Minggu, 13 Juli 2014

Coretan Pagi Tentang Pohon



Mungkin tidak banyak yang menyadari betapa uniknya sebuah pohon di suatu kota besar yang sangat ramai. Pohon layaknya seorang ibu yang menjadi tempat keluh kesah orang-orang yang capek dan lelah setelah mengadu nasib di kala siang hari, lihatlah banyak dari mereka yang berteduh di bawahnya sambil mengadu tentang nasib-nasibnya. Pohon juga layaknya seorang teroris bagi kehidupan kota besar, karena sewaktu-waktu akan mengancam mewahnya kehidupan orang-orang kota, lihatlah ketika pohon ambruk menimpa sebuah mobil mewah. Pohon juga layaknya seorang rakyat kecil yang siap-siap digusur bahkan dimatikan hak hidupnya kala kebutuhan kota sedang tidak membutuhkan kehadiran pohon, tetapi membutuhkan tembok-tembok beton. Pohon juga layaknya papan reklame gratis, yang setiap saat bisa ditempeli papan-papan iklan.

Untunglah mereka, pohon, tidak atau memang belum dapat berbicara, protes, dan bahkan melakukan gerakan people power kepada manusia kota. Mereka hanya sambat dan prihatin, betapa munafiknya makhluk yang namanya manusia kota. Mereka, manusia kota, menganggap pohon hanyalah “perusak” sebuah rencana pembangunan kota besar, tetapi di sisi lain, mereka sering berbondong-bondong menikmati keteduhan pepohonan di kala bebas aktivitas kantor. Tidak sedikit pohon di kota besar yang “diculik” dan dihilangkan hak hidupnya hanya untuk sebuah pembangunan fisik kota, yang menurut pribadi ini merupakan pembangunan yang absurd.

“Apa salahnya sebuah pohon di kota besar?”, mereka hidup bukan untuk mereka sendiri, melainkan hidup untuk mendukung kehidupan makhluk lain. Jika akar-akar mereka merusak trotoar atau aspal, itu bukan salah mereka, karena mereka membutuhkan sedikit kemauan manusia untuk berbagi dengan mereka. Apa salahnya jika pembangunan trotoar dan aspal tersebut disesuaikan dengan fisik sebuah pohon yang ada di sana. Mereka, pohon, tidak meminta-minta untuk hidup. Mereka contoh makhluk yang kreatif yang ada di bumi ini. Mereka menghasilkan suatu karya besar dari bahan-bahan mentah yang selama ini belum banyak dipikirkan manusia. Bisa dibilang, mereka berprinsip, hidup untuk berkarya.

Lihatlah banyak makhluk-makhluk lemah lainnya yang berlindung di dalam rapuhnya pohon di sebuah kota besar. Katakanlah, misalnya satwa, mungkin ada beberapa satwa yang mulai terancam kepunahannya di dalam sebuah pohon di kota besar. Sungguh manfaat mereka, pohon, adalah sangat besar bagi kehidupan manusia, entah itu di kota atau di desa. Keteduhan dan udara yang bersih, adalah karya dari makhluk yang namanya pohon. Lantas, mengapa banyak dari kita yang tidak menyukai kehidupan sebuah pohon?, apakah kita sudah tidak membutuhkan oksigen lagi untuk bernapas?, dan apakah keteduhan-keteduhan alami sudah tergantikan oleh adanya air conditioner?


Pembangunan fisik sebuah kota besar yang selama ini tidak ramah lingkungan hidup sudah seharusnya diubah. Namun, yang utama harus dilakukan perubahan adalah sikap dari semua masyarakat dalam memandang sebuah pohon. Pohon adalah makhluk yang juga harus kita hargai keberadaannya di tengah-tengah kehidupan kita. Pohon adalah makhluk hidup seperti kita yang mempunyai hak hidup. Apabila banyak masyarakat yang bersikap “baik” kepada pohon, maka tidaklah sulit suatu kebijakan yang pro terhadap lingkungan hidup akan tercipta.

Kamis, 10 Juli 2014

Negeriku Yang Bangkit dan Hebat (Catatan Paling Ngawur)

Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 telah usai, meskipun penetapan pemenangnya oleh Komisi Pemilihan Umum masih menunggu waktu, oleh pendukungnya, si pemenang sudah bisa ditetapkan sore hari di tanggal 9 Juli tersebut. Negara ini benar-benar hebat dan bangkit, inilah saatnya Indonesia bangkit dan hebat, karena kita akan mempunyai dua orang presiden sekaligus. Dibilang NKRI pecah sih tidak ya, tetapi kita akan menjadi satu-satunya negara kesatuan di dunia ini yang punya dua orang presiden. Mereka masing-masing sudah memproklamasikan diri sebagai “presiden”. Kita patut acungi satu jempol atau dua jempol untuk mereka ini. Luar biasa, benar-benar membuat negeri kita menjadi hebat dan bangkit.

Dipersilakan bagi setiap rakyat Indonesia untuk “mengekor” pada salah satu presiden, dan sebaiknya jangan dua-duanya, mentang-mentang mencoblos nomor satu dan dua. Apabila sudah menjadi penganut masing-masing presiden, maka siapapun itu wajib tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dibuatnya. Tidak boleh berpindah dari satu presiden ke presiden lainnya karena hal itu akan membuat kita menjadi pribadi yang sangat labil dan mencla-mencle. Serta janganlah menjadi pribadi yang bersifat oportunis meskipun sifat seperti itu sangatlah menyenangkan. Dihimbau juga untuk tidak memisahkan dari NKRI, apalagi tidak menyukai kedua presiden tersebut, karena negara ini masih membutuhkan rakyat seperti ini.

Luar biasa negeriku ini, akan bangkit dan hebat dalam waktu sekejap. Masing-masing presiden akan terhindarkan dari kritik dan caci-maki rakyat Indonesia, karena rakyat yang sudah memilih masing-masing presiden sudah menyerahkan hatinya dan tunduk fanatik kepada masing-masing dari mereka, sehingga presiden pun tidak akan terancam kudeta atau sebagainya itu. Tidak ada aktivis yang koar-koar ingin menjatuhkan presiden karena jika itu dilakukan berarti mereka menampar muka sendiri. Semuanya akan hidup tenteram dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Karena saking fanatiknya, maka yang sangat dikhawatirkan adalah suasana di akar rumput. Sedikit gesekan akan bisa menyebabkan pertumpahan darah. Adik-kakak bisa saling cakar-cakaran gara-gara hal sepele, misalnya sang adik mengenakan satu cincin dan sang kakak mengenakan dua cicncin. Suami-istri bisa saling tampar-tamparan gara-gara sang suami tidak sengaja bilang satu dan sang istri bilang dua. Inilah yang membuat kengerian tersendiri di negeri ini. Bisa dibilang, banyak mental-mental masyarakat yang dibiarkan teronggok begitu saja oleh mereka sang pemimpin tertinggi NKRI. Di bidang pembangunan fisik, Indonesia akan sangat maju, bangkit dan hebat, lahan pertanian akan berlimpah, sumber pangan melimpah, meningkatnya badan usaha milik desa, energi akan berlimpah.


Inilah negeriku, luar biasa hebat dan bangkit. Selamat untuk yang terhormat bapak presiden Prabowo Subianto dan bapak wakil presiden Hatta Rajasa, serta yang terhormat bapak presiden Joko Widodo dan bapak wakil presiden Jusuf kalla. Selamat kepada dua pasang presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang terpilih. Luar biasa bangkit dan Hebat !!!

Selasa, 08 Juli 2014

Untuk Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 (Catatan Ngawur)

Hari ini adalah hari dimana seluruh bangsa Indonesia merayakan puncak dari pesta demokrasi. Dua pasang calon presiden dan wakil presiden akan “bertarung” di dalam arena pemilihan untuk keluar sebagai juara. Ya, mereka adalah juara tetapi bukan pemenangnya. Pemenangnya adalah seluruh rakyat Indonesia. Saat ini, rakyat sudah hampir cerdas, mampu memilah dan memilih berdasarkan apa yang mereka inginkan, serta menolak sebuah pemaksaan, walaupun tidak sedikit yang mudah diprovokasi untuk menjadi bodoh. Pemilu adalah sebuah ajang pengharapan untuk kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik di masa mendatang, tentunya lima tahun kedepan. Lima tahun bukanlah waktu yang lama, tetapi kebijakan yang mereka susun akan sangat terasa oleh bangsa ini, entah itu kebijakan yang positif, negatif, atau abu-abu. Jika pemimpin yang terpilih ternayata “menyengsarakan” kehidupan bangsa dan negara, maka setelah lima tahun habis kepemimpinannya, pemimpin seperti itu tidaklah layak untuk dipilih kembali, atau jika pemimpin terpilih bersikap terlalu menyengsarakan kehidupan bangsa dan negara, maka silakan melakukan gerakan people power.
Pemilihan presiden kali ini sangatlah berbeda, sejak pemilihan presiden langsung yang dipilih oleh rakyat pada tahun 2004, pilpres tahun 2014 ini sangatlah unik, menurut saya pribadi. Jika dua periode sebelumnya, pilpres selalu berlangsung dua putaran, maka kali ini pilpres hanya berlangsung satu putaran saja, karena hanya terdapat dua pasang kandidat, dan telah disetujui oleh Mahkamah Konstitusi untuk berlangsung satu putaran. Kondisi ini sangatlah menguntungkan bagi kas negara, sehingga uang negara tidak dihambur-hamburkan begitu saja. Semoga dalam pilpres kali ini kedua kandidat mendapatkan persentase yang sama, dan semoga semua masyarakat sudah menggunakan hak pilihnya, dan hanya tinggal diri pribadi ini yang belum menggunakan hak pilih, sehingga diri pribadi ini bisa melelang suara ini kepada kandidat yang ingin menjadi juara dengan harga yang fantastis.
Harapan di pilpres kali ini adalah semoga hari pemilihan ini dan pasca pemilihan adalah hari-hari yang damai serta tidak terjadi chaos. Untuk pemimpin tertinggi republik ini, semoga anda benar-benar pemimpin yang dibutuhkan republik yang ber-bhinneka ini. Jika anda dekat dengan harapan rakyat, maka kami mendukung sepenuh hati, tetapi Jika anda jauh dari harapan, kami akan siapkan gerakan people power untuk “menempeleng” anda. Selamat memilih untuk rakyat Indonesia dan selamat berpesta demokrasi.



Jumat, 04 Juli 2014

Bencana Di Dusun Gamping

Hanya tersisa tiga pohon jati, satu pohon randu, dan satu pohon beringin  yang hidup di dusun Gamping. Kelima pohon yang sudah berumur tua tersebut tumbuh saling berdekatan satu sama lain membentuk kanopi yang begitu rimbun, sehingga ketika siang hari, tempat tersebut sangatlah teduh. Banyak warga yang melepas lelah di bawah kelima pohon tersebut ketika siang menjelang. Warga dusun sangat menghormati keberadaan kelima pohon tersebut, bahkan mbah Kuncung, sesepuh dusun pernah berpesan bahwa setiap warga harus mempertahankan kehidupan kelima pohon tersebut. Tidak ada yang tahu pasti maksud dari pesan mbah Kuncung, tetapi banyak warga yang menebak bahwa kehidupan kelima pohon tersebut berpengaruh terhadap kehidupan sumber air dusun Gamping. Memang di bawah kelima pohon tua tersebut terdapat satu sumur yang mungkin umurnya setua kelima pohon yang menaunginya. Ada yang bilang, sumur tua tersebut dibangun oleh salah satu wali songo, dan ada juga yang berpendapat bahwa sumur tua tersebut sudah ada sejak jaman Majapahit. Menurut penuturan warga, air di sumur tua tersebut tidak pernah berkurang sedikitpun meski setiap hari dipergunakan oleh hampir semua warga dusun. “Sumur bertuah”, begitu warga dusun menyebutnya, bahkan air dari sumur tersebut dipercaya menyembuhkan segala macam penyakit.

Namun, hari ini terjadi keadaan yang tidak biasanya, suatu keanehan bagi warga dusun Gamping, air sumur tiba-tiba mengering, sama sekali tidak ada setetes air pun di dasar sumur.  Tidak ada yang tahu penyebabnya. Beberapa warga menduga bahwa mengeringnya air sumur disebabkan oleh menghilangnya mbah Kuncung sejak kemarin malam. Lik Suket, anak sulung mbah Kuncung berujar bahwa bapaknya belum pulang ke rumah semenjak maghrib kemarin, setelah sebelumnya berpamitan untuk sholat maghrib berjamaah di dusun Jambu, yang terletak sekitar sepuluh kilometer dari dusun Gamping. Sejak tengah malam, keluarga mbah Kuncung sudah berpencar untuk mencari keberadaannya, tetapi sampai pagi ini belum membuahkan hasil. Sebenarnya warga tidak begitu gempar mendengar mbah Kuncung menghilang, namun mereka menjadi gempar manakala air sumur mengering yang kemudian mereka kaitkan dengan menghilangnya mbah Kuncung. Sebelumnya, mbah Kuncung sering beberapa kali menghilang, tetapi tidak disertai oleh mengeringnya sumur. Dari kejadian menghilangnya mbah Kuncung sebelumnya, banyak warga beranggapan bahwa mbah Kuncung sering bertapa di gua Codot yang letaknya di ujung dusun Gamping. “Bertapa untuk keselamatan dusun”, begitulah warga dusun Gamping menyebutnya.

Tidak banyak warga dusun yang mengenal pribadi mbah Kuncung. Mbah Kuncung merupakan tipe orang pendiam, hanya berbicara jika perlu. Namun, warga dusun menyebut bahwa mbah Kuncung adalah salah satu orang yang membawa kebaikan bagi dusun Gamping. Warga yang mempunyai masalah, baik masalah keluarga maupun masalah ekonomi biasanya meminta bantuan mbah Kuncung. Nasehat-nasehat mbah Kuncung biasanya selalu dinanti-nantikan oleh hampir semua warga ketika acara sedekah bumi berlangsung. Meskipun umurnya yang sudah mencapai delapan puluh tahun, fisik mbah Kuncung masih terlihat kuat dan bugar. Setiap hari sehabis subuh dan ashar, mbah Kuncung selalu mengunjungi sumur tua dan selalu menyapu lantai sekitar sumur dari daun-daun kering yang berserakan.

Banyak warga bertanya-tanya mengenai keanehan yang terjadi hari ini. Beberapa warga beranggapan bahwa mengeringnya sumur dan menghilangnya mbah Kuncung diakibatkan oleh murkanya mbah Kuncung terhadap perilaku beberapa warga dusun Gamping yang tidak menuruti apa yang telah dipesankannya. Beberapa warga dusun dengan begitu mudahnya menjual tanahnya kepada orang-orang asing.

“Jika kalian terus menyerahkan tanah kalian kepada mereka, maka kekeringan akan melanda dusun Gamping!”, ucap mas Konyik, salah satu warga dusun menirukan ucapan mbah Kuncung beberapa waktu lalu.

Bencana besar benar-benar melanda dusun Gamping hari ini. Hampir seluruh warga dusun ribut dan kebingungan mencari air. Beberapa warga sudah berbondong-bondong membawa jerigen air dan ember-ember air menuju dusun Jambu. Dusun Jambu adalah dusun terdekat dari dusun Gamping, dan di sana terdapat beberapa sumber air. Beberapa warga terlihat mengantri di salah satu sumur dusun Jambu. Bahkan salah satu warga, mbah Rejo pingsan lantaran saking lamanya mengantri air.

Menurut mas Konyik, mengeringnya sumur dusun Gamping akan menyebabkan mengeringnya pula sumur-sumur lain di dusun sekitar dusun Gamping, tidak terkecuali dusun Jambu. Diantara warga yang mengantri air, mas Konyik terus menerus mengingatkan warga dusun Gamping untuk tidak berlebihan mengambil air di dusun Jambu, karena dusun Jambu adalah harapan satu-satunya sumber air bagi warga dusun Gamping dan dusun Jambu. Sebagian warga menganggap apa yang dikatakan mas Konyik ada benarnya, sedangkan sebagian yang lain menganggap bahwa mas Konyik hanyalah pembual.

Dusun Gamping hari ini benar-benar terlihat gersang, terik begitu menyengat kulit dan sama sekali tidak ada air. Beberapa warga berdiam di rumahnya, dan beberapa warga lainnya berdiam di bawah rindangnya kanopi yang disusun oleh lima pohon tua. Hanya lagu campursari yang mengalun beriringan dengan suara-suara ledakan dinamit di kejauhan serta bercampur teriknya mentari siang, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari warga yang berteduh tersebut. Beberapa dari mereka bertelanjang dada karena kegerahan dan diam menundukkan kepala, beberapa lainnya lagi bersandar di batang pohon sambil menatap langit. Mungkin penyesalan telah menghinggapi hati mereka.

Waktu pun bergulir dengan cepat, tidak terasa siang yang begitu terik berganti menjadi sore yang teduh. Mentari yang mulai jatuh ke ufuk barat melepaskan cahayanya yang begitu hangat, membentuk kilauan-kilauan kekuningan di tanah kapur dan  bukit kapur di sekeliling dusun Gamping. Waktu beranjak, tetapi sumur tetap kering dan mbah Kuncung tidak kunjung muncul. Raut-raut wajah kekhawatiran mulai terlihat di setiap warga dusun. Mungkin mereka sudah merasa khawatir lantaran kehidupan mereka di dusun Gamping akan berhenti mulai hari ini.

“Ini adalah salah kita semua, kenapa kita begitu mudahnya menjual tanah kita kepada orang-orang asing itu, lihatlah apa yang pernah dikatakan mbah Kuncung akhirnya terjadi.”, ujar mas Konyik diantara warga dusun yang masih berdiam di bawah rindangnya lima pohon tua.

“Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang, sudah tidak mungkin kita mengambil tanah-tanah kita lagi, mereka sudah memulai usahanya.”, jawab pak Brengos, salah satu warga dusun yang masih berdiam di bawah pohon tua tersebut.

“Ya, ini salah kami, betapa bodohnya kami, begitu mudahnya kami menggadaikan kehidupan dusun Gamping dengan beberapa harta yang tidak begitu bernilai.”, ujar pak Sukun, salah satu warga dusun yang tengah melihat-lihat ke arah dalam sumur.

Tidak begitu lama, adzan maghrib pun berkumandang, beberapa warga masih terdiam di bawah rindangnya pohon-pohon tua, beberapa lagi bergegas menuju rumah masing-masing. Tampaknya warga dusun masih belum percaya terhadap apa yang menimpa dusun ini. Air adalah sumber dari kehidupan, ketika air menghilang sama sekali, maka kehidupan pun akan lenyap, mungkin itulah yang mengendap di dalam pikiran setiap warga dusun saat ini. Dari kejauhan terlihat beberapa teriakan warga dusun yang mengajak untuk bertobat.

Selepas maghrib, beberapa warga menuju rumah mbah Kuncung yang letaknya tidak begitu jauh dari sumur tua dan lima pohon tua. Mereka merasa penasaran dengan apa yang tengah terjadi pada mbah Kuncung, lantaran sudah satu hari ini mbah Kuncung tidak tampak batang hidungnya. Beberapa warga menganggap bahwa mbah Kuncung sengaja disembunyikan oleh keluarganya, dan yang lain beranggapan bahwa mbah Kuncung disembunyikan makhluk gaib. Rumah mbah Kuncung hanyalah rumah joglo kuno yang beralaskan tanah dengan halaman luas tanpa ditumbuhi pohon apapun. Saat ini rumah tersebut ditinggali Lik Suket beserta istri dan ketiga anaknya. Sebenarnya hampir semua warga merasa tidak begitu suka dengan Lik Suket karena sikap Lik Suket terhadap mbah Kuncung yang tidak mencerminkan sikap seorang anak kepada orang tuanya dan sering sekali Lik Suket bersikap semena-mena terhadap warga dusun. Selama ini hampir semua warga enggan berhubungan dengan Lik Suket dan keluarganya, bahkan sekedar menyapa pun mereka enggan. Jika bukan karena figur mbah Kuncung yang dituakan di dusun Gamping, mungkin Lik Suket beserta keluarganya sudah diusir dari dusun.

Dengan membawa obor, beberapa warga mengerumuni rumah mbah Kuncung, beberapa mengucapkan salam. Namun tidak terdengar jawaban dari dalam rumah, hanya sayup-sayup terdengar suara rintihan kesakitan. Suara rintihan kesakitan itu semakin lama semakin jelas terdengar. Beberapa warga dengan dipimpin mas Konyik memberanikan diri untuk masuk ke rumah joglo kuno itu. Pintu berbahan kayu jati yang tidak terkunci memudahkan mereka untuk masuk ke dalam rumah mbah Kuncung. Keadaannya sepi, tidak ada seorang pun keluarga mbah Kuncung di dalam rumah, hanya suara rintihan yang mereka dengar. Mas Konyik dan pak Brengos langsung mencari dan menuju sumber suara tersebut. Suara rintihan tersebut berasal dari sebuah kamar tidak jauh dari ruang dapur.

“Brakkk!”, suara pintu didobrak.

Betapa kagetnya mas Konyik dan pak Brengos mendapati mbah Kuncung terkapar dan merintih kesakitan di lantai kamar. Dengan dibantu warga, mbah Kuncung dibawa menuju rumah mantri di dusun Jambu. Di sekitar tempat mbah Kuncung, didapati sepucuk surat dengan kop surat sebuah perusahaan penambangan batu gamping.  Surat tersebut merupakan surat persetujuan mengenai pembelian tanah, dan di bagian bawah surat belum berisikan tanda tangan mbah Kuncung selaku pemilik tanah.

Sejak sekitar enam bulan lalu, banyak perusahaan penambangan dan pengolahan batu gamping melirik potensi batu gamping di dusun Gamping. Mereka mengiming-imingi warga dusun dengan uang yang banyak supaya warga menjual tanahnya dan menandatangani surat persetujuan penambangan. “Ganti untung”, perusahaan tersebut menyebutnya.  Banyak warga yang tertarik dengan penawaran perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga beberapa warga sudah melepas tanahnya. Sejak satu bulan lalu, kegiatan penambangan di dusun Gamping sudah dilakukan, dan hari ini terjadi peningkatan kegiatan penambangan batu gamping.  Mbah Kuncung merupakan orang yang menolak penambangan batu gamping tersebut, mbah Kuncung selalu memperingatkan warga dusun akan bahayanya penambangan batu gamping. Namun, beberapa warga dusun tidak menghiraukan peringatan mbah Kuncung, karena banyak dari mereka yang terjerat kemiskinan.

“Kita akan semakin miskin ketika kita menjual tanah ini kepada penambang batu gamping.”, begitulah kira-kira kalimat yang pernah terlontar dari mulut mbah Kuncung.


Akhirnya,  kemiskinan dan lenyapnya kehidupan benar-benar akan mengancam dusun Gamping. Warga pun hanya berharap semoga bencana ini hanyalah bencana sesaat. Mereka masih berharap bahwa esok sumur tua di bawah lima pohon tua akan berisi air kembali.

Rabu, 02 Juli 2014

Corat-Coret Konyol Menjelang Pilpres 9 Juli

Gontok-gontokan, saling menyudutkan, dan tak jarang saling berkelahi antara satu dengan lainnya. Itulah yang tengah terjadi di negeri ini menjelang pesta demokrasi tanggal 9 Juli nanti. Mereka yang mengaku pendukung masing-masing capres-cawapres berlaku seperti itu, mereka tak jauh berbeda dengan anak kecil. Seolah-olah capres-cawapres yang mereka dukung adalah manusia pemimpin sempurna di negeri ini. Bisa dibilang bahwa mereka terlalu fanatik, bahkan ekstrem dalam hal dukung mendukung ini. Hanya satu yang dikhawatirkan dalam kondisi ini, yaitu tidak adanya kata “legowo” dan “”ikhlas” dalam menerima kekalahan capres-cawapres yang didukungnya kelak. “Anarkis”, itulah satu kata yang paling dikhawatirkan setelah tanggal 9 Juli kelak, menjadi chaos dan akhirnya Indonesia pecah di tahun 2015 seperti yang diprediksi oleh Direktur Utama Komite Perdamaian Dunia (The World Peace Committe), Djuyoto Suntani.

Indonesia pecah lantaran tidak ada figur seperti Soekarno di masa silam yang mampu meredam keinginan masing-masing kelompok. Saat ini sudah semakin terlihat, setiap dan masing-masing kelompok merasa mempunyai keinginan yang ingin mereka munculkan di negeri ini, dan mereka tidak mau mengalah atau bertoleransi terhadap kelompok lain. Mungkin bisa dibilang, negeri ini menjadi rebutan antar kelompok. Apa yang membuat negeri ini ibarat kue bolu?, tentu jawaban yang umum adalah sumber daya alamnya. Untuk mendapatkan itu semua tentunya dengan satu kata, yakni “kekuasaan”.

Saya pribadi masih meyakini sampai detik ini bahwa di belakang setiap calon pemimpin tertinggi pasti ada kelompok-kelompok yang ingin eksis nantinya ketika calon pemimpin menjadi pemimpin tertinggi negeri ini dan mereka akan mendapatkan jatah kekuasaan dalam skala yang lebih kecil. Atau bahkan mereka mampu “meracuni” pemimpin tertinggi sehingga mereka mendapatkan jatah dalam skala besar.

Perihal pemilihan capres-cawapres saat ini, sudah terlihat bagaimana kelakuan kelompok-kelompok pendukungnya, ada yang bilang kampanye hitam lah ada yang bilang menyesatkan lah. Mayoritas dari mereka merasa dizolimi ketika capres-cawapres yang mereka dukung ditelanjangi di muka umum. Ada yang beranggapan bahwa memilih salah satu pasangan capres-cawapres adalah haram hukumnya. Ada yang mengaitkan dengan fasisme, komunisme, dan lain sebagainya. Buruknya adalah tataran akar rumput juga ikut terjebak dalam kondisi seperti ini, bahkan bentrokan antar mereka juga kerap terjadi. Menurut saya, ini adalah kondisi yang sangat menjijikkan di negeri ini. Pertanyaan yang ada di benak adalah kenapa masyarakat tidak dibuat pandai politik oleh mereka yang menguasai perihal politik?

Ada yang bilang, jika kita ingin melihat kelihaian seorang calon pemimpin maka berikanlah kesempatan memimpin. Kedua pasang capres-cawapres adalah manusia Indonesia ideal saat ini untuk menjadi pemimpin tertinggi. Sebuah gagasan konyol tiba-tiba muncul dari pikiran yang sadar, bagaimana jika republik ini dibagi saja (bukan dipecah) menjadi dua bagian, satu bagian dipimpin oleh capres-cawapres nomor urut satu, dan satu bagian lagi dipimpin oleh capres-cawapres nomor uurut dua. Dengan begitu maka gontok-gontokan dan perang urat syaraf dapat terhindarkan. Selama memimpin, rakyat masing-masing presiden-wakil presiden akan dengan jelas mengetahui kelihaian kepemimpinan pemimpin yang mereka dukung. Jika tidak sesuai harapan mereka boleh saling berpindah. Dan akhirnya rakyat bisa membandingkannya. Sebuah gagasan konyol untuk menyongsong Indonesia yang semakin abu-abu.

Harapan pasti tetap ada, semoga pemimpin tertinggi yang terpilih pada tanggal 9 Juli nanti adalah pemimpin yang dapat menjadi figur pemersatu bangsa, jujur, amanah, tegas, mampu menjaga ke-bhinneka-an dan kearifan lokal, mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, mampu mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia, serta kebal dari “racun” kelompok-kelompok di belakangnya dan “racun” dari koalisinya.


Selamat berpesta demokrasi untuk bangsa Indonesia, semoga Indonesia tidak pecah menjadi 17 negara bagian di tahun 2015. Tulisan ini hanyalah sekedar corat-coret dan mohon untuk tidak ditanggapi serius.

Senin, 30 Juni 2014

Jangan Rusak Rumah Kami

"Mbah, katanya gunung ini sebentar lagi akan hilang ya?", tanya seorang muda kepada sesosok tua.

"Mungkin nak.", jawab sesosok tua sambil mengetuk-ngetuk pelan salah satu alat berat yang berdiri kokoh di sampingnya dengan tangannya yang sudah terlihat keriput.

"Lantas, bagaimanakah tempat bermain kami?", tanya seorang muda itu lagi.

"Entahlah.", sambil berjalan berlalu meninggalkan seorang muda itu.

Matahari belum menampakkan sinarnya, tetapi suhu udara sudah terasa gerah. Suara burung yang sejatinya mengisi celah pagi, hari ini tidak terdengar lagi. Suasana masih begitu gelap lantaran tebing-tebing tinggi menaungi tempat mereka berdiri.

"Mbah, mbah, mbah, jangan pergi dulu mbah, saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan rumahku ini!", teriak seorang muda itu sambil berjalan bergegas menghampiri sesosok tua yang tengah berjalan pelan meninggalkannya.

"Ada apa nak?", ujar sesosok tua sambil menghentikan langkah kecilnya dan berbalik menghadap ke arah seorang muda.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan gunung ini?", tanyanya lagi.

"Kita harus melupakan gunung ini nak, kita harus melupakan sapi-sapi kita, kita harus melupakan sumber air di sana yang menjadi tempat bermainmu kemarin.", tegas sesosok tua tersebut sambil menunjuk ke arah timur.

“Kenapa mbah?"

"Kita harus taat pemerintah nak.", ujar sesosok tua sambil berjalan pelan meninggalkan seorang muda tersebut.

Meskipun matahari masih malu untuk menampakkan sinarnya, sekelompok orang yang berjumlah sekitar sepuluh orang berjalan bergegas melalui sesosok tua dan seorang muda tersebut, tanpa sapa dan berlalu begitu saja menuju beberapa alat berat yang berdiri kokoh.

Seorang muda itu hanya bisa menatap heran ke arah sekelompok orang tersebut. Matanya terlihat bertanya-tanya mengenai kejadian yang belum pernah dia temui sebelumnya. Seketika itu, sesosok tua berhenti berjalan dan berbalik arah menghampiri seorang muda.

"Kenapa nak?", tanya sesosok tua sambil menepuk pundak seorang muda tersebut.

"Siapa mereka mbah?"

"Dan apa yang mereka lakukan di sini?", tanyanya.

"Mbah juga tidak tahu pasti nak, yang pasti kita disuruh pemerintah untuk meninggalkan gunung ini."

"Kenapa mbah?, bukankah ini rumah kita, rumah sapi-sapi kita, rumah kambing-kambing kita?"

"Hanya itu yang mbah tahu.", ujar sesosok tua sambil menundukkan kepala.

"Siapa mereka mbah kok berani melarang kita di sini!"

Tidak berselang lama, dari arah yang berlawanan tiba dua buah truk besar, satu berisi kelompok polisi dan satu berisi kelompok tentara. Kedua truk besar tersebut berlalu begitu saja melewati seorang muda dan sesosok tua tersebut. Tanpa sapa dan tanpa permisi. Segera setelah kedua truk mendekati sekelompok orang yang sudah datang terlebih dahulu, alat-alat berat pun segera dinyalakan.

Kedua anak manusia yang sejak subuh berada di tempat tersebut hanya bisa menatap keriuhan suasana pagi yang masih abu-abu.

"Ayo nak kita bergegas pergi dari sini.", ujar sesosok tua sambil menggandeng tangan seorang muda itu.

"Tidak mbah, saya tetap di sini sampai saya mengetahui apa yang mereka lakukan terhadap rumah kita ini.", jawabnya sambil berusaha melepaskan tangan sesosok tua dari tangannya.

"Jangan nak, mari kita pergi dari sini sebelum mereka menangkap dan memasukkanmu ke penjara.", ujar sesosok tua sambil berrusaha meraih tangan sorang muda itu.

Tidak lama, seorang muda itu berlari menuju kerumunan orang-orang yang tengah mulai berkegiatan di sekitar alat-alat berat pertambangan. Sesosok tua masih berdiri di tempatnya berdiri, dia tidak bisa menahan seorang muda itu.

Segera setelah itu, muncul sejumlah mobil-mobil mewah, beberapa berpelat hitam dan beberapa berpelat merah. Melewati sesosok tua itu, dan lagi-lagi tanpa sapa dan tanpa permisi menuju kerumunan orang-orang yang tengah memulai berkegiatan. Dan mobil-mobil mewah tersebut berhenti tidak jauh dari kerumunan orang yang tengah mulai berkegiatan.

Sesosok muda itu tiba-tiba berhenti sekitar lima meter dari kerumunan orang serta menatap heran ke arah kerumunan dan mobil-mobil mewah yang baru saja tiba. Beberapa orang berbaju batik terlihat turun dari mobil dan berjalan mendekati kerumunan tersebut. Beberapa orang dari kerumunan itu pun memasang bendera merah putih tidak jauh dari tempat parker mobil-mobil mewah.

"Hey, anak muda, siapa kamu dan mau apa kamu di sini?", teriak salah satu polisi yang tengah berjaga diantara kerumunan tersebut.

"Apa yang kalian akan lakukan terhadap rumahku ini?, Tanya seorang muda tersebut.

"Rumahmu?, ini bukan rumahmu, ini milik negara.", jawab si polisi.

"Ini rumahku, ini rumah kami, ini rumah sapi-sapi kami, ini rumah kambing-kambing kami, ini rumah singkong-singkong kami.", teriak seorang muda itu sambil berjalan menuju kerumunan.

"Woi kamu, kalau mendekat semeter saja, kami tangkap kamu.", teriak si polisi sambil bersiap memegang senjatanya.

"Saya tidak takut, ini rumahku, kalian mau apa!"

Matahari mulai menampakkan diri, sinarnya dengan lembut jatuh diantara tebing-tebing bukit kapur yang menjulang tinggi dan memberi warna sejumlah dataran bukit kapur yang putih susu. Beberapa polisi keudian menghampiri seorang muda tersebut.

"Mundur, dan pulanglah ke rumah ibu mu sana nak!", ujar salah seorang polisi yang tengah berjalan mendekati seorang muda tersebut.

"Tidak, ini rumahku, ini rumah ibuku, ini rumah bapakku, ini rumah mbah ku, ini rumah buyutku, ini rumah moyangku, kalian yang harus pergi!"

Tidak beberapa lama, sejumlah polisi sudah berkerumun mengelilingi seorang muda tersebut. Namun, dia berhasil lolos diantara celah-celah antar polisi yang mengerumuninya. Dia berlari menuju tiang bendera merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya karena ditimpa cahaya mentari pagi.

Dia berhenti berlari dan terdiam sekitar tiga meter dari tiang bendera merah putih. Terlihat matanya memerah seketika dan tetes-tetes air mata mulai keluar dari ujung kelopak matanya, membasahi kedua pipinya.

Dia mulai lemas setelah membaca sebuah papan yang baru saja ditancapkan yang bertuliskan "Mohon Doa Restu, Akan Dilakukan Penambangan Batu Kapur Dan Pembangunan Pabrik Semen". Dia terdiam dan mulai menunduk sambil menangis sejadi-jadinya.

"Brakkk!", sebuah kayu menghantam tubuh kurusnya.

Seorang muda itu terkapar, dan dalam kondisi setengah sadarnya dia menatap bendera merah putih yang tengah berkibar dengan indahnya. Beberapa orang mengerumuninya, beberapa berpakaian coklat, beberapa berpakaian batik, dan beberapa berpakaian hijau loreng. Matanya masih terlihat menatap ke arah bendera merah putih yang berkibar di ujung tiang.


"Bagi kami merah putih sudah robek.", ujarnya lirih sebelum matanya terpejam.

Tolak Eksploitasi Karst Rembang

Sebuah poster penolakan terhadap pembangunan pabrik semen di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (30/6/2014), Foto oleh Adhi Mahendratomo
Eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan dan keuntungan jangka pendek kerap terjadi di hampir seluruh kawasan Republik Indonesia. Dengan dalih peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, eksploitasi tersebut dengan mudah berdiri dengan restu dari pemerintah. Biasanya untuk menarik simpati masyarakat sekitar, industri-industri tersebut dijalankan dengan embel-embel industri "hijau" atau industri yang berwawasan lingkungan hidup. Seperti yang akhir-akhir ini terjadi di kecamatan Gunem, kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yakni pembangunan pabrik semen oleh salah satu perusahaan semen pelat merah ternama.

Memang, pembangunan industri semen di kabupaten Rembang merupakan investasi besar di kabupaten miskin ini, apalagi dimungkinkan adanya investasi besar lainnya yang akan dibangun di Rembang di kemudian hari. Tentu hal ini akan sangat meningkatkan perekonomian kabupaten Rembang dan propinsi Jawa Tengah. Namun, apakah investasi besar tersebut bisa selaras dengan kelestarian lingkungan hidup kawasan sekitarnya, mengingat kawasan sekitar merupakan kawasan karst.

Kawasan karst merupakan kawasan yang mempunyai nilai keanekaragaman hayati tinggi. Karst juga sebagai tempat penyimpan sumber air. Apabila karst dieksploitasi sedemikian rupa, maka hilang juga unsur-unsur yang mendukung keanekaragaman hayati kawasan tersebut.

Jika ditilik, karst terbentuk bukan dalam waktu sekejap, tetapi dalam waktu yang sangat lama. Jadi sungguh tidak adil jika karst yang sangat bernilai tersebut dirusak atas nama peningkatan ekonomi yang akan bertahan dalam jangka pendek saja.  Apalagi penggunaan kawasan karst untuk penambangan karst sebagai bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.

Mengapa pemerintah tidak sepenuh hati melindungi kawasan karst. Apabila karst ditambang maka kabupaten Rembang akan menjadi kabupaten tertandus di Jawa Tengah. Jika pemerintah ingin meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Rembang dan Jawa Tengah, mengapa tidak mengoptimalkan sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.  Perlindungan bentang karst akan memberikan efek keuntungan jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat.


Salam lestari !!!