Hanya tersisa
tiga pohon jati, satu pohon randu, dan satu pohon beringin yang hidup di dusun Gamping. Kelima pohon yang
sudah berumur tua tersebut tumbuh saling berdekatan satu sama lain membentuk
kanopi yang begitu rimbun, sehingga ketika siang hari, tempat tersebut
sangatlah teduh. Banyak warga yang melepas lelah di bawah kelima pohon tersebut
ketika siang menjelang. Warga dusun sangat menghormati keberadaan kelima pohon
tersebut, bahkan mbah Kuncung, sesepuh dusun pernah berpesan bahwa setiap warga
harus mempertahankan kehidupan kelima pohon tersebut. Tidak ada yang tahu pasti
maksud dari pesan mbah Kuncung, tetapi banyak warga yang menebak bahwa
kehidupan kelima pohon tersebut berpengaruh terhadap kehidupan sumber air dusun
Gamping. Memang di bawah kelima pohon tua tersebut terdapat satu sumur yang
mungkin umurnya setua kelima pohon yang menaunginya. Ada yang bilang, sumur tua
tersebut dibangun oleh salah satu wali songo, dan ada juga yang berpendapat
bahwa sumur tua tersebut sudah ada sejak jaman Majapahit. Menurut penuturan
warga, air di sumur tua tersebut tidak pernah berkurang sedikitpun meski setiap
hari dipergunakan oleh hampir semua warga dusun. “Sumur bertuah”, begitu warga
dusun menyebutnya, bahkan air dari sumur tersebut dipercaya menyembuhkan segala
macam penyakit.
Namun, hari ini
terjadi keadaan yang tidak biasanya, suatu keanehan bagi warga dusun Gamping,
air sumur tiba-tiba mengering, sama sekali tidak ada setetes air pun di dasar
sumur. Tidak ada yang tahu penyebabnya.
Beberapa warga menduga bahwa mengeringnya air sumur disebabkan oleh
menghilangnya mbah Kuncung sejak kemarin malam. Lik Suket, anak sulung mbah
Kuncung berujar bahwa bapaknya belum pulang ke rumah semenjak maghrib kemarin,
setelah sebelumnya berpamitan untuk sholat maghrib berjamaah di dusun Jambu,
yang terletak sekitar sepuluh kilometer dari dusun Gamping. Sejak tengah malam,
keluarga mbah Kuncung sudah berpencar untuk mencari keberadaannya, tetapi
sampai pagi ini belum membuahkan hasil. Sebenarnya warga tidak begitu gempar
mendengar mbah Kuncung menghilang, namun mereka menjadi gempar manakala air
sumur mengering yang kemudian mereka kaitkan dengan menghilangnya mbah Kuncung.
Sebelumnya, mbah Kuncung sering beberapa kali menghilang, tetapi tidak disertai
oleh mengeringnya sumur. Dari kejadian menghilangnya mbah Kuncung sebelumnya,
banyak warga beranggapan bahwa mbah Kuncung sering bertapa di gua Codot yang
letaknya di ujung dusun Gamping. “Bertapa untuk keselamatan dusun”, begitulah
warga dusun Gamping menyebutnya.
Tidak banyak
warga dusun yang mengenal pribadi mbah Kuncung. Mbah Kuncung merupakan tipe
orang pendiam, hanya berbicara jika perlu. Namun, warga dusun menyebut bahwa
mbah Kuncung adalah salah satu orang yang membawa kebaikan bagi dusun Gamping.
Warga yang mempunyai masalah, baik masalah keluarga maupun masalah ekonomi
biasanya meminta bantuan mbah Kuncung. Nasehat-nasehat mbah Kuncung biasanya
selalu dinanti-nantikan oleh hampir semua warga ketika acara sedekah bumi
berlangsung. Meskipun umurnya yang sudah mencapai delapan puluh tahun, fisik
mbah Kuncung masih terlihat kuat dan bugar. Setiap hari sehabis subuh dan
ashar, mbah Kuncung selalu mengunjungi sumur tua dan selalu menyapu lantai
sekitar sumur dari daun-daun kering yang berserakan.
Banyak warga
bertanya-tanya mengenai keanehan yang terjadi hari ini. Beberapa warga
beranggapan bahwa mengeringnya sumur dan menghilangnya mbah Kuncung diakibatkan
oleh murkanya mbah Kuncung terhadap perilaku beberapa warga dusun Gamping yang
tidak menuruti apa yang telah dipesankannya. Beberapa warga dusun dengan begitu
mudahnya menjual tanahnya kepada orang-orang asing.
“Jika kalian
terus menyerahkan tanah kalian kepada mereka, maka kekeringan akan melanda
dusun Gamping!”, ucap mas Konyik, salah satu warga dusun menirukan ucapan mbah
Kuncung beberapa waktu lalu.
Bencana besar
benar-benar melanda dusun Gamping hari ini. Hampir seluruh warga dusun ribut
dan kebingungan mencari air. Beberapa warga sudah berbondong-bondong membawa
jerigen air dan ember-ember air menuju dusun Jambu. Dusun Jambu adalah dusun
terdekat dari dusun Gamping, dan di sana terdapat beberapa sumber air. Beberapa
warga terlihat mengantri di salah satu sumur dusun Jambu. Bahkan salah satu
warga, mbah Rejo pingsan lantaran saking lamanya mengantri air.
Menurut mas
Konyik, mengeringnya sumur dusun Gamping akan menyebabkan mengeringnya pula
sumur-sumur lain di dusun sekitar dusun Gamping, tidak terkecuali dusun Jambu.
Diantara warga yang mengantri air, mas Konyik terus menerus mengingatkan warga
dusun Gamping untuk tidak berlebihan mengambil air di dusun Jambu, karena dusun
Jambu adalah harapan satu-satunya sumber air bagi warga dusun Gamping dan dusun
Jambu. Sebagian warga menganggap apa yang dikatakan mas Konyik ada benarnya,
sedangkan sebagian yang lain menganggap bahwa mas Konyik hanyalah pembual.
Dusun Gamping
hari ini benar-benar terlihat gersang, terik begitu menyengat kulit dan sama
sekali tidak ada air. Beberapa warga berdiam di rumahnya, dan beberapa warga
lainnya berdiam di bawah rindangnya kanopi yang disusun oleh lima pohon tua.
Hanya lagu campursari yang mengalun beriringan dengan suara-suara ledakan
dinamit di kejauhan serta bercampur teriknya mentari siang, tidak ada sepatah
kata pun yang keluar dari warga yang berteduh tersebut. Beberapa dari mereka
bertelanjang dada karena kegerahan dan diam menundukkan kepala, beberapa
lainnya lagi bersandar di batang pohon sambil menatap langit. Mungkin
penyesalan telah menghinggapi hati mereka.
Waktu pun
bergulir dengan cepat, tidak terasa siang yang begitu terik berganti menjadi
sore yang teduh. Mentari yang mulai jatuh ke ufuk barat melepaskan cahayanya
yang begitu hangat, membentuk kilauan-kilauan kekuningan di tanah kapur
dan bukit kapur di sekeliling dusun
Gamping. Waktu beranjak, tetapi sumur tetap kering dan mbah Kuncung tidak
kunjung muncul. Raut-raut wajah kekhawatiran mulai terlihat di setiap warga
dusun. Mungkin mereka sudah merasa khawatir lantaran kehidupan mereka di dusun
Gamping akan berhenti mulai hari ini.
“Ini adalah
salah kita semua, kenapa kita begitu mudahnya menjual tanah kita kepada
orang-orang asing itu, lihatlah apa yang pernah dikatakan mbah Kuncung akhirnya
terjadi.”, ujar mas Konyik diantara warga dusun yang masih berdiam di bawah
rindangnya lima pohon tua.
“Lantas apa yang
harus kita lakukan sekarang, sudah tidak mungkin kita mengambil tanah-tanah
kita lagi, mereka sudah memulai usahanya.”, jawab pak Brengos, salah satu warga
dusun yang masih berdiam di bawah pohon tua tersebut.
“Ya, ini salah
kami, betapa bodohnya kami, begitu mudahnya kami menggadaikan kehidupan dusun
Gamping dengan beberapa harta yang tidak begitu bernilai.”, ujar pak Sukun,
salah satu warga dusun yang tengah melihat-lihat ke arah dalam sumur.
Tidak begitu
lama, adzan maghrib pun berkumandang, beberapa warga masih terdiam di bawah
rindangnya pohon-pohon tua, beberapa lagi bergegas menuju rumah masing-masing. Tampaknya
warga dusun masih belum percaya terhadap apa yang menimpa dusun ini. Air adalah
sumber dari kehidupan, ketika air menghilang sama sekali, maka kehidupan pun
akan lenyap, mungkin itulah yang mengendap di dalam pikiran setiap warga dusun
saat ini. Dari kejauhan terlihat beberapa teriakan warga dusun yang mengajak
untuk bertobat.
Selepas maghrib,
beberapa warga menuju rumah mbah Kuncung yang letaknya tidak begitu jauh dari
sumur tua dan lima pohon tua. Mereka merasa penasaran dengan apa yang tengah terjadi
pada mbah Kuncung, lantaran sudah satu hari ini mbah Kuncung tidak tampak
batang hidungnya. Beberapa warga menganggap bahwa mbah Kuncung sengaja
disembunyikan oleh keluarganya, dan yang lain beranggapan bahwa mbah Kuncung
disembunyikan makhluk gaib. Rumah mbah Kuncung hanyalah rumah joglo kuno yang
beralaskan tanah dengan halaman luas tanpa ditumbuhi pohon apapun. Saat ini
rumah tersebut ditinggali Lik Suket beserta istri dan ketiga anaknya.
Sebenarnya hampir semua warga merasa tidak begitu suka dengan Lik Suket karena
sikap Lik Suket terhadap mbah Kuncung yang tidak mencerminkan sikap seorang
anak kepada orang tuanya dan sering sekali Lik Suket bersikap semena-mena
terhadap warga dusun. Selama ini hampir semua warga enggan berhubungan dengan
Lik Suket dan keluarganya, bahkan sekedar menyapa pun mereka enggan. Jika bukan
karena figur mbah Kuncung yang dituakan di dusun Gamping, mungkin Lik Suket
beserta keluarganya sudah diusir dari dusun.
Dengan membawa
obor, beberapa warga mengerumuni rumah mbah Kuncung, beberapa mengucapkan
salam. Namun tidak terdengar jawaban dari dalam rumah, hanya sayup-sayup
terdengar suara rintihan kesakitan. Suara rintihan kesakitan itu semakin lama
semakin jelas terdengar. Beberapa warga dengan dipimpin mas Konyik memberanikan
diri untuk masuk ke rumah joglo kuno itu. Pintu berbahan kayu jati yang tidak
terkunci memudahkan mereka untuk masuk ke dalam rumah mbah Kuncung. Keadaannya
sepi, tidak ada seorang pun keluarga mbah Kuncung di dalam rumah, hanya suara
rintihan yang mereka dengar. Mas Konyik dan pak Brengos langsung mencari dan
menuju sumber suara tersebut. Suara rintihan tersebut berasal dari sebuah kamar
tidak jauh dari ruang dapur.
“Brakkk!”, suara
pintu didobrak.
Betapa kagetnya
mas Konyik dan pak Brengos mendapati mbah Kuncung terkapar dan merintih
kesakitan di lantai kamar. Dengan dibantu warga, mbah Kuncung dibawa menuju
rumah mantri di dusun Jambu. Di sekitar tempat mbah Kuncung, didapati sepucuk
surat dengan kop surat sebuah perusahaan penambangan batu gamping. Surat tersebut merupakan surat persetujuan
mengenai pembelian tanah, dan di bagian bawah surat belum berisikan tanda
tangan mbah Kuncung selaku pemilik tanah.
Sejak sekitar
enam bulan lalu, banyak perusahaan penambangan dan pengolahan batu gamping melirik
potensi batu gamping di dusun Gamping. Mereka mengiming-imingi warga dusun
dengan uang yang banyak supaya warga menjual tanahnya dan menandatangani surat
persetujuan penambangan. “Ganti untung”, perusahaan tersebut menyebutnya. Banyak warga yang tertarik dengan penawaran
perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga beberapa warga sudah melepas tanahnya.
Sejak satu bulan lalu, kegiatan penambangan di dusun Gamping sudah dilakukan,
dan hari ini terjadi peningkatan kegiatan penambangan batu gamping. Mbah Kuncung merupakan orang yang menolak
penambangan batu gamping tersebut, mbah Kuncung selalu memperingatkan warga
dusun akan bahayanya penambangan batu gamping. Namun, beberapa warga dusun
tidak menghiraukan peringatan mbah Kuncung, karena banyak dari mereka yang
terjerat kemiskinan.
“Kita akan
semakin miskin ketika kita menjual tanah ini kepada penambang batu gamping.”,
begitulah kira-kira kalimat yang pernah terlontar dari mulut mbah Kuncung.
Akhirnya, kemiskinan dan lenyapnya kehidupan
benar-benar akan mengancam dusun Gamping. Warga pun hanya berharap semoga
bencana ini hanyalah bencana sesaat. Mereka masih berharap bahwa esok sumur tua
di bawah lima pohon tua akan berisi air kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar