam kelestarian keanekaragaman
hayati, yang selama ini hidup bersinggungan dengan alam dan
lingkungan, langsung atau tidak langsung. Apabila hal ini dilakukan,
maka masa depan planet bumi akan lebih baik. Kita harus selalu
berpikiran bahwa kekayaan alam yang ada di planet bumi ini adalah
titipan untuk generasi masa depan, bukanlah warisan.

Selasa, 27 Desember 2011

Akhir Kisah Dusun Bathok

Tak pernah sepi, begitulah sepotong kalimat yang selalu terlontar oleh
siapa saja ketika menginjakkan kaki di dusun Bathok. Jauh dari
hiruk-pikuk kehidupan glamor kota besar, tidak menghalangi kemeriahan
suasana dusun Bathok setiap hari. Sebuah dusun yang tidak begitu luas
dan hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Laut Jawa, hutan
mangrove, dan hutan jati, adalah tiga titik yang merupakan pembatas
dusun dari dusun-dusun sekitar, bahkan bisa dibilang bahwa dusun
Bathok merupakan tipe wilayah yang terisolir dari wilayah sekitar.
Hanya terdengar gesekan dedaunan dan lantang suara warga ketika siang,
serta hanya terpancar kelip kunang-kunang dan redup cahaya teplok kala
gelap menjelang, lantaran listrik belum dikenal warga.

Riuh tawa anak-anak selalu mengiringi waktu di dusun Bathok,
menghambur menyesaki setiap sudut dusun. "Mereka adalah rejeki, jadi
biarkan langkah mereka menjejaki setiap jengkal tanah dusun, biar
rejeki itu mengaliri dusun Bathok", begitulah ujar mbah Sukun,
satu-satunya tetua dusun yang sudah berumur hampir sembilan puluh
tahun.

Hampir semua warga dusun Bathok lebih memilih berkarya di dusunnya
sendiri, lantaran anggapan bahwa dusun Bathok lebih memberikan
keselamatan bagi mereka, walaupun pada akhirnya mereka harus rela
menerima kehidupan yang sederhana. Petani kopra, petani singkong,
nelayan, peternak kambing, dan pencari kayu bakar, lima mata
pencaharian yang telah dilakoni warga dusun Bathok selama puluhan
tahun. Tidak pernah terdengar keluhan warga. Mereka merasa, dusun
Bathok sebagai ibu, dan mbah Konyik sebagai bapak. Dua sosok itulah
yang selalu memanjakan seluruh warga dusun. Menurut mereka, kehidupan
kota di luar dusun sangatlah kurang beradab. Hilangnya separuh hutan
jati di dusun Bathok adalah ulah masyarakat kota, begitulah anggapan
mereka.

Walaupun sama sekali tidak ada bangunan sekolah formal di dusun
Bathok, warga dusun tetap mengerti tentang baca dan tulis, bahkan bisa
dibilang semua warganya paham betul perihal membaca dan menulis, baik
huruf latin maupun huruf arab. Inilah yang dianggap aneh oleh
orang-orang kota atau dusun tetangga, bahkan ada yang menganggap
mereka mewarisi ilmu laduni. Namun, anggapan tersebut tampaknya tidak
selalu benar, lantaran warga dusun mempunyai tradisi pamong, dimana
warga dewasa ataupun tua yang lebih pandai akan mengasuh warga muda
dalam segala hal atau lebih tepatnya mereka akan menurunkan ilmu
pengetahuannya kepada warga muda.

---------------------

Dusun Bathok, sebuah wilayah dataran rendah di tepi laut Jawa dianggap
oleh sebagian warga kota dan dusun tetangga sebagai wilayah yang
menyimpan misteri, bahkan ada anggapan bahwa warga dusun Bathok adalah
orang-orang yang aneh, lantaran mereka jarang berinteraksi dengan
warga dusun sekitar dan bahasanya pun dianggap berbeda dengan bahasa
jawa yang lazim digunakan oleh warga di kota yang menaungi dusun
Bathok. Sampai saat ini pun belum ada yang tahu sejarah dan seluk
beluk dusun Bathok. Beberapa anggapan yang pernah dipercaya warga
dusun sekitar ialah mereka, warga dusun Bathok bukan orang asli
wilayah itu, mereka berasal dari daerah lain yang kemudian membangun
sebuah dusun di tengah-tengah hutan mangrove dan rimbunnya hutan jati,
tidak ada yang tahu dari mana asal mereka, hanya anggapan bahwa mereka
berasal dari negeri seberang. Sedangkan anggapan lain yang juga
dipercaya warga adalah warga dusun Bathok sebenarnya adalah
orang-orang buangan sejak jaman Majapahit, lantaran mereka dianggap
memberontak kala itu, mereka diisolasi di tengah-tengah hutan jati
dengan harapan mereka tidak akan bisa keluar dari hutan itu. Namun,
anggapan-anggapan seperti itu nampaknya hanya menjadi bumbu-bumbu
kehidupan yang menghiasi suasana dusun-dusun sekitar dusun Bathok dan
juga dusun Bathok sendiri.

Meskipun penuh misteri, warga dusun Bathok dikenal dengan jiwa
sosialnya yang tinggi. Pernah suatu ketika dusun tetangga mengalami
musim paceklik, dengan serta merta warga dusun Bathok membagikan hasil
buminya ke seluruh dusun yang dilanda paceklik, dan sampai sekarang
pun mereka masih suka membagikan sebagian hasil buminya ke wilayah
yang kekurangan, tidak tanggung-tanggung, beberapa ekor kambing pun
pernah disumbangkan untuk membantu dusun Cemong, dusun yang terkenal
karena ketandusannya. Selain itu, mereka sering menyumbangkan dana
untuk pembangunan masjid di dusun Kesemek, salah satu tetangga dusun.
Walaupun banyak anggapan bahwa warga dusun Bathok sama sekali tidak
mengenal uang.

Setiap bulan purnama, warga dusun Bathok akan berkumpul di sekitar
rumah gebyok tempat tinggal mbah Sukun. Rumah mbah Sukun, begitulah
warga menamainya, terletak agak jauh dari rumah-rumah warga lainnya.
Tidak ada yang tahu usia rumah mbah Sukun, mungkin puluhan dan atau
ratusan tahun. Tepat di tengah-tengah hutan jati, rumah mbah Sukun
berdiri kokoh. Meskipun lokasinya yang jauh dari pemukiman sebagian
besar warga, setiap hari selalu ramai dikunjungi oleh warga, dan
puncaknya terjadi kala malam dengan bulan penuh. Malam purnama
dianggap sebagai malam yang penuh berkah. Menghambur riuh, sambil
menikmati sajian panganan dari hasil bumi, begitulah suasana setiap
malam purnama. Lagu-lagu dolanan yang keluar dari mulut-mulut mungil
serasa tidak mau kalah dengan celoteh guyon-guyonan orang dewasa.

Hampir seluruh warga dusun Bathok yang menyesaki rumah gebyok mbah
Sukun kala malam bulan penuh selalu menunggu wejangan dari mbah Sukun.
Biasanya wejangan itu keluar menjelang tengah malam. Tidak hanya itu,
mereka juga selalu berharap melihat kemunculan mbah Konyik.
Bulan-bulan sebelumnya, mbah Konyik selalu menampakkan diri sebelum
wejangan dilontarkan oleh mbah Sukun. Di atas batu kali, di bawah
pohon beringin di sela-sela rerimbunan hutan jati itulah mbah Konyik
selalu merebahkan tubuhnya kala malam purnama. Menurut anggapan warga,
jika mbah Konyik menampakkan dirinya saat malam purnama, maka
kesejahteraan dan kemakmuran akan menghampiri dusun Bathok selama satu
bulan penuh.

Mbah Sukun, di usianya yang renta tidak pernah bosan berujar
mengingatkan warganya untuk selalu guyub rukun, murah senyum,
menghormati alam, tradisi lokal, dan selalu ikhlas. Beliau bertubuh
kurus namun tinggi, berkulit sawo matang, berambut panjang dengan uban
hampir mendominasi helai rambutnya, dan anehnya, di wajahnya tidak
memperlihatkan kerut-kerut ketuaan. Beliaulah satu-satunya tetua dusun
yang masih hidup sampai sekarang. Mbah Sukun dianggap sebagai orang
yang mempunyai kelebihan dan beliau juga merupakan keturunan leluhur
yang membangun dusun Bathok. Rumah gebyok di tengah hutan merupakan
satu-satunya harta yang dimiliki mbah Sukun. Namun, mbah Sukun pernah
berujar bahwa harta yang tak ternilai bagi beliau adalah ketentraman
dusun Bathok. Rumah beliau juga diperuntukkan untuk semua warga, atau
dengan kata lain, mbah Sukun membuka pintu bagi semua warga yang ingin
menggunakan rumah gebyoknya untuk kepentingan umum dusun Bathok.

-----------------------------

Mbah Konyik dianggap warga sebagai bapak dusun, atau dengan kata lain
beliau dianggap sebagai penjaga lingkungan dusun Bathok. Gelegar
suaranya setiap senja selalu dinanti oleh setiap warga dusun. Suara
yang biasanya dianggap ancaman oleh orang umum itu dianggap oleh warga
dusun sebagai pertanda dan pengingat. Sebuah pertanda tentang
kemakmuran dan kesejahteraan, dan pengingat untuk menghentikan segala
aktivitas di kebun dan ladang untuk bersegera menghadap Sang Pencipta.
Tampaknya tidak ada satu warga pun yang mengetahui riwayat mbah
Konyik, kecuali mbah Sukun. Ada anggapan bahwa mbah Konyik sebenarnya
adalah saudara mbah Sukun, lantaran berbeda fisik, mbah Konyik
mengalah dan memilih hidup di dalam hutan jati. Namun, kabar tersebut
tampaknya hanya menjadi cerita pemanis dusun saja karena mbah Sukun
pun tidak pernah membenarkan cerita perihal mbah Konyik. Hanya mbah
Sukun pernah berujar bahwa mbah Konyik-lah yang sebenarnya mempunyai
wilayah yang sekarang bernama dusun Bathok.

Sudah berpuluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun lalu, setiap tanggal
satu penanggalan Jawa, warga dusun selalu memberikan sesajen berupa
daging kambing kepada mbah Konyik. Mbah Sukun mengungkapkan bahwa
sesajen yang diberikan warga lebih merupakan wujud menghargai dan
menghormati keberadaan mbah Konyik, tidak ada maksud lainnya.

---------------------

Sudah dua hari ini, warga tidak mendengar suara khas mbah Konyik kala
senja menjelang. Tidak ada yang tahu kemana mbah Konyik berada. Hampir
semua warga merasa khawatir kalau-kalau mbah Konyik tidak menampakkan
diri lagi di dusun Bathok, hal ini diyakini sebagai pertanda buruk
bagi dusun. Mereka juga resah lantaran sejak pagi ini, warga dusun
belum menjumpai mbah Sukun. Biasanya mbah Sukun tidak pernah
melewatkan menjadi imam warga di langgar kecil tak jauh dari rumah
gebyok mbah Sukun setiap subuh, langgar Al-Ikhlas namanya. Pak Blarak,
salah satu warga berujar bahwa kondisi kesehatan mbah Sukun sebenarnya
agak terganggu sejak satu minggu ini. Namun, warga menganggap sakit
yang diderita mbah Sukun hanyalah masuk angin biasa lantaran mbah
Sukun akhir-akhir ini sering keluar malam, bahkan beliau sering tidak
tidur kala malam, entah apa yang dilakukan mbah Sukun, seorang warga
pun tidak ada yang mengetahuinya sampai hari ini.

Beberapa warga sudah pernah menanyakan alasan kegiatan mbah Sukun
setiap malam, bahkan mereka juga sempat melarang mbah Sukun melakukan
hal itu. Namun, mbah Sukun hanya bungkam dan tetap saja beliau
melakukannya setiap malam. Beberapa warga meyakini bahwa apa-apa yang
dilakukan mbah Sukun mempunyai makna bagi kehidupan dusun Bathok.
Sejak keanehan itu muncul, sekitar satu minggu lalu, warga selalu
berusaha meringankan sakit yang diderita mbah Sukun, mereka secara
bergiliran memasak makanan dan meramu jamu untuk mbah Sukun.

Hari ini, keresahan benar-benar melanda kehidupan warga dusun Bathok.
Beberapa warga merasa tidak nyaman kala meladang lantaran mereka
memikirkan keselamatan mbah Sukun. Bahkan, kondisi hari ini
benar-benar kontras, berbeda dengan hari kemarin. Riuh suara anak-anak
yang berpadu dengan angin laut tidak terdengar hari ini, entah kenapa,
tetapi tampaknya lebih dikarenakan adanya perintah larangan dari orang
tua mereka untuk tidak keluar rumah sebelum mbah Sukun kembali ke
dusun. Warga benar-benar merasa bahwa sebuah keburukan akan melanda
dusun Bathok.

-------------

Beberapa warga dewasa terlihat memadati halaman rumah mbah Sukun. Pak
Blarak-lah yang mengumpulkan mereka. Dengan lantang, pak Blarak
memerintahkan kepada segenap warga dusun untuk mencari mbah Sukun,
beliau juga berujar bahwa beliau tidak akan pulang sebelum mbah Sukun
ketemu. Kejadian seperti ini nampaknya baru pertama kali terjadi.
Pencarian tersebut akan diawali setelah waktu ashar.

-------------------

Sahut-sahutan kicau burung wiwik beserta suara bedug dan adzan maghrib
dari langgar-langgar dusun tetangga menemani rombongan pak Blarak kala
menyusuri gelapnya hutan jati. Tak henti-hentinya mereka melontarkan
panggilan-panggilan kepada mbah Sukun, dan sesekali untuk mbah Konyik.
Pandangan mata yang diterangi obor pun dilemparkan jauh ke celah-celah
antara pohon jati dan semak-semak. Gelap semakin memayungi hutan jati,
hasil belum juga didapat, hanya suara-suara marah monyet-monyet ekor
panjang yang merasa terganggu.

Dengan komando pak Blarak, rombongan kecil itu masuk jauh ke arah
barat daya hutan jati. Entah apa yang sedang dituju pak Blarak, belum
ada yang tahu. Setiap orang dalam rombongan hanya melontarkan
suara-suara panggilan. Arah barat daya merupakan salah satu perbatasan
dusun Bathok dengan dusun Gedhebog, sebuah dusun yang konon dihuni
oleh kelompok penebang hutan dan pemburu. Warga dusun Gedhebog
terkenal sadis dan kejam dalam memperlakukan siapa saja yang
menghalangi aksinya. Konon, mereka adalah orang-orang suruhan salah
satu perusahaan perkebunan.

---------------

Suara rintihan itu semakin jelas, tampaknya berasal dari sebuah tanah
lapang yang membatasi hutan jati dusun Bathok dengan dusun Gedhebog.
Rombongan warga pun bersegera menuju tempat itu.

----------------

Pancaran beberapa obor cukup menerangi apa yang terjadi di tempat itu.
Noda-noda merah terlukis diantara hijaunya rumput dan dedaunan kering.
Tak hanya itu, rambut-rambut berwarna hitam, coklat, dan kemerahan
bertebaran di sekitar sesosok renta yang terbaring lemas. Bukan hanya
terbaring lemas, tetapi tubuh itu telah kehilangan ruhnya, beberapa
luka terlihat menembus perut dan dadanya. Seketika pembawa obor
bersimpuh mengelilingi sosok renta itu.

--------------------------

Sudah dipastikan tidak akan ada lagi wejangan-wejangan bijak yang
keluar kala malam bulan penuh, serta juga tidak akan ada lagi yang
namanya bapak dusun, yang menampakkan diri di sebuah batu kali, di
atas pohon beringin tua sebelum wejangan dilontarkan kala malam
purnama. Dan suara-suara khas kala senja pun tidak akan pernah muncul
lagi. Misteri dusun Bathok pun tidak akan bisa ditelusuri jejaknya
lantaran seorang renta pembawanya telah tiada bersama seekor harimau
jawa terakhir.

Sabtu, 24 Desember 2011

sendu daun

selembar daun
terlepas dari tangkai
jatuh
entah hijau entah kuning
sudah tidak bermakna lagi
bagi mereka,
yang terdiam dalam teduhnya kubah emas

meskipun itu daun terakhir

sepotong langit biru,
menunggu habis dilumat pekat jaman
lantaran biru dianggap antimodern

oh, hipokrisi yang melingkar

hanya angka yang hadir dalam kepala
lantaran angka merujuk khazanah
yang patut dilahap

cicitan kukila pun dianggap ancaman

sendu, terdengar bak gemuruh angin gunung
lantaran rimba tak bisa memberontak

gersang pun akhirnya melanda


bintaro, 24 desember 2011

Rabu, 14 Desember 2011

Sebuah Pesan Save Our Wildlife dari Pinggiran Jakarta

"Dok, bisa menangani monyet ga?", tanya seorang pemilik seekor monyet
ekor panjang di depan pintu masuk sebuah klinik hewan.

"Saya coba ya bu, silakan bu!"

Ibu pemilik monyet tersebut terlihat mengeluarkan seekor monyet ekor
panjang dengan kondisi kepayahan dari dalam sebuah tas. Serta-merta
ibu tersebut menyebutkan namanya, "Nyet namanya dok". Sekilas terlihat
bahwa monyet ekor panjang tersebut masih berusia muda, kira-kira
berumur enam bulan-an.

"Kalau boleh tahu keluhan si Nyet apa ya bu?"

"Begini dok, sejak kemarin si Nyet kok batuk-batuk, napasnya kelihatan
sesak dan nafsu makannya langsung menurun, lemas juga dok."

"Saya periksa dulu ya bu, o ya, kalau boleh tahu apakah di rumah ada
yang lain selain si Nyet?"

"Ada tiga ekor lagi dok, tapi yang lemas cuma si Nyet."

-------------------

"Begini ya bu, kalau kondisinya seperti ini, saya takutnya si Nyet
terserang tuberculosis, dan penyakit ini bisa menular ke manusia."

"Terus saya harus bagaimana ya dok?, di rumah ada anak kecil juga."

"Sebaiknya ibu periksakan ke rumah sakit hewan untuk memastikan
kemungkinan tuberculosis, dan satu hal lagi bu, si Nyet-Nyet kan
termasuk satwa liar jadi sebaiknya ibu tidak memelihara satwa liar
lagi, karena ada resiko penularan penyakit ke manusia."

"Terus bagaimana ya dok?"

"Kalau mau, ibu bisa menghubungi Pusat Penyelamatan Satwa yang
terdekat, nanti saya carikan alamatnya."

----------------

Sebuah obrolan di siang hari antara pemilik satwa liar di sebuah
klinik hewan di pinggiran Jakarta yang menggambarkan betapa masyarakat
kota besar masih menganggap satwa liar sebagai pet animal. Satwa liar
menurut mereka, telah disamakan dengan hewan-hewan kesayangan domestik
lainnya, entah alasan apa yang mendasarinya, beberapa mengatakan bahwa
mereka sayang terhadap satwa liar. Inilah anggapan yang harus
diluruskan, sayang terhadap satwa liar bukanlah berarti memeliharanya
dalam sangkar atau dirantai. Sayang terhadap hewan adalah memberikan
hak hewan dalam prinsip animal welfare. Terdapat perbedaan antara
kesejahteraan hewan domestik dan satwa liar. Jelas, satwa liar dalam
kodratnya tidak diperuntukkan untuk dielus atau disangkarkan seperti
anjing atau kucing, mereka akan merasa bahagia jika dibiarkan dan
dijaga kelesetariannya di habitatnya. Jadi sayang terhadap satwa liar
harus ditunjukkan dengan menjaga kelestariannya. Selain itu, beberapa
zoonosis telah dilaporkan terdapat pada satwa liar, jadi semakin dekat
jarak manusia dengan satwa liar, maka kemungkinan penyakit baru akan
muncul lebih besar, bahkan bisa menjadi wabah dan juga pandemi. Contoh
saja SARS dan flu burung yang telah menggemparkan dunia internasional.

Sudah saatnya berkata "Stop Memelihara dan Memperdagangkan Satwa
Liar", serta saatnya berujar "Lestarikan Satwa Liar beserta Habitatnya
Mulai Sekarang"

Kamis, 08 Desember 2011

Secuil Kisah di Dusun Kukilo

Masih terlihat onggokan tak beraturan dari sejumlah jajanan pasar yang
telah mengering. Beberapa bahkan terlihat berceceran agak masuk ke
rerimbunan hutan. Sunyi, begitulah kesan yang terlihat siang ini,
hanya bunyi gesekan-gesekan dedaunan, ranting, dan batang-batang bambu
yang tertiup angin, kadang disertai dengan kicauan cerukcuk, kutilang,
dan sesekali prenjak. Tidak terlihat gerak-gerik warga siang ini,
bahkan rumah berdinding kayu jati tak jauh dari pohon beringin tempat
onggokan sampah jajanan pasar itu terlihat tutup, tidak ada aktivitas
manusia sama sekali.

-------------------------

Hamparan tanaman singkong yang tidak begitu luas tampaknya telah
menjadi wahana sosialisasi masyarakat dusun Kukilo. Hampir setiap
hari, tidak kenal tanggal merah, mereka selalu berhambur menggarap
kebun singkong peninggalan leluhur, salam sapa dan riuh senda gurau
pun selalu menghiasi gersangnya kebun singkong, dari pagi sampai sore
menjelang. Tidak pernah ada keluh kesah dan ego pribadi, kebun itu
telah dianggap milik bersama yang harus dikelola bersama untuk
kemakmuran dusun. Bertani singkong, merupakan satu-satunya pekerjaan
yang bisa dilakukan oleh hampir semua warga dusun Kukilo, lantaran
tandusnya lahan telah menghalangi tumbuhnya tanaman pangan lainnya.

Meskipun tandus dan miskin sumber air, tidak pernah terdengar keluhan
warga akan kesulitan dan kerasnya hidup di daerah itu. Mereka
beranggapan dengan kondisi seperti itu, dusun Kukilo menjadi lebih
tenteram dan raharja. Dalam bertani, mereka telah menerapkan sistem
pembagian kerja, secara bergilir, mereka akan bergantian menggarap
kebun singkong, mencari air ke dusun tetangga, mengolah hasil panen,
serta menjualnya ke kota terdekat. Tidak ada rasa iri diantara warga
dusun, lantaran anggapan bahwa rejeki sudah diatur oleh Pencipta. Bagi
hasil panen pun dibagikan adil merata melalui musyawarah warga. Adalah
mbah Legi, warga yang dituakan, selalu menjadi pemimpin musyawarah
bagi hasil, bahkan hampir semua musyawarah dusun. Tidak hanya itu,
mbah Legi telah berperan dalam menjaga nilai-nilai tata krama,
tradisi, serta menjadi imam desa dalam kegiatan keagamaan.

Guyub, begitulah kesan yang bisa disematkan untuk kehidupan warga
dusun Kukilo. Tak heran, kala matahari mulai meredup, renyuh tawa
pelepas lelah bekerja selalu menghiasi suasana dusun. Singkong rebus,
singkong goreng, gaplek, gatot, tiwul, dan teh, beberapa jenis
hidangan yang selalu tersaji di beranda setiap rumah dan telah
menemani suasana guyub itu sekian lama. Riuh tawa cengkerama warga
dusun pun tidak pernah berhenti saat gelap menyelimuti dusun, bahkan
semakin menjadi-jadi. Biasanya mereka akan berkumpul di halaman rumah
mbah Legi kala malam, dengan diterangi beberapa lampu teplok, obrolan
demi obrolan akan berlanjut menyusup ke dalam malam yang semakin
larut.

Meskipun mbah Legi sudah wafat sekitar lima bulan lalu, rumah beliau
masih tetap dipadati warga dusun Kukilo setiap malam, bercengkrama
akrab di halaman rumah kecil itu diiringi alunan campursari dari
sebuah radio kuno, sambil sesekali mengenang jasa-jasa mbah Legi.
Rumah kecil itu berdinding kayu jati dan bertipe joglo, dengan
dipayungi oleh kerindangan pohon beringin tua dan beberapa rumpun
bambu, tampak begitu asri dan teduh. Kesan sebagai rumah tua dapat
terlihat dari warna dindingnya yang telah kusam. Secara aturan adat,
rumah mbah Legi ditetapkan sebagai patok dusun, atau dengan kata lain
telah ditetapkan sebagai pembatas antara dusun Kukilo dengan hutan
Singomendem. Warga pun menganggap bahwa semua aktivitas warga harus
dipusatkan di rumah mbah Legi.

Suro dan Lowo, dua orang yang sekarang menghuni rumah peninggalan mbah
Legi. Pakdhe Suro, begitu warga dusun memanggilnya, beliau adalah anak
satu-satunya mbah Legi, dan tampaknya telah dinobatkan oleh warga
dusun sebagai pengganti mbah Legi. Sedangkan mas Lowo, yang merupakan
anak pakdhe Suro dan satu-satunya cucu mbah Legi tampaknya tidak
begitu mewarisi kebijaksanaan kakeknya. Sepeninggal mbah Legi, fungsi
kepemimpinannya telah diambil alih oleh pakdhe Suro, tidak hanya
memimpin dusun Kukilo, beliaupun juga menjadi juru kunci hutan
Singomendem.

Tidak berbeda dengan dusun Kukilo, hutan Singomendem juga mempunyai
kondisi tanah yang tandus dan gersang, sama-sama bertanah kapur. Hanya
pohon-pohon berkayu keras dan semak belukar yang tumbuh di dalam sana.
Namun, hutan itu telah menjadi kebanggaan warga dan sekaligus
dikeramatkan oleh warga dusun Kukilo. Sejarah dikeramatkannya hutan
Singomendem memang belum banyak terungkap, hanya menurut beberapa
warga, hutan Singomendem adalah tempat pertapaan para pendiri dusun
sebelum mereka membangun dusun Kukilo, menurut mereka, keberadaan gua
dan bongkahan batu kali berukuran besar merupakan bukti bahwa tempat
itu adalah tempat pertapaan jaman dulu. Sedangkan beberapa warga
lainnya mengatakan bahwa hutan Singomendem adalah tempat berkumpulnya
arwah leluhur. Sampai sekarang belum ada yang tahu sejarah hutan
Singomendem dan dusun Kukilo sebenarnya.

Hutan Singomendem, tampaknya telah menyandang predikat sebagai hutan
larangan. Berdasarkan aturan tidak tertulis yang dibuat oleh leluhur,
setiap warga dusun Kukilo tidak diperbolehkan mengusik ketenangan dan
kehidupan makhluk hidup di kawasan hutan, atau dengan kata lain tidak
diperbolehkan berburu dan menebang pohon sembarangan. Hanya,
diperbolehkan memanfaatkan dari apa yang hidup di dalam hutan, dan itu
pun harus berdasar pada musyawarah warga. Karena sebagian besar yang
hidup di hutan Singomendem adalah pohon jati, pernah suatu ketika,
beberapa penebang pohon liar dari dusun tetangga nekat masuk ke hutan
dengan niatan untuk menebang jati, akibatnya peristiwa misterius pun
terjadi, beberapa diantaranya serta-merta buta, lainnya pingsan,
kejang, dan akhirnya meninggal dunia. Tidak hanya itu, beberapa
pemburu burung yang nekat masuk ke sana pun dikabarkan mengalami hal
serupa, bahkan ada yang ditemukan tewas dengan luka cakar dan cabikan.
Sesuai tradisi, setelah ada gangguan terhadap hutan Singomendem,
serta-merta warga akan menggelar ritual tolak bala, tepatnya di bawah
pohon beringin tidak jauh dari rumah mbah Legi.

"Siapapun yang berniat jelek di dusun ini dan hutan Singomendem, maka
kejelekan itu akan berbalik", begitu ujar pakdhe Suro.

Musim kemarau panjang tahun ini sama sekali tidak mempengaruhi hasil
panen warga. "Alhamdulillah, dusun tetap raharja, gemah ripah loh
jinawi, masyrakatnya guyub, lantaran warga tetap menjunjung tradisi
adiluhung dan ingat dengan gusti Allah", begitulah ujar pakdhe Suro
ketika ditanya dampak kemarau panjang yang melanda hampir di seluruh
negeri.

Dusun Kukilo memang tipe daerah mandiri dan berdikari, sama sekali
tidak terlihat program-program pemerintah berjalan di wilayah itu,
hanya sebuah tangki air berwarna biru bertuliskan "Proyek Departemen
PU" bertengger tidak jauh dari rumah peninggalan mbah Legi. Menurut
penuturan pakdhe Suro, tangki itu dulunya dilengkapi oleh pipa-pipa
yang mengalirkan air dari pusat penampungan air PDAM di pusat kota
untuk memasok air ke dusun Kukilo, tetapi program pemerintah itu hanya
berjalan dua minggu, pasokan air pun akhirnya terhenti, bahkan sampai
saat ini, tidak pernah ada setetes air pun bantuan pemerintah.
Sehingga, secara bergilir, dengan membawa jeligen-jeligen air, warga
mencari air ke dusun-dusun tetangga untuk ditampung di tempat tangki
air besar itu.

-------------------------

Angin kering yang berhembus siang itu tidak menyurutkan rasa marah mas
Lowo kepada bapaknya, tampaknya akibat larangan pakdhe Suro, mas Lowo
nekat menggebrak-gebrak dinding kayu rumahnya. Menurut warga yang
sedang menggarap kebun singkong, pertikaian siang itu dipicu oleh
niatan mas Lowo yang hendak menebang sebagian pohon jati yang tumbuh
di dalam hutan Singomendem. Entah apa alasan mas Lowo berlaku
demikian, belum ada yang mengetahuinya dengan pasti.

Bukan kali ini saja mas Lowo berbuat kasar kepada bapaknya. Menurut
penuturan warga, sepeninggal kakek dan ibunya, perangai mas Lowo telah
berubah, dia gampang sekali emosi dan melakukan apa saja yang
diinginkannya, suatu ketika dia pernah melubangi tangki air dusun,
lantaran kemauannya tidak dituruti oleh pakdhe Suro, waktu itu dia
meminta sebuah sepeda motor. Entah setan apa yang telah menyebabkan
begitu. Temannya pernah bercerita bahwa kehidupan kota-lah yang telah
mengubahnya. Memang, sejak setahun lalu, mas Lowo pernah bersekolah
dan bekerja di kota yang tidak begitu jauh dari dusun Kukilo. Dia-lah
satu-satunya pemuda dusun yang bersekolah sampai perguruan tinggi kala
itu.

Seminggu yang lalu, dia berhasil menebang dua pohon jati dan akhirnya
menjualnya. Kemarahan warga pun sebenarnya tumpah, tetapi lantaran
mereka masih menghormati keluarga pakdhe Suro, amarah warga pun
teredam. Warga menganggap apa pun makhluk hidup yang hidup di dusun
Kukilo tidak boleh diperlakukan seenaknya, sebatang rumput pun.

------------------------

Setelah terdengar suara pohon tumbang semalam, secara berduyun-duyun
warga mendatangi rumah pakdhe Suro selepas Subuh. Sama sekali tidak
ada yang keluar menghampiri warga dari dalam rumah berdinding kayu
itu, lantaran penghuninya, terkapar lemah tak berdaya. Pakdhe Suro
terlihat terbaring lemah sambil menitikkan air matanya di atas dipan
kayunya. Tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut
keringnya itu. Hanya sebuah pesan untuk tetap berpegang teguh kepada
nilai-nilai tradisi dan agama.

Setelah mendapat izin dari pakdhe Suro, beberapa warga memasuki hutan
Singomendem, mereka tampaknya menghampiri tempat tumbangnya pohon jati
semalam. Tak berapa lama, mas Keting, salah seorang pemimpin warga
yang memasuki hutan ketika matahari masih merah terlihat tergesa-gesa
mendatangi rumah berdinding kayu bertipe joglo, sambil menggendong
sebuah sosok yang telah dikenali oleh warga yang sejak subuh
berkerumun. Sebuah sosok dengan luka cakaran dan cabikan tajam kuku
tampak tergolek tak berdaya.

"Le, mbah Legi sudah pernah berpesan, jangan sekali-kali mengusik
kehidupan hutan Singomendem", bisik pakdhe Suro ke telinga sesosok
yang tergolek lemah itu.