Senin, 15 Agustus 2011

Cerecet Terakhir Sang Betet

Aku terlahir sebagai seekor betet, tepatnya betet biasa atau yang oleh orang pintar sering dipanggil dengan Psittacula alexandrii. Tubuhku berukuran tidak besar dan tidak pula kecil, serta warna buluku hijau dengan pipi berwarna pink. Bila dilihat-lihat sekilas, diriku memang mirip dengan burung lovebird yang yang harganya mahalnya minta ampun nan dipelihara oleh orang-orang berkantung tebal. Sebenrnya kami memang sama-sama dari keluarga burung berparuh bengkok, tapi yang membedakan adalah sebuah nasib. Nasib si burung lovebird adalah di sangkar nan elite dan nasibku tidak begitu jelas di alam. 

Aku dan sesamaku tak tahu apakah kami ini dilindungi atau tidak. Sekilas yang pernah kami dengar dari obrolan orang-orang pintar, kami merupakan salah satu satwa endemik di pulau Jawa yang terpadat di negri ini, sebuah negri yang lupa akan kekayaan alamnya sendiri. Memang jika diakui, kami keluarga betet masih kalah jauh cantiknya dengan burung-burung paruh bengkok lainnya yang endemik di bagian timur sana. Nasib telah mengubah hidup kami sebagai seekor burung terancam keberadaannya di tanah warisan moyang kami. Kami di sini hanya hidup dalam dua kelompok-kelompok kecil. Kelompok-kelompok kami ini rasa-rasanya merupakan sisa-sisa kehidupan para betet yang pernah menghuni tanah ini. Dahulu kala memang ada kelompok-kelompok yang banyak saat hutan di tanah ini masih luas nan asri, tetapi sejak area pepohonan hijau tinggal secuil maka tinggal secuil pula jumlah kami serta tinggal secuil pula jiwa kami. Kami di sini hidup terasing di sebuah hutan kecil di tengah-tengah bangunan yang dipakai oleh calon-calon ilmuwan melengkapi ilmunya. Hutan sengon yang luasnya Cuma beberapa meter saja inilah kami melepaskan semua beban hidup saat malam tiba dan merawat keturunan yang mungkin terakhir. 

            Kami sebenarnya merasa bosan hanya hidup berputar-putar di sekitar hutan sengon yang dikelilingi oleh gedung-gedung gudang kepintaran dan pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin memusuhi kami. Sesekali kami bergantian keluar melintasi pagar gedung-gedung gudang kepintaran untuk melihat riuhnya kehidupan manusia yang semakin lupa akan hijau-birunya lingkungannya. Sebenarnya sih bisa dikatakan dari sejak gedung gudang ilmu itu berdiri sampai saat ini, kehidupan kami tidak pernah terusik. Tetapi hanya sekali dua kali terusik oleh pemburu liar dan oleh pikiran-pikiran nakal para ilmuwan. Jika memandang gunung di seberang sana, kami sering mengkhayal, mengandai-andai di sana masih banyak saudara-saudara kami yang hidup tanpa gurauan manusia. Namun, khayalan kami dengan serta merta terhenti setelah telinga kami yang tidak berdaun mendengar obrolan para manusia yang sering nongkrong di hutan ini untuk menanti atraksi kami. Menurut obrolan mereka, gunung seberang sudah gersang. Gersang gara-gara tapak-tapak hitam manusia.

            Jika kami pikir-pikir, benar juga apa kata mereka, pantaslah tempat hidupku sekarang ini menjadi panas bukan main saat siang, tidak seperti cerita-cerita kakek nenekku yang menurut mereka daerah hidup kami di sini dulunya sejuk. Jika gunung seberang sudah gersang, berarti sudah tidak menghijau lagi dan menandakan bahwa kehidupan makhluk-makhluk seperti kami di sana menjadi lebih menderita daeripada di sini. Biar bagimanapun kami masih merasa beruntung hidup di sini. Kami dan keluarga satwa lain yang hidup di hutan sengon ini selalu berharap supaya hutan tempat tinggal kami ini tidak lagi disulap menjadi gedung atau ladang yang lebih modern, karena kami tak tahu lagi harus tinggal dimana. 

            Di hutan ini kami hidup bersama burung-burung lain, satwa-satwa lain dan manusia-manusia yang sering nongkrong di sini seminggu sekali atau dua kali seminggu. Kami sering resah jika memikirkan masa depan, kami takut akan kepunahan generasi kami. Sejujurnya kami punya keinginan kuat keluar dari hutan sengon yang tinggal secuil ini, kami ingin mencari tempat yang layak dan mencari kawan-kawan sejenis. Namun, keinginan hanya tinggal keinginan absurd, karena nyali kami tidak sebesar burung elang ular bido yang berani terbang tinggi dan berani mengarungi luasnya daratan. Nyali selalu menciut manakala memikirkan nasib kami yang tinggal beberapa ekor ini.

            Mungkin ini adalah nasib yang harus kami jalani. Setiap hari selalu menanti-nanti kabar dari burung-burung lain yang bernyali besar, kabar tentang pengalamannya menemukan tempat-tempat yang cocok. Aku iri mendengar itu, jika kukerahkan kelompokku bertualang mencari tempat baru, maka kami takut akan sesuatu hal yang akan menimpa kami, jika ada bencana maka habislah kelompok kami, mungkin habis pula betet di tanah jawa ini. Biarlah rasa iri ini kami pendam saja. Kami selalu mencoba menikmati indahnya tempat ini dan kami selalu bersyukur masih punya kawan-kawan sejenis meskipun bisa dihitung dengan jari. Setiap pagi kami selalu saling menyapa dengan suara “cerecetan” khas kami, saling menghitung jumlah kelompok karena siapa tahu ada yang hilang satu. Siang hari kami mengarungi luasnya bangunan-bangunan berilmu yang masih terlihat hijau untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dan sore harinya kami bercerecet lagi mengumpulkan kelompok dan saling bercerita tentang pengalaman yang terjadi seharian ini. Selepas maghrib adalah saatnya kami bersiap-siap melepas lelah di lubang-lubang pohon sengon yang sengaja kami buat.

            Seminggu sekali kami menyombongkan aksi-aksi kami supaya disaksikan oleh beberapa orang sang “penikmat” burung yang sering “nongkrong” di hutan sengon ini. Kepala mereka selalu melihat ke atas, di lehernya dikalungkan sebuah benda dengan bentuk seperti dua buah tabung yang saling merekat, dan di tangannnya memegang buku serta alat tulis. Kehadiran mereka selalu kami nantikan. Dilihat dari gerak-geriknya, pastilah mereka bukan manusia-manusia jahat dan serakah. Mereka adalah tamu-tamu terhormat kami. Kami rela seharian tidak mencari makan hanya untuk ditonton mereka. Mereka adalah manusia yang menyatu dengan alam karena jika dilihat dari tampangnya bisa terlihat bahwa manusia-manusia itu adalah manusia yang sederhana, bijak, polos dan bersahaja. Lewat obrolan mereka tentang alam, sudah membuat hati kami gembira setengah mati dan kami selalu antusias mendengarkan cerita-cerita mereka. Dan sebagai imbalannya, kami tak segan-segan memamerkan keunikan tubuh kami pada mereka, nampaknya tak hanya kami saja yang memberi imbalan atas kehadiran “sang penikmat”, burung-burung yang lain juga saling berebutan memamerkan keelokan dan keunikannya masing-masing. Si wiwik lurik memamerkan suaranya yang memilukan dan kuanggap itu suara terjelek di sini. Si kutilang tanpa sungkan-sungkan memperagakan akrobatnya, dan kami anggap si kutilang adalah makhluk yang tidak punya rasa malu, seperti halnya burung gereja. Sekian kisah kami di hutan sengon yang tinggal secuil ini, dan semoga hutan sengon ini dengan keanekaragaman makhluknya tidak menjadi kenangan manusia-manusia pintar yang menimba ilmu di sini.

Minggu, 14 Agustus 2011

Sekilas Kondisi Burung Liar di Indonesia

Kebaradaan satwa burung di Indonesia semakin hari semakin menurun populasinya. Hal ini disebabkan oleh perburuan liar sehubungan dengan meningkatnya permintaan pasar. Selain itu, penurunan kualitas habitat sebagai akibat dari aktivitas manusia, lemahnya pengamanan, pengawasan, penerapan sanksi hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang konservasi juga turut mengakibatkan penurunan populasi burung di alam. Walaupun telah berstatus dilindungi (termasuk oleh pemerintah daerah dimana habitat dan jenis burung berada), namun perburuan liar masih tetap berjalan hingga saat ini (Setio & Takandjandji 2006).

Pemanfaatan keanekaragaman jenis satwa liar secara tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis burung air termasuk salah satu yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Awal pemanfaatan dari jenis-jenis burung tersebut adalah hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan protein bagi masyarakat setempat. Namun, dalam perkembangannya ternyata jenis-jenis burung tersebut tidak saja dimanfaatkan untuk kebutuhan protein tetapi juga untuk diperjualbelikan kepada masyarakat kota untuk menambah sumber pendapatan, sehingga pengeksploitasian jenis-jenis burung tersebut secara terus-menerus tanpa adanya pengendalian dikhawatirkan akan mengancam kepunahan (Iskandar & Karlina 2004). Selain itu, pemanfaatan burung terbesar oleh masyarakat Indonesia adalah masyarakat penghobi burung kicauan dengan jumlah uang yang beredar
sebanyak Rp 7 triliun (Moehayat 2008).

Menurut MacKinnon (1990), perdagangan burung secara keseluruhan mempunyai nilai penting dalam perdagangan dan sampai skala tertentu akan menghabiskan populasi burung liar. Nilai penting burung dalam perekonomian di Pulau Jawa adalah sabagai hama pertanian (pipit, bondol dan manyar sebagai hama padi), jenis burung yang menguntungkan (elang), bahan makanan (mandar, ayam hutan, puyuh dan punai), serta perdagangan burung piaraan (perkutut, kucica hutan, beo, kutilang dan jalak) dan pada tahun 1980 terdapat lebih dari 340.000 burung secara ilegal diekspor dari Indonesia dimana jenis-jenis ekspor yang disukai adalah bondol, pipit benggala, gelatik, perkutut, beo, dan serindit. Menurut anonim (2002), perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar di Indonesia. Lebih dari 90 persen satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20 persen satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia, seperti orangutan, penyu, beberapa jenis burung, harimau sumatera dan beruang. Semakin langka satwa tersebut maka harganya semakin mahal.

Perdagangan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penurunan populasi suatu jenis burung, disamping akibat menghilangnya habitat dan degradasi habitat. Perusakan habitat dan eksploitasi spesies secara berlebihan menyebabkan Indonesia mempunyai daftar spesies fauna terancam punah terpanjang di dunia (Lambert 1993; Sumardja 1998 diacu dalam Widodo 2007).

Sebuah Keraguan Lestarinya Biodiversitas di Kampus Hijau


Kampus IPB atau yang sering disebut kampus hijau menyimpan keanekaragaman hayati yang bervariasi diantaranya adalah satwa burung. Dimana menurut Dono (2003), keberadaan burung dapat dijadikan alat indikator/alat bantu untuk menentukan skala prioritas dalam penanganan permasalahan lingkungan karena burung mempunyai atribut yang mendukung, hidup di seluruh habitat di dunia, relatif mudah diidentifikasi, peka terhadap perubahan lingkungan, data penyebarannya relatif cukup diketahui dan terdokumentasi dengan baik serta taksonominya cukup lengkap. Daftar dibawah ini memuat jenis-jenis burung yang dijumpai pada saat kegiatan birdwatching di area kampus IPB Dramaga selama kurun waktu 2006 - 2008, terdapat kemungkinan daftar yang dijumpai tersebut hanya sebagian atau dengan kata lain sebenarnya masih ada jenis yang belum terident dan belum masuk ke list. 
Mengingat jenis-jenis burung liar yang beragam tersebut, tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan, apakah keanekaragaman spesies burung tersebut masih lestari sampai saat ini????, masihkah mereka dapat dijumpai dengan mudah di waktu sekarang ini???, timbul keraguan jawaban akan pertanyaan tersebut mengingat masa sekarang pastilah berbeda dengan masa ketika tahun 2008, 2007, 2006, atau tahun-tahun sebelumnya. Masa sekarang nampaknya masa-masa pembangunan fisik bagi si "kampus hijau", sebuah pembangunan yang nampaknya akan menggeser lahan-lahan hijau habitat satwa burung. Apabila terjadi penurunan spesies atau jumlah maka dapat diambil kesimpulan singkat bahwa si "kampus hijau" tidak bisa menjaga dan mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati yang merupakan anugerah-Nya. Sungguh miris jika kondisi tersebut benar-benar terjadi, satwa liar penghuninya (burung liar) ibarat peribahasa, "tikus mati di lumbung padi", satwa liar "terdesak" di dalam lingkungan yang berisi manusia-manusia cerdas yang berpikiran "hijau". Semoga hal tersebut tidak terjadi, dan semoga keanekaragam hayati di kampus hijau dapat lestari.

Daftar List Burung yang dijumpai di Kampus IPB Darmaga, Bogor (2006 – 2008)
  • Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga)
  • Kapinis rumah (Apus affinis)
  • Walet linchi (Collocalia linchi)
  • Kowak malam kelabu (Nycticorax nycticorax)
  • Gemak loreng (Turnix suscitator)
  • Walet-palem asia (Cypsiurus balasiensis)
  • Kareo padi (Amaurornis phoenicurus)
  • Punai gading (Treron vernans)
  • Tekukur biasa (Streptopelia chinensis)
  • Delimukan zamrud (Chalcophaps indica)
  • Betet biasa (Psittacula alexandri)
  • Bubut alang-alang (Centropus bengalensis)
  • Wiwik lurik (Cacomantis sonneratii)
  • Wiwik kelabu (Cacomantis merulinus)
  • Wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis)
  • Serak jawa (Tyto alba)
  • Raja udang meninting (Alcedo meninting)
  • Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris)
  • Cekakak belukar (Halcyon smyrnensis)
  • Cekakak sungai (Todirhampus chloris)
  • Caladi tilik (Picoides moluccensis)
  • Layang-layang batu (Hirundo tahitica)
  • Layang-layang loreng (Hirundo striolata)
  • Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus)
  • Kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis)
  • Kekep babi (Artamus leucorhynchus)
  • Cipoh kacat (Aegithina tiphia)
  • Srigunting hitam (Dicrurus macrocercus)
  • Srigunting kelabu (Dicrurus leucophaeus)
  • Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster)
  • Gagak hutan (Corvus enca)
  • Cinenen pisang (Orthotomus sutorius)
  • Cinenen jawa (Orthotomus sepium)
  • Prenjak jawa (Prinia familiaris)
  • Cabai jawa (Dicaeum trochileum)
  • Bentet kelabu (Lanius schach)
  • Pelanduk semak (malacocincla sepiarium)
  • Remetuk laut (Gerygone sulphurea)
  • Kipasan belang (Rhipidura javanica)
  • Burung madu kelapa (Anthreptes malacensis)
  • Burung madu sriganti (Nectarinia jugularis)
  • Pijantung kecil (Arachnothera longirostra)
  • Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus)
  • Burung gereja erasia (Passer montanus)
  • Bondol jawa (Lonchura leucogastroides)
  • Bondol peking (Lonchura punctulata)
  • Elang-ular bido (Spilornis cheela)
  • Pelanduk topi hitam (Pellorneum capistratum)
  • Cikrak kutub (Philloscopus borealis)
  • Celepuk reban (Otus lempiji)
  • Paruh-kodok jawa (Batrachostomus javensis)

Selasa, 12 Juli 2011

Untuk Negriku 6

Beragam himbauan yang bertemakan "Selamatkan Alam" atau "Selamatkan Lingkungan" atau "Selamatkan Keanekaragaman Hayati" sering terlihat di berbagai sudut kehidupan, mulai dari media cetak, elektronik, poster, spanduk, brosur, atau leaflet, baik yang diinisiasi oleh instansi pemerintah ataupun non-pemerintah. Rasa-rasanya setiap masyarakat pernah membacanya, entah detail ataupun hanya sekilas saja. Sebuah slogan atau pesan yang menghimbau terhadap penyelamatan alam dan lingkungan dengan gaya bahasa yang menarik dan tata gambar yang indah ataupun mengharukan nampaknya menjadi tren di kala manusia cenderung tidak peduli lagi dengan alam sekitar.

Lazimnya pemasang himbauan tersebut selalu merasa khawatir andai pesan yang ingin disampaikan tidak sampai ke khalayak umum. Entah mengena atau tidak, entah mahal atau murah, yang terpenting bagi mereka adalah sudah mengajak masyarakat umum untuk berbuat baik terhadap alam serta secara ikhlas mengajarkan pentingnya alam untuk kehidupan manusia saat ini dan masa yang akan datang. Nampaknya kondisi seperti ini hanya dipunyai oleh manusia-manusia yang benar-benar ikhlas menyerahakan jiwa raganya untuk kelestarian alam dan lingkungan sehingga himbauan yang ditorehkan mereka pun terlihat lebih serius dan bahasanya hidup. 

Namun, bagaimanakah pesan atau slogan himbauan pentingnya pelestarian alam yang dipasang oleh instansi pemerintah, apakah terdapat keseriusan dari pihak pemerintah untuk benar-benar mengharapkan "mengenanya" pesan yang disampaikan???. Menurut pribadi penulis, rasa-rasanya pesan himbauan yang disampaikan oleh instansi pemerintah tidak mempunyai unsur keseriusan atau mungkin bisa disebut sebagai guyonan belaka, hanya sebatas kalimat dengan bahasa yang tidak hidup atau sama sekali tidak akan pernah hidup. Apabila kalimat himbauan tersebut dituliskan pada sebuah media, nampaknya hal itu hanyalah sebuah proyek yang bisa diambil keuntungan ekonominya ataupun bisa dikorupsi sedikit. Selain itu,rasa-rasanya tidak pernah ada upaya lebih lanjut dari instansi pemerintah untuk mengajarkan masyarakat umum bagaimana bersikap baik terhadap alam. Miris sekali ketika pemerintah yang seharusnya mengayomi bangsa dan negri ini, mengayomi bukan saja masyarakatnya tetapi juga alam yang telah memberi bentuk wajah negri ini. Bagaimana nasib keanekaragaman hayati negriku jika tidak ada keseriusan di pihak pemerintah untuk menggarap kelestarian alam dan keanekaragaman hayati.

Tak hanya itu saja, pesan pelestarian pun nampaknya hanya menjadi formalitas perusahaan-perusahaan pengeksploitasi alam. Mereka dengan mudahnya menyisihkan sedikit "uang" mereka pada program yang sering kita dengar sebagai CSR yang bertemakan lingkungan. Tetapi apakah kita pernah berpikir berapa keuntungan yang mereka dapatkan setelah "menganiaya" alam negri ini, lalu dengan mudahnya mereka berbicara tentang "pentingnya" pelestarian alam dan keanekaragaman hayati. Rasa-rasanya mereka menganggap uang akan menyelesaikan masalah pelestarian alam, dengan menyuap si pembuat kebijakan, bahkan dengan menyuap masyarakat melalui CSR maka formalitas pelestarian alam pun sudah terpenuhi.

Senin, 11 Juli 2011

harapan sang waktu

harapan malam akan siang, dan
siang pun mengharap malam
bukanlah absurd,
melainkan repetisi waktu
setiap saat, tidak kenal musim
baginya hanyalah impian kenyataan sebongkah asa
kala impian tiba,
masa gelap terang, dan terang gelap
melebur menjadi satu warna
dalam sebuah simbol gerhana
maka, malam mendekap siang,
dan siang pun membelai malam
sebuah masa istimewa dari sang pencipta
harapan impian siang untuk malam
dan malam untuk siang
adalah kenyataan harapan hati atasmu

bogor, 30 juni 2011

hijau biru

hijau biru,
bukan langit bukan pula bumi

hijau biru,
memadu kaki langit puncak nan megah halimun salak
takjubnya akal lantaran romantisme hijau biru
begitu selaras dengan mata angin
pun mesra mendekap kasih dua kepak garuda
di dahan pohon yang dedaunnya melebur dalam ragam rupawan

hijau biru,
wujud indahnya harmonisasi warna kehidupan 
begitu lekatnya,
halimun pun tak pernah mengusik
bahkan mendung pun enggan bersinggung

hijau biru, 
dua warna yang akan memeluk asa
dua jiwa makhluk muka bumi
yang corak rupanya tak akan pernah memudar
karena lestari adalah takdir dari sang khalik


bintaro, 12 juli 2011

Untuk Negriku 5

Terulang lagi sebuah kisah memilukan, belum begitu lama berselang sudah terdengar mirisnya kabar "amarah" warga terhadap sang loreng pewaris terakhir hutan sumatera. Berita yang tak sengaja terdengar hari ini dari Redaksi Sore Trans 7 mengabarkan bahwa seekor harimau sumatera betina terjerat oleh perangkap warga di salah satu kabupaten di Sumatera Barat. Diberitakan bahwa jerat tersebut senagaja dipasang lantaran warga sekitar merasa kesal dengan ulang sang loreng yang sering memangsa hewan ternak warga. Kekesalan itupun akhirnya berujung pada penjeratan si harimau yang tidak berdosa. Sampai berita tersebut tersiar, terlihat bahwa harimau betina yang ada di dalam perangkap warga masih hidup. Namun, dari gambar terlihat nampaknya sang harimau mengalami kepayahan. Ironisnya, setelah penjeratan tersebut dan harimau masih hidup, warga tidak serta-merta menyerahkan ke pihak BKSDA, alasannya mereka menginginkan si harimau untuk ritual "tolak bala" terlebih dahulu. Tidak begitu jelas, ritual tolak bala yang bagaimanakah yang akan dilakukan oleh warga. 


Sebuah tragedi terhadap keanekaragaman hayati negri ini. Warga atau masyarakat setempat sekitar habitat si loreng yang seharusnya menjadi salah satu unsur pendukung kegiatan pelestarian harimau sumatera justru menjadikan harimau sebagai organisme hama yang patut dihabisi. Harimau bukanlah kucing rumahan yang dengan mudahnya beranak pinak, harimau adalah satwa liar dimana kelangsungan hidupnya membutuhkan habitat yang layak. Habitat pun nampaknya tidak terlepas dari "campur tangan" masyarakat sekitar habitat, sehingga kelayakan sebuah habitat tersebut dapat dinilai dari habitat itu sendiri (misalnya hutan) beserta kearifan dan kebijaksanaan masyarakat sekitar habitat. Namun apa yang terjadi sekarang ini, habitat harimau dan juga satwa liar lainnya mengalami penurunan kelayakan bahkan sampai ke titik terendah, selain itu disertai dengan menurunnya kearifan masyarakat sekitar habitat terhadap tingkah laku alam.


Rasa-rasanya semua hal tersebut mempunyai keterkaitan yang erat dengan kepentingan ekonomi modern. Asalakan bisa diuangkan, maka alam pun digadai. Bagaimana keanekaragaman hayati negri ini bisa langgeng jika kepentingan ekonomi yang merusak dinomorsatukan oleh semua pihak. Bahkan oleh yang disebut sebagai "pemerintah".

Nampaknya kita harus berpikir jernih, ibaratnya harimau adalah anak kecil yang belum tahu-menahu urusan manusia dewasa dan masyarakat diibaratkan sebagai manusia dewasa sekaligus orang tua dari si anak tersebut. Maka, ketika si anak tersebut melakukan kegiatan yang dianggap merugikan orang tuanya, misalkan saja corat-coret tembok di sebuah rumah baru yang baru dibeli orang tuanya secara kredit, apakah si orang tua tersebut akan serta-merta menjebloskan si anak ke dalam penjara ataukah akan menghakimi sendiri. Sudah pasti jawabannya tentu tidak demikian. Selain itu, anak adalah aset dari orang tuanya, begitu juga dengan harimau sumatera sebagai aset dari masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia.


Kamis, 07 Juli 2011

Renungan Hubungan Manusia - Hewan - Alam

Hubungan antara manusia dengan hewan atau satwa telah berlangsung sejak manusia dan hewan menjejakkan tapak-tapak mereka di planet biru ini. Entah berjuta tahun lalu ataupun beratus juta tahun lalu belum bisa dipastikan. Namun, yang jelas manusia mempunyai ketergantungan terhadap hewan dan juga dengan habitatnya atau yang lebih luasnya disebut sebagai alam. Begitu butuhnya manusia akan hewan maka terciptalah hewan-hewan domestikasi, mulai dari karnivora sampai omnivora. Domestikasi, Itulah sebuah keberhasilan manusia dalam penguasaan kehidupan hewan dan habitatnya. Selama berabad-abad mungkin apa yang disebut dengan penguasaan itu berjalan secara bijak. 

Namun, apa yang terjadi sekarang adalah kesewenang-wenangan atas apa yang disebut sebagai "penguasaan yang bijak". Kondisi yang terjadi dalam beberapa tahun ini menunjukkan terjadinya pengingkaran dalam kaitan hubungan manusia dan hewan, dan lebih jauh lagi terjadi pengingkaran hubungan manusia dengan alam raya. Siapa pelakunya?, tentu bukan hewan ataupun alam raya. Manusialah yang sehausnya bertanggungjawab terhadap kondisi ini.


Manusia modern nampaknya sudah tidak mewarisi apa yang dinamakan kebajikan, kearifan dan kebijaksanaan manusia kuno. Manusia modern sudah tidak bisa menyelaraskan apa yang seharusnya terjadi dalam hubungan manusia-hewan dan manusia-alam raya. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pergeseran kebutuhan ke arah materialistik, jika dahulu kebutuhan hanya sebatas untuk pemenuhan hidup sehari-hari (sandang, papan, dan pangan), tetapi saat ini kebutuhan tersebut melesat lebih jauh ke depan. Materi dalam hal ini bisa deisebut dengan kekayaan dan diwujudkan dalam aktivitas-aktivitas ekonomi. Kondisi tersebut tampaknya telah menggeser kewajaran hubungan manusia-hewan-alam, yang lambat laun akan menciptakan krisis biodiversitas. 


Apa yang terjadi akhir-akhir ini membuktikan betapa kuatnya bayang-bayang materi terhadap kehidupan manusia-manusia modern, sehingga sering sekali mereka memperlakukan "unsur-unsur biodiversitas" sebagai jajahannya. Kesewenang-wenangan, keserakahan, dan ketidakpedulian adalah efek yang ditimbulkan dari apa yang disebut sebagai materi. Lihat saja perlakuan manusia terhadap hewan dimana masih segar dalam ingatan bagaimana manusia memperlakukan ternak potong di rumah pemotongan hewan. Selain itu, bagaimana eksploitasi terhadap satwa-satwa liar yang dapat dilihat di pasar-pasar gelap dan berbagai penyelundupan, ataupun pemaksaan satwa yang seharusnya liar menjadi satwa rumahan, atau manusia modern menyebutnya sebagai satwa eksotik. Hukum yang dibuat sesempurna mungkin nampaknya bukanlah salah satu pemutus mata rantai "penyebab krisis biodiversitas" yang efektif, hukum harus dikombinasikan dengan penyadaran yang nampaknya terlalu sulit dan aneh diaplikasikan.

 

Untuk Negriku 4

Pekan ini, sebuah berita miris datang dari kawasan Riau. Seekor harimau sumatra berjenis kelamin jantan dengan umur sekitar 1,5 tahun mati mengenaskan oleh sebuah jerat babi hutan yang ditanam oleh warga sekitar daerah Pangkalan Kuras. Sebuah kabar dari suatu harian mengatakan bahwa jerat yang ujungnya terbuat dari besi tidak lazim digunakan untuk menjerat babi hutan yang biasanya hanya menggunakan benang nilon saja. 

kematian harimau oleh jerat atau aktivitas manusia mungkin sudah terlalu sering terdengar di telinga, berbagai media telah mewartakannya baik dengan lamanya durasi penayangan atau singkatnya penayangan. Jerat seperti yang digunakan oleh warga Pangkalan Kuras kemungkinan ditujukan langsung untuk menjerat sang harimau, entah alasan dendam atau alasan lainnya. Namun, ketika tim dari pihak yang berwenang mengetahuinya, serta merta warga sekitar tersebut mengubah alasan pemakaian jerat, jerat ditujukan untuk babi hutan, Nampaknya ini sudah menjadi sebuah kebiasaan ketika kejahatan yang dilakukan diketahui oleh pihak berwenang. 
Kematian harimau yang sering oleh manusia di kawasan konservasi ataupun kawasan hutan industri membuktikan bahwa masyarakat sekitar masih mempunyai dendam dengan si loreng dan konflik antara mereka dengan harimau adalah masalah utama warga. Mungkin banyak alasan yang mendasari sebuah dendam tersebut, seringkali hanya masalah klasik yakni urusan perut, masyarakat sekitar dengan teganya membunuh satwa yang terancam kepunahannya itu.

Untuk kejadian pekan ini, apakah harimau tersebut sengaja dibunuh oleh warga lantaran sering memasuki lahan konsesi hutan tanaman industri PR Arara Abadi anak Sinar Mas Group, sehingga dianggap membahayakan keselamatan kerja karyawan dan warga sekitar, belum ada yang tahu. Mengapa kasus ini bisa terjadi ditengah maraknya kepedulian masyarakat dunia akan kelestarian harimau sumatra. Sungguh disayangkan, ketika masyarakat sekitar kawasan yang seharusnya mempunyai kewajiban menjaga kelestarian satwa ini justru dengan alasan kepentingan ekonomi yang absurd dengan kejamnya membantai sang loreng warisan terakhir hutan tropis sumatera. Apakah kampanye kelestarian harimau atau satwa-satwa liar lain tidak sampai ke telinga mereka atau bagaimanakah peran sebuah perusahaan besar sekelas Sinar Mas terhadap kelestarian biodiversitas di sekitar lahan yang mereka gunakan. Sangat disayangkan ketika semua pihak yang berpengaruh menutup mata terhadap kejadian ini. Sekali lagi sungguh disayangkan ketika alasan ekonomi menggusur kepentingan konservasi biodiversitas negri ini.

Sabtu, 02 Juli 2011

Untuk Negriku 3

Empat anak gadis ABG yang duduk di bangku pojok sebuah angkot 08 Bintaro-Ciputat dengan pakaian a la ABG masa kini terlihat sedang terlibat obrolan yang sengit, entah apa yang menadi biang obrolan mereka. Nampaknya sesuatu hal remeh-temeh yang orang gila pun tidak akan pernah berpikir melakukannya. Sebuah kebiasaan anak-anak muda negri ini, kebiasaan pamer harta benda kekayaan keluarga, ayah, ibu, kakek, nenek, bahkan nenek moyang.
Saat itu tak begitu jelas apa yang mereka pamer-pamerkan di dalam sebuah angkot yang sudah mulai penuh sesak, penuh sesak oleh peluh-peluh bau asam dan pemandangan baju-baju kusam. Namun, pernyataan terakhir yang mereka perbincangkan adalah sebuah pernyataan yang bisa dibilang absurd dan menyakitkan hati pendengar yang peduli nasib negri ini.

Eh kalian udah tau belum, kakakku yang pertama baru dibeliin papa, vila di bogor.

Tiga orang temannya yang terlihat tidak sabar, entah tidak sabar keluar dari angkot yang aroma asamnya mulai merebak atau tidak sabar mendengar celotehan temannya segera berakhir dengan ending yang mereka harapkan tidak membuat iri.

Eh, vilanya baguusss banget, halamannya luas, kanan kirinya hijau banget, dan yang pasti sejuk banget. Nanti kuajak deh kalian ke sana.
Kondisi dalam angkot masih sunyi senyap, nampaknya semua penumpang antusias mendengar cerita si gadis ABG yang tanpa titik koma itu.

Eh, tapi aku nggak suka suasananya yang sepi dan terlalu banyak pohon-pohon tinggi yang rimbun, jadi kesannya angker. Semoga saja nantinya pohonnya semakin sedikit kayak di jakarta dan di sana makin banyak vila, dan juga makin banyak mallnya, jadi kan rame, mau apa aja mudah, ya nggak frend.

Tiga temannya terlihat menganggukkan kepala dengan nada terpaksa.

Masih sunyi kondisi dalam angkot, hampir semua penumpang tiba-tiba tertunduk tanpa ada komando, kecuali empat penumpang ABG yang menguasai bangku pojok angkot butut. Sopir pun tiba-tiba memperlambat laju angkotnya.
Entah apa yang ada dipikiran para penumpang yang sebagian besar kaum marginal. Mungkin di dalam keterpinggiran, akal mereka masih jalan untuk berpikir peduli pada nasib negri daripada empat anak ABG penguasa bangku pojok. Mereka sang kaum marginal nampaknya resah dengan kelakuan empat ABG yang dengan seenak perutnya berharap akan menggersangkan negri ini, negri yang sudah semakin gersang. Rasa-rasanya dalam ketertundukan itu, mereka mengutuki empat gadis ABG penguasa bangku pojok.

Rabu, 22 Juni 2011

aku kamu manusia

aku kamu manusia
makhluk raut muka bumi
di penghujung kelok waktu
aku kamu
menapaki terjal tikungan tanah angan
dari dua sisi

esok pagi,
sebuah asa tentang aku kamu
bersama menyibak embun pagi ilalang ilalang tua
memuji cantiknya gede pangrango
membelai ramah anginnya

lihatlah,
ketika pelangi menghias puncak edelweis bersemayam
itulah keindahan abadi
layaknya erat dekapan mesra nurani antara dua makhluk raut muka bumi
apabila terang meredup, keindahan akan tetap sejati
karena dua warna akan menantang gelap
itulah asa, esok pagi
esok hari
aku kamu


bogor, 22 juni 2011

Rabu, 15 Juni 2011

bumiku sakit

tebang tebang hutan
gali gali tambang
bor dan bor minyak
terus robohkan, ambil dan terus sedot
habis cari lagi dan habiskan lagi
lazimnya fenomena negriku
di masa ini
eksploitasi bukan lagi tabu
sebuah kata masa kini untuk caplak caplak anjing berdarah biru

alam, sebuah kata yang sudah usang
ditinggalkan, dicaci dan dimaki
alam hanya untuk makhluk makhluk pinggiran
dan untuk ditertawakan di majelis majelis orang pintar
di negriku, alam sudah usang, kuno dan jadul
hijau biru telah berubah menjadi warna monoton
sedangkan,
kuning gersang telah menjelma menjadi warna yang cantik dan elok dipandang

alamku dan negriku,
mereka sungguh polos
digersangkan mereka tak menolak
dipunahkan silakan saja
alamku negriku bumiku disusupi makhluk makhluk patogen
sakit menjadikannya tidak bulat lagi


bogor, 16 juni 2011

Minggu, 05 Juni 2011

momong jiwa

di sana di singgasana batu pualam,
ratusan manusia tak berkepala bermodalkan hasrat
mukti menantang dewa
kicauannya pun merdu menghanyutkan malam

di sini ribuan bahkan jutaan burung pipit menari nari pilu di padang savana
menanti ilalang menjadi sawah menguning
tetapi asa hanyalah larangan
mereka cuma hiasan murahan sang pamomong
hanya savana yang membukakan mata
oh humanisme ini sungguh Absurd


bogor, 7 Oct 09

Rabu, 01 Juni 2011

Sebuah Petikan Kalimat-Kalimat Soe Hok Gie

Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?
Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis.
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.
Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Selasa, 31 Mei 2011

kota kecil masa kecil

kota kecil masa kecilku
begitu terpinggir oleh peradaban hebat dunia
namun begitu indah
bagi jiwa jiwa yang pernah kau peluk
jiwa jiwa yang pernah menikmati peluhmu
oh, kota kecil masa kecilku
wajahmu masih semulus dahulu
ketika aku membuka mata mengenalmu
jejak langkah kaki kecilku masih kau simpan
di jalanan aspalmu yang semakin panas
di trotoarmu yang semakin sempit
di pasir pantai dan lumpur pematang sawahmu

oh, kota kecil masa kecilku
teduhnya angin lautmu masih sanggup memayungi jiwa jiwa yang semakin tua
oh, kota kecil masa kecilku
kami rindu masa itu
masa kanak kanak yang kau ajarkan
akankah kau berubah dalam mewahnya dunia
yang sebenarnya belum kau pahami
oh, kota kecil masa kecilku

rembang, 7 september 2010

Senin, 30 Mei 2011

Creative Writing

"Creative Writing" Cerpen dan Novel menurut AS Laksana (2006)
1.   Mendekatkan  tangan dengan otak
2.   Action
3.   Menulis buruk
4.   Menulis cepat
5.   Strategi tiga kata
6.   Jangan menulis sekaligus mengedit
7.   Show, don't tell
8.   Mengkongkretkan konsep-konsep abstrak
9.   Deskripsi dengan lima indera
10. Cerita dan karakter
11. Mengakrabi karakter
12. Menyeberangi arus dengan plot
13. Dialog
14. Sudut penceritaan (point of view)
15. Suara intim dalam cerita
16. Konstruksi
17. Paragraf pembuka
18. Mengatur gerak cerita
19. Sampaikan sekali saja, dengan tepat
20. Menghidupkan bahasa dengan metafora
21. Disiplin
22. Bacalah!
23. Membaca kamus

Minggu, 29 Mei 2011

cabak dan tokek

erit jerit cabak,
tak kenal siang malam
tokek pun tak mau kalah
berlomba menggapai detik detik masa depan
perekat langit dan bumi
karena waktu dan kehidupanlah, mereka menjadi bermakna

cabak diam
tokek pun diam
bukanlah akhir kehidupan
karena mereka hanya sebagian
penghantar indahnya langit, bumi, dan waktu

rembang, 1 april 2011

Kamis, 26 Mei 2011

tapak untuk hijau biru

Kawan,
kita hanyalah manusia
yang berjalan menginjak tanah
menapak batu, dan
menjejak rumput
tapi
apakah kau merasakan
kegelisahan batu batu kali
kegelisahan rumput rumput berembun
kegelisahan kerbau yang berendam lumpur
kegelisahan sayap sayap perkasa
kegelisahan hijau dan biru
kegelisahan yang setiap waktu meledak
menyemburkan api
membakar kepolosan hati
menjadi arang arang asa
untuk membakar absurdnya kehidupan
kepala kepala tanpa akal
demi hijau birunya tanah batu yang kami tapak

bogor, 2 mar 2010

Rabu, 25 Mei 2011

Untuk Negriku 2

pagi di sebuah SD negri di sebuah dusun terpencil dengan ruang kelas mirip dengan kandang kambing. waktu sudah menunjukkan pukul 8.00 wib, seorang pak guru kelas 2, merangkap juga sebagai kepala sekolah, guru kelas 1 - 6, penjaga sekolah, dan tukang kebon mengajar sekitar 30 anak, sebuah jumlah yang tak pasti, kadang berkurang kadang bertambah. waktu itu adalah pelajaran tentang ppkn, pak guru menanyakan tentang cita-cita kepada anak didiknya.
"baik anak-anak, sekarang siapa yang berani menceritakan cita-cita besok kalau sudah besar?", tanya pak guru.
seluruh kelas hening seketika, karena nampaknya tidak ada anak yang berani mengacungkan tangan, sebuah tipikal sekolah pemerintah.
tiba-tiba selang beberapa detik, sebuah tangan kurus kecil hitam legam muncul diantara puluhan kepala yang tertunduk.
"pak guru, saya mau bercerita cita-cita saya besok kalau saya besar nanti", teriak kucrit dari bangku belakang pojok kanan.
"ya, kucrit silakan ceritakan pada teman-temanmu", jawab pak guru.
"kalau sudah besar nanti kucrit ingin......emmmm..........ini pak, kucrit ingin punya kekuatan seperti penyulap di film layar tancap kemarin malam, emmmmm, kucrit ingin sekali menyulap bapak-bapak berdasi di gedung yang bentuknya aneh itu pak, emmmm, gedung yang ada di tv balai desa kemarin pak, tahu kan pak, kucrit ingin sekali menyulapnya menjadi manusia berkepala tikus bermoncong babi pak, pasti lucu ya pak, hehehe" tegas kucrit tanpa malu-malu
"?????????????", ...................

Selasa, 24 Mei 2011

bola mata cahaya

untuk sepasang bola mata cahaya
selamat menyusuri setiap sudut gelap,
jejakkan cakar-cakarmu di hitamnya pasir putih
yang menghampar luas
acuhkan kilau fajar menjelang
tetaplah bersinar bola mata cahaya
walau mentari lebih menyilaukan
tetaplah bersinar bola mata cahaya
terang hanya sekejap
berkediplah,
dan selamat bercengkerama dengan sang bulan dan bintang

bogor, 29 maret 2011

Minggu, 22 Mei 2011

Geliat Pagi

pagi adalah kalimat kehidupan, bukan rengekan celepuk jantan
ribuan nyawa menindih jagad tak tahu dimana sang raga
aksara buta menuntun menghina tatapan sang batara surya
pagi bukanlah absurd
bukan pula nyanyian metafor tanpa kata, pagi adalah peregang kilatan asa
ketika nyawa bersinggungan dengan jiwa, maka aksara benar benar bermakna
tak ada lagi umpatan sunyinya kebun tebu
tak ada pula badai di seberang laut 

bogor, 1 nov 09

Sabtu, 21 Mei 2011

hilang sudah

jaman telah berubah, 
namun hanyalah sebuah hiperbola akal 
makhluk alam hanya tumbal kemajuan
tak ada lagi kebebasan yang dapat dipijak
mereka tenggelam dalam keriuhan dunia balas membalas, 
seperti gunung salak yang tertimbun pekatnya malam 
dan bagaikan hujan meteor orionid yang dikalahkan awan mendung
tak ada yang peduli, 
hanya humanisme-alam dengan jiwa jiwa hijau yang peduli
sebuah ironi di negri batara surya

bogor, 23 oct 09

hujan malam ini

ketika hujan menghempaskan kelam, 
hargailah 
karena dia adalah lampiasan cemoohan alam
laju airnya menghapus kerentaan bumi
derap rintiknya bubarkan mimpi mimpi buruk makhluk bumi tak berdaya

bogor, 1 nov 09

negriku dalam sebuah coretan

negriku ini amatlah miskin
tanah dan airnya bukanlah tanah gemah ripah loh jinawi seperti cerita buku buku anak sekolahan
negri ini miskin gunung, miskin laut, miskin hutan, miskin sungai
negri ini negri gersang
karena inilah negri miskin gagasan
namun, amatlah kaya lisan

apakah bangsa ini ramah?
tidak, sama sekali tidak
kapankah bangsa ini pernah ramah
senyum dan santun
itu hanya cerita penghibur anak anak sekolah
yang lelah menghadapi masa depan
lihatlah betapa chaos bangsa ini
kebhinnekaan hanyalah simbol belaka
suku, agama, ras dan golongan yang dipilih
oh betapa buruknya negri ini
betapa bodohnya bangsa ini
sungguh absurd nusantaraku

bogor, 26 september 2010

hilang

bagaimana bisa kami tidur pulas
bagaimana bisa kami tertawa lepas
ketika kearifan-kearifan lokal direnggut oleh tangan-tangan abstrak
atas nama demokrasi barat
oh, malangnya kearifan lokal tanahku ini
hilang satu per satu
hilang semua kelak
menyisakan anak-anak yang benar-benar kehilangan
asal usul dan jati diri
bukankah nusantara ini punya nilai yang lebih agung
daripada demokrasi ala orang-orang berdasi

demokrasi nusantaraku adalah
demokrasi atas dasar kearifan lokal
demokrasi atas dasar nilai-nilai tradisi
demokrasi atas dasar budaya
demokrasi atas dasar adat-adat lokal
demokrasi dengan toleransi dan kekeluargaan yang sangat tinggi
itulah yang bisa membuat kami tersenyum

bogor, 1 desember 2010

Rabu, 18 Mei 2011

gadis kecil kawan kucing kecil

gadis kecil dengan kucing kecil
terlelap kala bulan masih muda
lantai toko teman ketiga
berpadu menghabiskan malam

gadis kecil tak beribu bapak,
berkawan kucing betina coklat tak bertuan
pulas kala ramai orang orang mencaci harapan
gadis kecil dan kucing betina kecil, menjelajahi waktu
pagi menjelang,
kaki kaki kecilnya menapaki suramnya harapan
polos melangkah maju tak hiraukan sandalnya setipis kain sutra
karena hidup adalah esok, bukan hari ini
ketika lelah menyapa, pejamnya mata adalah hiburan
malam orang tua sejati, bumi rumah kehidupan

gadis kecil dan kucing kecil, tertidur di pinggir toko beralaskan lantai
hampir diinjak oleh kaki kaki kokoh pengikut waktu
kadang tertendang,
namun tidak ada minat untuk berontak
karena lelah melunakkan hati
karena mereka bukan musuh
gadis kecil dan kucing kecil masih tertidur ditemani nafas sang malam
dingin ditengah hangatnya lampu lampu kota
sepi diantara renyahnya tawa dalam rumah rumah yang tak pernah terpikir olehnya
gadis kecil dan kucing kecil, hanya hidup untuk sepotong harapan hari esok
karena mereka tidak mati malam ini


bogor, 19 mei 2011

kisah Kebun Sukun Belakang Balaidesa

Tidak banyak yang tahu kalau hutan pohon sukun belakang balaidesa, atau lebih tepatnya kebun sukun yang tidak terurus menyimpan sesuatu yang berharga bagi desa sukun, bahkan bagi warga desa sukun sendiri. Kebun sukun yang tidak terurus itu terletak persis di belakang balaidesa, agak ke kanan sedikit, di samping kirinya berdiri bangunan jaman belanda yang tidak terawat. Bangunan belanda dan kebun sukun itu berpemilik sama, seorang kakek yang hidup seorang diri. Sampai sang kakek pemilik rumah bangunan belanda dan kebun sukun seluas setengah lapangan sepakbola meninggal dua minggu yang lalu, tidak ada satu orang pun yang mengetahui asal-usul sang kakek. Dari beberapa cerita yang beredar, sang kakek masih mempunyai darah belanda, tapi cerita lainnya mengatakan kalau sang kakek hanyalah orang suruhan untuk menunggui rumah kuno dan kebun sukun itu.

Kebun sukun yang dulunya mempunyai luas hampir sepuluh kali dari luas saat ini menurut cerita-cerita orang tua dahulu pernah menyatu dengan hutan jati di seberang sungai jambu. Hutan jati di seberang sungai pun nampaknya sudah tergusur keberadaannya sekitar setahun yang lalu. Sebuah gudang sabun telah dibangun di atas hutan jati seberang sungai jambu. Sisa-sisanya pun sebenarnya masih bisa dilihat, beberapa gelondongan kayu jati di samping kiri tembok pagar gudang sabun. Hutan jati seberang sungai jambu sebenarnya tidak berpemilik, uanglah yang telah mengubah perangai orang-orang yang tinggal di samping kanan dan samping kiri hutan jati seberang sungai jambu. Mereka berlomba-lomba mengakui kepemilikan hutan jati seberang sungai jambu. Sungguh malang nasib hutan jati seberang sungai jambu.

Lebih malang nasib kebun sukun di belakang balaidesa, sejak sang kakek penghuni bangunan belanda di samping kiri kebun sukun tidak pernah keluar rumah karena stroke, orang-orang yang tinggal di samping kanan dan kiri kebun sukun berlomba-lomba meluaskan pekarangannya sampai sekarang nasib kebun sukun tinggal separo luas lapangan sepak bola. Kebun itu memang tak terawat, tak ada seorang pun yang berani menjamahnya. Sekitar tujuh bulan lalu, salah seorang warga desa yang menebangi pohon sukun tiba-tiba tak sadarkan diri dan tiba-tiba tubuhnya menggigil dan panas tidak karuan sebelum akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu, warga desa mencoba menjauhi kebun sukun di belakang balaidesa beserta bangunan belanda kuno di samping kirinya.

Nampaknya tidak ada yang berani menyentuh sehelai daun pun di kebun sukun belakang balaidesa, bahkan sehelai daun kering pun. Tetapi nampaknya tidak untuk seekor lutung yang hidup di kebun sukun belakang balaidesa. Beberapa warga desa, terutama yang sudah menjadi kakek-kakek atau pun nenek-nenek sudah tahu semenjak kebun sukun belakang balaidesa menyatu dengan hutan jati seberang sungai jambu, kebun maupun hutan tersebut sudah menjadi tempat hidup puluhan keluarga lutung, mereka merasa lutung yang hidup di sana adalah harta bagi desa jambu tempat mereka tinggal. Hanya warga-warga tua yang tahu, sayangnya anak-anak mereka tidak pernah mengetahui harta terpendam tersebut. Mereka selain menghabisi kebun sukun belakang balaidesa dan hutan jati seberang sungai jambu juga menghabisi puluhan lutung-lutung yang telah terdesak di kebun sukun belakang balaidesa. Lutung bukanlah harta, mereka hanyalah makhluk jadi-jadian, begitulah ujar mereka.

Sejak tidak ada tangan-tangan yang berani mengacak-acak kebun sukun belakang balaidesa, dua ekor lutung nampaknya hidup bahagia. Seekor lutung betina dan seekor anaknya yang hidup dengan makan buah sukun sepertinya telah menjadi makhluk terakhir penghuni kebun sukun belakang balaidesa dan makhluk terakhir saksi kejayaan desa jambu. Setiap harinya mereka hanya mengahbiskan waktu di pohon sukun tua yang letaknya tepat di tengah-tengah kebun sukun belakang balaidesa. Meskipun tidak ada yang mengganggu lagi, mereka masih tidak percaya dengan warga desa yang telah merenggut kebahagiaan sang lutung betina.

Dua hari yang lalu, desa jambu kedatangan pasangan suami istri muda warga baru yang berasal dari ibukota kabupaten. Mereka menempati bangunan kuno jaman belanda yang ada di samping kiri kebun sukun. Seperti halnya kakek penghuni asal bangunan kuno tersebut, tidak ada yang tahu menahu perihal pasangan suami istri penghuni bangunan kuno tersebut. Tepatnya satu hari yang lalu, entah merasa terganggu atau rasa ingin mengganggu, sang suami dari pasangan suami istri muda penghuni terakhir itu pun masuk ke kebun sukun yang telah menjadi haknya dengan membawa sebuah senapan angin. Tak berapa lama, tak ada angin, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di semak-semak. Benda jatuh itu bukanlah buah sukun yang matang atau pun batang pohon sukun, melainkan seekor lutung betina. Sebual peluru timah menembus dada kiri dan sebelah kiri kepala lutung betina itu. Seketika itu, darah berceceran di antara daun-daun yang telah mengering.

Terlihat senyum kecil di wajah sang suami dari pasangan suami istri muda penghuni baru bangunan kuno jaman belanda di samping kiri kebun sukun. Mungkin rasa puas yang dirasakannya, seketika itu, sang suami pun meninggalkan kebun sukun belakang balaidesa. Tak berapa lama seekor anak lutung harapan terakhir saksi kejayaan keluarga lutung dan saksi kejayaan desa jambu turun dari salah satu pohon sukun tua tempat beberapa menit lalu digendong induknya. Pelukan sang anak lutung kepada induknya yang telah bersimbah darah nampaknya tidak akan pernah mengembalikan nyawa sang induk. Beberapa hari, sang anak tetap memeluk sang induk walaupun bau menyengat dang belatung sudah keluar dari tubuh tak bernyawa itu. Entah sampai kapan si anak lutung akan melepaskan pelukannya itu.

Selasa, 17 Mei 2011

kucing kucing malam

ribuan mata kucing melepas kepergian mata mata sayu
dalam gelapnya lelap
tajamnya menelisik bulu bulu kusam burung gereja
yang menyanyi sendu dalam riuhnya angin pagi
lihatlah betapa gontai langkahnya, menapak tidak menjejak pun enggan
limbung diterpa alunan  nafas pekerja pekerja berbadan tegap
terkoyak oleh taring taring mentari
sementara, tikus tikus selokan mendekap tawa
licik menikam akal yang meredup

tidak,
kau adalah kucing kucing malam
liarmu menyapa teka teki akal
gelap terang bukan masalah
kucing kucing malam sorot mata elang tajam cakar harimau
penuhi muka bumi dengan liarmu
hantam tikus tikus selokan bermata buram
kucing kucing malam lincah tubuh lutung
pijak dahan ranting terkuat
ujung pohon tertinggi pun tercapai
kucing kucing malam penakluk sepinya gelap sesaknya terang
gelap untuk sebuah imaji
terang untuk kenyataan imaji


bogor, 18 mei 2011